01¤ Sepenggal Kisah

Yakinlah, pelangi yang indah itu tercipta dari korespondensi titik titik hujan dengan sinar mentari

🏹🏹🏹

Ayam mati ditumpukan jerami.
Sepelik itulah rasa yang dialami oleh Hafida, dia bahkan tidak bisa mengingat dengan baik apa yang telah menimpanya. Menjadi pesakitan di bangsal rumah sakit kelas__entahlah, fasilitas yang seperti hotel namun ia merasakan kehampaan yang luar biasa.

Yang ia ingat, ia adalah orang yang besar di sebuah panti asuhan. Yatim piatu sedari kecil, kedua orang tuanya telah meninggal saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 1 karena sebuah tragedi kecelakaan. Mengenyam pendidikan di sekolah negeri biasa dengan fasilitas yang sangat minim hanya semangatnya yang tak pernah padam untuk bisa menjadi terbaik. Hingga akhirnya ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Dalam ingatannya Hafida juga sempat mondok untuk memperdalam ilmu agamanya. Di daerah Mulungan ketika ia duduk di bangku SMP dan SMA.

Bekerja, ya sepertinya ia juga menjadi salah satu karyawan perusahaan telekomunikasi yang cukup terpercaya di salah satu sudut Jogja. Namun ada beberapa part dalam kisah hidupnya yang tidak bisa ia ingat sama sekali. Blank, dan rasanya dan sesuatu yang berat menimpuk kepalanya saat ia mencoba dengan susah payah untuk memaksa mengingatnya.

"Bu Hafida selamat pagi, bagaimana kondisi hari ini?" seorang perawat menghampiri Hafida yang kini duduk di kursi roda dan berada di taman seorang diri

"Nrs. Melda, alhamdulillah lebih baik dari kemarin. Bisa minta tolong kembali ke kamar?" jawab Hafida

"Baik Bu, mari saya antarkan"

Suster Melda mendorong kursi roda yang diduduki oleh Hafida menuju ke kamar rawat VVIP A nomer 2. Sebenarnya ada ragu di benak Hanifa, bagaimana nantinya ia akan membayar semua biaya perawatannya. Dokter yang menanganinya 10 hari yang lalu dengan gamblang berkata bahwa dia koma di ICU selama 15 hari, ditambang dengan kamar rawat yang menurutnya mirip dengan fasilitas hotel. Memikirkan itu semua membuat kepala Hafida menjadi pusing tiba-tiba.

Mengistirahatkan pikiran untuk pemulihan maksimal. Itu adalah sebuah saran yang diberikan dokter yang menanganinya. Tapi bagaimana mungkin?

Orang sehat pun pasti akan berpikir darimana mereka mendapatkan uang untuk membayar biaya pengobatan yang mungkin dengan bilangan minimal 8 digit dibelakang angka utamanya karena semua fasilitas layanan yang telah dinikmati.

"Bu Hafida harus banyak istirahat supaya bisa segera pulih. Nanti sore kita akan membantu untuk terapi jalan ya. Sekarang sebaiknya ibu istirahat dulu"

"Syukraan Nrs Melda. Saya boleh minta tolong lagi?"

"Selama saya bisa Bu, apa yang Bu Hafida butuhkan?"

"Saya ingin tahu, berapa biaya yang harus saya bayar untuk perawatan saya ini. Nrs Melda bisa minta tolong untuk ditanyakan kepada bagian administrasi? Karena saya berfikir sepertinya saya ingin pindah ke bangsal biasa saja. Terus terang terlalu berat untuk saya jika harus berada di kamar semewah ini," kata Hafida dengan sangat lembutnya. Dia memang merasa dekat dengan perawat yang memiliki nama Melda ini. Orangnya santun dan sangat telaten merawat Hafida

"Akan saya beritahukan secepatnya ya Bu. Masih ada yang lain?" Hafida menjawab dengan gelengan kepalanya. "Saya permisi dulu, Bu Hafida silakan istirahat, sebentar lagi dokter akan kemari untuk melakukan visite."

Sepuluh hari berada di kamar perawatan. Bekas bekas luka yang ada ditubuhnya juga belum sepenuhnya mengering. Bahkan perban yang ada di kepalanya masih menempel dengan sempurna. Namun Hafida masih diliputi tanda tanya besar, apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya sehingga menyebabkan dia harus dirawat di rumah sakit ini untuk sekian lama.

Ma anzalallohu daa an illa anzala lahu syafaa an, 'Tidaklah Allah turunkan penyakit kecuali Allah turunkan pula penawarnya.'

"Astaghfirullahaladziim," lirih bibir merah muda Hafida melafalkan kalimat istighfar berulang ulang dengan mata terpejam.

Tak satu pun orang yang berkunjung untuk mendoakan kesembuhan Hafida. Bening air matanya meleleh, teringat olehnya kata mutiara dari sahabat sekaligus menantu nabi untuk anak kesayangannya, Ali bin Abi Thalib.

Saat ada seseorang bertanya kepadanya

Ya Ali, kulihat sahabat-sahabatmu begitu setia sehingga mereka banyak sekali, berapakah sahabatmu itu?
Ali bin Abi Thalib pun segera menjawab, nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah.

Apakah Hafida dulu pernah melakukan kesalahan atau bahkan dosa besar hingga tak seorangpun yang ia kenal membesuk untuk mengabarkan kondisinya? Padahal ia ingat dengan benar bahwa ia ada pegawai di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jogja. Apakah tidak satu orangpun dari mereka yang ingin tahu bagaimana kondisinya setelah dia hampir satu bulan tidak masuk bekerja di kantornya.

Ibu panti yang sangat ia sayangi, bu Yulianti. Mengapa ibu yang mengasuhnya sedari ia kecil itu tidak datang ke rumah sakit sekedar untuk melihatnya berjuang demi kesembuhan?

Masih dalam pikiran yang tidak akan ketemu ujung pangkalnya. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan sosok lelaki muda bersnelli dengan stetoskop yang menggantung dilehernya menghampiri bersama seorang perawat yang memegang buku perkembangan pasien.

"Selamat siang Bu Hafid, bagaimana masih ada yang dikeluhkan? Hari ini terapi untuk berjalan ya, 20 hari berada di atas ranjang pasti membuat persendian kaki Bu Hafid kaku. Perlu pemanasan sedikit untuk melemaskannya, permisi saya periksa dulu detak jantungnya," ucapan dokter muda sambil meletakkan stetoskop di dadanya kemudian meminta suster untuk mengecek denyut nadi.

Hafida hanya menggeleng, sebenarnya banyak yang ingin dia tanyakan kepada dokter satu ini tapi entahlah, tiap kali sang dokter melakukan visite bibirnya selalu bungkam. Kelu tidak mampu berucap apa pun.

"Tekanan darah Nrs?" tanya sang dokter sambil membaca beberapa catatan yang dituliskan oleh perawat disampingnya. "110/80, Dok."

Tatapan dokter tetap sama, santun tetapi sangat jelas bahwa ia membatasi interaksi dengan wanita. Pandangannya selalu terjaga, gadhul bashar. Dan senyum tipisnya mungkin sedikit membuat beberapa pasien bisa segera sembuh.

Hingga saat dokter itu akan berlalu, baru mulut Hafida terbuka untuk memanggilnya. "Maaf Dok, boleh saya tanya sesuatu?"

"Oh iya, ada yang bisa saya bantu Bu?" tanya dokter dengan pandangan ke lantai.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan saya, mengapa saya bisa sampai di rumah sakit ini. Kamar ini terlalu mewah untuk saya. Saya hanya khawatir tidak bisa melunasi biaya perawatannya," kata Hafida dengan begitu lancarnya.

Dokter mengernyit heran dengan pertanyaan Hafida. Bukankah suami dari pasien ini selalu berkonsultasi tentang perkembangan kesehatannya. Mengapa sampai dia tidak mengetahui sebab musabab dia berada di rumah sakit ini. Atau memang ada yang harus di sembunyikan dari keluarga pasien demi menjaga hati dan kesehatan pasiennya.

Meski dengan keheranan akhirnya dokter itu menjawab, "Suami ibu belum cerita sesuatu?"

Hafida justru tersentak mendengar pertanyaan dari dokternya. Suami? Suami siapakah yang dimaksud oleh dokter ini. Dia yakin belum menikah dengan siapa pun, lantas bagaimana mungkin dokter di depannya itu bilang suaminya belum bercerita. "Suami? Maksud Dokter suami siapa? Saya?"

Pertanyaan Hafida jelas menambah teka-teki di pikiran sang dokter. "Lho, lantas siapa laki-laki yang selalu konsultasi dengan saya mengenai kesehatan Ibu? Beliau juga yang menandatangani seluruh berkas tindakan yang saya lakukan atas Ibu Hafida termasuk untuk melakukan operasi. Saya pikir itu suami ibu tapi sebentar___," seolah mengingat sesuatu. Dokter itu tidak pernah bertemu dengan si 'suami' berada di samping Hafida ketika dia melakukan tindakan visite ke pasien.

"Saya belum menikah dokter, dan tidak seorang pun yang pernah menjenguk saya di rumah sakit ini. Kecuali paramedis yang memang bertugas untuk memantau kesehatan saya termasuk dokter salah satunya." Hafida semakin keukeuh dengan pendapatnya.

Dokter muda itu memandang sekilas kepada perawat namun dijawab gelengan tanda ketidaktahuannya atas informasi tersebut.

"Baiklah, Bu Hafid mengalami kecelakaan sehingga kami harus melakukan tindakan operasi. Alhamdulillah semua sudah tertangani dengan baik." Dokter itu berusaha untuk menjelaskan kronologis cerita yang menimpa Hafida.

"Kecelakaan? Mengapa saya tidak bisa mengingat peristiwa itu, mengapa saya kecelakaan. Aduh, kepala saya___," Hafida memegang kepalanya yang mulai kembali sakitnya.

Dengan sigap sang dokter menyuntikkan obat pereda nyeri di botol infus Hafida serta meminta perawat segera mendaftarkan Hafida melakukan MRI untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana kondisi pasien.

Bagaimana dokter itu bisa kecolongan hanya karena pasien tidak pernah mengeluhkan rasa sakitnya. Seharusnya pasca operasi itu dia memastikan dengan baik kondisi pasiennya. Padahal setelahnya telah dilakukan ct scan dan tidak ada kendala yang berarti, namun seolah tertampar sesuatu dia merasa untuk segera bisa memastikan. Pasien tidak dapat mengingat memori sebelum dia koma.

Perawat yang berjaga dimintanya untuk mencoba bertanya kepada Hafida setelah dia tidak merasakan sakit secara perlahan. Mencoba untuk membuka file file memori ingatannya sebelum terjadi kecelakaan itu.

"Maaf Dok, dari keterangan pasien Hafida hanya mengingat bahwa dia adalah seorang pegawai sebuah perusahaan telekomunikasi dan tinggal di panti asuhan Aisiyah." Kata seorang perawat yang diminta dokter untuk mengetahui lebih banyak tentang pasiennya.

"Pastikan kebenaran ceritanya di perusahaan tempat kerja yang dia sebutkan. Sepertinya ada yang salah dengan ingatan bu Hafida kalau analisa saya benar beliau sepertinya___," dokter itu menggantung kalimatnya namun akhirnya dia berkata "kita akan mengetahui setelah hasil MRI keluar." Setelahnya segera meminta perawat untuk memastikan semuanya, mendaftarkan MRI, segera.

Sementara Hafida yang masih tergolek lemah di rumah sakit itu. Ada seorang pria yang selalu memantau kesehatannya melalui dokter yang telah menanganinya. Yoga Wirya Sutedja.

Dia yang mengetahui Hafida mengalami kecelakaan sesaat setelah sidang perceraiannya dengan sang adik selesai. Waktu itu Yoga bermaksud ingin mengikuti sidang perceraian Yudha Panji Asmoro namun ternyata dia terlambat. Sebelum sampai di Jl Ipda Tut Harsono, Yoga melihat ada segerombolan orang dipinggir jalan dan ternyata itu adalah kecelakaan, naasnya korban dari kecelakaan itu adalah 'mantan' adik iparnya yang baru saja perkaranya diputus hakim beberapa menit yang lalu.

"Nyuwun duka kanjeng Ibu, dalem was sumelang kalian kahanan ingkang tinampi dening dik Hafid," kata Yoga yang meminta pendapat dari ibunya -- maafkan aku ibu, aku khawatir dengan keadaan dik Hafid --

"Adimu kuwi pancen bocah gemblung, dipilihke sandingan sing apik malah polah ra karu-karuan. Karepe opo kui coba, utek e wes miring po? Mbuh pokok e ibu mbongkokan neng kowe bocah bagus. Hafida meski kepikiran bab pisahane ro adimu sing gemblung kuwi, sampe kecelakan. Duh gusti pangeran, dalem nyuwun pangapura," kata bu Menik-ibu dari Yoga dan Yudha tak tahan juga memikirkan putra bungsunya yang sulit untuk dikendalikan. -- Adikmu itu memang anak bandel, dicarikan istri yang baik malah bertingkah semaunya sendiri. Maunya seperti apa, otaknya apa sudah miring? Entahlah, pokok Ibu pasrah kepadamu anakku. Hafida pasti kepikiran tentang perceraiannya, sampai dia kecelakaan. Ya Allah, saya meminta ampunan --

"Injih kanjeng Ibu, ngestokaken dhawuh. Mengenai pertolongan dan pengobatan untuk Dik Hafid sudah saya pastikan bahwa dia mendapatkan perawatan terbaik di rumah sakit," jawab Yoga.

"Biaya rumah sakit mengko matur marang romo, rembugan sing becik. Ibu ra kepengin Hafid kenopo-nopo." Menik segera berjalan masuk kedalam kamar. -- biaya rumah sakit nanti bilang kepada ayah, musyawarah bagaimana baiknya. Ibu tidak ingin Hafida kenapa-napa --

Yoga sepenuhnya tidak habis pikir. Adiknya Yudha memilih untuk menceraikan Hafida hanya karena mereka tidak saling mengenal sebelum pernikahan dan tidak ada kecocokan selama pernikahan. Kuno dan tidak modis.

Alasan seperti apa itu, memang awalnya kanjeng ibunya yang mengenal Hafida terlebih dahulu ketika telepon seluler ibunya itu bermasalah tidak bisa dipakai dan ternyata kartunya terblokir serta harus diselesaikan di sebuah galeri milik provider telekomunikasi yang beliau pakai.

Disanalah sang ibu bertemu dan dibantu oleh seorang customer service cantik, Hafida Nuraina. Dari awal bahkan sang ibu telah jatuh cinta pada gadis itu dari pandangan pertama beliau menatapnya. Entah mengapa, dari sekian banyak customer service yang melayani di hall galeri hanya Hafidalah satu satunya CS yang mengenakan kain untuk menghijab kepalanya.

Tidak dengan tatanan yang dimasukkan kedalam krah baju seperti layaknya CS yang ada di pusat pusat penyedia jasa seperti itu, tetapi dia menggeraikan dengan menutup dada. Senyum manis dan tatapan mata yang teduh dalam berinteraksi dengan customer membuat Menik tersenyum sendiri.

"Ga, kamu lihat wanita berjilbab itu? Semoga ibumu dilayani olehnya. Ada yang lebih penting dari sekedar membuka blokir kartu GSM ibu. Allah sepertinya telah mendengar doa ibu," kata Menik kepada Yoga kala itu.

"Ayu Bu, ayunya wanita jawa, kalem, lembut dan tatapan matanya ngayemke ati," jawab Yoga seketika.

"Eling neng omah sik ono Rahayu, ojo gawe perkoro kowe," peringatan Menik seketika mengoyak imajinasi yang Yoga buat. -- ingat dirumah ada Rahayu, jangan membuat masalah kamu --

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti doa Menik, dia akhirnya dilayani oleh Hafida. Dari sanalah sang ibu dari Yoga ini akhirnya berkenalan. Hafida sebenarnya bukan seorang customer service, dia hanya membantu kelancaran dalam layanan saja karena beberapa customer servicenya sedang berhalangan untuk masuk kerja. Gadis itu mengemban amanah sebagai manager pemasaran.

Tidak butuh waktu yang lama, dari perkenalan itu. Menik seringkali berkunjung ke panti asuhan tempat dimana Hafida tinggal. Bahkan Menik memutuskan menjadi donatur tetap di panti asuhan itu.

Tujuan Menik hanya satu, mengenalkannya kepada Yudha dan memintanya untuk bersedia menjadi pendamping Yudha. Putra bungsunya itu yang nanti akan melanjutkan usaha batik sang Romo. Menik yakin dengan latar belakang dan pengalaman kerja Hafida, dia bisa membantu Yudha untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis romonya dari 0.

Yudha memang tidak membantah permintaan romo dan ibunya untuk menikahi Hafida, namun ternyata dibelakang itu Yoga mengetahui bahwa Yudha memiliki kekasih yang adiknya cintai sedari mereka kuliah di perguruan tinggi negeri paling mentereng di Yogyakarta. Dan parahnya, hubungan mereka masih juga terjalin meskipun Yudha telah menikah dan berganti status menjadi suami Hafida Nuraina.

Tiga tahun pernikahan mereka namun akhirnya harus berakhir di pengadilan agama. Hafida tidak banyak menuntut, justru yang Menik dan Yoga rasakan selama ini Hafida telah banyak berkorban. Mengorbankan hati, mengorbankan pengabdian, dan semuanya dia redam sendiri tanpa melibatkan siapapun yang ada di keluarga suaminya.

Jika Yoga tidak mengetahui secara langsung apa yang dilakukan Yudha di belakang istrinya, keluarga besarnya juga pasti tidak akan tahu. Hafida begitu sempurna menjadi seorang istri dari adiknya yang bengal.

Itu satu-satunya alasan mengapa dia, ibu dan romonya berkeras untuk mengobatkan luka Hafida sampai dengan kesembuhan yang sebenarnya. Yudha? Tidak pernah sekalipun dilibatkan untuk masalah ini, bahkan mungkin dia tidak pernah mengetahui bahwa sang 'mantan' istri mengalami kecelakaan 'parah'.

Yoga juga yang selama ini selalu aktif untuk memantau kesembuhan Hafida melalui dokter yang merawatnya. Meskipun dengan sedikit 'kebohongan' mengaku bahwa dialah suami dari pasien yang kini tengah berjuang untuk kesembuhannya.

Dokter Amour Erlangga, dokter spesialis bedah syaraf yang menangani pasien bernama Hafida Nuraina benar-benar tidak percaya dengan hasil MRI yang ada di hadapannya. Benturan yang mengenai kepala Hafida nyatanya memberikan efek luar biasa terhadap daya ingatnya. Kemungkinan beberapa part dalam hidupnya terhapus dari file-file memori ingatannya. Dan jika file yang dimaksud itu adalah yang terjadi sebelum dia mengalami kecelakaan hingga beberapa tahun kebelakang, bisa dipastikan bahwa pasiennya ini menderita amnesia, ya amnesia retrograde!!

🍃____🍃

-- to be continued --

Hadir kembali (masih) dengan cerita yang bertemakan islami

Dokter duda lagi?? Lama-lama ada fansclub emak emak perindu dokter duda imaginatif dunia orange.

Yes, dokter duda maning. Hopely everybody syuka ia sama cerita ini. Karena settingnya di Jogja nama nama tokohnya disesuaikan dengan nama orang Jawa 😃😃

Selamat menikmati, dan ketjup sayang dari jauh 😘😘

MarentinNiagara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top