3. Kilas Balik

Tok tok tok!

"Magma! Bangun!"

Aku terlonjak mendengar ketukan di pintu disusul suara keras ayahku. Ayahku? Tumben banget ayah manggil namaku dan bangunin aku. Biasanya, kalau sampai jam setengah enam pagi aku belum keluar kamar, Bu Win yang bangunin aku.

Aku turun dari tempat tidur, segera menuju pintu dan membukanya. Ayah sudah berkacak pinggang di depan pintu, dengan raut wajah keras yang selalu dia tunjukkan padaku.

"Cepat mandi, pakai baju yang rapi. Kamu ikut ayah ke Sukabumi!"

Aku sudah lama malas bicara pada ayah. Berdebat pun aku malas. Dan pagi ini mendadak dia ngajak aku pergi ke Sukabumi? Apa maksudnya?

"Bapak mau ngajak Mas Magma ke Geopark Ciletuh Sukabumi katanya," jawab Bu Win ketika aku bilang padanya tentang tingkah ayah yang tidak seperti biasanya.

Bu Win membiasakan dirinya memanggilku dengan sebutan 'Mas' katanya sebagai contoh untuk kedua adik perempuanku supaya mereka menghargaiku sebagai kakak dengan memanggilku 'Mas'. Kakekku orang Jawa Timur, karena itu menurut Bu Win itu sebutan yang pas untukku, walau ayah dan ibu sambungku selalu memanggilku langsung nama saja.

"Kenapa ngajak aku? Tumben. Biasanya nggak ngajak-ngajak." Aku menyindir Ayah.

"Mungkin Pak Arya butuh Mas Magma buat bantuin jagain adik-adik. Karena tempat wisatanya kan berupa alam, ada air terjun gitu, kan? Anak kecil kalau nggak diawasi nanti kenapa-kenapa."

"Bu Win tau tentang Geopark Ciletuh?"

"Bu Win dengar Mama Rita cerita tentang tempat itu ke adik-adikmu," jawab Bu Win sambil tersenyum.

FYI, Mama Rita adalah ibu sambungku. Kedua adik perempuanku memanggil ayahku dengan sebutan Papa dan memanggil mama mereka dengan sebutan Mama. Hanya aku yang beda sendiri, menyebut Ayah dan Mama Rita.

"Oh, kirain ayah yang ngasih tau. Kok tumben baik amat,"  sahutku sambil nyengir.

"Hush, nggak boleh gitu sama orangtua. Biar gimana pun, Pak Arya itu ayah kandung kamu. Kamu harus menghormati orangtuamu."

Aku menghela napas lalu mengangguk-angguk.

"Dugaan Bu Win masuk akal. Ayah mengajakku cuma buat jadi pengawal putri-putri kesayangannya." Aku masih menyindir ayah, Bu Win hanya bisa menghela napas.

Dan seperti biasanya, aku tidak menolak dan tidak membantah perintah ayah. Aku ikut keluarga kecil ayah yang harmonis menuju Geopark Ciletuh Sukabumi.

Tentu saja aku duduk di kursi paling belakang. Sendirian. Ayah dan istrinya di depan, kedua putri ayah di kursi tengah. Mereka bercanda, ngobrol, cewek-cewek kecil di depanku itu paling tak bisa diam, berdiri di atas jok, saling berteriak, bernyanyi, tertawa, jambak-jambakan.

Dasar cewek. Selalu cerewet dan penuh drama, ucapku dalam hati.

Sedangkan aku tetap pada setelan pabrikku. Diam tak bersuara apa pun. Aku mendengarkan podcast dan musik dengan memasang earphone. Aku melihat tingkah mereka, tapi aku tidak bereaksi apa pun. Lagipula, mereka memang tidak ada yang mengajakku bicara.

Lama kelamaan mataku memejam setelah merasa nyaman dengan musik yang aku dengarkan. Aku hampir masuk ke dunia mimpi ketika aku merasakan mobil ini berguncang keras, lalu mobil ini berguling, adik-adikku dan ibu mereka berteriak histeris. Aneh, aku tidak bisa berteriak, aku syok hingga tak bisa bersuara.

"Aargh!" Aku baru berteriak dan mengaduh ketika kaca di belakangku pecah, beberapa serpihan kaca menancap di tengkukku, terasa nyeri, refleks aku menutup wajahku agar tidak terkena pecahan kaca.

Sekali lagi mobil itu membentur sesuatu keras sekali, hingga tubuhku terlempar keluar. Semua berlangsung cepat, aku baru sadar tubuhku sudah telentang di tepi jalan, badanku rasanya remuk. Aku masih bisa melirik ke arah depan. Kulihat mobil ayah menggantung di pinggir jurang, nyaris jatuh, hanya tersisa roda belakang masih menyangkut di tepi jalan, satu saja gerakan menghentak, bisa membuat mobil itu bergulir masuk jurang.

Di balik kaca, kulihat wajah dua adikku menangis dan menjerit. Aku tak melihat penumpang bagian depan. Hanya percikan darah di jendela samping. Pandanganku berkunang-kunang. Kesadaranku melemah. Aku masih mendengar suara ledakan cukup keras sebelum akhirnya aku pingsan!

Ketika aku sadar, aku sudah berada di atas ranjang rumah sakit. Hidungku mencium bau obat. Lalu seorang suster datang. Dia tampak terkejut melihatku, dia berteriak memanggil rekannya. Tergopoh-gopoh dua rekannya datang. Kemudian mereka melakukan suatu tindakan medis pada tubuhku.

Setelah aku dipindahkan ke ruang perawatan, barulah Tante Aryani menjelaskan apa yang terjadi padaku. Mobil yang ayah kendarai kecelakaan di tikungan menurun. Tidak ada yang tahu kronologis kecelakaan itu. Yang pasti mobil ayah masuk jurang, meledak dan terbakar. Ditemukan empat jasad terbakar di mobil itu yang diduga adalah ayah, istrinya dan dua anak perempuannya.

Aku ditemukan tergeletak di pinggir jalan dengan banyak luka di tubuh. Tapi anehnya, tak ada tulangku yang patah. Selama menceritakan semua itu, Tante Aryani sama sekali tidak terlihat bersyukur aku masih hidup. Aku merasa dia malah mencurigai aku sebagai penyebab kecelakaan itu.

Kedua tanteku tahu ayah tidak menyukaiku. Sejak aku bayi, ayah menyalahkan aku sebagai penyebab kematian ibu. Tante Aryani menuduhku di hari nahas itu aku bertengkar dengan ayah, membuat konsentrasi ayah ketika menyetir mobilnya menjadi terganggu dan terjadilah kecelakaan itu. Tante-tanteku heran, kenapa cuma aku yang lolos dari maut. Seolah-olah mereka menyesal aku masih hidup. Mungkin mereka berharap seandainya aku saja yang mati.

Aku marah disalahkan, mereka tak peduli pada perasaanku, tapi aku hanya bisa menyembunyikan perasaanku yang campur aduk. Mereka pikir aku merasa senang melihat wajah terakhir kedua adikku menjerit dan menangis? Hubunganku dengan kedua adik perempuanku memang tidak akrab, tapi walau bagaimana pun, mereka adikku, mereka masih kecil. Savina baru berusia sepuluh tahun, Shania baru berusia delapan tahun.

Sikap tante-tanteku dan omku yang tampak tidak bersyukur aku masih hidup, membuat aku sulit merasa sedih atas terjadinya peristiwa itu. Perasaanku menjadi hambar. Aku tidak menangis sama sekali. Tak ada setetes pun air mataku yang jatuh.

Bahkan ketika Tante Aryani mengantarku mengunjungi makam ayah, ibu sambungku dan dua adikku, aku tetap tidak menangis. Aku hanya diam. Dan sikapku itu semakin membuat om dan tanteku yakin akulah penyebab kecelakaan itu. Aku anak terkutuk yang bisa membuat orang-orang di dekatku meninggal, sedangkan aku tetap hidup.

Tante-tante dan omku sibuk merebutkan siapa yang harus mengurus harta peninggalan ayah, rumahnya, aset-aset dan barang-barang berharga lainnya. Aku masih di bawah umur, belum bisa mengurus semua sendiri. Lalu mereka saling melempar tanggungjawab siapa yang mau ditumpangi aku. Tak ada yang mau. Mereka takut menjadi bernasib sial jika aku tinggal bersama mereka.

Hingga akhirnya Tante Aryani punya ide menyerahkan aku pada Nenek Gayatri. Aku baru tahu aku masih punya nenek. Selama ini ayah bilang kakek dan nenekku sudah meninggal. Nenek dari pihak ibuku sudah lama meninggal, kakek dari pihak ibuku masih ada, tapi sama dengan Om Tirta adik ibuku, kakekku itu juga menuduhku sebagai anak pembawa sial penyebab ibuku meninggal.

Secara singkat Tante Aryani menceritakan tentang Nenek Gayatri. Beliau adalah ibunya dan ibu ayahku. Nenek Gayatri meninggalkan rumah ketika ayah dan tanteku masih kecil, baru berusia di bawah sepuluh tahun. Nenek sering bertengkar dengan kakek, hingga puncaknya nenek pergi dari rumah.

Setahun setelah meninggalkan rumah, Nenek Gayatri mengirim surat permintaan maaf sekaligus surat gugatan cerai kepada kakek. Kakek yang sangat marah langsung mengabulkan permohonan nenek untuk bercerai dan melarang ayah dan tante-tanteku berhubungan dengan nenek. Mereka menyatakan putus hubungan keluarga dengan Nenek Gayatri.

Namun sekarang, Tante Aryani terpaksa mencari Nenek Gayatri lagi, membujuknya agar mau menerimaku. Tante Aryani menemukan Nenek Gayatri sekarang tinggal di sebuah perkebunan teh di Megamendung. Tante Aryani tetap tak mau berhubungan baik dengan Nenek Gayatri. Dia hanya ingin menyingkirkan aku dari keluarganya, supaya terbebas dariku si pembawa sial. Mereka berharap aura sial yang kubawa berpindah ke Nenek Gayatri.

Ibuku memiliki seorang adik laki-laki yaitu Om Tirta yang menganggapku sebagai penyebab kematian ibuku, ayahku memiliki dua kakak yaitu Tante Aryani dan Tante Ariana yang menganggapku sebagai pembawa sial penyebab ayah dan keluarganya meninggal. Mereka semua sepakat membuangku jauh-jauh dari mereka, menyatukan aku dengan Nenek Gayatri yang sama-sama tidak mereka sukai. Aku punya firasat, pelan-pelan mereka akan merampas harta ayah. Om Tirta sudah mulai pindah tinggal di rumah ayah.

Jika kalian menganggap kisah dalam sinetron Indonesia mengada-ada, percayalah, di dunia nyata benar-benar bisa terjadi. Buktinya hidupku nyaris mirip dengan cerita-cerita di sinetron Indonesia.

Tentu saja aku tidak nonton sinetron Indonesia, aku tahu dari Bu Win yang sering menceritakan sinetron yang dia tonton, biasanya aku dengan bercanda berkomentar, "Kok mirip kisah hidupku?" . Lalu aku tergelak menertawakan nasibku sendiri.

Bu Win mengundurkan diri dari bekerja di rumah ayah. Dan justru kepergian Bu Win yang membuatku menangis.

"Mas Magma jangan sedih. Bu Win yakin, nenekmu akan menyayangimu," pesan Bu Win saat berpamitan denganku dan melihatku menangis.

"Kenapa Bu Win bisa yakin begitu?" tanyaku sambil berusaha menghapus air mataku dengan telapak tanganku.

"Karena nenekmu akan merasa senasib denganmu. Sama-sama merasa dikucilkan. Hormati nenekmu, sayangi dia. Dia mau menerimamu tinggal bersamanya, itu sebagai pertanda baik. Kamu boleh menangis diam-diam saat kamu merasa sedih dan hidupmu terasa berat. Tapi jangan tunjukkan air matamu di depan orang lain," jawab Bu Win disertai satu pesan lagi.

Aku mengangguk. Seketika aku berhenti menangis. Aku harus jadi laki-laki yang tegar dan pemberani.

"Oh iya, kacamatamu hancur karena kecelakaan itu. Jangan lupa, minta dibelikan kacamata baru ke Tante Aryani," kata Bu Win.

Aku terbelalak. Aku malah lupa kalau sebelumnya aku memakai kacamata. Mataku kanan dan kiri sama-sama minus 2,5. Anehnya, sejak aku sadar dari koma, aku merasa pandanganku sangat jelas walau tanpa kacamata.

Aku bisa membaca tulisan dari jarak jauh, nama-nama perawat dan dokter yang tertempel di dada mereka.

Aku tercengang, aku baru sadar, aku bisa melihat dengan jelas ekspresi terakhir kedua adikku padahal jarakku dengan mobil ayah ketika itu cukup jauh. Aku ingat, aku melihat mata Savina menatap mataku seolah berkata "tolong aku!"

Apa yang terjadi dengan mataku?

**=====**

Hai, hai. Aku update lagi ya. Sabar ya buat yang nungguin hantunya muncul. Pelan-pelan aku mau nunjukin dulu kemampuan Magma yang jadi semakin kuat sejak dia lolos dari maut. Kok bisa? Tunggu lanjutannya ya. Doain semoga besok aku bisa update lagi, mumpung ideku lagi lancar 😊

Makasih buat yang udah baca, ngasih vote dan ngasih komen juga. Aku jadi semangaaat 😁

Salam,
Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top