2. Nenek Gayatri

"Aden? Maaf, aku bukan Aden. Aku ...." bantahku setelah wanita itu berada tepat di depanku.

Wanita itu menepis udara, memotong kalimatku.

"Ini cucu Juragan Gayatri yang dari Jakarta, kan? Udah ditungguin dari pagi. Pokoknya, cucu juragan nyonya dipanggilnya Aden. Singkatan dari Raden."

"Tapi, saya nggak punya gelar Raden. Saya bukan bangsawan, Bu ..."

Wanita yang kuperkirakan berusia empatpuluhan itu menggeleng-geleng memotong lagi ucapanku.

"Panggil saja Bik Enah." Wanita itu meralat panggilan "Bu" yang aku sematkan padanya.

"Juragan yang punya perkebunan teh di sini seorang Raden. Jadi, cucu juragan nyonya sudah pasti Raden juga," kata wanita yang lebih suka dipanggil Bik Enah itu.

Awalnya aku ingin membantah lagi. Tapi kuurungkan niatku. Aku berubah pikiran. Sepertinya memang lebih baik mereka memanggilku Aden, daripada Magma. Nanti mereka malah bingung dan menganggap namaku aneh.

"Abah! Tolong bawain barang bawaan Aden ke atas!" teriak Bik Enah sambil menoleh ke arah belakangnya.

Aku melihat ke arah belakangnya, tapi tak tampak seorang pun. Namun tak lama datang seorang laki-laki dengan langkah yang juga tergopoh-gopoh.

"Eh, Aden udah dateng," sambut laki-laki itu. Ekspresinya sama dengan Bik Enah. Terlihat senang melihat kehadiranku.

Apakah kedua orang ini benar-benar tulus merasa senang aku datang ke sini? Atau mereka bersikap seperti itu karena mereka mengira aku sungguhan keturunan bangsawan dan pewaris harta kekayaan melimpah pemilik perkebunan teh ini? Andai mereka tahu, aku hanya anak yang dibuang keluarga, berusaha disingkirkan, aku tak punya apa-apa, apakah mereka akan tetap menyambutku seramah itu?

"Yang ini suami saya. Pengurus kebun di sini. Namanya Pak Engkus," kata Bik Enah sambil menepuk pundak lelaki yang ternyata suaminya itu.

"Ambu, Abah kan bisa ngenalin diri sendiri," protes Pak Engkus.

"Sama ajalah, Abah. Biar cepet. Ayo buruan tolong bawain tas-tas Aden ke dalam rumah. Kasihan atuh, Aden kayaknya udah kelaperan. Untung Ambu udah selesai masak," balas Bik Enah.

Pak Engkus tak membantah lagi, dengan cekatan dia mengangkat dua koperku sekaligus. Aku ingin membawa satu, tapi Pak Engkus bilang dia sanggup membawa keduanya. Tubuhnya memang kekar walau tingginya sedang saja. Dua koperku itu cukup besar. Satu koper berisi baju dan perlengkapannya, satu koper lagi berisi buku-buku dan kebutuhan sekolahnya.

Pekarangan rumah itu cukup luas. Ditata sangat apik. Mungkin itu hasil karya Pak Engkus. Beberapa tanaman berbunga membuat warna di sekeliling area itu tidak monoton, selain dikelilingi perkebunan teh di sekitarnya.

Setelah menaiki sebelas undak-undakan, akhirnya tanah di pekarangan itu mulai datar. Tampaklah rumah nenek, rumah lama dengan gaya bangunan Belanda zaman dulu. Dengan jendela lebar-lebar membuatnya terlihat sejuk. Aliran udara di dalam rumah itu pasti cukup lancar.

"Saya baru pertama kali ke sini. Saya belum pernah ketemu nenek. Apa ... nenek galak?" tanyaku pada Bik Enah yang berjalan di sampingku.

Sikapnya yang ramah dan ceria membuatku tak segan bertanya padanya untuk menuntaskan rasa ingin tahuku.

"Juragan nyonya bukan galak, cuma tegas. Namanya juga bos di perkebunan luas ini. Jadi harus tegas. Tapi sebenarnya hatinya baik," jawab Bik Enah sambil menoleh dan tersenyum padaku.

Galak dan tegas cuma beda tipis. Dari jawaban Bik Enah aku bisa menduga, nenek bukan seorang wanita tua bersuara lemah lembut.

"Rumahnya kayak rumah peninggalan Belanda ya, Bik?" tanyaku lagi.

"Rumah ini memang peninggalan orang Belanda. Dulu perkebunan ini yang punya tuan tanah Belanda. Tapi setelah Indonesia merdeka, tanah-tanah dari orang Belanda disita dan mereka dipulangkan ke Belanda. Terus, kakeknya Juragan Agan membeli perkebunan teh ini," jawab Bik Enah.

"Juragan Agan?" tanyaku bingung.

Bik Enah tergelak. Suara tergelaknya cukup mengganggu, terdengar agak mengikik.

"Juragan Agan itu suaminya Juragan Nyonya. Namanya Raden Agan Suryanata."

Aku hanya mengangguk dan tak bertanya lagi karena kami sudah sampai di depan pintu rumah. Bik Enah memanduku masuk.

Seorang wanita dengan rambut sudah beruban semua, duduk di kursi kayu jati besar berukir dengan jok empuk. Wanita itu mengenakan baju terusan yang terlihat bagus. Wajahnya bersih, dihiasi kacamata bundar.

"Aden sudah sampai, Juragan Nyonya," ucap Bik Enah pada wanita itu. Pak Engkus terus berjalan ke bagian dalam rumah sambil menarik dua koper Magma.

Wanita tua itu mengangguk. Bik Enah mempersilakan aku duduk di sofa di samping kursi yang diduduki wanita itu.

"Jadi, kamu yang namanya Magma Taraka anak Arya Aldebaran?" tanya wanita itu tanpa basa-basi.

"Iya, benar," jawabku singkat.

"Aku nenekmu, ibu dari ayahmu. Namaku Gayatri, tapi panggil saja aku Nek Ati. Aku turut berdukacita atas meninggalnya ayahmu. Aryani tantemu, sudah cerita tentang semua yang kamu alami. Katanya, sekarang kamu yatim piatu," kata wanita tua yang sudah kuduga adalah nenekku itu.

Dia terlihat lumayan. Walau sejak tadi tidak tersenyum, namun ada sisa-sisa kecantikan masa muda tampak di wajahnya. Aku sudah menduga keadaan akan sekaku ini, dia tidak bersikap hangat menyambutku. Aku maklum, nenek pernah diasingkan mantan suami dan anak-anaknya.

Selama bertahun-tahun Nenek Gayatri tidak pernah berhubungan dengan ayahku dan dua kakak perempuan ayah. Nenek Gayatri tidak tahu saat ayah menikah, lalu aku lahir dan ibuku meninggal. Nenek Gayatri tidak tahu ayah menikah lagi dan punya dua orang putri. Bahkan Nenek Gayatri tidak tahu saat ayahku meninggal.

Nenek Gayatri baru diberitahu oleh Tante Aryani setelah dia dan adiknya menyadari mereka tidak berminat mengasuhku. Barulah Tante Aryani menghubungi Nenek Gayatri lagi. Karena itu, wajar saja jika Nenek Gayatri tidak bisa bersikap ceria menyambutku. Saat ini baginya aku adalah orang asing, walau pun sebenarnya aku cucu kandungnya.

"Apakah kamu sedih?"

Aku tertegun, mataku terbelalak samar. Aku sungguh tak menduga nenek akan bertanya seperti itu. Dan anehnya, aku baru sadar, ini pertama kalinya ada orang menanyakan pertanyaan itu kepadaku.

Sejak aku siuman setelah koma selama dua hari akibat kecelakaan tragis itu, tak ada satu pun keluargaku yang bertanya bagaimana perasaanku. Tidak ada yang bertanya apakah aku merasa sedih. Mereka tidak peduli seperti apa perasaanku.

"Kamu nggak bisa menjawab pertanyaan itu?" tanya Nek Ati.

"Saya ... takut salah menjawab, Nek," sahutku.

"Kenapa takut salah?"

"Karena ... sejujurnya, saya nggak merasa sedih. Saya takut dianggap anak kurang ajar karena nggak merasa sedih kehilangan ayah, dua adik dan ibu sambung."

"Jujur lebih baik, daripada memendam perasaan. Aku tahu, kamu pasti sangat trauma lolos dari peristiwa tragis seperti itu. Kamu masih dalam proses menerima kenyataan," ucap Nek Ati.

Sebenarnya bukan karena trauma, tapi karena aku memang tak punya ikatan perasaan dengan ayah sejak aku kecil. Ayah tak pernah bicara padaku. Istri keduanya mengikuti jejaknya mengucilkan aku, bahkan dua adikku pun dicegah akrab denganku.

Aku tidak pernah diajak tiap kali ayah membawa keluarganya berwisata. Hanya di hari nahas itu ayah memintaku ikut, aku pun ketika itu heran sekali. Dan gara-gara aku ikut, kecelakaan itu terjadi. Kadang-kadang aku berpikir, mungkin aku memang manusia terkutuk pembawa sial.

"Kenapa nenek nerima saya tinggal di sini? Padahal nenek belum pernah ketemu saya, dan keluarga ayah sudah lama mutusin hubungan dengan nenek," tanyaku lagi.

"Karena kamu anak yang beruntung. Kamu diberi berkah tak terhingga. Hidup bersama anak yang beruntung, akan memberi aura keberuntungan juga di tempat ini."

Aku mengernyit. Aku beruntung? Yang benar saja! Hidupku justru sangat mengenaskan. Aku nggak sempat melihat ibuku sejak lahir, aku juga sudah tidak punya ayah di umurku semuda ini. Beruntung di mananya?

"Saya nggak merasa beruntung, Nek," bantahku dengan nada sopan.

Nek Ati terdiam sejenak, matanya bergerak-gerak seolah sedang mengamati raut wajahku, lalu matanya beralih memandangi kakiku.

"Masa kamu nggak merasa beruntung? Kamu selamat dari peristiwa tragis, kamu masih hidup. Itu beruntung kan namanya?" ucapnya.

"Tapi saya sudah nggak punya ayah dan ibu, saya dibenci tante dan om saya . Itu kan bukan keberuntungan," bantahku lagi.

Nek Ati menggeleng-geleng.

"Itu nggak benar. Nenek juga keluargamu, tapi nggak benci kamu. Nenek sudah diceritain semua yang kamu alami sejak kamu baru lahir. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, dan hikmah dari yang kamu alami, nenek jadi tahu ternyata nenek punya cucu, nenek dipertemukan dengan kamu ketika nenek sudah nggak punya siapa-siapa lagi."

Alisku terangkat sedikit. Entah mengapa ada rasa hangat menelusup di jantungku menyadari nenek dengan cepat mengubah sebutan untuk dirinya sendiri menjadi "nenek", bukan "aku" lagi.

"Nenek nggak benci aku karena nenek belum kenal aku." Aku masih menyanggah dengan halus.

Tanpa sadar, aku juga mengubah sebutan untuk diriku sendiri menjadi "aku", bukan lagi "saya". Ini pertama kali aku bertemu Nenek Gayatri, tapi aku merasa kami sudah punya ikatan.

Nek Ati terdiam lagi, dia menatap wajahku sekilas, lalu tatapannya beralih ke tanganku.

"Jadi, kamu aslinya nggak baik?" tanyanya.

"Bukan karena aku nggak baik, tapi karena aku dianggap bikin orang lain sial." Aku menjelaskan maksudku.

"Berapa orang yang bernasib sial karena kamu?" Nek Ati bertanya lagi sambil mengalihkan pandangannya ke rambutku.

"Di usiaku yang baru tujuh belas tahun, sudah lima orang yang meninggal karena aku," jawabku sarkas pada diriku sendiri.

"Jangan biarkan perasaan negatif menguasai hatimu. Itu nggak baik, bisa mengundang aura buruk. Percaya kalau semua itu takdir Allah, bukan salahmu."

Aku hanya diam.

"Nenek terima kamu tinggal di sini dengan beberapa syarat. Jangan membantah nenek. Selalu izin ke mana pun kamu mau pergi, kamu harus sudah di rumah sebelum magrib, dan yang paling penting, jangan sembarangan masuk ke kamar yang bukan kamar kamu di rumah ini. Terutama, jangan pernah sekali-kali kamu masuk ke kamar paling belakang yang ada di samping kamarmu. Apa pun suara yang kamu dengar dari kamar itu, abaikan saja."

Aku hanya mengangguk. Walau larangannya yang terakhir terasa aneh, aku tak ingin bertanya apa alasannya, karena aku yakin nenek tak akan mau menjelaskan. Aku tahu diri, aku cuma menumpang di sini. Apa pun aturan di rumah ini, harus aku turuti.

Aku berusaha menatap mata Nek Ati lebih lama, tapi dia sepertinya tahu ada sesuatu dengan mataku. Sejak tadi Nek Ati selalu menghindar bertatapan lama denganku.

**=======**

Ketemu lagi dengan lanjutan cerita ini. Mumpung aku lagi semangat dan ide sedang lancar. Semoga besok bisa update lagi.

Makasih buat teman-teman yang udah baca dan suka cerita ini. Sabar ya, teka-tekinya muncul pelan-pelan. Hantunya juga nanti muncul pelan-pelan, hehe.

Kasih komen yang banyak ya supaya aku makin semangaaat 🥰

Salam,
Arumi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top