1. Anak Terkutuk Pembawa Maut
Jalanan macet menuju Puncak yang biasanya hanya kulihat di berita TV, kini aku alami dan kulihat secara langsung.
Sepanjang perjalanan dari Jakarta, aku hanya diam. Aku duduk sendiri di jok belakang mobil Om Tirta, adik ibuku yang sangat membenciku sejak aku lahir. Saking bencinya dia padaku, dia melarangku duduk di sampingnya di jok depan. Dia menyuruhku duduk di kursi belakang dan mendiamkanku sepanjang perjalanan.
Buatku, sikapnya itu tidak masalah. Aku tak peduli apa yang akan dilakukan keluarga besarku yang telah menuduhku sebagai sumber malapetaka keluarga, tepatnya, anak terkutuk pembawa maut. Selama mereka tidak memukul dan menyiksaku, aku akan diam saja. Aku tidak membantah, tidak protes, tidak membalas kata-kata kasar mereka dengan kata-kata kasar juga.
Sejak peristiwa kecelakaan tragis yang menewaskan ayahku, ibu sambungku, dan dua adik perempuanku tiga bulan lalu, aku memutuskan menutup mulutku rapat-rapat. Aku tak akan menunjukkan emosi apa pun, aku akan memasang wajah datar. Aku biarkan mereka yang depresi mengira aku punya kekuatan terkutuk yang bisa membuat nyawa orang yang berada di dekatku terancam direnggut maut.
Itu hanya tuduhan mereka. Aku anak laki-laki biasa, aku bukan manusia super yang punya kekuatan membunuh orang hanya melalui pikiran. Jika aku punya kekuatan seperti itu, akan ada lebih banyak lagi orang yang mati, karena aku sering mengharap orang-orang yang menghina dan menyakiti perasaanku segera mati. Buktinya, mereka masih hidup, sehat walafiat. Artinya, aku tidak punya kekuatan seperti itu.
Bukan salahku ibuku meninggal usai melahirkan aku, kan? Jika dulu aku bisa memilih, aku akan memilih aku saja yang mati sebelum aku dilahirkan. Lahir tanpa ibu adalah suatu penderitaan. Mereka memberiku susu yang tidak enak ketika aku baru lahir. Susu sapi. Aku anak manusia, tapi diberi susu sapi.
Sejak aku bayi, aku tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang dari ayahku. Kalian percaya, aku belum pernah dicium dan dipeluk ayahku sejak bayi sampai akhirnya dia meninggal?
Aku hanya bisa menahan iri tiap kali melihat ayah bercengkrama dengan dua adik kandungku satu ayah lain ibu itu. Aku dibiarkan tinggal serumah dengan mereka di rumah ayah yang besar, tapi aku dianggap tidak ada. Hanya Bu Win, pengasuhku sejak bayi, sekaligus ART di rumah ayahku yang peduli padaku.
Bu Win yang bijaksana. Walau dia yang mengasuhku sejak aku baru lahir, tapi dia selalu menempatkan dirinya hanya sebagai pengasuh. Dia tidak mau aku mengira dia adalah ibuku. Dia ingin aku tahu siapa ibu kandungku. Dia selalu menceritakan tentang ibuku, tentang cantiknya, baiknya, kebahagiaannya ketika mengandung aku. Bu Win mendidikku menjadi anak laki-laki kuat yang tidak cengeng.
Untuk sementara, seluruh aset peninggalan ayah dipegang Tante Aryani, kakak perempuan ayah yang paling tua, karena aku masih di bawah umur, belum bisa dibiarkan memegang uang dan aset berharga yang diwariskan ayah untukku.
Tante Aryani bilang, aku tidak boleh tinggal sendirian, tetapi karena om dan tanteku sudah sibuk dengan urusan masing-masing tak ada waktu untuk mengasuhku, mereka berencana menitipkan aku ke nenekku. Aku tahu itu hanya alasan mereka. Sebenarnya, mereka hanya ingin menyingkirkan aku sejauh-jauhnya dari hidup mereka.
Om Tirta menghentikan mobilnya. Dia tidak bicara apa-apa. Bahkan sekadar melihatku pun dia tak sudi, dan sudah pasti dia tidak berminat memberi ucapan perpisahan dan kata-kata penyemangat yang menghibur untukku. Aku pun malas bertanya. Jika Om Tirta menghentikan mobilnya, itu artinya kami sudah sampai di rumah nenek. Aku keluar dari mobil itu tanpa bicara.
Aku yakin, Om Tirta mau mengantarku ke sini bukan karena peduli padaku, tapi supaya aku segera lenyap dari keluarga besarnya. Dia sudah sangat muak melihatku. Selain itu, karena Tante Aryani membayarnya cukup mahal, tentu saja uang yang dipakai untuk membayar jasa Om Tirta mengantarku ke sini berasal dari tabungan ayahku.
Baru saja aku menutup pintu bagasi mobil setelah menurunkan barang-barangku, Om Tirta sudah menyalakan mesin dan tancap gas melajukan mobilnya. Dia tak peduli kepulan debu yang beterbangan terlindas ban mobilnya terhirup olehku dan membuatku terbatuk-batuk.
Om yang nggak berguna. Kapan sih dia mati?
Aku menggeleng-geleng sambil memejamkan mata. Tentu saja aku tidak benar-benar ingin dia mati. Pikiran itu muncul hanya ketika dia membuatku kesal. Masalahnya, dia sering membuatku kesal, dan aku hanya bisa memendam kemarahan. Bayangkan jika aku bisa membuat orang mati hanya dengan memikirkannya, Om Tirta yang menyebalkan itu pasti sudah mati sejak lama.
Lelaki berusia empat puluh tahun itu hidupnya masih belum stabil. Dia diceraikan istrinya, dipecat dari pekerjaannya, rumahnya disita karena terlilit utang hingga hanya bisa mengontrak. Satu-satunya hartanya yang paling berharga hanya mobil murahan yang sudah berusia sepuluh tahun itu.
Tiap kali datang ke rumah ayah untuk meminjam uang dan ditolak, Om Tirta mendekatiku, lalu berkata dengan suara sinis.
"Gara-gara kamu, kakakku meninggal. Nggak ada lagi sumber keuanganku. Dasar! Anak pembawa sial!"
Aku menghela napas agak keras, berusaha membuyarkan kenangan pahit masa lalu yang kadang muncul mendadak di kepalaku.
Aku membalikkan tubuh menghadap rumah nenekku. Dari tempatku berdiri, rumah itu tak terlihat. Tebing setinggi dua meter menghalangi pandanganku. Aku harus naik dulu melalui undak-undakan yang terbuat dari batu kali untuk mencapai rumah nenekku yang berada di atas tebing. Tanah di wilayah ini memang berkontur naik turun.
Aku penasaran, kenapa nenekku mau menerimaku tinggal di sini? Dia belum kenal aku dan pasti belum tahu, julukanku adalah anak terkutuk pembawa maut.
Seorang wanita tergopoh-gopoh menuruni undak-undakan. Wajahnya ceria, senyumnya lebar. Aku mengernyit, terkejut melihat ekspresinya menyambut kedatanganku. Baru kali ini ada orang yang terlihat sangat gembira melihat aku datang.
"Aden, akhirnya sampai juga!" ucap wanita itu.
Alisku terangkat.
Aden? Apa aku salah alamat atau dia yang salah orang?
NOTE :
undak-undakan/un·dak-un·dak·an/ Jw n tangga atau tempat yang bertingkat-tingkat (seperti yang ada di muka pintu)
**======**
Hai, teman-teman.
Mumpung aku lagi rajin dan ide lagi ngalir, aku langsung update part selanjutnya.
Bagian ini memperkenalkan dulu siapa Magma yaa. Makin penasaran mau baca lanjutannya nggak?
Doakan semoga ideku lancar terus dan aku rajin ngetik ya ☺.
Aku belum nentuin tiap hari apa update-nya. Kapan aja dapat satu part, langsung aku update.
Salam,
Arumi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top