Prolog

Ruang rawat inap itu hening, hanya terdengar nada-nada monoton mewakili denyut nadi seorang pasien yang terbaring tak bergerak sama sekali, seorang lelaki paruh baya dengan ukuran tubuh sedang. Di mulutnya tersumpal ventilator yang membantunya tetap bisa bernapas dan bertahan hidup.

Fahlevi telah terbaring di sana selama dua hari. Serangan stroke kedua kali yang dialaminya itu menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak bagian kanannya. Dokter menemukan banyak darah di otak bagian kanannya. Pertama kali masuk ke sana, Fahlevi masih bisa bergerak dan berbicara meski sama sekali tak terkendali. Suaranya tak membentuk kata-kata dan gerakan tubuhnya kacau seakan ingin menyampaikan sesuatu pada Firza, anak tunggalnya.

Hari kedua berada di sana, Fahlevi tak sadarkan diri lagi. Dokter telah menyatakan Fahlevi mati secara klinis. Dia masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan hanya karena dibantu peralatan pendukung medis yang terpasang di tubuhnya. Meski sudah dinyatakan demikian dan disarankan agar lebih baik dibawa pulang karena tak ada lagi yang bisa dokter lakukan, Firza dan Hilda, pengacaranya, bersepakat untuk menunggu sampai akhir hayat Fahlevi dengan tetap mempertahankan alat bantu medis terpasang di tubuhnya.

Tubuh yang terbaring itu adalah seorang profesor yang ahli di bidang computer vision. Sang profesor mendapat serangan stroke di tengah penelitiannya yang belum sempat diselesaikannya. Saat mendapatkan serangan pertama, sang profesor sadar bahwa ada kemungkinan dia tak akan sempat menyelesaikan penelitian terbesar yang pernah dilakukannya sepanjang karirnya itu. Namun, dia sempat menyiapkan agar suatu saat kelak, putra tunggalnya akan menyelesaikannya.

Nada monoton dari monitor pasien telah berubah menjadi nada panjang yang datar. Sang profesor telah pergi menghadap Sang Pencipta. Meninggalkan sebuah karya besar yang tak sempat diselesaikannya. Meninggalkan sebuah pesan dan harapan yang tak mampu disampaikannya secara langsung pada anaknya di akhir hayatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top