8. Dunia Virtual
Beberapa hari berkutat dengan Mata Langit, terasa mengasyikkan bagi Firza, tetapi juga melelahkan. Firza tak bisa membayangkan bagaimana papanya betah setiap hari berkutat dengan berbagai penelitiannya. Dia menyadari kalau dirinya tak setangguh papanya yang bisa menjalankan peran sebagai dosen, peneliti, dan praktisi secara bersamaan. Firza merasa dirinya harus menempa diri agar bisa setangguh itu.
Pagi ini, Firza ingin sarapan di gazebo yang ada di halaman belakang rumah kerja. Semalam, dia tak pulang ke rumahnya. Firza menyusuri jalan setapak dengan perkerasan pecahan batu kali dengan diameter sekitar tiga puluh sentimeter. Halaman belakang itu cukup luas. Sebuah kolam ikan yang dibuat alami yang dikelilingi oleh tanaman perdu dengan sebuah gazebo kayu di atasnya menjadi bagian utama halaman belakang itu. Beberapa pohon besar juga terdapat di sana yang membuat halaman belakang itu terasa teduh.
Firza berjalan melewati jembatan kayu menuju gazebo yang berada di atas kolam. Jembatan itu hanya sepanjang dua meter. Di kanan dan kirinya terdapat pegangan dari kayu bulat yang disanggah tiang-tiang dengan kayu yang sama. Dari jembatan itu, Firza bisa melihat beberapa ikan mas yang berukuran besar berenang di dalam kolam. Firza berhenti sejenak mengamati ikan-ikan itu. Mang Jaka pasti mengurus ikan-ikan itu dengan baik, pikir Firza.
Gazebo berukuran tiga kali tiga meter itu berdiri di atas kolam dengan tiang-tiang kayu yang menyangganya. Tempat itu dulu menjadi salah satu tempat favorit papanya menghabiskan waktu santainya di sana di sela-sela berbagai kegiatannya. Firza sudah tak ingat persisnya kapan terakhir kalinya dia duduk di gazebo itu. Yang dia ingat, saat itu mamanya masih hidup.
Firza duduk santai di kursi kayu sambil menatap ke kolam ikan. Embusan angin terasa perlahan menerpa tubuhnya. Terdengar langkah kaki mendekat.
"Mas Firza, ini sarapannya," ujar Bi Munah sambil meletakkan segelas susu dan piring berisi roti tawar dengan selai kacang pesanan Firza.
"Makasih, Bi."
"Ada lagi yang Bibi perlu bawain?"
"Gak ada, Bi ... cukup."
"Kalo gitu, Bibi ke dapur lagi, Mas." Bi Munah membungkukkan badannya mohon diri.
"Oh iya, Bi ... nanti, minta tolong Mang Jaka ambil ikan mas untuk dibakar, ya!"
"Ikan mas dari kolam ini?" tanya Bi Munah sambil menunjuk dengan jempolnya.
"Iya, Bi."
"Tiga ekor cukup?"
Firza berpikir sejenak, "Kayaknya cukup, Bi."
"Baik, Mas," jawab Bi Munah lalu berbalik meninggalkan gazebo.
Firza kembali memandangi kolam. Duduk sendiri di sana, Firza merasa kesepian. Meski sudah terbiasa sendiri, tetapi Firza kadang merasa kesepian. Sebagai anak tunggal, sejak kecil Firza terbiasa bermain sendirian. Dia tak memiliki teman bermain. Firza lebih suka menghabiskan waktunya sendiri.
Dulu, mamanya sangat menyayangi dan memanjakannya. Firza sangat dekat dengan mamanya. Ketika mamanya meninggal dunia, Firza sempat terpukul dan merasa sangat kehilangan. Satu-satunya teman ngobrolnya di rumah telah tiada. Berbeda dengan papanya, Firza bisa ngobrol apa saja dengan mamanya.
Sambil menikmati sarapannya, Firza memikirkan apa yang akan dikerjakannya hari ini. Dia berpikir untuk melanjutkan lagi menambahkan fitur-fitur Mata Langit. Setelah itu, dia ingin melanjutkan pemantauan di rumah Aditya. Tiba-tiba, Firza tersenyum. Dia teringat pemantauan sekilas di rumah Aditya kemarin.
* * * * *
Firza mulai mengerjakan Mata Langit lagi. Dia memeriksa beberapa komponen yang sudah dibuat papanya yang belum dihubungkan dengan program utama. Dari catatan yang ditinggalkan papanya, Firza tahu bahwa komponen-komponen itu sudah diuji secara terpisah sebelumnya. Tugas Firza hanya menghubungkannya dengan program utama, lalu melakukan uji integrasi.
Dengan teliti, diperiksanya keterkaitan antarmodul. Dia bisa menyimpulkan bahwa yang harus digabungkannya hari ini adalah komponen grafis yang berkaitan dengan tiga komponen lainnya. Itu merupakan gabungan komponen yang terbesar dari yang belum terpasang. Sisanya ada tiga komponen lagi yang kecil-kecil dan hanya ditujukan untuk fitur-fitur pendukung yang sifatnya bukan keharusan.
Dengan terkagum-kagum, Firza berusaha memahami kode program dari komponen grafis yang digunakan untuk proses rendering tiga dimensi yang dibuat papanya. Dia membayangkan betapa baik logika matematis papanya dan tentu membuat komponen itu membutuhkan waktu yang lama jika dilakukan seorang diri. Komponen itu akan digunakan untuk mengolah citra yang diperoleh dari kamera CCTV dalam bentuk dua dimensi dan disimulasikan secara matematis untuk menghasilkan citra tiga dimensi. Dengan demikian, jika digabungkan dengan virtual reality, hasilnya akan lebih hebat lagi ... pengguna bisa seakan masuk ke dalam ruangan yang dipantaunya.
Setelah dua jam mengintegrasikan satu demi satu komponen dan mengujinya, Firza akhirnya berhasil membuat komponen-komponen itu bekerja dengan baik di Mata Langit. Uji coba dilakukannya dengan menampilkan gambar dari kamera CCTV yang ada di ruang-ruang di rumah itu. Firza tersenyum puas. Mata Langit bisa digunakan untuk membuat simulasi grafis yang memungkinkannya melihat ruangan dari berbagai sudut. Semakin tepat posisi kamera CCTV maka semakin baik dan realistis hasil rendering dari simulasi tersebut.
Selesai dengan tugas pertamanya, Firza beranjak dari kursinya. Dia menggeser papan vertikal di belakang kursi kerjanya dan panel kayu di dinding itu pun bergeser. Pintu besi menuju ruang data center kini tampak di hadapannya. Setelah memasukkan PIN pada keypad, pintu besi itu bergeser terbuka. Firza berjalan menuruni tangga dan disambut dengan penerangan yang menyala otomatis ketika kakinya menjejak lantai data center. Dia langsung menuju ke meja panjang tempat barang-barang teknologi milik papanya diletakkan. Sasarannya satu, sebuah kacamata VR (virtual reality).
Kacamata VR itu bukan produk yang sudah beredar di pasaran. Profesor Fahlevi mendapatkan produk prototipe itu dari sebuah perusahaan teknologi besar di Korea Selatan untuk dicoba. Teknologi yang digunakan dalam kacamata VR itu sudah lebih maju dan harga jualnya juga jauh lebih mahal dari produk-produk yang sudah beredar di pasaran. Mungkin, itu alasannya produk itu sampai saat ini belum beredar di pasaran.
* * * * *
Firza tak sabar ingin mengimplementasi fitur virtual reality dari Mata Langit. Proses pengecasan baterai kacamata VR sudah 80%. Butuh waktu sekitar dua jam untuk mengecas baterainya sampai penuh. Firza melanjutkan proses integrasi komponen virtual reality ke program utama Mata Langit yang menurut prediksinya akan membutuhkan waktu setidaknya tiga jam.
Serangkaian pengujian integrasi dilakukan Firza seiring integrasi komponen virtual reality. Dia harus memastikan bahwa semua parameter yang dilewatkan bisa diproses dan menghasilkan nilai kembalian yang sesuai dengan yang diinginkan agar bisa berfungsi dengan baik. Dia tak bisa membayangkan kalau dirinya sendiri yang harus menulis kode program komponen itu dari awal. Mungkin butuh waktu setidaknya satu tahun untuk membuat komponen seperti itu. Untunglah papanya sudah menuliskan komponen itu secara lengkap. Firza tinggal mengintegrasikannya dengan program utama.
Firza mengembuskan napasnya dengan lega. Proses integrasi dan pengujiannya sudah selesai. Saatnya dia mencobanya menggunakan kacamata VR. Setelah memastikan sekali lagi bahwa semua akan baik-baik saja, Firza menghubungkan kacamata VR dengan komputernya. Seperti uji coba sebelumnya, Firza mencoba menampilkan dulu gambar dari kamera CCTV di rumah itu.
Sambil duduk di kursinya, dipakainya kacamata VR itu. Firza menelusuri ruangan demi ruangan di rumah itu menggunakan Mata Langit yang dihubungkan dengan kacamata VR itu. Dia seakan masuk dan menelusuri ruangan secara nyata. Gambar tiga dimensi yang ditampilkan terlihat begitu realistis meskipun itu hasil dari simulasi grafis dengan sumber citra dua dimensi. Proses rendering berlangsung sangat cepat menggunakan delapan komputer server yang bekerja secara paralel. Firza hampir tak merasakan adanya keterlambatan proses rendering saat dia bergerak dalam ruang virtual yang dihasilkan. Sempurna!
Saatnya Firza mencoba fitur baru itu untuk lokasi targetnya, rumah Aditya. Setelah memasukkan lokasi geografis rumah Aditya, dalam sekejap Firza sudah berada di depan rumah itu secara virtual. Rumah mewah itu bisa dilihatnya seperti rumah yang nyata. Dia seakan sedang memainkan permainan tiga dimensi dengan tampilan grafis yang sempurna. Perlahan Firza berputar untuk melihat sekeliling. Gerakan tubuhnya diterjemahkan oleh Mata Langit dengan baik dan tampilan di kacamata VR menampilkan pemandangan yang sesuai. Firza merasa seolah-olah benar-benar ada di lokasi yang sedang dilihatnya.
Firza mulai masuk ke rumah itu. Tak ada istilah pintu dalam Mata Langit. Firza bisa masuk ke berbagai ruangan dengan menembus dinding di ruang virtual. Setelah mengagumi sejenak ruang tamu yang mewah, Firza berpindah ke ruang tengah yang juga tak kalah mewahnya. Tanpa sadar, Firza sempat merasa kaget ketika berhadapan dengan seorang pelayan yang sedang bersiap untuk membersihkan ruangan tengah. Sedetik kemudian, Firza langsung sadar kalau dia sedang berada di ruang virtual. Dirinya tak benar-benar berada di sana. Dia tersenyum geli.
Semua ruang di lantai satu sudah dijelajahinya. Saatnya untuk pindah ke lantai dua. Firza menyiapkan hatinya untuk menelusuri ruang-ruang di lantai dua itu. Dia akan masuk ke kamar yang kemarin sempat menyajikan pemandangan yang membuatnya menahan napas.
Lantai dua rumah itu sebagian besar didominasi oleh ruang-ruang kamar tidur. Ada tiga kamar tidur besar dan tiga kamar tidur yang lebih kecil serta ruang tengah untuk bersantai. Firza masuk ke kamar tidur yang paling besar. Kamar mewah itu tampaknya kamar tidur utama, kamar tidur Aditya dan istrinya. Tak ada orang di ruangan itu. Setelah mengamati kamar itu, Firza berpindah lagi ke kamar yang lainnya. Kamar yang dimasukinya kedua itu ukurannya lebih kecil. Tampaknya itu adalah kamar tamu. Tak banyak yang bisa Firza lihat di sana.
Saatnya Firza masuk ke kamar yang kemarin sempat dilihatnya. Kamar itu jelas berpenghuni. Firza melihat barang-barang pribadi si penghuni kamar di mana-mana. Di dinding, Firza melihat potret seorang perempuan muda berumur dua puluhan yang cantik, perempuan yang dilihatnya kemarin. Matanya hitam indah, rambutnya hitam lurus, kulitnya putih dengan bibir merah yang menawan.
Tiba-tiba, Firza terperanjat. Dihadapannya, dengan jarak yang sangat dekat dia melihat sosok seorang perempuan yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu mengenakan jubah mandi berwarna merah muda. Dikepalanya dililitkan handuk menutupi rambutnya. Firza bisa menduga bahwa perempuan itu baru saja keluar dari kamar mandi.
Firza bergerak mundur untuk bisa melihat perempuan itu dengan baik. Perempuan yang sedang menghadap kaca di meja riasnya itu sama dengan yang dilihatnya kemarin. Kali ini, Firza seolah berhadapan langsung dan bisa melihatnya dengan lebih jelas menggunakan virtual reality. Sejenak kemudian, perempuan itu berbalik dan melepas jubah mandinya. Firza seketika menahan napasnya melihat pemandangan indah di depan matanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top