5. Awal Pengungkapan

Bi Munah sudah menyambut Firza di teras ketika dia datang pagi ini. Perempuan paruh baya itu tersenyum ramah seperti biasanya. Firza suka dengan sikapnya yang ramah dan keibuan.

"Assalamualaikum, Bi," sapa Firza.

"Waalaikumsalam, Mas Firza," jawab Bi Munah sambil membungkukkan badannya sejenak. "Hari ini, Mas Firza mau makan apa? Nanti, Bibi masakin."

Firza berpikir sejenak. Dia tidak punya ide mau makan apa. "Kalo ikan bakar?"

"Boleh. Nanti, Bibi ke pasar dulu cari ikannya. Sayurnya apa?"

"Sayur lodeh keliatannya enak, Bi."

"Baik, Mas. Nanti, Bibi belanja dulu. Ada yang lain?"

"Itu aja cukup, Bi. Paling cari buah aja ... pisang atau pepaya," ujar Firza. "Ngomong-ngomong, uang belanjanya ada nggak?" Firza tiba-tiba teringat akan uang belanja yang dia sendiri belum tahu pengaturannya.

"Ada, Mas. Bu Hilda sudah kasih bulanan."

"Ya sudah kalo gitu. Kalo perlu uang, bilang aja sama aku, ya, Bi!"

"Baik, Mas."

"Aku tinggal dulu ya, Bi." Firza lalu berjalan menuju ke ruang kerja.

Firza berdiri di depan pintu besi yang kemarin diaktifkannya. Dia harus mulai berhati-hati dengan aset yang ada dalam ruang kerja dan juga data center di bawahnya. Setelah memasukkan PIN pada keypad, pintu besi itu bergeser terbuka. Firza masuk melewati pintu kayu di sisi dalam pintu besi yang sengaja dibiarkannya terbuka.

Melihat kacamata cerdas dan komputer mini yang dibiarkannya tergeletak di meja kerja kemarin membuat Firza ingat akan pekerjaan yang harus dilakukannya. Dia harus memeriksa apa yang salah dengan Mata Langit yang dipasang papanya pada kacamata itu hingga belum berfungsi. Itu jadi agenda utamanya hari ini.

Menurut dokumentasi yang ditinggalkan papanya, Mata Langit versi kacamata cerdas dikembangkan menggunakan bahasa Java. Bukan hal yang baru bagi Firza. Dia pernah mengembangkan beberapa aplikasi untuk kacamata cerdasnya sendiri.

Sebenarnya pemrograman bukanlah bidang minat yang digemari Firza. Itulah sebabnya dia sebelumnya tak memperdalam bidang pemrograman dan lebih memilih untuk berkutat di jaringan komputer. Sejak masuk kuliah, waktunya banyak dihabiskan di dunia hacking, mulai dari hal-hal sederhana sampai menerobos sistem keamanan perusahaan. Firza bahkan pernah menerobos sistem keamanan sebuah perusahaan telekomunikasi besar di negeri ini. Namun, pandangan orang terhadap mahasiswa komputer yang tidak pandai membuat aplikasi membuat Firza geram, terutama bagaimana Aditya memandang remeh dirinya. Sejak itu, Firza rela menghabiskan banyak waktu luangnya untuk memperdalam pemrograman. Baginya, pemrograman bukanlah hal yang sulit melainkan hanya masalah minat sehingga dia lebih banyak berkutat di dunia hacking.

Firza teringat perkataan papanya waktu dia masih duduk di bangku SMA. Saat itu, papanya mulai mengajarkannya pemrograman. Menurut papanya, pemrograman itu harus dikuasai semua orang yang menggeluti bidang komputer, setidaknya dasar pemrograman. Hampir semua bidang komputer memerlukan pemrograman untuk implementasi atau sekadar membuat alat bantu dalam bekerja.

Firza sempat mengikuti arahan papanya mempelajari pemrograman sampai suatu saat di awal kuliahnya, Firza mengikuti sebuah seminar tentang hacking. Sejak itu, Firza menganggap hacker itu keren karena bisa menerobos sistem keamanan komputer dan dia menjadi antusias untuk menguasai bidang itu. Firza tersenyum sendiri mengingat bagaimana dirinya dulu labil dan mencari jatidiri.

Firza membuka proyek Mata Langit dengan Android Studio. Setelah mengamati seluruh kode program, Firza mencoba melakukan debugging untuk mengetahui apa yang salah. Hampir sejam berkutat dengan kode program yang dihadapinya, Firza berhasil membuat aplikasi itu berjalan di kacamata cerdas itu. Ternyata, masalahnya ada di konektivitas antara kacamata cerdas itu dengan komputer mini. Firza merasa lega melihat Mata Langit bisa berjalan dengan baik di kacamata cerdas itu.

Ruang kerja itu terasa sunyi. Firza ingin sedikit bersenang-senang dengan mainan papanya. Dinyalakannya jendela virtual. Kali ini dia memilih pemandangan hutan. Sebuah hutan dengan pepohonan yang tinggi. Suara burung berkicau. Tupai yang melompat dari dahan yang satu ke dahan yang lain. Semua tampil di layar besar itu dengan sempurna. Saat melihat pilihan menu, Firza baru sadar bahwa ada hal lain yang bisa diaktifkannya, aroma. Setelah mengaktifkan aroma, perlahan udara ruangan dipenuhi aroma hutan. Sistem itu menggunakan beberapa pewangi ruangan yang akan disemprotkan sesuai dengan tema yang dipilih. Firza tersenyum dan semakin takjub dengan mainan papanya itu. Kreativitas yang sangat cerdas!

Samira Alfina, pikirannya tentang perempuan itu tiba-tiba menggelitik rasa ingin tahu Firza. Bagaimana bisa Samira terlibat dalam konspirasi Aditya? Firza yakin kalau Samira melakukan itu dengan terpaksa. Dari tampangnya, Firza menilai bahwa Samira pada dasarnya bukannya perempuan yang jahat. Berbagai tanya bermunculan di kepala Firza dan dia harus mengkonfirmasi itu untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi.

Berbekal nomor ponsel Samira yang didapatnya kemarin, Firza kembali melacak Samira. Setelah terhubung dengan ponsel Samira, layar monitor matriks menampilkan gambar plafon berwarna putih. Firza dapat menduga bahwa ponsel Samira sedang diletakkannya di atas meja sehingga yang tertangkap kamera ponselnya adalah gambar plafon.

Firza memilih pencarian lanjut untuk mencari lokasi geografis Samira. Hasilnya menunjukkan lokasi yang Firza kenal, gedung Aditya Soft. Penelusuran ini mulai mengasyikkan bagi Firza. Dia mencoba hal baru lagi yang belum dicobanya sebelumnya pada fitur pencarian Mata Langit. Firza terperangah. Mata Langit menampilkan daftar kamera CCTV yang terpasang di Aditya Soft.

Mencoba fitur penampil CCTV hasil pencarian, Firza tahu itu fitur yang belum sempat diselesaikan papanya dengan sempurna. Mata Langit hanya bisa menampilkan gambar dari satu kamera pada satu saat. Mestinya semua bisa ditampilkan secara bersamaan.

Satu demi satu kamera CCTV dipilih Firza menjelajahi ruang demi ruang dalam gedung Aditya Soft. Bingo! Firza menemukan sosok perempuan di salah satu ruang yang mirip dengan Samira. Setelah melakukan pembesaran gambar, Firza yakin itu Samira. Wajahnya benar-benar sama dengan yang kemarin dilihatnya. Tak salah lagi!

Firza memutar otaknya. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? tanya Firza dalam hati.

* * * * *

Samira tengah mengerjakan rancangan logis dari aplikasi baru yang ditanganinya. Pikirannya terasa jenuh sejak pagi berkutat dengan analisis dan rancangan. Diliriknya jam digital di sudut kanan atas layar komputer iMac 27 inci yang digunakannya. Hampir waktu makan siang.

Samira sudah cukup lama bekerja di Aditya Soft. Setelah lulus sebagai sarjana komputer, Samira melamar di Aditya Soft. Kemampuan analisis dan perancangannya yang sangat baik membuatnya diterima dengan mudah di Aditya Soft yang kebetulan sedang membutuhkannya. Sejak saat itu, Samira menjadi salah satu dari 25% perempuan yang bekerja di sana.

Pekerjaan yang diberikan kepadanya selalu diselesaikannya tepat waktu dengan hasil yang memuaskan. Hal itu membuat dirinya menjadi salah satu staf yang diperhitungkan di Aditya Soft. Reputasinya di perusahaan itu memudahkannya untuk mendapatkan izin belajar melanjutkan ke Magister Komputer. Di sanalah, dia bertemu Profesor Fahlevi yang menjadi dosennya.

Bunyi notifikasi terdengar seiring getar ponselnya di meja. Samira meraih ponselnya, lalu membukanya. Sebuah pesan video dikirimkan dari nomor tak dikenalnya, sebuah nomor tiga angka 987. Samira terperanjat menyaksikan isi video itu yang menampilkan adegan mesra dirinya dengan sang profesor. Samira yakin bahwa itu bukan dikirim oleh sembarang orang karena hanya Aditya, sang profesor, dan dirinya yang tahu tentang video itu.

Belum hilang rasa kagetnya, sebuah panggilan video masuk ke ponselnya dari nomor yang sama. Sejenak, Samira ragu untuk memutuskan apakah akan menerima panggilan itu atau tidak. Sampai nada dering itu terhenti, Samira belum membuat keputusannya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tak tahu pasti dengan siapa dia berurusan, tetapi yang jelas, orang itu tahu tentang kasus dirinya dengan sang profesor.

Tak lama berselang, nada dering panggilan video kembali berbunyi. Samira mau tak mau harus menerimanya. Dia harus tahu apa yang diinginkan oleh orang yang menghubunginya untuk bisa mengambil langkah yang diperlukan.

"Halo ...," sapa lelaki yang menghubunginya itu. "Anda pasti tidak kenal siapa saya. Saya yakin Anda sudah menerima kiriman video tadi dan melihatnya. Saya mau bertemu Anda jam lima sore ini setelah Anda pulang kerja. Saya jemput di kantor dengan mobil warna hitam. Nanti, saya beri tanda klakson tiga kali."

Samira belum sempat mengatakan apa pun ketika panggilan video itu terputus. Wajah lelaki itu terasa tak asing bagi Samira. Keningnya berkerut memikirkan siapa lelaki yang barusan menghubunginya. Setelah beberapa menit, Samira ingat. Wajah itu mirip dengan sang profesor.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top