4. Berbagai Rasa

Firza baru saja meninggalkan kantor pengacara HILDA NASUTION. Tante Hilda menjelaskan berbagai properti yang dimiliki papanya, juga berbagai karya yang mendatangkan royalti secara terus menerus. Beberapa layanan API (Application Programming Interface) yang masih terus berjalan memberikan layanan bagi para penggunanya juga mendatangkan penghasilan bulanan dan tahunan. Dengan segala yang ditinggalkan papanya, Firza tak perlu repot memikirkan cara mencari uang. Cukup dengan meneruskan apa yang sudah dimulai papanya, Firza sudah bisa hidup nyaman dan mapan.

Selama ini, papanya menyerahkan segala urusan di luar urusan teknis pada Tante Hilda. Firza memutuskan untuk tetap mengikuti apa yang sudah ditetapkan papanya sebelumnya. Saat ini, Firza hanya fokus pada Mata Langit.

Dari kantor Tante Hilda, Firza langsung menuju ke rumah kerja papanya. Dia sedang tak berminat mengemudikan mobil secara manual. Dipilihnya lokasi tujuan di layar besar yang sekaligus merupakan kaca depan mobil peninggalan papanya itu, lalu dipilihnya tombol JALAN. Mobil mulai bergerak dengan kendali otomatis. Firza tinggal duduk tenang tanpa perlu menginterupsi kendali. Mobil itu bisa menjaga jarak aman sendiri dan mengurangi kecepatan atau bahkan berhenti sendiri jika kendaraan lain terlalu dekat di depannya. Papanya telah mengembangkan sistem navigasi itu jauh sebelum perusahaan otomotif dunia menggunakannya pada sebagian model mobil mereka.

Firza mengubah tampilan peta di layar menjadi tampilan multimedia. Kaca depan mobil itu menjadi lebih gelap dan menampilkan menu multimedia. Dengan perintah suara, Firza menyebutkan judul film yang akan ditontonnya. Tidak sampai tiga detik kemudian, film yang ingin ditontonnya sudah ditayangkan dengan dukungan suara yang realistis dari binaural headset berkualitas tinggi yang bisa memperdengarkan suara yang berbeda di kiri dan kanan telinga sesuai arah suara.

Tanpa terasa hampir setengah jam berlalu, Firza sudah sampai di rumah kerja papanya. Mobil berhenti di depan pagar. Firza memilih menu parkir otomatis. Mobil itu mulai bergerak maju, lalu mundur sambil berbelok menyesuaikan dengan arah jalan masuk menuju garasi dan berhenti tepat di posisi yang sudah ditandai di dalam garasi.

"Mas Firza mau langsung makan siang?" tanya Bi Munah yang sudah menunggunya di teras.

"Boleh, Bi. Siapin aja!" ujar Firza. "Aku mau ke ruang kerja dulu sebentar."

Firza langsung berjalan menuju ke ruang kerja. Dia baru memperhatikan kalau pintu masuk dari kayu yang dia lewati ternyata ada pintu pengaman lagi di sisi luarnya, sebuah pintu besi dengan penggerak elektrik. Firza tidak menyadari sebelumnya karena pintu besi itu tidak dalam keadaan tertutup dan keypad untuk memasukkan PIN letaknya agak tersembunyi. Firza bisa menyimpulkan bahwa ruang kerja yang terintegrasi dengan ruang bawah tanah itu dibuat sangat aman.

Masuk ke ruang kerja, Firza kembali mengamati seisi ruangan. Apa lagi yang luput dari perhatiannya? Kali ini, dia menemukan bahwa dinding di sisi rak server itu bukan sekadar dinding biasa. Dinding itu berlapis panel LED berukuran besar yang menutup semua permukaan dinding sampai ke plafon. Dengan remote control yang ada di sisi rak server, Firza menyalakan layar itu. Ternyata, layar itu bisa difungsikan untuk berbagai hal, salah satunya sebagai jendela virtual. Firza tersenyum setelah memilih pemandangan pantai pada menu yang tersedia. Layar itu bukan saja menampilkan pemandangan melainkan lengkap dengan bunyi ombak yang terdengar seperti pantai sungguhan karena disuarakan dari beberapa speaker yang terpasang di sekeliling ruangan. Mainan Papa, ujarnya pelan, lalu tersenyum.

Setelah duduk di kursi kerja, Firza membuka laci meja kerja itu. Sebuah smart glasses tergeletak di sana. Firza segera mengecas baterai smart glasses itu dan tak sabar untuk melihat mainan apa lagi yang bisa dilihatnya pada kacamata cerdas itu. Lampu LED berkedip menandakan proses pengecasan sedang berlangsung. Firza juga menemukan sebuah komputer mini hampir seukuran ponsel dan langsung dicasnya juga. Firza menduga kedua perangkat itu digunakan bersama.

Perut Firza terasa lapar. Dia teringat makan siang yang sedang disiapkan oleh Bi Munah. Setelah memastikan proses pengecasan kedua perangkat itu berlangsung normal, Firza beranjak meninggalkan ruang kerja. Terlintas dalam benaknya kira-kira begitulah kegiatan papanya di rumah ini sehari-hari dulu.

"Masak apa, Bi?" tanya Firza sambil mengamati apa yang disediakan Bi Munah di meja makan.

"Bibi bikin rendang kacang kesukaan Mas Firza," jawab Bi Munah.

"Kok Bibi tahu makanan kesukaanku?" Firza agak heran.

Bi Munah tersenyum. "'Kan, dulu Mas Firza pernah bilang suka rendang kacang?"

"Iya, ya, Bi? Aku lupa pernah bilang sama Bibi." Firza berusaha mengingat-ingat. "Mang Jaka mana? Sekalian makan sama aku. Bibi juga."

"Nanti aja, Mas. Masa makan bareng Mas Firza?" ujar Bi Munah sungkan.

"Nggak apa-apa, Bi. Aku bosen makan sendiri terus. Ayo! Ajak Mang Jaka makan sama-sama."

* * * * *

Kedua perangkat yang dicas Firza masih belum selesai proses pengecasannya. Firza kembali menelusuri isi komputer papanya. Dia merasa beruntung memiliki papa yang mendokumentasikan segalanya dengan sangat teratur. Hal itu sungguh memudahkannya mendapatkan berbagai informasi dengan lebih mudah.

Di layar, Firza tengah melihat isi folder yang bernama DIARY. Struktur folder itu diatur secara hierarkis berdasarkan tahun, bulan, dan tanggal. Tahun terakhir yang terdapat di sana adalah tahun 2019. Di dalamnya, terdapat folder yang hanya berisi enam bulan sampai bulan Juni, bulan ketika papanya meninggal. Firza membaca catatan hari-hari terakhir papanya. Sehari sebelum mendapatkan serangan stroke kedua, papanya masih sempat membuat catatan harian.

Firza terdiam setelah membaca catatan bulan terakhir papanya. Dadanya seakan bergemuruh setelah membacanya, campuran antara kesedihan dan kemarahan. Dia bisa merasakan bagaimana papanya tertekan dengan keadaannya saat itu.

Sebuah pemerasan! ujar Firza geram. Aditya telah menggunakan cara licik untuk memeras papanya agar bisa mendapatkan Mata Langit. Di folder itu, Firza menemukan video yang dikirimkan Aditya yang menyertai ancamannya. Sebuah video berisi adegan mesra papanya dengan seorang perempuan muda, perempuan suruhan Aditya. Fakta yang terasa memalukan, tetapi sangat berharga karena dari situ Firza bisa tahu keadaan papanya saat itu.

Firza bisa mengerti bahwa papanya kesepian setelah mamanya meninggal lima tahun lalu. Aditya memanfaatkan itu dengan menggunakan perempuan bayaran untuk mendekati papanya. Bukan perempuan sembarangan melainkan mahasiswi papanya. Aditya tentu membayar mahal mahasiswi yang tampak seperti perempuan baik-baik di mata Firza. Mungkin juga, mahasiswi itu dijebak dengan suatu kondisi tertentu yang membuatnya terpaksa melakukan itu.

Dari video adegan mesra itu, Firza menangkap gambar perempuan itu, lalu menggunakan aplikasi pelacak untuk mencari siapa perempuan itu. Aplikasi itu mengeluarkan tiga hasil pencarian. Ketiganya tampak mirip. Firza bisa tahu mana di antara ketiga itu yang merupakan perempuan dalam video itu, satu-satunya yang tinggal sekota dengannya dan sekaligus mahasiswi program master di perguruan tinggi tempat papanya mengajar, Samira Alfina. Perempuan yang cantik dan tampak cerdas menurut penilaian Firza.

Untuk meredakan kemarahannya, Firza bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kerja. Dia berjalan ke ruang makan untuk mencari minuman dingin di kulkas. Dengan agak heran, Firza mengambil sebotol minuman ringan kesukaannya. Ternyata Bi Munah juga tahu minuman ringan kesukaannya. Setelah meneguk sedikit minuman ringan itu, Firza kembali ke ruang kerja.

Kedua perangkat yang dicasnya tadi sudah terisi penuh baterainya. Firza segera menyalakan keduanya. Menggunakan kacamata cerdas bukanlah hal yang asing bagi Firza. Papanya menghadiahkan Google Glass Explorer Edition enam tahun lalu. Yang ada di hadapannya kini bukanlah Google Glass. Produk tanpa merek itu tampaknya sebuah produk prototipe yang lebih canggih dengan dua layar kecil. Lebih mirip Epson Moverio yang sama-sama memiliki dua layar.

Dengan menghubungkannya melalui koneksi bluetooth, Firza menjelajahi berbagai fitur yang tersedia di kacamata cerdas itu. Dari situ, Firza menemukan bahwa papanya berusaha memasangkan Mata Langit pada perangkat itu, tetapi berlum berhasil dijalankan. Itu salah satu pekerjaan rumah yang harus Firza selesaikan.

Setahun belakangan, sejak Aditya menolak Firza magang di Aditya Soft, Firza sudah belajar banyak tentang pemrograman. Lebih tepatnya, memperdalam kemampuan pemrogramannya termasuk membuat aplikasi bergerak untuk ponsel dan kacamata cerdas. Untuk itu, Firza patut berterima kasih. Namun, suasana hatinya kembali memburuk mengingat nama itu.

Firza meletakkan kacamata cerdas itu di meja. Dia lalu berjalan ke sudut ruangan dan menggeser kursi santai ke tengah ruangan itu menghadap layar besar di dinding. Sambil duduk santai, Firza menikmati pemandangan pantai virtual. Terasa cukup menenangkan memandangi pantai dengan deburan ombaknya. Namun, itu tak cukup untuk menghilangkan kemarahan yang dirasakannya pada Aditya.

Tak lama bersantai, Firza bangkit dari duduknya. Dia bergegas kembali ke meja dan menghadapi layar komputer. Dilihatnya kembali data hasil pencarian yang tadi dilakukannya. Firza tak salah ingat, ada nomor ponsel Samira di sana. Dia lalu menjalankan Mata Langit. Firza baru sadar bahwa Mata Langit memiliki fitur pencarian. Ada dua pilihan yang disediakan. Yang pertama adalah pencarian berdasarkan lokasi geografis dan yang kedua adalah dengan memasukkan data lain. Firza mencoba mengisikan nomor ponsel dan menekan tombol CARI. Mata Langit melakukan pencarian dan menunjukkan status pencarian di kolom sebelah kanan layar. Dalam beberapa detik, pencarian membuahkan hasil.

Setelah memilih untuk menampilkan hasil pencarian itu, Firza terperangah. Monitor matriks menampilkan gambar perempuan secara realtime. Tampaknya. perempuan itu sedang bermain dengan ponselnya dan gambarnya ditangkap dari kamera depan ponselnya. Perempuan cantik di layar itu adalah Samira.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top