2. Sebuah Rahasia
Gemuruh tepuk tangan mengakhiri acara wisuda di sebuah ballroom hotel. Firza beranjak dari tempat duduknya, lalu mengikuti teman-temannya sesama wisudawan yang saling bersalaman, saling mengucapkan selamat satu sama lain. Senyum-senyum bahagia menghias wajah mereka. Meski tak seramai wisuda sebuah perguruan tinggi besar, lima ratusan wisudawan ditambah para orang tua dan wali mereka cukup membuat ballroom itu menjadi penuh hadirin.
Kesedihan tiba-tiba singgah di hati Firza melihat teman-temannya bergerak mendekat ke jajaran tempat duduk para orang tua. Andai Papa dan Mama masih ada, batin Firza. Meski sedih, Firza tetap tersenyum dan mengangguk hormat sambil berjalan di antara kursi-kursi para orang tua.
"Firza!" Suara perempuan memanggil namanya dan membuat Firza menoleh ke arah kirinya.
"Tante Hilda ... terima kasih sudah datang di wisudaku." Ucapan terima kasih Firza disambut Tante Hilda dengan senyum mengembang. Dipeluknya tubuh Firza.
"Selamat, ya. Well done. Kamu wisuda tepat waktu seperti janjimu. Semoga jadi sarjana yang hebat seperti papamu."
Seketika, dada Firza menjadi sesak oleh kesedihan. Belum genap setahun sejak papanya meninggal akibat terkena serangan stroke dan mengalami pendarahan otak. Meski papanya selalu dipenuhi kesibukan, tetapi ada waktu-waktu luang yang papanya sediakan untuk bersamanya. Hanya papanyalah satu-satunya orang yang hidup bersamanya sejak mamanya meninggal ketika Firza duduk di bangku SMA. Seorang papa yang membanggakan bagi Firza. Papa yang menginspirasinya untuk juga ikut menggeluti dunia komputer meski pilihan mereka berbeda.
Papanya seorang ilmuwan yang keahliannya di bidang computer vision sudah diakui bukan hanya di tingkat nasional melainkan internasional. Berbagai hasil penelitiannya dipublikasikan di berbagai jurnal internasional. Berbeda dengan papanya, Firza lebih memilih untuk bergelut di bidang jaringan komputer dan cenderung mendalami dunia hacking.
"Ayo, kamu pulang ikut tante!" Tangan lembut Tante Hilda menggandeng tangan Firza layaknya seorang ibu yang menggandeng anaknya. Harum aroma parfumnya menusuk lembut hidung Firza.
Firza mengikutinya tanpa membantah. Selama ini, Firza terbilang cukup dekat dengan Tante Hilda, terlebih hampir setahun terakhir sejak papanya meninggal dunia. Tante Hilda yang mengurus semua kebutuhan finansial Firza sesuai dengan surat wasiat papanya.
"Kita langsung ke rumah kerja peninggalan papamu. Tante akan memberikan sesuatu buatmu di sana," ujar Tante Hilda.
"Iya, Tante. Aku juga sudah lama nggak main ke sana. Sejak Papa meninggal, aku cuma pernah sekali ke sana."
Fahlevi, papa Firza, memiliki sebuah rumah yang disebutnya rumah kerja. Di sana, papanya biasa mengerjakan proyek-proyek penelitiannya tanpa mau diganggu. Firza hanya sesekali ke sana di saat papanya tidak sedang dipenuhi kesibukan. Rumah itu semacam rumah ilmiah bagi papanya dan dirinya. Rumah tempat mereka membahas keilmuan dalam diskusi-diskusi panjang di akhir pekan layaknya seorang profesor dengan mahasiswanya.
* * * * *
Mang Jaka tergopoh-gopoh membukakan pintu pagar ketika mobil Tante Hilda berhenti di depan pintu pagar rumah. Mobil melaju pelan masuk sampai ke depan garasi. Dari pintu depan yang baru terbuka, muncul Bi Munah yang keluar menyambut di teras. Mang Jaka dan Bi Munah adalah pasangan suami-istri paruh baya yang dipercaya Fahlevi untuk mengurus segala hal di rumah itu dan sudah sekitar sepuluh tahun bekerja dengan Fahlevi.
Rumah itu berukuran tak terlalu besar dengan halaman yang cukup luas. Beberapa pohon besar mengisi sudut-sudut halaman yang lebih banyak ditumbuhi rumput gajah yang tumbuh subur bak permadani. Pagar tembok setinggi tiga meter membatasi halaman rumah itu dengan lingkungan di sekitarnya.
"Selamat siang, Bu Hilda, Mas Firza," sapa Bi Munah sambil membungkukkan badannya.
"Apa kabar, Bi?" tanya Tante Hilda ramah.
"Alhamdulilah baik, Bu. Mari masuk."
Firza mengikuti Tante Hilda yang langsung masuk ke ruang tengah melalui ruang tamu berukuran sedang dengan satu set kursi kayu berlapis jok dengan model sederhana. Ruang tengah terasa lebih lega dengan ukuran yang lebih besar. Di sisi belakangnya, berjajar enam buah pintu-pintu kaca dengan bingkai kayu yang memberi penerangan yang baik ke ruangan itu.
Setelah sedikit bercerita bahwa Tante Hilda sebelumnya minta Mang Jaka dan Bi Munah bersih-bersih rumah dan bersiap untuk kedatangan mereka hari ini, sikap Tante Hilda berubah menjadi sedikit lebih formal.
"Firza, hari ini Tante mau menjalankan amanat yang almarhum papamu berikan. Jadi, ini wasiat kedua yang dibuat papamu yang harus Tante berikan padamu setelah kamu diwisuda. Kalau wasiat pertama dulu itu disusun bersama Tante, wasiat ini hanya almarhum papamu yang tahu. Tante cuma ditugasi menyerahkannya padamu." Tante Hilda mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam tasnya. Kotak berwarna hitam itu mirip sebuah kotak arloji mahal yang berlapis kulit sintetis. "Meski kotak ini tidak terkunci, tante belum pernah membukanya dan tidak tahu apa isinya," ujar Tante Hilda sambil menyodorkannya pada Firza.
Firza menerima kotak hitam itu dengan rasa penasaran. Apa yang Papa berikan? pikir Firza. Dia tak sabar ingin mengusir rasa penasarannya. Dibukanya kotak hitam itu dengan segera. Rasa penasaran Firza tak lantas tuntas ketika melihat isi kotak itu. Bagian dalam kotak itu dilapisi kain satin putih, mirip dengan kotak arloji atau perhiasan mahal. Sebuah anak kunci terikat pada bagian dasar kotak dengan tali pengikat elastis. Di bawahnya tercetak sederetan karakter yang acak berjumlah enam belas karakter. Firza lalu menunjukkannya pada Tante Hilda dan keduanya terdiam sejenak.
"Mungkin ini kunci pintu ruang kerja Papa," duga Firza.
"Bisa jadi," jawab Tante Hilda. "Papamu tidak bilang apa-apa tentang isi kotak itu. Papamu berpesan supaya kamu menggunakannya dengan bijak dan hati-hati." Tante Hilda agak menekankan bagian akhir kalimatnya.
Firza merasa ada hal yang sangat penting yang papanya berikan padanya, bukan sekadar harta peninggalannya berupa properti dan usahanya. Ada sesuatu yang besar yang mungkin akan dilihatnya di ruang kerja papanya. Sesuatu yang sama sekali belum diketahuinya.
Didorong rasa penasaran yang kuat, Firza beranjak menuju ke pintu ruang kerja papanya di sisi kanan ruang tengah itu. Dengan kunci yang baru diperolehnya, dibukanya pintu ruang kerja itu. Dugaannya tepat. Kunci itu adalah kunci pintu ruang kerja papanya.
Ruang itu terasa dingin dan baunya kurang sedap karena sudah lama tidak dimasuki. Meski sudah lama tak dimasuki, ruang itu tampak bersih dari debu. Pendingin ruangan tetap menyala dan membuat ruangan itu tetap dingin.
Ruang kerja itu tampak asing bagi Firza. Sekali pun dia belum pernah masuk ke ruang itu. Sebuah meja kerja kayu dengan kursi kerja bersandaran tinggi letaknya berhadapan dengan pintu. Tiga buah layar monitor berukuran 24 inci bertengger di atas meja itu. Firza mengalihkan pandangannya ke arah kanan. Dua buah rak server berisi masing-masing sepuluh unit komputer server terdapat di sana dalam kondisi menyala.
Firza duduk di kursi kerja. Setelah sejenak menatap tiga monitor di depannya, Firza menekan tombol power. Tak lama kemudian, sistem sudah menyala dan meminta password. Dia teringat akan karakter acak enam belas digit yang tercetak di dalam kotak hitam itu. Dibukanya lagi kotak itu dan memasukkan deretan karakter itu sebagai password.
Sekarang apa? Firza tak yakin apa yang akan dilakukannya pada komputer papanya. Dia hanya memandangi layar desktop yang menampilkan deretan pintasan di hadapannya. Sekilas, tidak ada yang menarik dari apa yang dilihatnya. Semua tampak seperti deretan menu pintasan layaknya komputer yang digunakan pengguna biasa.
Firza masih berusaha mencerna apa yang sedang dihadapinya. Jika papanya hanya sekadar memberikan ruang kerjanya, tentu tidak mesti diserahkan saat dirinya telah wisuda. Sejak wasiat pertama mestinya dia sudah mendapatkan semua. Kenapa mesti ada wasiat kedua? Ada apa?
Selama ini, papanya selalu membahas banyak hal padanya. Hampir semua hal diceritakan oleh papanya, kecuali sebuah proyek penelitian yang digarap papanya sebelum meninggal. Tak pernah sekali pun papanya membahas proyek penelitian itu.
Biasanya, di akhir pekan saat punya waktu luang, papanya sering bercerita tentang proyek-proyek penelitiannya. Sebagai seorang profesor yang menggeluti bidang computer vision, papanya melakukan banyak penelitian termasuk menghasilkan produk-produk di bidang computer vision untuk berbagai klien di luar negeri. Tak jarang, papanya mendapatkan dana penelitian dari lembaga-lembaga di luar negeri yang nilainya fantastis. Biasanya, papanya melanjutkan penelitian itu menjadi produk yang bisa dijual ke berbagai klien yang merupakan perusahaan-perusahaan yang membutuhkannya.
Kehidupan papanya yang dikenal Firza sehari-hari adalah sebagai seorang profesor di sebuah perguruan tinggi negeri. Papanya selalu menolak ketika ditawarkan jabatan struktural. Dia hanya mau jadi dosen biasa tanpa jabatan struktural yang menghabiskan banyak waktunya. Dengan menjadi dosen biasa, papanya punya banyak waktu untuk selalu menjalankan berbagai proyek penelitiannya.
Masih belum mendapatkan petunjuk atas apa yang dimaksudkan papanya, Firza memandangi lagi layar monitor dan mengamati menu pintasan itu satu per satu. Dia baru sadar ada yang luput dari pengamatannya sebelumnya, sebuah pintasan dengan nama FIRZA. Tampaknya itu bisa jadi petunjuk, pikirnya.
Firza mengarahkan penunjuk mouse ke pintasan itu dan melakukan klik ganda. Sebuah dokumen langsung terbuka dan meminta password. Firza kembali memasukkan password dengan karakter acak yang tertulis dalam kotak hitam itu. Kini, dokumen itu terbuka di depan matanya.
SAAT KAMU MEMBACA PESAN INI, PAPA SUDAH TIDAK BERSAMAMU LAGI. PAPA TINGGALKAN UNTUKMU PROYEK MATA LANGIT YANG BELUM SEMPAT PAPA SELESAIKAN SEPENUHNYA. PAPA YAKIN KAMU BISA MENYELESAIKANNYA. KAMU BISA MENDAPATKAN BANYAK PETUNJUK DI DALAM KOMPUTER INI UNTUK BISA MENYELESAIKANNYA. SEJAUH INI, KAMU BISA MENCOBA VERSI PROTOTIPE DARI MATA LANGIT. IKUTI PETUNJUK DI BAWAH INI! GUNAKAN DENGAN BIJAK DAN HATI-HATI! MATA LANGIT AKAN MENJADI MATAMU MELIHAT DUNIA DI MANA PUN KAMU BERADA DAN KE MANA PUN KAMU AKAN MELIHAT.
Setelah membaca petunjuk di bawah pesan yang ditinggalkan papanya, Firza menatap sembilan layar monitor berukuran empat puluh inci yang disusun membentuk matriks tiga kali tiga yang terpasang di dinding yang berada di hadapan meja kerja tempatnya berada. Firza lalu menyalakan matriks monitor itu. Setelah itu, dia jalankan aplikasi Mata Langit di komputer itu. Lagi-lagi diminta untuk memasukkan password dan lagi-lagi Firza memasukkan password yang sama.
Tampilan aplikasi prototipe itu tampak sederhana, hanya ada tiga butir menu utama, PANTAU, SETELAN, dan KELUAR. Firza memilih menu pantau dan menampilkan satu daftar berisi nama beberapa tempat termasuk rumah ini. Setelah memilih RUMAH KERJA dari daftar, sembilan monitor matriks masing-masing menampilkan gambar ruangan yang berbeda di rumah itu. Sekilas, Firza berpikir bahwa Mata Langit mirip sebuah aplikasi pemantau CCTV. Lalu, apa istimewanya? Tidak mungkin papanya melakukan penelitian berbulan-bulan hanya untuk membuat aplikasi pemantau CCTV.
Firza meletakkkan kedua sikunya bertumpu di meja, lalu menopang dagu dengan kedua belah tangannya. Dia berusaha berpikir tentang apa yang ada di hadapan matanya. Tidak mungkin papanya sekadar membuat aplikasi pemantau CCTV. Ini pasti sesuatu yang besar makanya dianggap papanya sesuatu yang penting.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top