1. Terhina

Langkah kaki Firza membawanya memasuki lobi kantor yang terkesan cukup megah. Gedung empat lantai itu terlihat modern. Pintu masuk kaca bergeser otomatis ke kiri dan kanan saat Firza berdiri di hadapannya. Firza langsung berjalan melewatinya ke sisi kanan menuju meja resepsionis panjang yang berlapis batu onyx kombinasi cokelat tua dan muda. Di belakang meja itu, duduk dua perempuan, staf resepsionis. Sebuah tulisan besar terpampang di dinding belakang bagian resepsionis itu, ADITYA SOFT.

"Selamat pagi, Mas. Bisa saya bantu?" tanya salah satu staf resepsionis itu ramah. Penampilannya sangat rapi dengan blazer biru tua dan blus biru muda. Senyum manisnya membuat jajaran gigi putihnya terlihat bersusun rapi.

"Pagi, Mbak. Saya mau mengantarkan proposal magang di perusahaan ini," balas Firza sambil menyodorkan map biru berisi proposal magang beserta surat pengantar dari program studi tempatnya kuliah.

Sang resepsionis menerima map berisi proposal itu, lalu dengan tampang serius dia membacanya sejenak. "Mas bisa duduk dulu di sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah satu set sofa untuk menunggu, "nanti saya panggil."

"Baik, Mbak. Terima kasih," ujar Firza sambil menganggukkan kepalanya.

Sambil berjalan menuju ke sofa tak jauh dari resepsionis, Firza sempat menoleh pada perempuan yang membawa proposalnya meninggalkan meja resepsionis menuju ke ruang dalam. Hanya beberapa langkah berjalan, Firza tiba di tempat yang ditujunya. Satu set sofa berlapis kulit sintetis warna cokelat tua di hadapan Firza tampaknya empuk untuk diduduki. Benar saja, ketika Firza mendaratkan bokongnya di sana, kenyamanan sofa itu membuatnya duduk tenang. Firza lalu meletakkan ranselnya di meja kaca di hadapannya.

Lobi kantor itu terkesan cukup luas dengan plafon yang tingginya sekitar delapan meter. Dari tempatnya duduk, Firza bisa melihat deretan jendela kaca lantai dua. Sebuah jam analog minimalis tepasang di atas gerbang masuk menuju ruang dalam tanpa pintu. Kantor itu terkesan sangat pantas dengan nama besar yang sering didengarnya.

Firza mengamati ruang lobi itu sambil membayangkan suatu saat kelak mungkin dia bisa bekerja di sana. Aditya Soft kerap jadi bahan pembicaraan di kampusnya karena perusahaan teknologi informasi itu terkenal berkelas di kotanya. Banyak rekan-rekannya sesama mahasiswa ingin bekerja di Aditya Soft setelah menyelesaikan kuliah mereka.

"Permisi, Mas," suara perempuan tadi menghentikan lamunan Firza.

Firza menoleh ke arah suara di sisi kanannya, "Ya, Mbak."

"Mas bisa ikut saya sekarang!" ajak sang resepsionis.

Firza mengikuti langkah perempuan itu melewati gerbang menuju arah dalam. Perempuan itu berhenti di depan lift dan menekan tombol panah ke atas. Pintu lift itu langsung terbuka dan mereka berdua masuk ke dalamnya. Deru lift terdengar pelan saat meluncur naik setelah perempuan itu menekan tombol angka empat. Aroma kopi tercium dari pengharum otomatis yang tergantung di sisi kiri atas pintu lift.

"Mari, Mas!" Sang resepsionis mengajak Firza mengikuti langkahnya ketika pintu lift terbuka di lantai empat.

Firza hanya mengangguk, lalu berjalan di belakang perempuan itu yang mengarah ke kanan ketika keluar dari lift. Di pintu pertama sebelah kiri, perempuan itu berhenti, lalu membukanya. Firza bersyukur dalam hatinya karena ruangan yang mereka tuju cukup dekat dengan lift dan tak perlu melewati lorong-lorong yang berliku yang membingungkannya. Firza selalu khawatir tersesat jika memasuki tempat yang asing baginya. Dia memikirkan bagaimana dia nanti harus turun sendiri tanpa ditemani perempuan itu. Dan, kekhawatiran seperti itu tak perlu mengisi pikirannya sekarang.

"Mari, Mas!" ajak perempuan itu mempersilakan duduk. "Mas tunggu di sini dulu, ya! Saya tinggal dulu."

"Terima kasih, Mbak." Firza meletakkan ranselnya di meja panjang di hadapannya.

Dari isinya, Firza bisa menebak kalau ruangan itu adalah ruang rapat. Sebuah meja panjang yang membundar di kedua ujungnya mendominasi ruangan itu. Sebuah layar proyektor putih dibiarkan terbuka membentang di sisi ujung meja. Firza menatap deretan jendela kaca di hadapannya yang menampakkan pemandangan langit biru dan gedung-gedung di sekitar kantor itu.

Firza menyandarkan punggungnya di sandaran kursi ruang rapat itu. Diangkatnya kepalanya melihat plafon putih berhias beberapa titik lampu di bagian pinggirnya dan tiga deret lampu TL searah panjang meja yang menerangi ruangan. Ruangan itu hening hampir tanpa suara kecuali embusan halus pendingin ruangan dari blower yang terletak di plafon. Aroma jeruk dari pengharum ruangan otomatis samar-samar tercium dan itu terasa menenangkan bagi Firza.

Bunyi pintu yang dibuka membuat Firza menoleh ke arah pintu yang tadi dilewatinya. Seorang lelaki bertubuh jangkung dengan postur tubuh yang proporsional muncul dari balik pintu. Lelaki paruh baya itu pembawaannya terlihat berwibawa dan mengesankan karakter yang kuat.

"Maaf, lama nunggunya, ya?" ujar lelaki itu sambil menyodorkan tangannya. "Aditya," ujarnya lagi memperkenalkan namanya.

Firza menjabat tangan Aditya sambil menyebutkan namanya. Genggaman tangan Aditya saat bersalaman mengesankan seorang yang mendominasi dan percaya diri.

"Silakan duduk!" Lelaki paruh baya itu mengambil posisi di kursi pimpinan rapat dan menyandarkan punggungnya dengan santai sambil membuka map biru yang tadi dibawanya. Dibacanya sejenak proposal itu. Tidak sampai lima menit kemudian, diletakkannya map proposal itu di meja.

"Jadi, kamu mau magang di sini?" Pertanyaan itu terdengar dingin.

"Iya, Pak," jawab Firza.

"Apa yang membuat kamu berkeinginan magang di sini?"

"Aditya Soft adalah perusahaan ternama di kota ini. Siapa pun pasti ingin magang di sini."

Aditya menyeringai. Bukan sebuah senyuman melainkan seringai yang terkesan meremehkan di mata Firza. "Lantas ... apa yang membuat kamu merasa pantas magang di sini?"

Sebuah pertanyaan yang menohok bagi Firza. Pertanyaan yang terkesan menjebak dan sulit untuk dijawab.

"Saya sudah semester enam dan memenuhi persyaratan untuk mengikuti program magang di perusahaan."

Aditya kembali menyeringai, "Tapi, itu tak lantas membuat kamu pantas magang di sini kan?" Setelah diam sejenak, Aditya melanjutkan, "Di sini, kami mengembangkan perangkat lunak dan perangkat keras berbasis IOT. Apa yang sudah kamu kuasai dari perkuliahan atau pengalaman belajarmu?"

"Saya menguasai sedikit programming dan jaringan komputer."

"Sedikit?" Aditya menegaskan nada bicaranya. "Apa kamu pikir sedikit itu cukup untuk bisa bergabung di tim Aditya Soft?"

"Tidak, Pak. Saya tahu bahwa kemampuan saya belum memadai. Mungkin dengan magang ini, saya bisa mengembangkan kemampuan saya."

Aditya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Well, sepertinya kamu sadar dengan batas kemampuanmu. Sebenarnya, tadi saya sedang iseng ingin tahu seberapa pantas kamu untuk magang di sini. Biasanya, kami langsung menolak mahasiswa dari perguruan tinggi swasta kecil seperti tempatmu kuliah itu untuk magang di sini. Ternyata dugaan saya benar."

"Memang kemampuan programming saya kurang, Pak. Selama ini saya lebih banyak belajar hacking."

"Ow ... hacking? Pengin jadi penjahat dunia maya? Sudah berapa banyak sistem yang bisa kamu bobol?" Aditya tertawa kecil. "Kapan-kapan, kamu boleh coba membobol sistem kami."

Firza merasakan ada kesan kesombongan dari apa yang dikatakan Aditya. Namun, dia tidak pada posisi untuk menjatuhkan lawan bicaranya dan memilih diam.

"Well, saya rasa kami tidak bisa menerima kamu untuk magang di sini." Aditya berdiri, lalu menyodorkan tangan untuk menyalami Firza.

"Baik, Pak. Saya mengerti alasan Bapak. Semoga kita bisa jumpa lagi di lain hari dengan keadaan yang berbeda." Firza merasa dirinya diremehkan dan marah, tetapi dia harus melewati itu secara elegan. Perlakuan Aditya padanya telah mengusik harga dirinya dan Aditya harus membayarnya suatu saat kelak.

Aditya diam sejenak memandang wajah Firza. Tampaknya dia berusaha mencerna apa yang Firza maksudkan. Dia lalu balik badan dan keluar dari ruangan rapat itu. Firza mengikuti langkah lelaki paruh baya itu, tetapi mengambil arah yang berlawanan setelah keluar dari pintu.

Deru lembut lift membawanya turun kembali ke lantai satu. Di dalam dadanya, ada deru yang lebih keras terasa. Merasa diperlakukan sebagai seorang bodoh bagi Firza lebih menyakitkan dibandingkan diperlakukan sebagai seorang yang miskin. Apa komentar ayahku jika dia tahu kejadian ini? pikir Firza. Anak seorang ahli computer vision yang memiliki reputasi internasional ditolak untuk sebuah program magang di perusahaan lokal. Sungguh memalukan!

Firza mampir ke meja resepsionis, berpamitan dengan sedikit basa-basi, lalu melangkah keluar meninggalkan gedung itu. Dalam benaknya masih dipenuhi perasaan terhina yang sulit diterimanya. Firza bertekad akan membuat Aditya mengubah anggapannya terhadap dirinya dalam waktu kurang dari dua tahun. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top