Tujuh pt.1

Don't forget to Vomment,
Manteman
💞
______________________________

Baru saja tiba di kelasnya, gadis malang ini sudah diserang oleh berbagai ejekan yang dilukis dengan sengaja di bangkunya. Semua, meja bahkan kursi miliknya penuh dengan tulisan kotor yang tak pantas tuk dibaca setiap mata yang melihatnya.

Tubuh Bestie bergetar begitu membacanya. Badannya menggigil merasakan hawa yang ditimbulkan oleh orang di sekitarnya. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca menahan takut saat itu. Bahkan Tiva pun ikut terkejut sekaligus bingung melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya.

Jangan rebut cowok gue!

Reynand punya gue!

Gak cukup ya kenal Raka doang?!

Jangan ambil Pangeran gue!

Dan berbagai macam kata-kata yang tak pantas tuk disebutkan.

PENGGODA. Itulah titik besar dari setiap kata di sana. Sakit memang. Ditambah lagi tulisan itu tak bisa dihapus karena ulah spidol permanen yang tergores di sana.

Siapa biangnya? batin Bestie bertanya.
Pikirannya mulai menebak setiap orang yang menjadi tersangkanya.

Perasaannya kini bercampur aduk. Sedih karena ada yang membencinya di sekolah ini. Kesal karena bangkunya menjadi media coretan hingga tak pantas tuk dilihat. Malu karena semua melihat bodoh ke arahnya. Marah karena sudah mengenal Raka dan Reynand. Semua dirasakan Bestie saat itu.

Dengan langkah lebar, Bestie pergi meninggalkan kelas. Kenyataan ini sulit untuk ia terima. Tapi itu benar, Bestie menangis. Ia tak sanggup menahan bendungan di matanya.

Seburuk itukah? batinnya bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Tiva? Bukannya tak mau mengejar Bestie, ia lebih fokus pada tersangka di sekitarnya. Bukan sok jadi detektif, tapi ia yakin akan orang itu. Tersangkanya hanya satu. Ella. Itu yang dipikirkan Tiva. Kini matanya mulai mencari sosok Ella. Benar saja, dia bersembunyi di balik salah satu siswa berbadan besar di pojok sana. Tubuhnya yang mungil itu tentu saja takkan terlihat jika berada di belakangnya. Tapi, ini Tiva. Jika ingin, dia bisa melihat semuanya. Bahkan dia bisa menemukan Ella walau hanya dengan mengandalkan indera penciumannya.

Gerak cepat kakinya melangkah menuju tersangka, Ella. Tangannya mulai mencengkeram pergelangan tangan kiri Ella sebelum dia melarikan diri.

“Hapus semua tulisan itu!” perintah Tiva geram.

“Apa?! Gue?! Kok gue?!” balas Ella ikut geram.

Senyum miring Tiva sangat percaya diri menampilkan dirinya begitu mendengar elakan Tiva yang terdengar gagap di telinga.

“Gue bilang hapus!” tekannya lagi.

“Gak!” tepis Ella membuat tangan Tiva melepaskan pergelangan tangannya. “Kenapa gue harus hapus kalo bukan gue yang nulis, hah?!” amuk Ella lalu beranjak pergi hendak meninggalkan Tiva dan kelas.

Benar saja, belum sempat melewati pintu kelas, seseorang berani menghadang amukan Ella.

“Minggir!” perintah Ella pada Dirga.

“Ikut gue,” ajak Dirga.

“Minggir!” perintahnya lagi.

“Ikut gue sekarang,” ucap Dirga masih mengajak.

“Gue bilang minggir!” amuk Ella.

“Ikut gue, Dek,” lembut Dirga.

Seorang kakak tengah berperan sekarang. Itulah yang membuat Ella menyerah. Ia menurut kali ini. Ia menurut pada Dirga. Meskipun saudara kembar, tetap saja Dirga lebih tua satu menit dari Ella.

“Kenapa, Ga?! Kenapa?!” tanya Agatha dan Gena hampir bersamaan. Terlihat jelas mereka penasaran dengan apa yang terjadi dan membuat suasana menjadi heboh.

“Bawa tu adek lo! Ajarin dia gimana caranya jadi manusia yang bener!” sindir Tiva geram.

“Buruan, Dek,” lontarnya lalu menarik tangan Ella.

Tak peduli dengan sindiran Tiva padanya, Dirga menggenggam pergelangan tangan Ella, hendak membawanya ke suatu tempat dan berbicara empat mata.

Sementara Bestie terus berlari tanpa henti. Tak ada satupun yang mampu menahan gerakannya. Tak ada satupun yang berani menghalangi langkahnya. Setiap orang yang dilaluinya bahkan tak berani walaupun hanya sekadar tuk bertanya. Tak satupun, kecuali Raka. Kedua tangannya menghadang tubuh gadis mungil itu, berhasil menghentikan langkahnya yang terburu-buru.

“Ada apa?” lontarnya bertanya, tatapannya sendu ketika melihat wajah gadis di depannya sudah basah diguyur deraian air mata.

Bestie tak menjawab. Hanya tatapan pasrah yang diberikannya pada Raka. Tatapan bak korban teraniaya. Sayangnya Raka bingung, ia sungguh tak mengerti dengan tatapan itu.

“Sini,” katanya merentangkan kedua tangannya, hanya itu yang bisa dilakukannya.

Bestie tak peduli. Dia hanya tahu bahwa dirinya sekarang sudah benar-benar pasrah. Bahkan dia tak peduli sedang berada dimana dirinya sekarang. Kini ia jatuh ke dalam pelukan Raka, menangis terisak di sana. Tak peduli seberapa banyak pasang mata yang melihatnya, tak peduli seberapa banyak mulut yang membicarakannya, saat ini dia hanya ingin menumpahkan segalanya pada Raka. Andai saja dia bisa menjadi seperti Raka yang tenang tak bergeming. Tak peduli dengan tanggapan semua orang dan selalu menjadi diri sendiri, itulah Raka.

“Sekarang lo mau kemana?” tanyanya, tangannya mengusap cepat punggung Bestie, berusaha menenangkan gadis di pelukannya dari tangisan terisak itu.

Masih menangis, Bestie menggeleng di balik dekapan Raka. Sejenak terlintas di pikirannya tentang Raka. Raka yang dulu pernah ia campakkan bahkan sebelum dia menampakkan wujud aslinya. Saat Raka mulai berani tuk menyatakan perasaannya pada Bestie namun langsung ditolak olehnya. Saat pertama kalinya Raka jatuh cinta namun langsung dijatuhkan oleh Bestie. Gadis ini kini menyesal.

“Hari ini mau bolos? Gue bisa temenin kalo elo mau,” ajak Raka pada Bestie.

Bestie terkekeh pelan begitu mendengar ajakan pria di depannya. Logatnya yang lucu itu berhasil membuat Bestie tersenyum kembali. Jarang berbicara membuat beberapa orang tak mengenal suaranya. Tapi tidak dengan Bestie. Dia mengenal betul suara pria berlogat aneh di hadapannya. Logatnya itu mungkin ingin terdengar keren tapi malah terdengar lucu di telinga Bestie, hanya di telinga Bestie.

Bukan itu saja, ajakan yang keluar dari mulutnya juga terdengar salah di telinga gadis ini. Mengajak seorang siswi teladan bolos? Tentu saja Raka akan mendapatkan tolakan dari Bestie.

“Lo kenal gue gak sih, Ka?” tanya Bestie meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Raka mengangguk, “Lo Bestie,”

“Terus?” tanyanya lagi, kini tingkahnya berubah menjadi imut.

Raka membuang senyumnya, memalingkan kedua matanya agar tak mendapat dosa karena melihat pemandangan indah menurutnya itu. Sepersekian detik kemudian, ia menatap Bestie lagi, hendak menjawab pertanyaan dari Bestie.

“Lo Bestie, siswi teladan di BHS. Lo Bestie, temen SMP gue. Lo Bestie, cewek pertama yang gue suka,” Raka menarik napas sejenak lalu melanjutkan ucapannya. “Lo Bestie, cewek pertama yang pernah nolak gue karena,” lagi-lagi dia menarik napasnya lagi.

Bestie tersenyum nanar mendengar jawaban yang jelas berasal dari hatinya itu. “Udahlah, gak usah baper gitu,” dorong Bestie pada bahu Raka diikuti dengan tawanya yang jelas dibuat-buat olehnya.

“Gak papa, Bes. Jangan ragu, lepasin aja,” pinta Raka tersenyum.

Di balik koridor sana, Reynand melihat semuanya, dari awal hingga akhir. Ketika Bestie berjalan begitu cepat hingga Bestie yang tersenyum sekarang. Namun, tak ada satupun yang mampu dipahaminya. Tidak dengan hubungan Bestie dan Raka sejak SMP. Tidak dengan masalah yang membuat gadis semanis itu menangis terisak. Yang jelas, itu semua berasal dari kelas Bestie. Kini dia berbalik menuju suatu tempat. Tempat di mana telah merekam semua kejadian di Blenda High School. Tempat di mana hanya dirinya yang boleh masuk ke sana. Ruang CCTV, dia akan melihat semuanya di sana.

“Saya tidak mau tahu, periksa kelas XII IPA 2 sekarang! Periksa rekaman dari jam pulang kemarin sampai sebelum bel masuk berbunyi pagi ini!” perintah Reynand pada petugas CCTV, langsung mendapatkan anggukan dari petugas itu.

Entah kenapa dirinya begitu ingin mencari tahu penyebab keluarnya air mata Bestie. Setelah memberi perintah pada petugas, langkahnya kini menuju kelas Bestie, XII IPA 2. Ia sangat ingin tahu ada apa di sana yang membuat Bestie menangis seperti tadi sehingga membuat Raka ingin menenangkannya. Tentu saja itu bukan hal yang biasa menurutnya.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sepasang kakak adik sedang berdebat hebat di sepanjang koridor. Perdebatan yang cukup hebat menurutnya. Membuatnya menjadi tambah bingung dengan kejadian hari ini.

“Apa yang lo buat, La?!” tanya Dirga membentak.

“Gue gak buat apa-apa!” jawab Ella ikut membentak.

“Terus tadi itu apa?! Pertunjukkan sirkus?! Iya?!” balas Dirga menunjuk-nunjuk ke arah kelas XII IPA 2. “Lo lakuin apa ke Bestie sampe dia nangis-nangis gitu, hah?!” kini tangannya mencengkram erat pergelangan tangan Ella, membuat pergelangan tangan gadis itu terasa sakit.

“Sakit, Ga!” aduh Ella kesakitan, ia berusaha melepaskan cengkeraman kuat Dirga dari tangannya, namun gagal. “Udah gue bilang, gue gak ngelakuin apa-apa! Sekarang lepasin tangan gue, ini sakit!” kesalnya.

Lagi-lagi Bestie, gumam Reynand dalam hati.

Cukup, dia tak ingin lagi melihat pertengkaran kakak adik itu. Lebih baik dia langsung menuju kelas XII IPA 2, TKP penyebab kejadian rumit di BHS.

Begitu sampai di depan kelas XII IPA 2, Reynand mendengar bising-bising di sana. Kebisingan itu membuatnya semakin penasaran, ditambah lagi ada beberapa siswa maupun siswi yang menyebutkan namanya di sana. Bukan hanya namanya, nama Raka juga ikut terlibat di sana.

Ketika kakinya melangkah masuk ke dalam, betapa terkejutnya dia melihat salah satu bangku paling depan terlihat begitu tak karuan. Bangku itu begitu dekat dengan pintu masuk, tentu saja dia langsung mengetahui hal itu. Didekatinya bangku itu. Matanya mulai menyelidiki apa yang tertulis di sana. Benar saja, kata-kata itu bahkan sama sekali tak ingin dibacanya.

Mendidih, itulah yang kini sedang dirasakan kepalanya. Murka, itulah yang ingin dilakukannya sekarang. Emosi, itulah yang tengah dirasakannya kini. Ingin dia meluapkan semuanya, tapi tak tahu pada siapa.

“Siapa yang berani coret fasilitas gue?!” tanyanya membentak, membuat kelas XII IPA 2 menjadi hening seketika.

Heran, itu yang dirasakan Reynand setelah melihat reaksi setiap orang di sana. Mereka tak tahu bahkan menunduk ketika ditanya siapa biang dari masalah ini, tapi mereka begitu berani menceritakan hal yang sama sekali tak benar, terutama tentang Bestie yang ingin merebut dirinya.

“Oke, gak ada yang punya mulut di sini,” diam Reynand sejenak, masih menunggu seseorang yang akan berbicara nanti.

Tiva mengangkat tangan kanannya, berjalan mendekati Reynand perlahan.

~ cy ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top