Enam Koma Tujuh Lima
Don't forget to Vomment,
Manteman
💞
______________________________
Sebotol tablet disodorkan pada Reynand. Siapa lagi kalau bukan Raka. Ia baru saja kembali dari parkiran. Obat yang seharusnya dibawa kemana saja itu sengaja diletakkan Reynand di motornya.
Tablet putih kecil itu, sudah menjadi asupan Reynand hampir setiap hari. Biasanya, ia akan meminum obatnya di toilet. Tapi sekarang, untuk pertama kalinya Reynand meminum obat di UKS.
"Ini kan udah jamnya, kenapa lo malah keluyuran kaya tadi? Dan lagi, kenapa tuh obat gak pernah lo pegang sih?" gerutu Raka menyodorkan segelas air pada Reynand.
Reynand diam. Tangan kirinya melempar pelan beberapa obat itu ke dalam mulutnya. Kemudian tangan kanannya menerima gelas dari Raka, mengalirkan cairan bening itu ke mulutnya, membuat obat-obat itu meluncur ke dalam tenggorokannya.
"Lo tau apa yang terjadi tadi?" tanya Raka setelah memastikan Reynand sudah menelan obatnya.
"Lo tadi pingsan di bahunya siswi teladan, di bahunya Bestie." Jawab Raka meskipun Reynand tak meminta.
"Serius lo?!" kaget Reynand begitu mendengar jawaban Raka.
Raka mengangguk, "Untungnya tuh cewek kuat, jadi dia bisa nahan beban lo yang berat itu," lontar Raka.
"Oh iya, file yang dibilang Papa kemarin udah lo print out?" sambung Raka bertanya, ia sedang memastikan.
Reynand menerka dalam pikirnya, File? File apa?
"Ayolah, Rey! Jangan bilang lo gak inget!" gerutu Raka kesal.
Reynand kembali menerka, menebak, mengingat kembali apa yang disampaikan Heru padanya.
Ah! Sekarang dia ingat. Satu-satunya dokumen yang dibicarakan Raka adalah dokumen milik Bestie. Itulah sebabnya Bestie menghampiri Reynand tadi.
Pekan depan, gadis itu akan mengikuti lomba story telling di luar kota, bersama dengan anak Pramuka lainnya. Harusnya, anggota Pramuka yang menjadi partisipannya. Namun, semua guru sudah memutuskan untuk memilih Bestie sebagai pesertanya. Bestie sempat menolak, karena dia sudah menginjak kelas akhir sekarang. Akan tetapi, para guru bilang, yang berpengalaman itu perlu terjun. Karena itulah Bestie terpaksa harus mengikutinya.
"Dia perlu sekarang, kan? Gue print out dulu," lontar Reynand berdiri dari duduknya.
"Udah Papa print out, Rey. Kamu udah mendingan? Bisa ikut Papa sebentar?" suara berat itu mengagetkan semuanya, baik Reynand maupun Raka.
Heru datang menghampiri ke UKS. Wajahnya masih sama, terlihat begitu santai. Namun, suaranya lah yang membuat suasana menjadi sedikit tegang.
"Gue temenin, Bro!"
"Raka bisa temuin Bestie? Kasih dokumen ini ke dia. Lengkapi lalu antar ke ruangan Papa. Bisa?"
Begitulah Heru. Meskipun sekarang dialah yang memimpin BHS, tetap saja, Reynand lah yang harus mengurus BHS nantinya. Tekanan bisa saja ia berikan pada Reynand namun tak ia lakukan. Untuk Reynand, bersikap baik dan logis adalah hal yang pantas.
Begitu keluar dari UKS, Raka dan Reynand berpisah arah. Langkah kaki Reynand masih mengikuti Heru di belakang. Sementara Raka tengah mencari Bestie menuju gerbang sekolah.
"Rey, kamu masih nggak bawa obatnya?" lontar Heru bertanya.
Reynand menggeleng, "Obatnya ketinggalan di motor, Pa," balasnya.
"Tidur kamu gimana? Nyenyak?" lontar Heru masih bertanya.
Reynand menggeleng, "Nyenyak kok, Pa," balasnya lagi.
Pertanyaan terhenti begitu mereka sudah tiba di depan sebuah ruangan. Ruangan berpintu hitam pekat nan mengkilat itu. Reynand mengusap lega dadanya, berterima kasih pada pintu hitam itu karena sudah menghentikan celotehan Heru yang setiap hari didengarnya.
Heru membuka pintu hitam itu, melangkah masuk ke dalam dengan kaki kanannya. Reynand masih mengekor di belakangnya. Di dalam sana, Heru langsung mendaratkan bokongnya di kursi putar dekat jendela kaca nan lebar itu. Di hadapannya ada dua kursi kosong, Reynand duduk di salah satunya.
"Reynand," panggil Heru berjeda. "Papa sudah berumur. Kamu juga sepertinya sudah siap diukur. Jadi, mulai besok Papa akan serahkan ruangan itu padamu." Jelas Heru.
__oOo__
Piringan hitam berputar pada porosnya. Melantunkan beberapa melodi yang menghanyutkan. Caffee memang tempat yang paling cocok untuk anak remaja. Ditemani secangkir Cappuccino dan sepiring Choco Lava, sudah cukup menenangkan hati yang berat itu.
"Eh, gue sebenernya kepo. Kok elo bisa di rumahnya duo curut itu, sih?"
Alunan melodi nan lembut terasa hancur begitu suara berat Dirga hadir di antaranya.
"Ayolah, jangan pasang muka jelek kek gitu. Muka lo itu udah jelek tau," lontar Dirga.
"Oke, sekarang gue diem. Tapi, lo tau, kan? Diemnya gue gak bakal lama. Pa--"
Ella memukul meja di hadapannya, menghentikan ucapan Dirga yang belum selesai.
"Ga, bisa diem gak? Gue ke sini pengen dinginin kepala, beneran."
Ella pasti sangat kesal saat itu. Selama di perjalanan menuju Caffee, Dirga terus saja memberikan pertanyaan yang sama. Bahkan sampai sekarang pun ia tetap memberikan pertanyaan itu. Cerewet, mungkin cocok diberikan untuk Dirga.
"Gue bukannya cerewet, La. Berusaha, itu yang lagi gue lakuin sekarang. Satu lagi, selalu ada. Sesungguhnya, tak ada yang lebih baik dari yang selalu berusaha dan yang selalu ada. Karena yang berusaha akan selalu ada untuk berusaha. Dan yang selalu ada akan berusaha untuk tetap ada."
Seketika suasana di sana langsung hening. Ella menyunggingkan senyumnya di atas pangkuan telapak tangan yang bertumpu pada sikunya. Pandangannya menatap lembut pada Dirga.
Dirga menepuk dahinya, "Oh, Ya Tuhan! Gue ketularan Raka deh kayaknya. Apa yang gue omongin barusan?!" heboh Dirga pada dirnya sendiri.
Saat itu juga Ella memindahkan bokongnya, duduk di samping Dirga. Kedua tangannya terbentang lebar kemudian memeluk Dirga dari samping.
"Lo kakak terbaik deh, Ga!" senyum Ella di dada bidang Dirga.
~ cy ~
Okey, part 6 end💪🏻
Maaf gabisa nepatin janjii🙏🏻
But, hari ini bakal double update deh✌🏻
Happy Reading di Part 7, yaww👇🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top