Tujuh Belas
Menghitung hari menjelang open PO ya, Gaes. Jangan ketinggalan nanti, karena ini dicetak SP, jadi kalau nggak ikutan PO, nggak akan dapat bukunya. Ini nggak beredar di toko buku. hepi reading en lope-lope yu ol, Gaes.
**
LILA
Orang-orang mengatakan bahwa pernikahan berarti mengawinkan berbagai perbedaan. Bukan saja dua individu yang terlibat dalam janji suci itu –yang namanya tertulis dalam akta nikah— tetapi juga banyak hal yang berkaitan dengan mereka. Keluarga besar, misalnya. Hanya saja, tidak seperti orang lain, aku sama sekali tidak mengalami berbagai kesulitan itu.
Pernikahan kami baru memasuk hitungan bulan ketika perpisahan itu terjadi. Jadi waktu itu kami berlum pernah terlibat adu argumen yang mengharuskan kami saling menarik urat leher. Laki-laki itu tidak pernah mendebatku. Aku juga tidak punya keluarga yang harus laki-laki itu harus masuki untuk beradaptasi. Jadi kalau ada yang menanyakan skala kebahagiaanku ketika itu, aku tidak akan ragu menyebut angka 12 dari skala 1 sampai 10. Ya, aku sebahagia itu.
Rasanya mengerikan saat mengetahui bahwa jarak antara bahagia dan sedih itu ternyata lebih tipis dari kulit bawang. Tawa dan tangis ternyata bisa sedekat pembuluh darah dan kulit yang membungkusnya, sama dekatnya dengan cinta dan benci. Aku mengalami semua itu, dan pemahaman yang kuperoleh kemudian tidak mampu membuatku mengatasi pergulatan batin dalam diriku. Setelah ratusan hari berlalu, aku masihlah pecundang yang sama, yang tidak bisa berhenti mencintai seorang lelaki yang memberiku sakit hati dan air mata.
Seandainya aku bisa memerintah dan menguasai hatiku, hari-hari yang aku lalui pastilah lebih mudah. Pertemuan kembali dengan laki-laki itu tidak akan mengaduk-aduk emosi. Melihatnya tidak akan membuat jantungku bekerja lebih cepat, dan tanganku tidak akan terus terkepal saat ingatanku terbang ke masa lalu.
Aku tentu saja sudah memikirkan kemungkinan pertemuan ini saat menyetujui mutasiku ke kantor pusat, meskipun tidak bekerja di perusahaan yang dulu lagi. Aku tentu saja tahu kemungkinan akan selalu ada. Bahwa hidup sering kali membawa kita pada hal-hal yang tidak siap kita hadapi. Waktu itu, aku berpikir akan dapat menghadapinya, meskipun tidak mudah. Keyakinanku lumayan besar. Sekarang? Keyakinan itu sudah berada di telapak kakiku. Bergabung dengan harga diri yang pernah kubanggakan. Apa lagi yang membuatku bisa mengangkat kapala dengan tegak saat laki-laki sudah tahu bahwa aku akan meleleh seperrti bongkahan es disiram air panas hanya dengan menyentuhku? Aku bersikap seperti perempuan murahan, lebih murah daripada wanita panggilan sekalipun. Mereka membuka pakaian dengan imbalan uang, sedangkan aku melakukannya dengan sukarela. Tidak heran jika dia menuduhku melakukan hal yang sama dengan Dino. Sialnya, aku tidak bisa lantas berhenti mencintainya meski sakit hati yang kurasakan karena tuduhan itu tetap terasa.
Sekarang aku merasa jauh lebih benci kepada dirku sendiri daripada laki-laki itu. Aku benci pada irama jantungku yang mulai menaikkan tempo hanya dengan menyadari kehadiran laki-laki itu. Aku benci pada mataku yang tidak berhenti mengawasinya. Seperti saat ini.
Aku sudah berada dalam gedung resepsi pernikahan anak Pak Yudi saat melihatnya masuk. Seandainya ini bukan acara atasanku, aku pasti sudah menyelinap pergi tanpa harus mengucapkan selamat dan bersalaman. Tapi yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berusaha menyembunyikan diri dengan menggunakan tubuh Dino sebagai tameng. Aku berharap laki-laki itu tidak melihatku, sambil terus mencuri pandang.
"Dia kelihatan tampan," Dino tiba-tiba sudah berbisik. Sial, dia rupanya mengikuti arah mataku.
"Hentikan!" geramku. Namun aku tahu tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan Dino menggodaku. Dalam hal menggangguku, dia sama persis dengan laki-laki itu.
"Kamu yakin dia nggak tertarik sama laki-laki? Kalian sudah berpisah cukup lama, kemungkinan orientasi seksualnya berubah bisa saja terjadi, kan? Aku nggak apa-apa mendapat sisa kamu," Dino terus saja bercanda.
"Kamu mau mati?" Aku mendesis. "Aku akan berbaik hati dan kasih kamu pilihan. Pisau, racun, atau peluru?"
Dino tertawa. Cukup keras untuk membuat beberapa orang menoleh ke arah kami. "Perempuan yang sedang cemburu memang menakutkan. Kamu nggak perlu membunuhku untuk melindungi lelakimu, Sayang."
Tentu saja maksudku bukan seperti itu. Dino membalikkan pernyataanku seenaknya. "Kamu bisa ambil dia kalau kamu mau. Tapi siap-siap saja patah hati. Dia bolos saat mata kuliah komitmen."
Dino mengusap kepalaku sambil mengedipkan mata. Menyebalkan. "Aku tadi bercanda. La. Aku nggak berbagi laki-laki dengan sahabatku. Itu melanggar prinsip hidupku."
Ya, seolah dia punya prinsip hidup saja. "Tutup mulut, No!"
"Pakai mulut Hendy?" Dino nyengir. Dia seperti tidak melihat tatapan sebalku. "Aku jadi penasaran seperti apa rasanya, ya?"
Aku terpaksa mengatupkan bibir. Aku tidak akan melayaninya. Aku hanya perlu mengikuti antrean ini supaya bisa mencapai kedua mempelai di pelaminan, mengucapkan selamat, tersenyum pada Pak Yudi, dan berbalik pulang. Aku sungguh menyesal sudah mengajak Dino. Tadinya aku berpikir kalau mengajaknya ke sini akan mengalihkanku dari kebosanan. Aku tidak memperhitungkan kehadiran laki-laki itu, yang menyebabkan Dino menjadikanku sebagai sasaran kejailannya.
Keinginanku kabur dari pesta tidak bisa terlaksana karena aku segera terjebak di antara teman-teman kantor. Meskipun merasa tidak nyaman, aku akhirnya tetap tinggal. Aku berharap semoga laki-laki itu tidak melihatku. Itu bukan harapan muluk sebenarnya karena jumlah undangan sangat banyak. Sekarang aku bahkan tidak melihat sosoknnya lagi. Dia hilang dari pandanganku setelah aku turun dari pelaminan untuk mengucapkan selamat.
Aku berusaha mengikuti percakapan teman-temanku meskipun agak sulit. Konsentrasiku berceceran dan suara musik yang keras sama sekali tidak membantu. Aku lalu meminta izin ke toilet pada Dino. Aku harap sekembalinya dari sana kami akan bisa segera pulang. Aku tidak punya keinginan untuk mencicipi hidangan yang disediakan.
"Kita harus bicara!" Pergelangan tanganku dicekal begitu aku keluar dari toilet. Aku menoleh kaget. Laki-laki itu. Dia mengikutiku ke toilet? Berarti dia juga melihatku dari tadi.
"Nggak ada yang harus kita bicarakan." Aku tidak bodoh. Melayaninya dengan baik sama saja dengan memupuk keberaniannya menyentuhku. Aku tidak percaya dia hanya akan bicara saja. Dan aku lebih tidak percaya kepada diriku sendiri. Siapa yang berani menjamin aku tidak akan melemparkan diri lagi kepadanya? Khilaf itu sekali. Kalau kejadiannya berulang, namanya doyan.
Aku berusaha melepaskan cengkeramannya. Namun apalah artinya tenagaku dibandingkan dengan kekuatannya. Ada saatnya aku dulu mengusap otot di dengannya dengan kekaguman. Sekarang aku merasa bodoh pernah melakukannya.
"Aku minta baik-baik, La," katanya lagi.
Baik-baik? Pergelangan tanganku sudah sakit dan dia bilang baik-baik? Dia baru melepaskan tangannya setelah kami cukup jauh dari ball room tempat pesta diadakan. Suara musik tidak terdengar lagi dari tempat kami berdiri sekarang.
"Masih ada caci maki yang tempo hari lupa kamu sampaikan?" Aku mengusap pergelangan tangan yang memerah. Laki-laki itu sepertinya tidak sadar dengan kekuatan yang ditumpukannya di situ tadi.
"Sakit?" Ada nada bersalah dalam suaranya. Jadi dia bisa menyesal juga?
"Nggak, sama sekali nggak sakit. Aku suka banget kok diseret-serat kayak gini," jawabku sarkastik. "Kamu juga menikmati melakukan ini padaku, kan?"
Dia terlihat salah tingkah. "Maafkan aku."
"Untuk ini?" Aku berusaha tidak melihatnya. Aku mengalihkan perhatian pada apa saja, asal jangan memandangnya. Aku tidak suka reaksi tubuhku saat mata kami saling mengunci. "Oke, aku maafkan. Aku bisa pergi sekarang?"
"Untuk semuanya. Aku minta maaf untuk semuanya, La."
Kali ini aku terpaksa harus melihatnya. Aku menatap dia persis di manik matanya. "Ada batas untuk keserakan sekalipun. Jangan minta sesuatu yang kamu tahu nggak bisa aku berikan."
"Aku akan melakukan apa saja untuk maafmu, La." Nadanya membujuk. Aku kembali membuang pandang, terus mengusap pergelangan tanganku untuk membuatnya semakin merasa bersalah.
"Kamu bisa balikin Rima? Menghidupkan lagi anakku?"
Dia memejamkan mata, perlahan menghela napas panjang. "Sayang—" Dia segera mengganti sebutannya, "La—" Tapi kalimatnya tak bertambah. Ada sorot putus asa yang kutangkap saat matanya kemudian terbuka.
"Kalau kamu nggak bisa, jangan bicara soal maaf lagi denganku." Aku berbalik dan mengambil langkah panjang untuk memperlebar jarak antara kami. Hanya beberapa langkah dan kakiku terhenti. Sepasang tangan laki-laki itu memelukku dari belakang. Erat.
"Jangan lakukan ini padaku, La," bisiknya persis di telingaku.
Apa yang aku lakukan padamu? Aku ingin menjawab. Aku tidak melakukan apa pun. Kamu yang sepertinya ingin terus menyakitiku. Dan hatiku belum cukup kebas untuk tidak merasakannya. Lukanya tidak pernah mengering dan sialnya, itu tidak cukup untuk membuatku berhenti mencintaimu.
Mengapa jantung berengsek ini kembali menaikkan temponya? Mengapa nada suaranya membuat air mataku harus terbit? Aku tahu kalau aku selalu lemah di depannya, tetapi Tuhan, setidaknya, untuk kali ini, biarkan aku menghadapinya dengan tegar. Tanpa sikap bodoh dan tangis konyol.
"La—" Suara Dino terdengar bagai di kejauhan, tetapi aku melihatnya mendekat. Syukurlah. Keberadaannya akan membebaskanku dari keharusan terus berdua dengan laki-laki ini.
"No—" Aku berusaha melepaskan tangan yang mengunci perutku. Sulit saat si pemilik tangan tidak terlihat punya keinginan untuk membebaskan aku. Panas tubuhnya bahkan dapat kurasakan di punggungku, menembus setelan tebalnya.
Dino yang kupanggil menghentikan langkahnya sebelum benar-benar sampai di depanku. Bukannya menolong, dia malah berdiri mengawasi kami sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. "Kamu baik-baik saja, La?"
Aku tidak baik-baik saja. Tidak bisakah dia melihat? Aku tidak bisa baik-baik saja setiap berada di dekat laki-laki ini. "Aku mau pulang sekarang." Aku tidak peduli lagi dengan teman-teman kantorku, juga dengan Pak Yudi sekalipun.
"Dengan aku atau dengan dia?" Dino masih berdiri dengan gaya sok cool bodohnya. Bisa-bisanya dia berpikir untuk membiarkan aku pulang dengan laki-laki itu. Aku bersiap mengumpat saat dia mengeluarkan sebelah tangan dan menunjuk ke arah kami. "Kelihatannya dia nggak ingin melepasmu."
Aku merasakan rangkulan di perutku semakin erat saat aku lagi-lagi berusaha melepaskan diri. Dia seakan ingin menyatakan klaim atas kepemilikan diriku. Sayangnya dia sudah kehilangan hak itu meskipun dia menolak mengakuinya.
"Lepaskan!" geramku. Mengadu otot jelas tidak akan kumenangkan. "Aku mau pulang." Aku melihat pada Dino dengan tatapan memohon. "No—"
Dino mengusap dagu dengan sebelah tangan. "Aku masih ingat kerasnya kepalan tangannya, La. Serius kamu mau bikin wajah aku lebam lagi? Aku nggak akan terlibat dalam pertempuran yang nggak bisa kumenangkan. Aku nggak sebodoh itu."
Aku tidak bodoh dan tahu maksud Dino dengan jelas. Dia tidak takut pada tinju laki-laki itu. Dia hanya sedang menikmati adegan murahan yang laki-laki itu sedang pertunjukkkan. Untuk meyakinkan bahwa apa yang dikatakannya kemarin benar adanya, bahwa hubunganku dan laki-laki itu masih jauh dari selesai.
"Aku yang akan mengantar Lila pulang," suara laki-laki itu terdengar tegas. Meskipun tidak bisa melihat karena posisiku yang tidak memungkinkan, aku dapat membayangkan caranya menatap Dino. Sejak dulu dia selalu posesif kepadaku. Dia selalu balik menatap tajam kepada setiap lelaki yang kebetulan bertukar pandang atau hanya sekadar menatapku. Dia selalu bersikap berlebihan seolah-olah para lelaki itu akan menggodaku, padahal aku tidak secantik atau semenarik itu. Aku bukan jenis perempuan yang akan membuat setiap lelaki yang melihatku lantas meneteskan air liur.
"Aku nggak akan ke mana-mana dengan kamu," sentakku. "Bagian mana dari kalimat aku nggak mau bicara denganmu yang nggak kamu mengerti?"
"Kalian memang punya banyak hal yang harus dibicarakan, La." Dino malah menyetujui pendapat laki-laki itu. Dasar kurang ajar! "Masalah itu diselesaikan dan bukan dihindari. Ini kesempatan kalian."
"Diam, No!" Aku tidak butuh pendapatnya. Tidak sekarang. Aku hanya ingin pergi dari sini, jauh dari laki-laki ini. Berada di dekatnya menyerap habis kepercayaan diriku.
"Hen?" Suara lain menyela kami. Suara seorang perempuan. Sosok itu kemudian muncul dari belakang Hendy. Perempuan itu! Perempuan penyebab semua kehilanganku. "Kamu di sini? Aku mencarimu di dalam. Aku kira kamu nggak datang. Aku—" Dia terdiam saat melihat posisi kami. Seandainya dia kekasih laki-laki itu, perasaannya pasti tidak nyaman. Melihat kekasihmu memeluk wanita lain dengan posesif tidak akan membuatmu bahagia. Namun laki-laki itu tidak berniat melepaskanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Dino berdeham, memecah kecanggungan di antara kami. "Kelihatannya kalian nggak bisa bicara sekarang." Dia mendekat. "Ayo pulang, La."
Pelukan di perutku kembali mengetat. "Sudah kubilang aku yang akan mengantarmu pulang."
"Hen—" Perempuan itu ikut mendekat. "Ada yang ingin aku omongin."
"Lepaskan tanganmu," ujarku dingin. "Bukan aku yang mau bicara dengan kamu. Jangan membuatku terlihat bodoh. Kamu mungkin bangga berada di tengah dua orang perempuan, tapi aku nggak suka terlibat situasi konyol seperti ini."
Tangan itu terlepas. Ada rasa kehilangan yang kurasakan. Ya Tuhan, aku benar-benar menyedihkan. Aku segera menghambur ke arah Dino, berpegang pada lengannya, berusaha mencari kekuatan dari sana.
"Ayo kita pulang." Dino mengusap punggungku perlahan. Tiba-tiba aku ingin menangis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top