Tujuh

Bau masakan segera menyergap hidung begitu aku membuka pintu apartemen. Hanya ada satu orang yang tahu nomor kombinasinya. Aku tidak bisa menahan senyum. Aku tahu kami akan berbaikan, meskipun tidak menduga secepat ini setelah apa yang sudah kukatakan padanya. Dino memang tidak pernah menyimpan dendam. Berbeda denganku.

"Semoga kamu belum makan." Dino menoleh padaku. Dia menunjuk wajannya. "Aku nggak mungkin menghabiskan semuanya."

Aku menggeleng. "Hari ini aku nggak sempat mikirin makanan." Aku mendekat ke meja dapur, mengintip apa yang sedang dimasak Dino.

"Hei, jangan pernah meremehkan makanan. Aku menyambung hidup dari bisnis mengisi lambung itu."

Aku tersenyum lebar. Tidak ada sisa-sisa kekesalan yang bisa kutangkap dari raut Dino. "Kedengarannya itu bisnis serius."

Dino ikut meringis. "Sangat serius, karena itu kamu nggak boleh ngeremehin makanan."

Tidak ada tanda-tanda kami kemarin saling berbantahan dengan wajah berkerut. Dino seperti sudah lupa kata-kata kasarku.

"Aku minta maaf." Aku harus mengucapkannya untuk menjaga Dino tetap berada di sisiku. Aku tidak bisa kehilangan dia. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. "Aku nggak seharusnya ngomong seperti itu meskipun sedang marah."

Dino menghentikan gerakannya mengiris bawang bombay. "Orang bisa ngomong apa saja saat sedang marah. Lupakan saja, La. Aku juga salah sudah memancing kamu."

Aku menopang pipi dengan sebelah tangan, meneleng menatapnya. "Luka yang dia torerhkan terlalu dalam dan sakit untuk dimaafkan." Hanya dengan mengucapkannya, aku merasa seperti baru mengiris sembilu di atas luka lama yang belum mengering. Perih. "Akan lebih mudah kalau ada obat yang bisa menyembuhkan luka-luka tertutup seperti ini. Apa aku salah karena nggak bisa memaafkan dia?"

Kali ini Dino meletakkan pisaunya. Dia menatapku prihatin. "Penjelasannya gampang banget, La. Kamu masih cinta dia."

Aku menggeleng sekuat yang kubisa. "Aku membencinya. Sangat."

"Karena kamu mencintainya. Kebencian yang kuat hanya datang dari rasa cinta mendalam. Kamu maksain diri membencinya karena cinta itu masih hidup dalam hati kamu, La. Kamu pikir, dengan terus menghidupkan benci, kamu akan kehilangan kemampuan mencintainya. Tapi kamu salah. Dia nggak akan berarti lagi bagimu saat kamu sudah melepaskan kebencian itu. Karena dia kemudian nggak penting lagi untuk kamu ingat." Dino menarik kursi dan duduk di depanku. Matanya menatapku tajam. "Masalahnya, kamu nggak ingin lupa, karena dia masih sangat berarti untuk kamu. Akui saja."

Aku tertawa getir. "Kamu belajar psikologi di sekolah kuliner?"

Dino tersenyum jail. "Kenapa? Kebijaksanaanku bikin kamu kaget? Aku hanya nggak ramah sama orang yang membuat kekacauan di dapurku. Hei—" Dia berdeham. "Aku senang kita bisa ngomongin ini dengan cara beradab dan nggak saling cakar kayak kemarin. Aku nggak akan memaksa kamu melakukan apa pun yang nggak kamu sukai, La. Hanya saja, apa kamu nggak mikir sekarang sudah saatnya kamu memulai hidup?"

Aku memutar bola mata. "Apa maksud kamu dengan memulai hidup? Kamu pikir aku selama ini koma?"

Dino mengelus punggungku. "Ayolah, kamu tahu maksudku. Kamu masih muda dan cantik. Ada kehidupan yang menyenangkan di luar sana kalau saja kamu punya keinginan dan keberanian untuk menengok."

Aku kembali menggeleng, muram. "Aku nggak berminat menengok sebelum aku bisa membalasnya."

Dino menatapku kesal. "Lihat, kita selalu kembali ke sana, kan? Dendam itu sama saja dengan meracun diri kamu sendiri, La. Dengan dosis kecil tapi konsisten. Bunuh diri. Kamu coba deh berhenti merusak diri sendiri."

Aku mendesah. Aku tidak bisa mengikuti cara berpikir laki-laki di depanku ini. "Kamu nggak benci dia, No?"

"Membenci takdir?" Dino terus mengelus punggungku. Telapak tangannya meninggalkan jejak hangat di sana. "Ada hal-hal yang nggak bisa kita lawan meskipun berusaha. Andai aku ngikutin jejak kamu terus membenci dan menyalahkan Hendy, apa itu akan mengubah masa lalu? Nggak, kan? Apa yang sudah hilang nggak punya tempat untuk kembali. Terkadang kita hanya perlu ikhlas."

"Semudah itu?" Aku mencibir. Aku tidak sedermawan itu. Tidak akan.

"Nggak mudah. Ikhlas perlu usaha, Sayang."

Aku berdiri, kehilangan keinginan untuk melanjutkan percakapan. "Maaf harus bikin kamu kecewa, tapi aku bukan malaikat."

"Apa enaknya jadi malaikat yang jalannya lurus, La? Menjadi manusia itu menyenangkan. Meskipun jalan di depanmu lurus, kamu bisa berbelok kalau mau. Kamu bisa salah dan belajar dari situ. Kalau kamu mau, sih."

"Ini obrolan yang terlalu berat untuk perut kosongku." Lebih baik aku mandi sekarang. Berendam dalam bak jelas lebih nyaman daripada melanjutkan percakapan ini. Bisa-bisa kami akan kembali saling mencakar.

"Mandilah." Dino seperti membaca pikiranku. Dia tidak memaksa. "Jangan terlalu lama. Pasta kayak gini nggak enak kalau dingin."

**

Aku sudah menjanjikan keberhasilan proyek yang kutangani pada Pak Yudi. Dan itu berarti aku –secara tidak langsung— juga menyepakati pertemuan yang akan terus terjadi dengan laki-laki itu. Hari ini kami punya janji temu. Mega sudah mengingatkan aku.

Aku berharap laki-laki itu tidak perlu hadir di pertemuan. Ya, itu memang harapan yang terlalu muluk melihat usahanya yang keras untuk bisa bicara padaku. Pertemuan ini membuat aku yang malah harus melangkahkan kaki dengan sukarela untuk menemuinya.

"Mbak Lila baik-baik saja?" tanya Mega dengan nada khawatir saat selop kami sudah beradu dengan marmer lobi hotel tempat pertemuan ini akan dilaksanakan.

"Aku baik." Apa yang gadis ini takutkan? Sandiwara sebabak lagi? Aku yakin itu tidak akan terulang. Laki-laki itu tahu bagaimana harus bersikap. Juga tidak ada Dino yang akan memprovokasinya.

Seperti dugaanku, laki-laki itu hadir di pertemuan. Tidak seperti sebelumnya, kali ini ekspresinya datar. Tidak ada emosi yang bisa kutangkap. Seharusnya aku senang, tetapi tidak, aku malah sebal melihatnya. Mengapa dia harus setenang itu? Apakah dia merencanakan sesuatu? Dia tidak boleh merencanakan apa-apa. Dia tidak berhak merencanakan apa pun. Akulah yang seharusnya membuat banyak rencana untuk membalaskan dendamku.

"Jadi kita sudah sepakat untuk meninjau lokasi pembangunan hotel ini, kan?" laki-laki itu menatapku. Aku melengos. Mengapa dia harus menanyakannya kembali? Apakah dia tuli sehingga tidak mendengar pesetujuanku tadi? "Bagaimana kalau hari kamis, tiga hari lagi, Bu Lila?"

Bu Lila? Telingaku langsung gatal mendengarnya. Dia mau perang urat saraf? Baiklah, ia akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku akan melayani perangnya dengan senang hati.

"Kami akan memesan tiket ke Raja Ampat setelah tahu berapa orang yang akan menyertai Bu Lila ke sana."

"Raja Ampat?" Intonasi suaraku langsung meninggi. Kenapa aku sampai melupakan detail sepenting itu? Sejak awal aku sudah tahu lokasi tempat hotel itu akan dibangun, tetapi konflik yang memenuhi benakku setelah pertemuan kami membuatku lupa kalau aku harus meninjau lokasi pembangunan hotel di ujung paling timur negeri ini.

"Ya, Raja Ampat, Papua Barat," dia menjelaskan seolah-olah aku tidak tahu di mana Raja Ampat berada. "Kita membutuhkan tiket untuk ke sana. Jangan khawatir, sudah saya bilang, kami yang akan mengurus transportasi dan akomodasi. Nah, berapa orang yang akan ikut dengan Ibu?"

Ya Tuhan, Papua Barat? Dan aku akan ke sana bersamanya? Boleh aku membunuhnya sekarang? Itu perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku tidak bisa membayangkan terjebak di pedalaman bersama laki-laki itu, hanya ditemani nyamuk penyebar malaria.

"Saya boleh ikut, Mbak Lila?" tatapan mata berbinar penuh harap Mega membuatku menghela napas makin berat. Ini bukan masalah dia boleh ikut atau tidak. Ini masalah keberadaan laki-laki itu di dekatku untuk beberapa waktu.

Aku merasa kepalaku terasa sakit. Aku harus memikirkan sesuatu. Masalahnya, benakku seringan balon gas berisi helium. Kosong. Aku tidak bisa berpikir tentang apa pun.

**

Laki-laki itu menggabungkan diri dalam selimut denganku. Dia berbaring menghadapku, melingkarkan tangannya di pinggangku.

"Sayangku baca apa sih?" Napasnya berembus di telingaku. Aku tahu maksudnya. Dia tidak ingin tahu apa yang sedang kubaca, dia hendak menyingkirkan bacaan di tanganku.

Aku menjauhkan kepala. "Brosur perjalanan ke Raja Ampat." Aku menunjukkan kertas tebal itu padanya. "Kelihatannya menarik. Seharusnya kita berbulan madu ke sana dan bukannya malah ke Eropa."

Laki-laki itu merebut brosur di tanganku dan melemparnya begitu saja. "Bukannya semua perempuan suka jalan-jalan di Eropa? Semua tempat di sana menjanjikan keromantisan." Dia kembali mengendus leherku.

"Hei," Aku kembali menjauhkan kepala. Usaha yang sia-sia karena dia sudah menarik tubuhku merapat padanya. "Dan pemandangan romantis mana yang sempat kamu tunjukan sama aku, Tuan Besar? Kita seminggu di sana, tetapi hampir nggak pernah keluar dari kamar hotel."

Laki-laki itu tertawa. "Bukannya itu inti dari bulan madu? Aku menunggu cukup lama untuk bisa menyekapmu dalam kamar. Menurut kamu aku akan membuang waktu hanya untuk melihat sungai, monumen, dan gondola bodoh itu?"

Aku mencebik. "Astaga, aku ternyata nikahnya sama laki-laki mesum."

"Mesum itu menyenangkan. Sini biar aku tunjukkan apa itu mesum." Dia menyibakkan selimut dan menempatkan tubuhnya di atasku. "Kamu akan menyukainya. Maksudku, aku sudah berhasil bikin kamu suka, kan?" Nada suaranya terdengar nakal.

**

Update 2-3 kali seminggu, bisa lebih (hehehe...) sebelum  open PO.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top