Tiga Belas
HENDY
Namaku bukan Hendy Murtopo kalau menyerah pada penolakan seorang gadis. Lila tidak membenciku. Dia juga tidak menolak kehadiranku. Jadi aku yakin hanya masalah waktu dia akan jatuh cinta padaku karena terbiasa. Aku hanya perlu terus berada di dekatnya.
Lila akan bersemangat kalau bicara soal pekerjaan. Mata besarnya akan berbinar-binar. Dia benar-benar menyukai dan menikmati apa yang dikerjakannya.
Hal lain yang juga bisa membuatnya menganga dan tersenyum lebar adalah makanan. Dia akan menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dan membunyikan buku-buku jarinya begitu melihat makanan mengepul yang terhidang di depannya. Dia akan menatapku dan berkata, "Selamat makan!" Dan mengulang-ulang kata 'wah'. Dalam mode seperti itu, dia persis karakter dalam animasi Jepang.
Sayangnya, antusiasmenya lantas terjun bebas saat pembicaraan sudah menyerempet soal hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dia akan memulai kalimatnya dengan, "Kata Rima—" Dan itu membuatku jengkel. Apakah dia tidak pernah punya hubungan asmara sebelumnya? Itu tidak masuk akal. Dia cantik. Menarik. Sedikit tomboi memang, tetapi itu daya pikat yang lain, yang membuatku bertahan di sisinya meski sinyal yang dipancarkannya belum berwarna hijau.
"Kata Rima, laki-laki akan melakukan apa saja untuk seorang perempuan supaya mendapatkan keinginannya. Yaitu—" Dia mengerutkan bibir, mengangkat bahu, dan melambaikan tangan di udara. Wajahnya jadi terlihat lucu. Dia mendekat dan merendahkan suaranya, seolah yang dikatakannya adalah rahasia. "Membawamu ke tempat tidur."
Rima sialan. Dia benar-benar sudah meracuni pikiran Lila. Aku jadi penasaran ingin melihat wajahnya. Apakah dia juga berkeliaran dengan jins dan kemeja gombrang?
"Kamu pernah jatuh cinta?" tanyaku memancing.
Wajahnya merona. Itu sudah menjawab pertanyaanku. Aku benci kepada siapa pun laki-laki yang kejatuhan cinta Lila.. "Tentu saja pernah. Aku normal," katanya tersinggung.
"Kamu masih pacaran dengan dia?" Aku tidak suka mengucapkannya, tetapi harus. Itu mungkin alasan Lila tidak mau menjadi pacarku, meskipun dia tidak pernah menyebut nama laki-laki lain saat kalimatku mulai gombal dan garing.
Dia menggeleng. "Aku nggak pernah pacaran dengan dia."
"Apa?" Tidak masuk akal. Dia tersipu karena seseorang yang tidak pernah menjadi pacarnya? Gadis ini bodoh atau apa? "Kenapa?" kejarku.
Lila mengembuskan napas panjang. "Dia nggak tertarik padaku."
Siapa laki-laki kurang ajar yang seenaknya menolak Lila? Aku harus menjabat tangannya dan bilang, 'Terima kasih sudah menjadi orang bodoh dan memberikan kesempatan ini padaku, Bro. Aku sangat menghargainya'. Mungkin aku bahkan harus mengajaknya nongkrong bareng supaya ketularan kerennya. Gila saja dia bisa tidak tertarik pada gadis yang membuatku jatuh bangun mengejar dan menjelma menjadi pengemis cinta. Aku saja geli dan jijik membayangkan noraknya diriku sekarang. Mirip penyanyi dangdut bermuka mellow yang galau merana. Dan aku benci dangdut. Hanya saja, mau bagaimana lagi? Ini bukan perasaan yang bisa ditahan dan diajak kompromi. "Maksud kamu?"
"Dia bahkan nggak tahu aku suka padanya." Lila mendesah. Dia menerawang seakan mengingat. "Itu sudah lama sih."
Jadi Raffa benar, Lila memang anak perawan. Dan seseorang bernama Rima membuatnya melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan tampak menakutkan.
"Aku mencintaimu," kataku tanpa peduli jika pernyataanku itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang kami percakapkan.
Dia menatapku lama sebelum berkata, "Kata Rima—"
"Aku nggak mau tahu apa kata Rima," potongku jengkel. "Aku nggak memintamu menjawabnya. Aku hanya ingin tahu bahwa aku serius padamu. Satu lagi, tolong bilang sama Rima kalau aku bukan penjahat kelamin seperti dugaannya."
Matanya makin melebar. "Memangnya ada penjahat yang mengaku?"
Astaga, anak ini beneran minta dicium!
**
Rima yang menjadi patron Lila jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Tidak ada jins, kaos, atau kemeja gombrang. Dia seperti etalase berjalan. Manekin para desainer. Semua yang dikenakannya bermerek. Dia adalah gadis yang menjadi tipeku sebelum mengenal Lila.
Dia mengenakan gaun Givenchy saat pertemuan kami yang pertama. Tas Chanel, dan Sepatu Jimmy Choo. Bagaimana aku tahu? Adikku Marsya suka belanja dan sering memakai jasaku sebagai tukang angkut barang. Aku sudah familier dengan simbol-simbol merek. Pacarku dulu juga shophaholic dan aku juga jadi porter-nya.
Entah bagaimana, tetapi penampilan bumi dan langit itu merupakan kombinasi menakjubkan. Rima merias wajahnya dengan teliti sementara Lila dengan santai mengipasi keringat dengan apa pun yang bisa diraih tangannya. Aku baru yakin mereka benar-benar bersahabat saat melihat dan mendengarnya berinteraksi.
"Hendy," Aku mengulurkan tangan padanya, memamerkan senyum paling lebar yang bisa kubuat. Boneka ini adalah tiketku untuk mendapatkan hati Lila. Aku harus berbaik-baik padanya.
"Rima," jawabnya singkat tanpa ekspresi. Dapat kulihat jika senyumku gagal menjalankan tugasnya. Dan senyumku tidak pernah mengecewakan aku sebelumnya. Sebelum dipakai menghadapi dua gadis itu, maksudku. "Kamu temannya Putra, kan?"
Ooh... dan semuanya menjadi masuk akal. Rima pasti salah seorang mantan gadis Putra, si penjahat kelamin sebenarnya. Anak itu memang kurang ajar. Reputasinya dengan perempuan sangat buruk. Tapi dia teman yang baik dan setia kawan. Manusia adalah manusia, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dan kekurangan Putra adalah perempuan cantik. Hanya saja, menurut dia itu malah kelebihan.
"Dude, nggak semua orang punya kemampuan memikat perempuan cantik seperti gue," gelaknya saat Raffa bicara tentang kebiasaan Putra mengganti pasangan yang dosisnya seperti resep dokter saat memberi obat.
"Dan lo nggak takut kena AIDS, atau lebih buruk lagi, adek lo di bawah sana harus dipotong karena penyakit kelamin lain yang mengerikan?" Raffa terus mencoba menakuti.
"Itulah gunanya lateks tipis bernama kondom, Man," Putra tidak mau kalah. "Penemuan abad ini. Sekarang sudah sangat tipis. Terasa nggak pakai apa-apa. Hei, apa penemunya pernah meraih nobel, atau apalah untuk menghargai jasanya?"
Bodoh kalau mau melayani Putra untuk jenis percakapan seperti itu.
Ketika aku akhirnya berhasil mendapatkan Lila dan menjadikannya sebagai kekasihku, kurasa Rima cukup berperan. Dia tida serta merta menerimaku dengan sukarela. Senyumnya saja masih irit. Namun dia keberatan bergabung saat aku mengajak Lila makan. Tidak protes saat melihatku betah nongkrong di apartemen Lila sepulang kantor, atau di akhir pekan. Kadang-kadang Rima malah pulang lebih dulu untuk memberiku kesempatan lebih sering berduaan dengan Lila. Sikap Rima itu yang membuat Lila lebih mudah menerimaku. Strategiku memenangkan hati Lila dengan membuat sahabatnya merasa nyaman denganku, berhasil dengan sangat baik. Strategi yang mungkin tidak dipakai oleh laki-laki lain, karena biasanya mereka malah menjauhkan kekasih mereka dari teman-temannya untuk dimonopoli sendiri. Menurutku itu bukan cara cerdas. Seperti halnya kita yang masih butuh nongrong dengan teman-teman, kekasih kita juga perlu kehidupan sosial mereka sendiri yang tidak melibatkan kita di dalamnya. Mereka butuh temannya sendiri untuk quality time sehingga tidak perlu merecoki kita setiap saat.
Jadi aku lebih suka menganggap Rima sebagai sekutu, alih-alih musuh. Sekarang dia mungkin belum ikhlas menerimaku, tapi suatu saat nanti, aku yakin dia bisa menjadi pendukungku untuk membujuk Lila yang ngambek padaku. Untuk misi itulah, aku berupaya menyuap Rima setiap ada kesempatan.
"Sayang, aku punya dua undangan untuk ke Jakarta Fashion Week," aku berteriak begitu membuka pintu apartemen Lila. Aku sudah tahu kombinasinya. Aku malah sudah mengganti kombinasi itu dengan tanggal lahirku sendiri. Ya, aku menyedihkan, tetapi aku tidak peduli. Aku melepas sepatu dan segera bergabung dengan Lila yang duduk di sofa dengan cangkir di tangan, mencium kepalanya sekilas. "Kamu bisa nonton dengan Rima."
Lila cemberut. "Kamu kan tahu aku nggak suka acara seperti itu, Hen. Baju-baju rancangan desainer terlalu aneh untuk seleraku. Kamu malu punya pacar yang penampilannya kayak aku?"
"Astaga, kenapa pikiranmu sampai ke situ? Aku nggak punya masalah dengan penampilanmu. Aku mencintai diri kamu dan bukan apa yang membungkusmu." Aku berusaha meyakinkan Lila yang menatap protes. "Aku kasih ini karena ini undangan terbatas, dan kupikir Rima akan suka. Aku hampir kehabisan akal cari cara membuatnya menyukaiku, Sayang. Dia sahabatmu, dan aku mau dia juga nyaman denganku. Nggak melotot setiap kali melihatku."
Dan Lila tersenyum. Aku suka senyumnya. Senyum yang segera mencerahkan hariku yang berat sekalipun. "Terima kasih, Hen," katanya. Itu yang aku tidak suka darinya. Sebutannya untukku. Sudah berulang kali aku memintanya memanggilku dengan sebutan 'sayang' sebagaimana aku memanggilnya, tetapi dia menolak. "Kesannya posesif, Hen. Seperti menyatakan kepemilikan."
"Aku memang milikmu," jawabku norak. Aku pasti mual kalau mendengar kalimat itu diucapkan oleh laki-laki lain kepada kekasihnya. "Aku suka kamu posesif padaku."
Lila lantas tertawa seperti biasa. "Nanti, ya. kalau surat bukti kepemilikannya sudah terbit."
"Akta nikah? Gampang itu. Tinggal panggil penghulu saja, kan?" Aku serius. Semua tentang Lila terasa mudah. Bahkan komitmen tidak lagi menakutkanku. Membayangkan diriku terikat selamanya dengan dia menghangatkan hati. Ya, cinta memang bisa membuat seseorang menjadi pujangga murahan dadakan. Seperti aku.
"Beneran, Hen?" Mata Lila membulat lucu, jelas sekali tidak percaya ucapanku.
"Aku nggak pernah main-main kalau itu tentang kamu, Sayang."
"Bukan semacam jebakan untuk, kamu tahu—" Lila membuat tanda kutip dengan jari di dekat kepalanya. "Berbagi tempat tidur denganku?"
Aku berdecak. Dasar gadis menyebalkan! Dia pikir aku pemangsa perempuan? "Keluarkan monster mesum yang ada di kepala kamu sekarang. Aku masih ingat perjanjiannya."
Saat menyetujui untuk menjadi kekasihku, Lila mengatakan ini padaku, "Hen, aku menerima kamu karena aku mencintaimu juga. Hanya saja, bohong kalau aku nggak punya keraguan sama kamu. Bagaimana kalau kamu hanya bermain-main denganku. Aku—"
"Bermain-main?" Aku memotong kalimatnya dengan nada tinggi. Anggapan Lila tentangku pastilah sangat buruk Apakah dia tidak menyadari kalau perjuanganku untuk mendapatkannya tidak mudah? Dan mustahil melepaskan apa yang sudah susah payah kita perjuangkan.
"Jangan dipotong dulu," kata Lila menenangkan. "Dengar dulu. Biar aku selesaikan. Karena, Hen, sekuat apa pun kamu membantah, aku nggak bisa lantas percaya. Dari mana aku tahu kamu nggak bohong? Hanya hatimu yang tahu persis apa yang kamu rasakan. Dan aku nggak bisa melongok ke sana. Aku ingin melakukan ini untuk diriku sendiri. Kelak, kalau memang kita nggak berjodoh, aku nggak akan menangisi dan menyesali hubungan kita terlalu lama." Dia diam cukup lama. Wajahnya merona. Sumpah, dia terlihat cantik seperti itu. Aku akan mengabulkan apa pun permintaannya selama itu bukan menyuruhku menjauh. Aku tidak bisa. Aku tidak mau. "Kita nggak akan tidur bersama sebelum menikah."
Aku pasti terlihat bodoh saat melongo. Jadi itu yang membuatnya ketakutan. Dia pikir aku benar-benar penjahat kelamin? Astaga! Aku lantas nyengir dan menggodanya. "Oke, deal. Dapat perawan sekarang ini nggak gampang, Sayang. Aku beruntung banget, jadi nggak mungkin aku nggak bisa nunggu, kan?"
"Segampang itu?"Lila malah menatapku curiga
Ya ampun, apa sih maunya? "Hanya nggak boleh ML saja kan, Sayang?" Aku menggodanya. "Cium dan raba-raba dikit nggak dilarang? Oke, aku baik-baik saja dengan syarat itu kok."
Dan Lila kemudian membelalak sebelum berteriak dengan wajah merah padam.. "Hendyyy...!"
Bagaimana aku tidak mencintai gadis seperti itu?
**
Untuk yang pengen PO, inden sudah dibuka oleh @belibuku jadi bisa setor nama aja, sambil menabung 2rebuan sambil menunggu PO resmi dibuka. Kemarin Kak Sela dari belibuku mengadakan polling, dan hasilnya, kebanyakan pembaca menginginkan PO MTD ini barengan dengan MP untuk menghemat ongkos kirim. Hanya saja, jadwal terbit MP belum ketahuan karena itu terbit mayor. Kalau menurut kalian, gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top