Enam Belas


Hai,  sudah ikut inden MTD ini. Bentuk buku versi cetaknya kayak gini.

Blurbnya kayak gini

Dan dalemnya kayak gini.

Ini fotonya diambil pas malem sih,  jadi berbayang gitu. Ntar dikasih yang lebih jelas deh. Sebelum beneran PO, karena masih nunggu MP. Mau dibarengin.

Oke,  hepi reading,  Gaes...
**
LILA

Seandainya dikategorikan, aku termasuk dalam kelompok orang periang. Aku gampang tertawa. Dan jika tertawa, maka aku akan tertawa lepas. Tidak jaga imej.

Namun itu tidak berarti kalau aku tidak pernah menangis. Meski terkesan sedikit cuek, aku gampang tersentuh. Aku bisa menangis karena sedih atau pun bahagia. Atau bisa karena keduanya.

Salah satu momen yang masih lekat di benakku saat aku meneteskan air mata sedih sekaligus bahagia adalah saat pernikahanku. Aku bahagia karena menikah dengan laki-laki yang kucintai dan mencintaiku –setidaknya itu yang kupikir saat itu— sekaligus sedih luar biasa karena kedua orangtuaku sudah tidak ada untuk menyaksikan. Aku sungguh berharap mereka ada saat itu.

Aku teringat terus terisak setelah ijab kabul selesai. Mama, ibu laki-laki itu lalu memelukku sampai aku tenang. Pelukan yang menenangkan. Pelukan yang mengikatku dengan kasih yang tulus. Pelukan yang membuatku merasa menemukan mamaku kembali. Dia hal terbaik yang aku dapatkan karena menikah dengan laki-laki itu.

Mama tahu aku tidak terlalu suka memasak, jadi dia akan mengisi kulkas di apartemen kami dua kali seminggu dengan macam-macam makanan yang tinggal dimasukkan dalam microwave sebelum dimakan. Memasak adalah hobinya meskipun punya beberapa asisten rumah tangga yang bisa melakukannya.

Saat kembali dari rumah sakit setelah dikuret karena kecelakaan yang juga membuat Rima berpulang, setiap hari Mama datang ke apartemen kami. Dia memasak untukku, memaksa menyuap meski aku aku tidak punya keinginan untuk makan.

Jadi, saat aku memutuskan untuk meninggalkan laki-laki itu, Mama menjadi hal paling sulit kutinggal. Ada saat ketika aku ingin berkeluh kesah kepadanya karena aku tahu Mama pasti akan berada di pihakku. Namun aku tidak bisa melakukannya. Karena aku juga tahu bahwa Mama akan melakukan apa pun untuk memperbaiki hubunganku dan laki-laki itu. Mama akan membujukku untuk memaafkan laki-laki itu. Dan aku terlalu lemah untuk menolak, karena aku masih mencintainya setelah apa yang telah dilakukannya padaku. Bagaimana aku akan menghadapi Rima dan janinku karena selunak itu pada orang yang telah menyebabkan kepergian mereka?

Ketukan di pintu membuat aku mengangkat kepala dari layar laptop yang tidak sepenuhnya menyita perhatianku. Mega muncul dengan senyum manisnya. Dia membuatku iri. Dia selalu terlihat ceria, mengingatkanku pada seseorang. Diriku dulu. Betapa satu peristiwa dapat mengubah seseorang secara drastis. Secepat menjentikkan jari tangan.

"Mbak Lila, ibu Mbak menunggu di luar." Nada Mega secerah wajahnya.

Ibuku? Aku terakhir mengunjungi makamnya bulan lalu. Mamaku tidak akan mungkin melangkahkan kaki ke sini hanya karena merindukanku. Aku masih belum bereaksi saat Mega mundur dan memberi ruang untuk seseorang yang ada di belakangnya untuk masuk ruang kerjaku.

Meskipun sudah tahu perempuan cantik itu yang datang, aku tetap terkejut. Aku tidak siap dengan kejutan seperti ini. Apakah dia mendengar dari anaknya?

"Mama?" Aku memutuskan menghampirinya. Aku berusaha menghalau rasa canggung yang tiba-tiba muncul. Apa pun yang telah dilakukan anaknya kepadaku, tidak sepantasnya dia mendapatkan sikap burukku.

Mama menarikku dalam pelukannya setelah mencium kedua belah pipiku. Tidak ada sikap canggung seperti yang aku tunjukkan. "Mama jemput kamu untuk makan siang," katanya, seolah kami memang sudah janjian. Seolah kepergianku selama dua tahun tidak pernah terjadi. Seolah hubungan kami tidak berubah. "Sudah waktunya istirahat, kan?"

"Sudah." Aku belum sepenuhnya bangun dari keterkejutan. Aku tidak siap. Tidak untuk sebuah makan siang sekalipun. Aku belum punya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukannya.

"Kalau begitu, ayo!" Dia meraih tasku di meja. Sebelah tangannya tetap menggandengku. "Apakah kita harus membawa laptopnya juga?"

Aku memang belum belum mematikan laptopnya. Aku menoleh pada Mega yang masih berdiri di dekat pintu sambil mengawasi kami. Dia mungkin juga merasa heran dengan ketegangan yang wajahku tunjukkan saat menyambut kedatangan ibuku. "Tolong matikan laptopnya," kataku. "Kami akan keluar makan siang."

"Berat kamu turun berapa sih?" tanya Mama ketika kami sudah duduk dalam mobil yang membawa kami ke restoran. Kami berdampingan belakang sopir. "Dua, tiga kilo?"

"Nggak tahu, Ma. Sudah lama nggak naik timbangan." Aku mulai menyimulasi jawaban-jawaban yang akan ditanyakan mama tentang kepergianku dalam benak.

Namun sampai kami telah mengosongkan piring, tidak ada pertanyaan Mama yang mengarah ke sana. Dia bahkan malah semangat bercerita tentang Pram, adik laki-laki itu yang ternyata sudah menikah tahun lalu.

"Mia, isterinya itu orangnya lucu." Mata Mama berbinar saat menyebutnya. "Kamu pasti suka dia. Kalau dia ke Jakarta, kita harus berkumpul. Perempuan-perempan Murtopo. Mama, kamu, Mia, dan Marsya." Mama membicarakan hal itu seolah-olah aku masih bagian dari keluarga itu.

"Dia, maksudku, isteri Pram nggak tinggal di Jakarta, Ma?" Aku memutuskan pura-pura tidak menyadari apa yang baru dibicarakan Mama, dan mengalihkan pada hal lain.

"Dia masih tinggal di Makassar, harus kelarin kontrak kerjanya dulu sebelum pindah ke sini. Pram bolak-balik ke sana setiap akhir pekan. Tapi bulan depan Mia akan cuti dan tinggal tiga bulan di sini."

Aku hanya tersenyum, karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku tidak kenal Mia. Akan tetapi, kalau dia bisa mendapatkan hati Pram, dia pasti istimewa. Pram berbeda dengan laki-laki itu. Pram lebih tenang dan kalem.

Sampai saat mengantarku kembali ke kantor, Mama tidak menyinggung apa pun tentang aku dan laki-laki itu. Dia hanya menanyakan alamatku. "Mama akan ke tempat kamu bersama Marsya lusa. Mama akan masak untuk kamu. Nggak perlu repot, Mama yang akan membawa semua bahan-bahannya. Oh ya, kamu punya panci dan wajan?" Mama masih ingat aku tidak terlalu suka memasak.

"Ada, Ma." Peralatan di dapurku lengkap karena Dino sering memasak di sana. Dia yang membeli semuanya. Mama pasti akan terkejut saat melihatnya.

"Sampai ketemu, ya." Mama melambai sambil tersenyum lebar.

Aku masih terpaku di tempatku lama setelah mobil Mama menghilang. Kurasa aku dalam masalah. Memotong diriku dari laki-laki itu dan keluarganya ternyata tidak semudah yang kubayangkan.

**

"Ibu dan adiknya mau datang ke sini lusa," ujarku pada Dino saat dia muncul di apartemenku. Aku yang menyuruhnya datang. Aku harus bicara pada seseorang supaya tidak senewen sendiri.

"Lalu?" Dino kelihatan lebih tertarik pada lelehan keju mozzarella daripada ceritaku. Aku menjauhkan kotak pizza itu dengan jengkel.

"Mereka akan datang ke sini, No. Di sini. Di sarangku. Dan kamu bilang 'lalu'?" Aku merasa sedang bicara dengan orang bodoh.

"Jadi kamu mau aku bilang apa? Pura-pura kaget? Kalau kamu nggak suka mereka ke sini, tolak saja. Ada banyak alasan untuk menolak. Gampang, kan?"

Enak saja dia bilang gampang. Gampang kalau yang datang adalah laki-laki itu. Aku hanya perlu membanting pintu di depan wajahnya. Syukur-syukur bisa mencederai hidungnya yang mancung itu. Astaga, apa aku baru saja membayangkan hidung laki-laki itu? Hidung yang selalu berlabuh di leherku untuk mengendus sebelum turun ke... sial! Aku benar-benar tidak tertolong lagi.

"Kamu harus menemani aku nanti." Aku menggeleng, mengusir pikiran aneh yang rajin menggerogoti kepalaku setelah 'kecelakaan' di Raja Ampat beberapa hari lalu. Peristiwa singkat, baiklah, cukup lama untuk membakar habis dan meleburkan semua kebencian dan kerinduan yang lama mengendap. Namun kejadian itu tetap saja cukup singkat untuk siksaan yang harus kualami setelahnya. Aku seperti masih merasakan hangat kulitnya di tubuhku. Tangannya yang tidak berhenti membelai.

"Kamu harus belajar menyelesaikan urusanmu sendiri, Sayang." Tepukan Dino di kepalaku mengembalikanku ke alam nyata. "Aku masih ingat rasa kepalan tangannya di wajahku, La. Cukup sekali, aku nggak mau dapat bogem lagi."

Aku menekan-nekan wajahku dengan telapak tangan. Mencoba mengusir rona yang muncul di sana karena apa yang baru saja kupikirkan. "Kamu tega, No."

Dino menatapku kesal sambil menarik kembali kotak pizza yang tadi kudorong. "Terbalik, La. Kamu yang tega mau bikin aku bonyok lagi."

"Dia nggak akan melakukannya lagi." Aku tidak yakin, tetapi harus mengucapkannya untuk membuat Dino mau menemaniku lusa. Dia akan memudahkan aku menghadapi Mama dan Marsya. Atau bisa juga untuk memberi pesan yang salah kepada mereka tentang Dino. Dino adalah tiket untuk membuatku menjauh dari keluarga itu.

"Nggak akan melakukannya lagi?" Dino mengulang setengah mengejek. "Dia terlihat mau membunuhku dengan tangannya sendiri. Maaf ya, La. Aku masih mau hidup."

"No, ayolah!" Aku masih mencoba membujuk.

"Nggak!" Dino menggeleng kuat-kuat. "Aku nggak akan melibatkan diri di antara kalian. La, dengarin ya, kenapa kalian harus menyiksa diri seperti ini? Siapa pun yang lihat pasti tahu kalau kalian masih saling cinta. Maafkan dan terima dia. Hidup bahagia selamanya, seperti cerita dalam dongeng-dongeng bodoh itu."

Aku menatap Dino tidak percaya. Dari semua orang yang ada di dunia, dia satu-satunya orang yang tidak boleh berkata seperti itu. Dia seharusnya ada di belakangku, untuk terus menyuntikkan kebencian agar aku tidak terpedaya dan kembali pada laki-laki itu seandainya dia memang memintaku untuk kembali.

"Rima pergi karena dia, No!" teriakku. "Kamu nggak lupa, kan?"

Dino menggenggam kedua tanganku yang gemetar. "Rima pergi karena waktunya di dunia sudah habis, La. Takdirnya sudah seperti itu. Kamu harus terima itu."

"Dia pasti masih hidup kalau nggak ikut aku ke hotel waktu itu." Aku berkeras.

"Kepergiannya memang sudah digariskan seperti itu, La. Jangan pernah mempertanyakan keputusan Tuhan. Kamu hanya perlu percaya."

Air mataku jatuh. Seharusnya Dino tidak sedermawan itu menghambur maaf. "Janinku? Kamu mau bilang itu juga takdir, No?"

"Kamu sudah menjawab pertanyaan kamu sendiri, La. Dalam hati sebenarnya kamu sudah tahu. Kamu hanya menolak untuk mengakuinya."

Aku terisak. Dino menarikku dalam pelukannya. Dia mengusap punggungku pelan, tetapi menjadikan isakanku makin besar dan tak terkendali. "Dia juga mengkhianati aku, No."

"Orang melakukan kesalahan dalam hidup, La. Itu manusiawi"

"Nggak jenis kesalahan seperti itu!" bantahku cepat. "Pengkhianatan nggak bisa dimaafkan."

"Baiklah, dia bodoh." Dino menjauhkan wajahku dari dadanya. Tangannya mengusap air mataku. "Tapi si bodoh itu terlihat menyesal. Orang yang sungguh-sungguh menyesal nggak akan mengulangi kesalahannya, La. Pilihannya ada di tangan kamu. Kamu mau hidup tersiksa tanpa dirinya seperti sekarang, atau memaafkan dan memulai kembali hidupmu bersamanya."

"Aku nggak bisa, No."

"Jangan langsung bilang nggak, pikirin dulu. Nggak bisa dan nggak mau itu berbeda."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top