Dua Belas

HENDY

Aku pertama kali melihat gadis itu saat ke kantor Raffa. Tidak sengaja. Suara tawanya yang menarik perhatianku. Tawanya lepas, keras, dan terkesan tak peduli dengan perhatian yang lantas tertuju kepadanya. Bukan perhatian dalam konotasi buruk sih, karena beberapa orang yang menoleh melihatnya malah lantas ikut tersenyum, seolah tahu apa yang membuatnya kegirangan. Sepertinya gadis itu lumayan terkenal di gedung ini, karena dia kemudian terlibat percakapan singkat dan membalas sapaan beberapa orang.

Aku terus melihatnya sampai lift yang kutunggu kemudian membuka dan aku masuk. Aku segera melupakannya. Suara tawa gadis itu memang terdengar menyenangkan, tetapi dia bukan tipeku. Maksudku, dia bukan gadis yang kubayangkan akan kugandeng ke mana-mana. Aku terakhir kali mengencani seseorang yang mengenakan jins seperti gadis tadi saat masih SMU. Aku lebih suka pada gadis manis yang mengenakan rok atau gaun. Kesannya feminin. Aku mencari kekasih, bukan lawan taekwondo. Gadis tomboi tidak pernah menarik perhatianku.

Aku sama sekali tidak mengingat gadis penuh tawa itu lagi sampai melihatnya kembali beberapa minggu kemudian, di tempat parkir gedung Raffa. Sebenarnya, aku belum tahu itu dia saat Raffa menegurnya.

Gadis itu sedang berdiri di depan kap mobil yang terbuka. Kami datang dari belakangnya.

"Mobilnya kenapa, La?" tanya Raffa.

Gadis itu berbalik. Dia langsung meringis saat melihat Raffa. "Ngadat, Mas. Biasa, mobil tua. Sudah capek kayaknya."

Aku melihat Jeep gadis itu. Pilihan mobil yang tidak biasa untuk seorang gadis. Apalagi dengan tubuhnya yang cuma selembar itu.

Raffa menepuk badan mobil itu. "Iya, sudah uzur nih, La. Mau aku tukar dengan yang baru?"

Aku bukan pencinta mobil antik, tapi cukup tahu nilai mobil gadis itu. Jeep keluaran lama, tetapi bodinya jelas sangat terawat. Jenis yang diburu pencinta mobil antik, seperti Raffa.

Gadis itu tertawa. Saat itulah aku baru mengenalinya. Dari tawanya yang lepas. "Itu tawaran menggiurkan, Mas. Tapi arwah Papa saya nggak akan tenang di alam sana kalau tahu mobil ini sudah pindah tangan."

"Mau saya panggilkan bengkel, La?" tawar Raffa lagi, ikut tertawa. Aku mengernyit. Tidak biasanya dia begitu ramah kepada seseorang. Aku kenal dia dengan baik, dan tahu persis jika selera kami dalam hal perempuan sebelas dua belas.

"Nggak perlu, Mas. Sudah kelar, kok. Kami sudah bersahabat cukup lama, jadi penyakitnya saat ngambek langsung ketahuan." Gadis itu menutup kap mobilnya. Dia menunjukkan tangannya yang kotor. "Saya masuk bersih-bersih dulu, Mas." Dia hanya melihat sebentar padaku, tersenyum tipis, dan lantas berbalik.

"La," panggil Raffa. "Rok kamu bagus."

Aku memutar bola mata mendengarnya. Astaga!

Gadis itu kembali tertawa. "Ini dapat pinjam dari Rima untuk keperluan meeting, Mas. Bu Dewi bilang, saya nggak boleh ikut meeting sama dia kalau pakai jins seperti biasa. Katanya nggak profesional."

"Tapi itu cocok untuk kamu, kok." Nada menggoda Raffa kental sekali.

"Tapi ini bencana, Mas. Saya hampir terjatuh karena terus-menerus menginjak ujung rok ini. Ternyata untuk terlihat profesional butuh usaha." Gadis itu kembali tertawa dengan suaranya yang khas, sebelum akhirnya melambai dan pergi.

"Siapa?" tanyaku setelah gadis itu menghilang dari pandangan kami.

"Karyawan gue," jawab Raffa pendek.

"Karyawan lo?" Aku meringis mencemooh. "Mas, heh?"

Raffa menyikutku sembari tergelak. "Gue terlalu muda dan tampan untuk dipanggil Bapak, kan?"

"Siapa namanya?" kejarku.

Raffa menggeleng. "Lupakan saja, Hen. Dia bukan tipe lo."

"Hei, gue hanya tanya namanya. Jangan berlebihan gitu, dia karyawan lo, bukan anak gadis lo."

"Lo natap dia kayak kucing yang siap menggarong ikan, Hen." Raffa menepuk lenganku. "Lo pikir gue buta sampai nggak lihat lo ileran gitu?"

Aku ikut tertawa. "Kelihatannya dia lucu."

"Dia nggak lucu. Jangan tertipu penampilannya. Biasanya dia nggaak terlihat seperti tadi."

Aku tahu, aku sudah pernah melihatnya dengan jins ketat dan kemeja gombrang yang mencapai paha. Dikancing asal-asalan sehingga memperlihatkan kaos sewarna kemeja yang digunakannya sebagai pelapis. "Astaga, gue hanya tanya nama, dan reaksi lo lebay gini."

"Gue bilang lupakan, Hen." Kali ini nada bergurau Raffa mulai surut.

"Jangan bilang lo juga suka dia," tuduhku.

"Jangan dia, Hen." Raffa tetap tak menyebut nama.. "Dia bukan gadis yang bisa lo ajak senang-senang untuk mengisi malam."

Penjelasan itu sama saja dengan memancing rasa penasaranku. "Memangnya ada gadis yang nggak bisa diajak senang-senang?" Aku tidak percaya. Aku cukup tahu dunia malam di ibu kota, dan percayalah, gadis-gadis akan menempelmu seperti lintah saat melihat jumlah rupiah yang tidak keberatan kamu hambur untuknya.

"Dia anak perawan yang punya jam malam. Just leave her alone, okay? Lo cari deh gadis yang sudah telanjur rusak untuk main-main."

Aku hampir mencibir. Gadis itu memang masih muda, terlihat kekanakan malah, tetapi dia jelas sudah terlalu tua untuk menjadi anak perawan. "Untuk tahu seorang gadis itu masih perawan atau nggak, lo sendiri yang harus merobek selaput darahnya, Man. Kalau dengar dari orang lain, itu rumor. Gue baru tahu lo percaya rumor."

Raffa terbahak. "Rumor atau bukan, jangan dekat-dekat dengan dia."

"Ini pasar bebas, Bung. Semua cara dihalalkan untuk mendapatkan keinginan lo. Transaksi dilakukan berdasarkan kesepakatan pihak pertama dan kedua. Pendapat pihak ketiga nggak dibutuhkan. Dan lo, biar gue ingatkan, pihak ketiga."

"Sialan!" Raffa memaki dan kusambut dengan gelakan.

Aku tidak pernah kesulitan mendekati seorang gadis. Biasanya, gadis-gadis itulah yang berusaha menarik perhatianku. Jadi, sikap gadis itu, Lila, --ya, aku akhirnya tahu namanya setelah setengah memaksanya menerima uluran tanganku di pertemuan kami berikutnya, setelah dia berperan sebagai montir itu— yang biasa saja menghadapiku, membuatku penasaran.

Ya, kuakui jika awalnya aku mendekatinya karena penasaran, bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tidak percaya hal konyol seperti itu. Aku hanya penasaran karena gadis itu tidak menganggap istimewa keberadaanku di dekatnya. Dia bersikap sopan, tetapi tidak berlebihan. Dia malah tidak terlihat tertarik pada ajakan makan siang yang kutawarkan. Aku akan makan siang bersamanya saat Raffa yang mengajaknya. Dan aku kemudian meminta Raffa lebih sering mengajaknya makan siang, sehingga aku bisa menggabungkan diri.

Tidak butuh waktu lama untuk membuat penasaranku berubah menjadi ketertarikan. Aku merasa aneh sendiri saat menyadari merindukan gadis tinggi kurus yang nyaman dengan jins dan kemeja gombrangnya, kalau tidak melihatnya selama beberapa hari. Gadis yang tidak butuh make up tebal untuk terlihat cantik. Gadis yang hanya butuh karet gelang yang dipungutnya sembarangan untuk mengikat rambut saat kepanasan. Kuciran yang membuatnya malah kelihatan berantakan, tetapi tetap menarik.

"Gue rasa gue jatuh cinta," kataku pada Raffa kemudian.

"Sama Lila?" Raffa menggeleng tidak percaya. "Dia bukan tipe lo."

"Gue tahu." Aku menyetujui pendapat Raffa. "Ini memang aneh banget, tapi kali ini gue beneran jatuh cinta sama cewek bukan karena tertarik sama penampilannya." Aku terdengar seklise jutaan laki-laki idiot di luar sana yang tersenyum bodoh karena pengaruh endorphin yang disuntikkan seorang gadis.

"Serius, Hen?" Raffa masih tidak yakin.

"Seribu rius, Dude." Mengapa sih semua orang harus menanyakan keseriusanku saat mengatakan jatuh cinta pada seseorang? Maksudku, kalau aku tidak serius, aku tidak akan buang-buang waktu membicarakan hal berbau roman seperti ini. Terdengar cengeng seperti perempuan. Membuatku kontraproduktif karena waktu yang aku pakai untuk memikirkan perempuan yang menarik perhatianku itu bisa menghasilkan rupiah yang tidak sedikit seandainya kugunakan memikirkan ide-ide yang berhubungan dengan pekerjaan.

"Gue bisa bilang apa?" Raffa mengangkat bahu. "Semoga beruntung. Lo tahu dia beda dari gadis-gadis yang biasa menempelin lo, kan?"

Aku tahu, dan itu menyebalkan. Beberapa kali aku berhasil mengajak gadis itu makan siang bersama. Cara yang sedikit curang sih karena aku mengajaknya saat kami sedang bersama Raffa. Dia jelas tidak bisa menolak karena Raffa langsung menyuruh kami pergi berdua.

"Kamu tahu kalau aku sedang mendekatimu, kan?" tanyaku suatu ketika saat kami makan bersama.

Gadis itu mengangkat bahu sambil terus menyuap. Dia tidak tampak tersipu. Sepertinya spagetti di depannya lebih menarik perhatiannya daripada kalimat gombal yang baru saja aku suapkan padanya. "Aku nggak bodoh," jawabnya. "Tentu saja aku tahu."

Aku tidak bersiap untuk jawaban seperti itu. Aku mengharapkan raut yang malu-malu dan merona. "Lalu?" pancingku.

"Lalu apa?" Kali ini dia mengangkat kepala. Matanya yang besar menatapku lekat.

Sial. Seharusnya aku yang punya kepercayaan diri sebesar itu. Apakah dia tidak merasakan apa-apa? Apakah jantungnya tidak berdegup sekencang jantungku sekarang? Aku tidak suka kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta pada gadis yang tidak menganggapku istimewa.

"Lalu—" Aku memberi jeda untuk memancing reaksinya, tetapi gadis itu ternyata lebih suka menjilati ujung sendoknya daripada memperhatikanku. Alangkah beruntungnya sendok itu. "Lalu, apa kamu mau jadi pacarku?" tembakku setengah putus asa. Biasanya, aku tidak perlu mengatakan kata cinta untuk mengajak seorang gadis keluar dan mereka akan menggandengku dengan suka cita.

Gadis itu meletakkan sendoknya. Tatapannya lebih intens daripada sebelumnya, membuat deburan di dadaku makin keras. Aku persis anak belasan tahun yang baru terkena sindrom cinta monyet. Menyebalkan! Tidak bisakah dia pura-pura malu supaya aku tidak perlu secanggung ini? Maksudku, sama-sama canggung akan menyelamatkan aku dari situasi yang lebih memalukan.

"Aku nggak bisa pacaran sama kamu." Dia menggeleng kuat-kuat. Terlalu kuat, sampai aku hampir mengulurkan tangan untuk menghentikan gerakan kepalanya.

"Kenapa?" Aku meraih gelas minumanku dan mulai meneguknya, membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Aku tidak percaya ada seorang gadis yang menolakku. Bayangkan, aku, Hendy Murtopo, ditolak seorang gadis yang ke mana-mana mengenakan jins lusuh! Tentu saja aku sunggguh ingin tahu alasannya.

"Kata Rima, kamu penjahat kelamin." Nadanya datar saja saat dia mengatakannya.

Aku hampir menyemburkan air yang masih berada dalam mulutku. Aku buru-buru menelannya, dan tersedak karenanya. Sebagian air itu tidak masuk dalam kerongkongan, tetapi naik ke hidung. Aku terbatuk-batuk.

Apa? Penjahat kelamin? Yang benar saja! Aku memang bukan laki-laki suci, tapi aku juga tidak tidur dengan semua perempuan cantik yang kutemui. Meskipun itu kebutuhan biologis, aku sangat pemilih. Baiklah, aku memang jalan dengan banyak perempuan. Jumlah jari tangan dan kaki mungkin tidak akan cukup untuk dipakai menghitung. Namun itu hanya makan malam, ke kelab, dan berkumpul dengan teman-temanku yang lain, supaya aku tidak terlihat seperti laki-laki tidak laku yang menyedihkan. Hanya ada beberapa dari para perempuan itu yang kubiarkan mengikutiku sampai beberapa kali. Aku tidak ingin memberi pesan yang salah.

Aku belum tertarik pada komitmen. Jadi predikat penjahat kelamin sangat melukai harga diri. Sebelum memutuskan untuk mengejar Lila, aku hanya pernah sekali jatuh bangun mencintai seseorang. Seorang perempuan cantik yang sayangnya lebih mencintai kariernya daripada aku, salah seorang bujangan paling dipuja di kota ini.

"Siapa Rima?" Alih-alih membela diri, aku malah menanyakan seseorang yang sudah mencoreng harga diriku. Orang yang membuatku terdengar buruk dan amoral.

"Sahabatku."

Apakah dia perempuan yang pernah jalan denganku? Aku tidak ingat nama mereka satu per satu. Sulit untuk mengingatnya karena seperti yang sudah kubilang, jumlahnya banyak. Namun, dia jelas bukan seseorang yang pernah tidur di ranjangku, karena hanya satu orang yang pernah melakukannya. Dan dia jelas bukan si Rima-Rima itu.

**

Aku nggak ngedit lagi, langsung posting, karena untuk versi cetak, akan diedit oleh Kak Sela @belibuku.wattpad. Maapkeun untuk segala typo dan kalimat nggak efektif yang terkutuk. Selamat membaca, dan nantikan open PO-nya, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top