Dua

Jantungku memompa darah lebih cepat saat heels sepatu yang aku kenakan beradu dengan lantai marmer lobi hotel. Ratusan hari lalu, ini rute yang familier. Langkahku waktu itu terasa ringan. Ada senyum yang tak putus aku umbar bagi setiap pegawai yang menyapa.

Kini, aku berjalan setengah menunduk. Berharap tidak seorang pun mengenaliku. Aku tidak siap untuk basa basi paling ringan sekalipun.

"Lantai 25, Pak," ujar Mega pada petugas lift yang akan mengantar kami ke atas.

Aku terus menunduk. Berdoa dalam hati. Tolong, Tuhan, untuk sekali ini, tolong aku. Jangan biarkan dia atau ayahnya yang akan hadir dalam pertemuan ini. Tolong. Aku sama sekali belum siap untuk sebuah konfrontasi. Aku butuh waktu. Aku tahu, aku telah menyiapkan diri untuk menghadapi mimpi buruk masa lalu. Hanya saja, waktu selama itu ternyata belum cukup untuk membuat kakiku tegak dan tidak goyah. Aku butuh tambahan waktu. Sedikit lagi untuk mengemasi remahan luka dan menguncinya di sudut hati.

"Kita terlambat, Mbak." Mega membuatku kembali tersentak. Fokusku benar-benar berantakan. "Ini gara-gara kecelakaan tadi." Kami terhenti cukup lama di taksi karena ada kecelakaan yang membuat macet. "Semoga klien kita mengerti."

Tidak, kataku dalam hati. Semoga mereka tidak mau mengerti dan membatalkan kerjasama ini. Aku sudah kehilangan minat mengerjakan proyek ini. Aku tidak lagi peduli soal kantor. Aku bisa minta kembali ke Surabaya. Ke mana saja asal jangan berhubungan dengan pemilik hotel ini. Atau aku juga bisa mengundurkan diri. Mencari pekerjaan bukan hal mudah, tetapi jauh lebih sulit mengendalikan diri bila terus berada di sini.

"Sebentar."Aku tercekat saat Mega hendak membuka pintu ruang pertemuan yang tadi ditunjukkan petugas lift. Aku harus menenangkan diri dan bersiap untuk kemungkinan terburuk. Aku menarik napas dalam-dalam. Terapi pernapasan biasanya cukup ampuh menghindarkan aku dari serangan panik.

"Mbak Lila baik-baik saja?" Mega menatapku prihatin. Dia mungkin menduga aku mengalami sindrom prapresentasi. Namun, aku tidak ingin menjelaskan apa pun. Terlihat gugup di hadapan asistenku bukan contoh baik, tapi ini bukan saat untuk berpikir tentang reputasi.

"Aku nggak apa-apa," kataku akhirnya. "Kita bisa masuk sekarang."

Aku tahu doaku tidak terkabul saat melihat sosok yang duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. Menghadapi meja yang dibuat melingkar. Dia tidak sendiri. Ada ayahnya juga. Hebat, benar-benar hari yang luar biasa!

Aku berusaha menguatkan diri. Aku tidak akan terlihat lemah. Harga diri adalah hal terakhir yang aku miliki sekarang. Aku memasang ekspresi sedatar mungkin. Aku akan menguji kemampuan aktingku untuk beberapa waktu ke depan.

"Maaf terlambat, Pak," ujarku. "Ada kecelakaan yang membuat macet sehingga taksi kami tidak bisa lewat." Itu penjelasan untuk semua, tetapi aku memilih melihat ke Pak Yudi, bosku.

"Tidak apa-apa," ayah laki-laki itu menjawab. Dia berdiri dan menyongsongku.

"Kenalkan, ini klien kita, La." Pak Yudi ikut berdiri. Dia mengerutkan kening melihat gestur klien kami. "Pak Murtopo dan Pak Hendy."

Aku memilih tetap tidak menatap wajah laki-laki paruh baya yang sudah berdiri di hadapanku itu. Buru-buru mengulurkan tangan untuk menghindarkan kontak fisik lebih. Dia selalu memelukku. Dulu.

Genggaman tangannya masih sehangat dulu. Dia mengerti gesturku dan tidak memaksakan diri. Tangan kirinya mengelus punggung tanganku yang masih berada di genggaman tangannya yang lain. "Lila, Pak." Aku menyebut nama. Aku bisa mendengar desahannya. Namun, dia pasti mengerti mengapa aku harus melakukan ini. Dia tidak berada dalam posisi yang memungkinkan untuk mendesak.

Aku kembali menyebut namaku saat laki-laki yang lebih muda, anaknya, ganti mengulurkan tangan. Lebih baik begini. Pura-pura tidak mengenalnya. Lagi pula, aku sudah memutuskan memulai hidupku yang baru tanpa dirinya saat meninggalkan kota ini lebih dari dua tahun silam. Kami seharusnya sudah menjadi orang asing.

"Kita mulai presentasinya sekarang, Pak?" Nadaku lebih mirip perintah daripada pertanyaan. Tanpa menunggu persetujuan Pak Yudi, aku membantu Mega menyiapkan bahan presentasi. Meletakkan maket yang kubuat di atas meja, sambil menunggu Mega menyetel in focus dan laptop.

Presentasi itu dihadiri lima orang dari pihak klien. Selain ayah dan anak itu, ada tiga orang pria lain yang kemudian gencar mengajukan pertanyaan, berbanding terbalik dengan dua orang pemilik hotel yang hanya diam. Walaupun aku merasakan pandangan mereka tak lepas dari wajahku. Aku tak ingin memandang balik. Terutama pada laki-laki itu.

Aku tidak akan membiarkan dia kegirangan karena berhasil membaca sorotku yang belum melupakannya. Tidak akan. Aku lebih suka mengasah golok untuk menggorok leher sendiri daripada harus melihat kemenangannya. Dulu, dia mungkin melayang dan duduk di tumpukan awan empuk karena bisa memperlakukan aku seenaknya. Namun, aku tidak senaif dulu lagi. Waktu mendewasakan aku dengan cepat. Tak banyak lagi kejutan dunia yang bisa menipuku.

Presentasi itu berlangsung sekitar dua jam. Dua jam paling lama dalam hidupku. Aku mengembuskan napas lega setelah basa-basi setelah presentasi selesai. Bergegas membantu Mega setelah bersalaman kembali dengan para klien itu. Membiarkan telapak tanganku kembali bersentuhan dengan laki-laki itu, meskipun tidak ingin.

Sudut mataku melihat laki-laki itu belum beranjak dari kursinya. Ayahnya sudah berdiri, sedang terlibat percakapan dengan Pak Yudi. Itu kesempatanku. Aku menghampiri mereka sambil menyeret Mega yang kebingungan.

"Kami duluan, Pak."Aku memaksakan senyum pada Pak Yudi. Lalu menoleh kepada Pak Murtopo, ayah laki-laki itu. "Permisi, Pak."

"Lila—" Pak Murtopo menahan lenganku. Aku tidak bisa menghindar saat mata kami bertemu. Ada penyesalan di sana. Dia mungkin tidak pantas mendapatkan sikap kasarku karena bukan dia yang mengiris hatiku dengan sembilu sampai menjadi potongan-potongan kecil. Namun, itu tidak penting lagi. Aku tidak ingin bersinggungan dengan siapa pun yang punya pertalian dengan laki-laki itu, sebaik apa pun mereka kepadaku dulu.

"Saya harus pergi sekarang, Pak." Suaraku tegas, seperti yang kuinginkan. Tangan itu terlepas dan terkulai. Aku tidak ingin terpengaruh. Aku kembali menarik Mega. Kami harus segera meninggalkan tempat ini. Aku mulai kekurangan oksigen dan meras sulit bernapas.

"Mbak Lila—" Mega yang kesulitan menyesuaikan dengan langkahku yang panjang, berkata dengan ragu, "Itu dipanggil." Gadis ini tidak bodoh. Dia pasti sudah mencium ada yang tidak beres antara aku dan klien kami, dari sikapku yang kaku.

Aku bukannya tidak mendengar suara laki-laki itu yang memanggil namaku, tetapi aku menulikan telinga. "Jangan hiraukan dan jangan berbalik!" Berengsek, kenapa lift ini tidak membuka di saat dibutuhkan sih?

Untunglah aku berhasil menghindari laki-laki itu. Dia terengah tiba di depan lift, saat celah yang tersisa dari pintu lift yang bergerak menutup tidak memungkinkannya memaksa masuk. Celah kecil, tetapi cukup untuk mengunci pandangan kami. Aku harap pesan kebencian yang mataku kirimkan dapat diterimanya dengan baik. Hanya saja, aku kenal dia dengan baik. Menyerah tidak ada dalam kamus hidupnya. Dia akan menemukanku jika aku tidak segera meninggalkan kota ini. Tapi, haruskah aku pergi lagi? Aku sudah lelah melarikan diri. Ya ampun, apa yang harus aku lakukan?

Aku terus menarik napas panjang, tetapi tidak terasa melegakan. Tanganku spontan menyentuh dada, mencoba menutup perih yang mendadak terasa menyakitkan. Tuhan, tolong aku.

**

"Dia bilang, dia cinta gue."

Rima melemparku dengan bantalan sofa. "Dia hanya mau lo ngukur ranjangnya."

Aku melempar bantal itu kembali. "Dasar mesum, lo beneran gila!"

"Laki-laki itu yang gila. Dia cinta sama semua perempuan yang belum berhasil dia ajak ke tempat tidur. Hanya itu guna kata cinta untuk dia. Buat cari teman tidur. Lo jangan main-main dengan dia, La."

"Orang bisa aja berubah, kan?" Aku tidak tahu mengapa harus berkeras membelanya. Namun memikirkan mata hitam tajam yang dinaungi alis lebat itu membuat perutku mulas. Adrenalinku meningkat tanpa harus beraktivitas.

Aku mendengar banyak hal tentang laki-laki itu. Hal-hal bagus mengenai pekerjaan dan keluarganya, tapi berubah mengerikan saat menyinggung soal asmaranya. Ketika aku menyebut namanya di depan Rima, dia lantas memandangku dengan punggung tegak.

"Dia penjahat kelamin yang tampan. Lo tahu kenapa semua jelmaan iblis itu tampan? Supaya bisa membodohi dan menipu gadis manis polos kayak lo, La. Jangan berhubungan dengan dia!"

Sayangnya, sulit untuk tidak berhubungan dengannya. Laki-laki itu berteman dekat dengan bosku. Menghindarinya dengan melarikan diri dari kantor saat dia muncul di jam kerja? Itu menggelikan. Belum tentu ia datang untuk bertemu denganku. Lagi pula, dia tidak melakukan hal-hal tercela selain menyapa di kubikelku. Sesekali mengajak makan siang --yang tentu saja kutolak saat kata 'penjahat kelamin' itu muncul di kepalaku.

Namun, sulit mencari cara menolak saat bos yang mengajakku makan sambil membahas soal pekerjaan, dan laki-laki itu kemudian selalu menggabungkan diri.

"Orang lain mungkin berubah, tapi nggak laki-laki itu. Sekali menjadi penjahat kelamin, akan seperti itu selamanya."

Aku tidak bisa menyalahkan Rima. Kisah cintanya sebelum bertemu Ryan, tunangannya, berakhir buruk. Laki-laki itu hanya mempermainkannya, sementara Rima telah menyerahkan jiwa raga –secara harfiah- padanya. Rima ternyata hanyalah salah satu dari sekian banyak perempun yang bergantian menemani lelaki itu mengarung malam. Dan lelaki itu adalah sahabat dari si penjahat kelamin yang berusaha dijauhkan Rima dariku. Katanya, cukup dia saja yang berurusan dengan penjahat kelamin. Aku terlalu polos bagi seorang penjahat kelamin profesional.

Hanya saja, sulit untuk menganggap laki-laki itu sebagai sekadar desau angin yang numpang lewat dan sejenak mengelus wajah. Parasnya memanjakan mata. Sangat lelaki. Julukan Penjahat Kelamin jelas berarti sesuatu. Ya, sulit ditolak. Seperti sodoran botol air dingin saat perjalanan di gurun tanpa bekal yang sudah memasuki hari ketiga. Seperti lemparan pelampung saat kamu terombang-ambing gelombang Samudra Atlantik ketika kapalmu karam.

Saat melihatku bergeming pada setiap ajakan, laki-laki itu menganggapnya tantangan. Aku rasa dia menyukai tantangan karena selalu saja kembali setelah penolakan demi penolakan yang kulakukan. Dan aku hanya gadis biasa yang bisa meleleh pada segenap perhatian yang tertumpah padaku.

Si penjahat kelamin itu tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan. Tatapannya dalam, membuatku merasa penting dan cantik. Aku tidak jelek, tapi jelas tidak secantik model atau artis-artis mantan si penjahat kelamin itu. Aku tidak suka mengatakannya, tapi, ya, dia seorang yang mesin google bisa cari untukku. Dan aku sudah meng-google-nya. Bukan hal membanggakan untuk kuakui.

"Rim, gue kayaknya suka sama dia, deh," aku berbisik lirih.

"Suka atau cinta, La?" Rima menegaskan.

Aku menggeleng. "Nggak tahu. Gue senang aja saat berada di dekatnya." Suka mendengar suaranya. Tersenyum pada pesan-pesan remeh yang dikirimkannya. Memikirkannya saat akan tertidur, lanjutku dalam hati untuk menghindari sambitan Rima.

"Pesonanya sulit dibendung, kan" alih-alih menyambit, Rima malah menggenggam tanganku. "La, gue beneran ingin ngelarang lo dekat-dekat dia, karena gue tahu pasti dia orang kayak apa. Tapi ini perasaan dan keputusan lo sendiri. Gue nggak bisa maksain lo supaya bilang nggak kalau lo beneran cinta sama dia. Mungkin memang benar kalau seseorang bisa berubah saat bertemu orang yang tepat. Penjahat kelamin sekalipun."

"Kalau dia nggak berubah?" Bahkan sekadar mengucapkannya adalah siksaan bagiku.

Rima tersenyum, meskipun dipaksakan. "Lo masih punya bahu gue kalau suatu saat lo butuh buat nangis."

Andai saja aku bisa memutar waktu, aku akan melakukan semuanya secara berbeda dan menuruti semua kata-kata Rima. Andai bisa berbalik, aku akan menulis kisahku tanpa melibatkan laki-laki itu di dalamnya. Andai....


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top