Delapan Belas

Open PO resmi dibuka besok ya, Gaes. Pastikan ikutan karena ini diterbitkan SP ya, jadi nggak akan masuk toko buku. Dicetaknya pun hanya sejumlah yang ikutan PO. Untuk  info lanjut,  bisa menghubungi adminnya  di Instagram, line, atau DM di wattpad. belibuku

Untuk 2 orang pembeli yang beruntung,  akan mendapatkan kaus MTD seperti ini

**

 Sebelum bertemu Lila, aku punya satu hubungan serius. Perempuan itu benar-benar tipeku. Dia punya semua yang laki-laki inginkan dari seorang perempuan. Dia cantik, sudah pasti. Itulah yang pertama kali menarik perhatianku. Dia bekerja sebagai pembawa berita di salah satu televisi nasional. Tubuhnya bagus. Sebelum beralih ke dunia broadcast, dia seorang model. Dia juga cerdas. Dia terkenal suka mencecar narasumber di acaranya. Jadi dia adalah gabungaan antara kecantikan dan kecerdasan. Kombinasi yang sulit didapat dari seorang perempuan.

Pekerjaan membuat Risa sangat mandiri. "Jangan ngomongin nikah denganku, Hendy," katanya suatu ketika saat kami menghabiskan malam berdua di apartemenku. "Aku belum mau ikatan yang bikin gerakku terbatas. Ada banyak hal yang ingin aku capai dalam hidupku. Dan itu nggak akan aku dapat kalau terikat komitmen. Aku serius dengan kamu. Maksudku, aku nggak pernah jalan dengan orang lain lagi sejak kita bersama. Tapi biar seperti ini saja dulu. Kita masih terlalu muda untuk saling mengikat, kan? Aku nggak bisa membayangkan diriku duduk di rumah dan mengurus anak-anak."

Aku mencintainya. Setidaknya, itulah yang aku rasakan waktu itu. Perasaan nyaman dengan Risa. Jadi aku tidak merasa keberatan dengan apa yang dimintanya. Kami bisa bertemu kapan pun kami mau di sela-sela kesibukan. Dia tahu nomor kombinasi apartemenku, sama seperti aku yang bebas keluar masuk tempat tinggalnya. Yang membedakan kami dengan suami istri hanyalah bahwa kami tidak tinggal di tempat yang sama dan tidak memiliki akta yang melegalkan apa yang kami lakukan di akhir pekan.

Namun Risakemudian pergi ke luar negeri untuk belajar memproduksi programnya sendiri. "Aku nggak ingin kita saling membebani dengan hubungan ini, Hendy," katanya sebelum pergi. "Aku nggak mau minta kamu menungguku karena aku juga nggak bisa jamin nggak akan tertarik dengan seseorang di sana. Kalau nanti kita ditakdirkan bersama, seperti yang orang-orang itu bilang, jodoh nggak ke mana, kan?"

Dan kami berpisah. Begitu saja. Saat kupikir kembali, aku tidak sungguh-sungguh mencintai Risa seperti yang semula kukira. Aku memang sedikit kehilangan, terutama di akhir pekan. Tapi aku baik-baik saja. Aku tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta setelah bertemu Lila. Jatuh cinta dengan sangat.

Risa tidak bisa diperbandingkan dengan Lila. Maksudku, mereka berbeda tipe. Mereka sama-sama cantik, sama-sama cerdas, dan sama-sama mandiri, tetapi penampilan mereka jauh berbeda. Risa tidak akan keluar rumah tanpa riasan di wajah, sedangkan Lila hanya akan merapikan alisnya saat sedang ke salon saja, yang mana itu lumayan jarang. Risa menjaga sikapnya di tempat umum sedangkan Lila tidak segan tertawa lepas dan sering kali menarik perhatian orang lain. Risa sedikit tidak sabaran dan tidak tertarik pada hal lain yang tidak melibatkan diri atau pekerjaannya, sedangkan Lila menaruh perhatian penuh kepada semua orang yang mengajaknya bicara. Itu tidak selamanya bagus karena kadang aku merasa dia tidak bisa membedakan seorang yang sungguh-sungguh bicara serius atau hanya mencari kesempatan menggodanya. Dan Lila hanya tertawa saat aku mengomel soal itu, tetapi tidak mengubah sikap pedulinya.

Ketika memutuskan menikah dengan Lila, aku hampir tidak pernah berhubungan lagi dengan Risa. Aku memang membalas beberapa surelnya, tetapi kupikir itu hanya basa-basi demi kesopanan. Itu hanya surel biasa yang menanyakan kabar dan menceritakan kesibukan masing-masing. Hanya saja, aku memang tidak pernah bercerita soal Lila. Aku pikir itu masalah pribadi yang tidak perlu kubahas dengan mantanku.

Akan tetapi, kalimat nggak saling membebani dengan hubungan ini yang diucapkan Risa saat kami akan berpisah itu kami pahami secara berbeda. Menurutku, itu ungkapan lain dari kalimat kita putus saja, ya dan aku sudah menerimanya dengan lapang dada serta melanjutkan hidup.

Namun Risa kemudian mengatakan bahwa dia tidak bermaksud seperti itu saat dia kembali ke tanah air dan mengetahui aku sudah menikah. Menurutnya, kami hanya break selama kepergiannya dan akan bersama kembali setelah dia pulang.

"Kita harus bicara, Hendy," katanya untuk kesekian kali ketika teleponnya aku angkat. Aku sudah berkali-kali menolak menemuinya. "Kita belum putus. Kamu nggak bisa seenaknya meninggalkan aku dan menikah dengan orang lain seperti itu."

Aku tidak merasa perlu untuk menjelaskan apa-apa padanya. "Aku minta maaf kalau kita ternyata nggak sepaham, tetapi nggak ada lagi yang harus kira bicarakan. Aku sudah menikah, Risa."

"Kamu selalu bisa ninggalin dia, kan?" jawabnya enteng.

Meninggalkan Lila? Enak saja. Risa memang selalu berpikir kalau dia matahari dan orang lain adalah planet-planet yang mengelilinginya. Aku lalu memutuskan hubungan dengannya, tidak lagi mengangkat telepon-teleponnya, serta menghapus pesan-pesan dia dia kirim tanpa membacanya.

Hanya saja, aku tidak mengira jika perempuan yang marah karena diabaikan bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Aku sedang bersiap untuk keluar kantor untuk makan malam dengan seorang relasi saat sekretarisku menyodorkan sebuah pesan yang tulis di selembar kertas

"Aku tunggu kamu di kamar 2040 sekarang atau aku akan menghubungi istrimu dan menceritakan tentang hubungan kita. RISA"

Itu mirip pemerasan, tetapi aku memutuskan mendatanginya untuk bicara baik-baik. Aku tidak mau Risa benar-benar menemui Lila. Urusan masa laluku harus aku selesaikan sendiri tanpa melibatkan Lila. Aku tidak mau kami ribut hanya karena persoalan tidak penting seperti itu.

Saat aku mendatanginya, Risa sudah menantiku di depan lift. Aku sibuk dengan pikiranku, hal-hal yang ingin kukatakan padanya, sehingga membiarkannya menggandengku. Aku sama sekali tidak ingin berselingkuh atau lebih parah lagi, harus meninggalkan isteriku seperti yang dia minta. Astaga, aku sangat mencintai Lila. Tidak ada yang bisa membuatku berpisah dengan Lila, apalagi hanya seorang Risa.

"Aku bisa kasih kamu apa pun yang perempuan itu berikan sama kamu, Hendy," kata Risa. "Aku bahkan nggak keberatan melahirkan anak-anak kita. Apa pun. Kamu hanya perlu meninggalkan dia. Kamu mau happily ever after? Aku juga bisa kasih kamu akhir seperti dongeng itu."

Risa histeris saat aku menolak permintaannya. Aku mencintai istriku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Lila untuk bersama seseorang yang sudah tidak punya jejak lagi di hatiku?

Risa sangat berlebihan menanggapi penolakanku. Botol anggur merah yang baru saja dia buka dituangkan ke arahku. Cairan merah itu mengenai wajah dan pakaianku. Aku tidak langsung pergi karena berniat menyelesaikan urusan itu. Aku tidak mau menundanya, karena aku tidak ingin Lila sampai tahu. Aku kemudian membersihkan diri di kamar mandi. Yang tidak pernah kusangka adalah aku menemukan Lila dan Rima di depan pintu. Aku tidak menyalahkan Lila yang salah paham, karena kalau aku berada dalam posisinya, aku juga akan mempertanyakan apa yang dilakukan suamiku dengan bertelanjang dada di dalam kamar seorang perempuan.

Hanya saja, aku tidak menduga jika kerusakan yang kuakibatkan akan sedemikan parah. Rima kehilangan nyawanya malam itu. Dan Lila kehilangan janinnya. Calon anak kami. Aku hanya bisa meneteskan air mata saat dokter mengatakan, "Istri Bapak harus kami kuret. Kandungannya tidak bisa dipertahankan."

Aku bahkan tidak tahu jika Lila hamil. Sikap manjanya yang berlebihan beberapa minggu terakhir hanya aku anggap sebagai sindrom pengantin baru. Tidak lebih, karena dia tidak tampak mual selayaknya perempuan hamil yang sering aku lihat di film-film.

Hanya Tuhan yang tahu penyesalan yang aku rasakan. Aku ingin mengajak Lila bicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia tidak memberiku kesempatan. Aku lebih sering melihat punggungnya daripada wajahnya setelah malam itu. Mama juga mengatakan jika aku harus memberi Lila waktu untuk mengatasi kesedihan dan menerima kehilangannya. Aku lalu memberinya waktu, mencoba bersabar menunggu saat di mana ketika kami akhirnya bisa bicara. Namun saat itu tidak pernah datang. Lila kemudian menghilang dari rumah. Dia hanya meninggalkan pesan yang memintaku menceraikannya dan telah menunjuk pengacara untuk mewakilinya.

Pesan itu membuatku berang dan sedih di saat yang sama. Aku memang tidak bisa menyalahkankannya karena sudah mengira aku berkhianat, tetapi aku tidak menyangka Lila akan melepasku semudah itu. Seolah aku tidak cukup berharga untuk diperjuangkan, atau untuk didengarkan sekalipun. Aku sedih karena dia dengan mudah membuangku. Ternyata dia tidak mencintaiku seperti aku mencintainya. Kalau dia mencintaiku, dia pasti akan memberikan kesempatan kedua meski aku salah sekalipun. Dan aku tidak salah. Dia hanya perlu mendengarkan.

Aku tidak pernah menindaklanjuti proses perceraian yang diminta Lila. Aku menemui pengacaranya hanya untuk mencari tahu di mana dia bersembunyi. Tapi pengacara itu pun tidak bisa menghubunginya untuk dikonfirmasi soal perceraian kami. Lila seakan lenyap ditelan bumi. Aku bahkan mencarinya sampai di Makassar, tempat tinggal pamannya yang menjadi wali ketika kami menikah.

**

Aku terbangun oleh ketukan di pintu kamar. Aku menginap di rumah orangtuaku karena terlalu mengantuk untuk kembali ke apartemen setelah menemani Papa bermain catur semalam.

Pintu terkuak dan kepala Pram, adikku, menyembul dari baliknya. Bukan aku sendiri saja yang menginap di sini. Dia juga tidak lagi kembali ke apartemennya. Kami seperti dua bujangan yang pulang ke rumah orangtua, padahal sama-sama sudah menikah. Tidak seperti perpisahanku dengan Lila, Pram tidak bersama istrinya saat ini karena dia sedang menjalani kontrak kerjanya di Makassar.

"Jam berapa ke bandara?" Pram akan menjemput istrinya yang cuti hamil. Dia berencana akan melahirkan di Jakarta.

Pram melirik pergelangan tangannya sesaat. "Jam sepuluh." Dia berjalan menuju jendela dan menyibak gorden. Belum banyak yang bisa dilihat di balik kaca karena di luar masih tampak gelap. "Gimana kabar Lila?"

Kembalinya Lila sudah diketahui oleh semua anggota keluarga. Mama selalu menganggap tidak ada masalah pribadi yang tidak boleh tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain. Itu sebabnya aku enggan menceritakan pertemuan dengan Lila sebelum menyelesaikan masalah di antara kami. Tapi karena Mama sudah telanjur tahu, aku terpaksa harus ikhlas berbagi informasi dengan anggota keluarga yang lain.

Aku bangkit dan duduk di tepi ranjang, mengusap wajah, dan mengusir sisa kantuk. "Dia baik. Masih benci gue, tentu saja." Bahkan mengucapkannya saja sangat sulit. Dibenci istri sendiri bukan hal membanggakan untuk diceritakan pada orang lain, meskipun dia adikku sendiri.

"Masalahnya nggak akan kelar sendiri kalau hanya dibiarin. Mumpung sudah ketemu, diomongin dong."

Kalau Lila mau bicara padaku, dia tidak perlu pergi diam-diam dua tahun lalu. Dia memang sudah kembali ke kota ini, tapi aku yakin bukan untuk menemui dan bicara padaku. Aku bertemu dia tanpa sengaja. Takdir yang mengatur kami bersilang jalan. Aku meyakini itu sebagai kehendak-Nya untuk menyelesaikan masalah yang tertinggal di antara kami. "Ya, kuharap kami bisa bicara secepatnya." Aku tidak ingin membantah Pram. Menyetujui pendapatnya seperti memelihara harapanku tetap hidup.

"Gue dulu pernah kehilangan Mia selama beberapa bulan karena kebodohan gue. "Pram mendekat dan duduk di kursi di dekat ranjang. Aku tahu cerita itu. Terima kasih kepada Mama yang tidak menoleransi privasi di rumah ini. "Beberapa bulan paling lama dalam hidup gue. Jujur, gue sulit sulit bayangin perasaan Mas Hendy yang nggak ketemu Lila selama lebih dari dua tahun."

Pram yang membayangkannya saja sudah kesulitan. Apalagi aku yang harus menjalaninya. "Berat," aku mengakuinya. Mengetahui orang yang kamu cintai pergi karena dirimu tidak pernah mudah.

"Akhirnya, dia kembali, kan?"

Aku tahu Pram mencoba menghibur. Tapi siapa yang ingin kubohongi? Lila bukan kembali padaku. "Gue nggak yakin dia kembali buat gue." Aku teringat laki-laki yang sudah beberapa kali kulihat bersama Lila. Laki-laki yang pernah merasakan kepalan tanganku di wajahnya karena emosi yang tidak bisa aku kendalikan.

Apakah Lila benar-benar sudah beralih padanya? Sebelum kejadian di Raja Ampat, aku memang sempat yakin telah kehilangan kesempatan. Aku merasa harapan kembali bertunas dan tumbuh dengan cepat saat mengetahui bahwa meskipun bibirnya mengingkariku, tubuhnya masih menginginkanku. Tubuh kami masih saling mendamba. Itu yang membuatku yakin masih bisa menyelamatkan pernikahan kami. Bahwa dia belum sungguh-sungguh mencampakkan aku dari hatinya. Aku yakin masih punya kesempatan. Dan aku akan berjuang demi kesempatan itu.

"Kita beneran harus sampai di ujung dan tahu jalannya buntu supaya yakin sudah berada di akhir dan menyerah, kan?"

Aku menoleh dan menatap wajah Pram. Dia akhir-akhir ini tampak bahagia. Senyumnya nyaris tidak lepas. "Ya, lo benar, Bro. Ini bukan akhir perjalanan gue. Gue nggak akan menyerah dan berakhir kayak pecundang."

Ponselku berdering dan Pram yang lebih dekat dari nakas meraihnya. Dia melihat layarnya sejenak sebelum mengulurkannya padaku. "Mas tahu," katanya pelan. "Ini seperti batu yang menghalangi jalan. Batu besar yang membuat kita bahkan nggak bisa mendekati apa yang menjadi tujuan."

Aku ikut menatap nama di layar ponsel. Risa. Aku mengerti maksud Pram. Aku memang harus membereskan masalah ini. Aku tidak mau terantuk batu yang sama sebanyak dua kali. Bodoh sekali kalau itu sampai terjadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top