9. Ketika Pelet Telah Bicara
Ketimbang percaya bahwa Eriana sudah menikah dengan bosnya sendiri, sepertinya Intan lebih percaya pada gosip Zacky yang ternyata sudah punya cicit di usianya yang baru menginjak dua puluh sembilan tahun. Itu mustahil sekali bagi Intan. Bagaimana bisa?
"Gimana bisa?"
Intan menatap Eriana tanpa kedip. Dengan ekspresi benar-benar tak percaya.
"Gimana bisa kamu menikah dengan bos kamu sendiri, Ri?" tanya Intan seraya melirik Satria sekilas. "Gimana bisa kamu menikah dengan cowok secakep dia?"
Satria mendeham sementara Eriana tampak sedikit manyun.
"Bilang ke aku. Kamu pake pelet mana?!"
Sudut bibir Satria terangkat samar ketika mendengar pertanyaan histeris Intan. Dan manyun Eriana semakin menjadi-jadi.
"Kayak yang mustahil banget sih aku bisa nikah dengan cowok secakep Satria. Eh! Gini-gini aku juga lumayan kok buat diajak ke kondangan."
Intan mendengkus. "Kamu kalau mau ngibulin aku, please. Ngibulin yang agak logis gitu. Yang sekiranya bakal bisa aku percaya. Lah ini?"
Tangan Intan terangkat. Naik dan menunjuk bergantian pada Eriana dan Satria.
"Kamu bilang kamu nikah sama dia?"
Kali ini Satria tidak bisa menahan diri. Ia bersedekap dan menoleh pada Eriana. Melihat dengan jelas bagaimana bibir cewek itu mencibir.
"Ini bukan ngibulin. Ini serius. Kami udah nikah. Dan malam ini aku mau pamitan sama kamu. Aku harus balik ke rumah."
Intan kembali mendengkus. Lalu kekehan samar terdengar dari bibirnya. Awalnya perlahan. Tapi, lama kelamaan kekehan itu semakin nyata.
"Rumah?" tanya Intan tertawa. "Rumah kamu dan dia?"
"Ya iyalah. Memangnya rumah siapa lagi?" balas Eriana mendelik. "Rumah hantu? Rumah sakit?"
"Dua kemungkinan itu sama masuk akalnya buat kamu timbang kamu ngomong kamu balik ke rumah dia."
"Wah!"
Eriana melongo. Sebegitu mustahilnyakah bila ia bisa menikahi Satria? Hingga Intan sebagai teman yang pernah Eriana beri predikat sebagai teman terbaik sepanjang masa pun meragukan kejujurannya?
Apa aku benar-benar kelihatan yang nggak mungkin menikah dengan Satria?
Sungguh Eriana tak habis pikir. Terlebih lagi karena ia kan sudah pernah menceritakan hubungannya dengan Satria selama ini.
"Tan, kamu nggak lupa kan? Aku pernah loh cerita sama kamu soal hubungan aku dan dia. Waktu dulu aku kena tampar terus terpaksa diinfus pun aku cerita. Jadi kenapa kamu kayak yang nggak percaya gini?"
Bola mata Intan berputar dengan dramatis. Sesekali ia menggeleng dengan ekspresi meledek.
"Memang. Kamu memang cerita soal itu. Tapi, yang ini beda, Ri. Dan apa tadi kamu bilang? Kamu udah nikah?"
Intan terkekeh sekilas. Lalu kekehannya berhenti ketika ia melihat Eriana dengan serius untuk beberapa detik. Dan lantas ia terkekeh lagi.
"Kenapa kamu nggak sekalian ngomong kalau kamu udah hamil gitu? Biar kebohongan kamu makin mantap?"
Pundak Eriana jatuh. Wajahnya tampak lesu. "Aku sih sebenarnya mau beneran hamil. Tapi, boro-boro hamil. Lah pas mau bulan madu aja aku dapat bulanan."
"Hukkk!"
Satria terbatuk. Wajahnya kembali memerah. Entah mengapa, tapi sepertinya Satria memang harus membiasakan diri dengan kebiasaan Eriana yang terkadang tidak mengenal kata malu.
Namun, kala itu Satria menyadari sesuatu. Waktu terus bergulir. Dan Satria tidak menyalahkan Intan kalau tidak percaya dengan apa yang Eriana katakan.
"Kalau kamu nggak percaya omongan Eri, aku maklum," ujar Satria sejurus kemudian. "Dia memang wajar untuk diragukan."
Bola mata Eriana membesar. "Satria."
"Tapi ...."
Satria meneruskan perkataannya. Mengabaikan sedikit ekspresi meledek yang muncul di wajah Intan dan mimik tak percaya di muka Eriana.
"Bagaimana kalau aku yang ngomong kalau kami memang sudah menikah?"
Wajah Intan sontak berubah. Tapi, Satria kembali lanjut bicara.
"Aku rasa aku nggak perlu menjelaskan secara detail mengapa kami mendadak menikah. Kamu bisa anggap kalau ..."
Satria mengerjap dua kali. Sedikit kerutan timbul di dahinya.
"... sudah takdirnya kami nikah cepat-cepat."
Kekehan Eriana meluncur. Tapi, ketika Satria meliriknya dengan kesan tajam seperti biasanya, Eriana sontak menutup mulutnya.
Bilang aja kamu malu, Sat. Ya kali penyebab kita nikah cepat-cepat karena kepergok Mama kamu pas lagi ciuman.
Karena jelas sekali itulah satu-satunya penyebab mengapa Eriana dan Satria menikah dalam waktu cepat. Mengabaikan semua perencanaan yang matang, ijab kabul pun terlaksana.
Eh, bukan malu ya. Tapi, namanya aib itu harus dijaga. Nggak boleh diumbar. Hihihihi.
Memastikan Eriana tidak lagi terkekeh, Satria kembali beralih pada Intan. Cewek itu diam. Terlihat masih ragu.
"K-kalian beneran sudah menikah?"
Satria mengangguk. Merogoh sekilas saku celananya. Mengeluarkan ponsel dan menunjukkan satu foto di sana. Dan bukan hanya Intan yang melongo melihat foto itu, alih-alih Eriana pula.
"Kamu nyimpan foto kita pas akad, Sat?"
Satria tidak menjawab pertanyaan itu ketika wajahnya sontak merasa kaku. Ia bertanya pada Intan.
"Apa ini bisa meyakinkan kamu kalau Eriana dan aku benar-benar sudah menikah?"
Lidah Intan kelu. Tidak bisa menjawab tatkala matanya fokus pada foto itu. Di mana tampak Eriana dan Satria dalam balutan pakaian sakral. Dan di sana, ada pula Rozi. Sialan. Tapi, Intan yakin matanya masih sehat dan tidak akan salah melihat.
Intan mengangkat wajah. Menatap lama pada Satria. Dan ia dengan jelas melihat keseriusan di wajah cowok itu.
Ya ampun. Kalau Intan meragukan Eriana, itu memang wajar. Seperti yang Satria katakan tadi. Lantas bagaimana kalau memang Satria yang mengatakannya? Sungguh. Intan ingin menepis kenyataan itu. Tapi, bagaimana caranya?
Satria membuang napas panjang. Kembali meraih ponselnya dan menaruhnya kembali ke tempat semula.
"Pernikahan kami memang belum di-publish. Karena ada satu dua hal yang menjadi pertimbangan. Jadi aku harap kamu nggak akan membocorkan hal ini. Apalagi karena kamu ..."
Dahi Satria benar-benar mengerut kali ini. Matanya menatap Intan dan sontak membuat gadis itu gemetaran. Ancaman terasa benar-benar memancar dari sorot matanya yang tajam.
"... wartawan gosip kan?"
Intan buru-buru menggeleng. Kedua tangan naik ke depan dada.
"A-aku wartawan gosip artis. Bukan wartawan gosip anak konglo. Beneran. Sumpah."
Satria mengangguk. "Bagus," lirihnya. "Karena bagaimanapun juga aku nggak mau ada gosip buruk yang menimpa istri aku."
Wanita penggoda atau penjebak pria kaya. Setidaknya dua hal itulah yang melintas di benak Satria ketika mencoba melihat posisi Eriana dari kacamata orang luar. Bagaimana bisa mereka menikah ketika baru beberapa bulan kenal? Terlebih lagi karena posisi Eriana yang adalah sekretarisnya. Pasti akan menjadi penggoreng yang tepat untuk tuduhan itu.
"Karena kamu akan menanggung akibatnya kalau sampai membocorkan berita pernikahan kami sebelum waktunya."
Bahkan hanya menatap biasa saja tatapan Satria akan selalu tajam, apa lagi ketika ia bicara dengan amat serius? Ekspresi ancaman dan peringatan benar-benar tercetak nyata di wajahnya. Sukses membuat Intan gemetaran dan meneguk ludah.
"Sat."
Eriana meraih tangan Satria. Ia mendelik.
"Jangan ngancam Intan kayak gitu. Dia nggak bakal bocorin ini. Kamu tenang aja."
"Tenang?" Satria menggeleng sekali. "Kalau aku selalu tenang, Ri. Gosip nggak akan pernah menyakiti cowok. Tapi, cewek yang akan selalu tersakiti."
Bibir Eriana terkatup. Sedikit mengerucut. Ingin membantah. Tapi, yang Satria katakan memang benar.
"Aku cuma nggak mau nama kamu jadi buruk."
Eriana menundukkan wajah. "Iya, Sat. Aku tau. Tanpa ada gosip aja nama aku udah buruk. Apalagi kalau ada gosip."
Namun, Eriana tetap merasa tidak enak. Maka dari itu ia pun berkata pada Intan.
"Maafin Satria ya, Tan. Dia nggak maksud buat ngancam kamu. Cuma ngasih peringatan aja."
Intan meringis. Memangnya ada bedanya?
"Soalnya Satria itu cinta banget sama aku."
Satria sontak menarik tangannya dari Eriana. Mendeham sekali.
"Jadi mulai hari ini Eri nggak bakal tinggal di sini lagi. Malam ini dia pamitan sama kamu."
Kali ini Intan diam. Sepertinya ia butuh waktu untuk benar-benar mencermati situasi saat itu.
Eriana, temannya yang ia cap kurang waras ternyata telah menikah. Dan tidak tanggung-tanggung. Ia menikah dengan anak konglomerat. Keturunan ningrat. Berdarah biru.
Wah! Kurang mengejutkan apa lagi untuk Intan?
Jujur saja. Intan merasa bahagia untuk Eriana. Tapi, di sisi lain tentu saja ia merasa sedih.
"J-jadi kamu beneran mau pergi, Ri?"
Eriana mengangguk. Melihat perubahan di wajah Intan, ia tentu bisa menebak. Kepindahan dirinya yang begitu mendadak pasti membuat Intan tak siap.
Memang, hubungan pertemanan mereka bisa dikatakan berbeda dengan pertemanan bestie-bestie pada umumnya. Tapi, sama halnya dengan mereka di luar sana, tentu saja ada rasa sedih ketika harus berpisah setelah beberapa tahun hidup bersama.
"Iya, Tan."
Eriana bangkit. Pindah ke kursi di sebelah Intan.
"Malam ini aku mau balik. Barang-barang aku juga udah siap."
Intan menatap Eriana. "Aku benar-benar nggak ada firasat apa pun kalau ternyata sarapan tadi pagi itu terakhir kalinya aku makan masakan kamu."
Sarapan nasi goreng rasa urea kalau menurut Eriana. Dan kalau Eriana tau hal itu, ia pasti akan memasak yang lebih enak lagi untuk Intan. Walau ia tau bahwa hasilnya akan sama saja.
"Aku minta maaf untuk semua salah yang nggak pernah aku lakukan."
Satria tampak berpikir. Apa ada yang aneh dari yang Eriana katakan? Ehm ... entahlah. Tapi, Satria merasa memang ada yang janggal.
"Dan aku makasih banget buat bantuan kamu selama ini," ujar Eriana kemudian. "Kalau kamu nggak ada, aku nggak bakal dapat tempat tinggal yang nyaman selama ini."
Intan mengangguk. Ketika Eriana memeluk dirinya, Intan menyambutnya.
"Aku juga makasih banget karena kamu mau jadi teman aku. Dan walau aku udah nikah, kita bakal tetap temanan. Aku pasti bakal nyamperin kamu."
Intan mengangguk. "Awas aja kalau kamu jadi sombong setelah jadi orang kaya, Ri. Ntar kamu malah lupa lagi sama teman ngenes kamu ini. Pokoknya aku sumpahin kamu kalau kamu jijik ke apartemen ini lagi."
Tawa Eriana berderai. Ia menarik diri dan pelukan mereka terurai.
"Tentu saja aku bakal jijik. Menurut kamu aja. Kamu itu jarang ada di apartemen. Nyaris aku yang selalu bersihin ini tempat tinggal. Kamu kebayang kan gimana bentuk tempat ini kalau aku udah nggak ada?"
Intan sontak manyun. Yang dikatakan oleh Eriana memang benar. Ia yang pulang tidak teratur nyaris tidak ada waktu untuk membersihkan apartemen itu. Dan kepindahan Eriana jelas membuat ia harus mengubah pola kehidupannya sekarang.
"Iya iya iya. Aku makasih juga karena kamu mau nemenin aku selama ini," ujar Intan sambil membuang napas panjang. "Tapi, janji. Sering-sering main ke sini."
Eriana mengangguk. "Tentu saja. Aku pasti bakal main ke sini."
Dan mendengar perbincangan kedua orang sahabat itu, Satria sontak mengangkat wajahnya. Melihat keadaan unit apartemen itu. Yang kecil, terbatas, dan apa adanya. Lalu ia terpikir sesuatu.
Apa kata orang kalau ada yang melihat Eriana pergi ke tempat seperti ini?
Tak hanya itu. Satria pun mendengar dengan jelas apa yang Eriana dan Intan bicarakan dari tadi. Eriana tinggal di sana karena kebaikan hati Intan. Dan Satria tidak akan bertanya. Itu pasti ada hubungannya dengan utang yang lebih mendapatkan prioritas Eriana dulu.
"Ehm!"
Dehaman Satria membuat suasana haru Eriana dan Intan buyar seketika. Keduanya kompak melihat pada Satria. Cowok itu bertanya pada Intan.
"Kamu kerja di mana?"
Merasa aneh karena Satria yang tiba-tiba bertanya mengenai pekerjaannya, tapi Intan tetap menjawab.
"H&H."
Satria manggut-manggut. "Oke. Besok aku akan nyuruh orang buat nyari apartemen di sekitar sana. Kamu pindah ke sana."
"P-pindah?"
"Iya," angguk Satria. "Dan tenang. Semua biaya, aku yang ngurus."
"Eh?"
Intan melongo. Tidak mengerti dengan apa yang Satria maksud, ia melihat Eriana. Tapi, cewek itu menggeleng. Sama bingungnya dengan Intan.
"B-bentar," ujar Intan bingung. "Ini maksudnya apa ya? Ehm ... pindah? Aku pindah? Kenapa aku pindah?"
Satria meraih gelas minum di atas meja. Terus bicara dari tadi membuat tenggorokannya kering. Dan ketika setengah air di gelas itu ia tandaskan, barulah ia menjawab.
"Aku nggak mungkin membiarkan Eri keluar masuk apartemen seperti ini."
Ucapan Satria membuat Eriana dan Intan kompak melihat keadaan apartemen itu. Bersih dan nyaman. Tapi, jelas tidak masuk kriteria bersih dan nyaman Satria.
"Dan kalau Eri bakal sering main dengan kamu, artinya tempat tinggal kamu juga harus nyaman untuk dia," lanjut Satria enteng. "Nggak perlu sungkan. Kamu bisa anggap ini sebagai sedikit ucapan terima kasih aku."
"Terima kasih?"
Satria mengangguk. Melihat sekilas pada Eriana sebelum menuntaskan perkataannya pada Intan.
"Terima kasih karena mau menemani Eri selama ini."
Apa yang Satria katakan berhasil membuat Eriana dan Intan membeku jiwa raga. Keduanya kompak bergeming. Hingga pelan-pelan mereka lantas saling menatap satu sama lain. Dan lalu Intan bertanya.
"Sumpah, Ri. Kamu nyari pelet di mana?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top