8. Gila Sepertinya Memang Menular

[ Eri Kurang Waras ]

[ Tan, kamu bisa balik cepat malam ini? ]

[ Ada yang mau aku kasih tau ke kamu. ]

[ Ini penting banget. ]

Intan membuang napas panjang. Saat ia mendapatkan pesan Eriana, ia sedang berencana untuk mengintai Zacky. Seorang cowok yang kembali masuk ke dalam radar beritanya yang berikut. Tapi, sekarang di sinilah ia berada. Turun dari ojol dan mendapati ada yang aneh terjadi di gedung apartemennya.

"Kenapa, Pak?"

Intan menyempatkan diri. Menghampiri Joko yang terlihat baru saja keluar dari lobi apartemen. Ia melongok ke dalam. Mendapati ada beberapa orang yang tampaknya baru membubarkan diri. Seperti baru saja ada kekacauan yang terjadi.

"Kok rame-rame?"

Joko menghentikan langkah kakinya. Tersenyum pada Intan.

"Tadi ada yang berkelahi, Neng."

"Eh? Berkelahi?" tanya Intan heran. "Perasaan selama ini di apartemen tenang aja. Ehm ... penghuni mana yang berkelahi, Pak?"

"Bukan penghuni sini."

Jawaban Joko membuat Intan manggut-manggut. Karena memang rasanya mustahil kalau ada penghuni apartemen yang berkelahi. Selama Intan tinggal di sana, ia bisa memberi label manusia EGP pada penghuni di sana. Kenal hanya sebatas nama dan memang tidak suka mengurusi kehidupan sama lain.

"Oh, pantas," lirih Intan sambil angguk-angguk kepala. Tapi, sesuatu melintas di benaknya. "Terus kenapa mereka berkelahi di sini kalau bukan penghuni sini?"

Kali ini Joko tampak salah tingkah. Tampak serba salah ketika menjawab dengan tangan yang terangkat satu. Entah menunjuk ke mana.

"Mereka berkelahi karena Neng Eri."

"Ya Tuhan."

Intan terkesiap. Mata membesar dan mulut menganga. Ia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Dia buat ulah apa sampe-sampe ada yang berkelahi gara-gara dia?"

Joko ingin menjelaskan duduk permasalahan yang terjadi. Tapi, Intan dengan tergesa memutuskan beranjak dari sana. Setelah terlebih dahulu permisi apa adanya pada Joko.

"Ya ampun. Bener-bener deh ini Eri. Ck. Aku harus ketemu dia sekarang. Makasih ya, Pak, atas infonya. Aku mau ke atas dulu."

"I-iya, Neng."

Intan pun langsung buru-buru berlari dari sana. Beberapa kemungkinan berputar-putar di benaknya. Tapi, dari semua kemungkinan yang terjadi, sungguh tidak ada kemungkinan yang bagus.

"Aduh! Kira-kira siapa ya yang berkelahi gara-gara Eri? Debt collector dari aplikasi pinjol mana?"

Membiarkan lift membawa dirinya untuk menaiki lantai demi lantai, Intan merasakan kepanikan yang tak mampu dibendung.

"Perasaan aku utang Eri udah lunas semua deh. Terus ini apa? Jangan-jangan ada dua debt collector yang memperebutkan duit Eri. Wah wah wah! Gawat ini!"

Intan terburu-buru keluar ketika pintu lift membuka. Dalam benaknya, mungkin karena itulah Eriana meminta dirinya pulang cepat.

"Pasti mau bahas soal utang."

Tiba di unitnya, Intan membuka pintu dengan segera. Masuk seraya melepas kedua sepatunya dengan asal sambil terus berjalan. Berniat untuk langsung mencari keberadaan Eriana, tapi ia tertegun melihat jas hitam yang ada di ruang tamu.

Ya Tuhan. Debt collector-nya ada di sini?

Kemungkinan itu membuat tubuh Intan panas dingin. Persis seperti orang yang kena malaria. Dan matanya pun langsung memindai ke sekeliling.

Keberadaan Eriana tidak diketahui. Pikiran buruk pun semakin menjadi-jadi.

Maka Intan tidak membuang waktu lama. Langsung bergerak. Mencari ke kamar, tapi Eriana tidak ada. Hingga satu suara asing terdengar di telinganya.

"Aaargh ...."

Intan berkedip-kedip. Suara asing itu terdengar aneh di telinga Intan. Dahinya mengerut. Dalam rasa penasaran, kakinya kemudian melangkah kembali.

"Aaah ...."

Berbekal petunjuk suara asing itu, Intan menuju ke dapur. Bersiap dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tapi, ia justru mendapati satu pemandangan yang tidak ia antisipasi di dapur.

Bola mata Intan membesar. Saking besarnya sampai Intan pikir bola matanya akan meloncat keluar. Karena ia benar-benar syok dengan apa yang matanya lihat kala itu.

Eriana duduk di pangkuan seorang cowok. Dengan begitu menggebu mencium cowok itu. Maka tidak aneh rasanya bila Intan sontak berseru.

"Eri! Kamu ngapain anak orang?!"

Karena di benak Intan melintas satu pemikiran yang paling masuk akal. Menakutkan, tapi memang paling logis.

Jangan sampe saking nggak bisa bayar utang pake duit, Eri malah mikir bayar utang pake badannya. Ya ampun.

Sementara Eriana yang mendengar suara Intan, sontak kaget. Tersentak di atas pangkuan Satria. Membuat ia refleks menarik diri. Bibirnya lepas dari bibir Satria. Ia menoleh. Mendapati Intan yang melotot dengan wajah memerah.

"E-Eri---"

"Intan," lirih Eriana dengan napas terengah. "Kok kamu balik sekarang sih?"

Sedetik, Intan hanya bisa melongo. Berusaha untuk tetap fokus. Alih-alih teralihkan oleh kenyataan di mana tangan Eriana berada dan apa yang masuk ke balik kaus yang Eriana kenakan.

Itu jelas adalah tangan Satria. Yang sejak beberapa saat yang lalu memutuskan untuk melanjutkan penjelajahannya langsung ke kulit pinggang Eriana. Dan sekarang, mendapati kedatangan Intan, sontak saja Satria panik.

Satria menarik tangannya. Alih-alih tetap merasakan kehalusan kulit Eriana, ia justru berusaha untuk mendorongnya.

"Eri," ujar Satria dengan suara rendah dan berat. Ia tampak kesulitan bernapas. "Turun."

Eriana mengabaikan Satria. Melainkan ia tampak gemas pada Intan yang masih saja berdiri di sana.

"Tan, kamu bener-bener balik di waktu yang nggak tepat."

Intan mendengkus dengan ekspresi tak percaya. Ia menunjuk hidungnya sendiri.

"Aku balik di waktu yang nggak tepat? Wah! Eri, jelas-jelas kamu nyuruh aku balik cepat. Dan sekarang?"

"Dan sekarang ..."

Eriana menarik napas terlebih dahulu. Berusaha untuk menenangkan sejenak jantungnya yang bertalu-talu.

"... gimana kalau kamu keluar dulu?"

Intan melotot. "Apa?"

"Tunggu dulu di luar. Sekitar dua jam," jawab Eriana. Lalu ia berpaling pada Satria. "Dua jam cukup kan, Sat?"

Ya ampun!

*

Kalau tadi wajah Satria memerah karena gairah, maka sekarang merah itu jelas karena malu. Astaga. Satria tidak mengira kalau Eriana akan mengatakan hal seperti itu. Tapi, kenapa ia harus heran? Toh ini Eriana.

Satria memejamkan mata. Dan ketika matanya kembali membuka, ia menatap Eriana yang duduk di sebelahnya dengan mengulum senyum. Wajahnya terlihat seperti bocah lima tahun yang terlahir tanpa dosa.

Eriana tersenyum pada Satria. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia berkata.

"Ini Intan, Sat. Teman satu unit aku."

Wajah Satria terasa kaku. Sumpah! Seumur hidup Satria tidak pernah berkenalan dengan seseorang dalam situasi yang memalukan seperti itu.

Satria menebalkan muka. Berpaling. Melihat pada Intan yang duduk di hadapannya dengan dipisahkan oleh meja makan.

"Satria."

Antara ingin dan tak ingin, Satria memaksa diri menawarkan jabat tangan. Intan menyambutnya. Mereka bersalaman sebentar.

"Intan," balas Intan dengan bingung. Sepertinya ia tidak asing dengan nama Satria. Tapi, ia yakin Satri bukan aktor. "Dan kamu ... juga bukan debt collector."

Eriana tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Intan. Tapi, tentu saja perkataan itu membuat ia menukas.

"Ya kali, Tan. Masa Satria dibilang debt collector sih? Ck. Pada mau molor bayar utang orang-orang kalau debt collector-nya kayak dia."

Intan tidak berkomentar apa pun untuk perkataan Eriana. Alih-alih ia justru menyuarakan kepanikannya.

"Karena cuma debt collector yang satu-satunya muncul di kepala aku pas ada jas di ruang tamu. Dan kamu pikir aja sendiri, Ri. Kamu nyuruh aku balik cepat. Bilangnya ada yang mau kamu kasih tau ke aku. Tapi, apa? Yang aku dapatkan justru pemandangan kamu dan ..."

Intan melihat pada Satria. Lalu kembali lagi melihat Eriana.

"... dan ..."

Hanya untuk menyadari berbedanya sikap Eriana dan Satria kala itu. Kalau Satria tampak memerah dan berusaha untuk tidak beradu pandang dengan Intan, maka lain lagi dengan Eriana. Ia tampak cengar-cengir.

"... dan dia lagi ..."

Intan merasa tidak enak pula. Tapi, pada akhirnya ia tetap menuntaskan perkataannya.

"... ciuman."

Eriana mengulum senyum gelinya. Dan Intan melotot.

"Itu yang mau kamu kasih tau ke aku?"

Sudahlah. Situasi kala itu memang benar-benar aneh. Dari pertemuan tak terduga dengan Jefri. Yang kemudian disusul oleh perkelahian dua lawan satu. Eh, dan sekarang Intan melihat dirinya dan Satria berciuman. Itu aneh. Jelas sangat aneh. Tapi, sayangnya Eriana tak mampu menahan tawanya.

"Eri."

Suara berat Satria membuat Eriana buru-buru berhenti tertawa. Ia melirik dan mendapati wajah Satria yang benar-benar kelam dengan warna merah yang menyerupai hitam. Jelas. Satria amat malu dan juga mungkin marah padanya.

"Ehm," deham Eriana. "Maaf, Sat."

Interaksi singkat itu membuat Intan mengerutkan dahi. Mungkin melihat Eriana berciuman dengan Satria memang adalah pemandangan yang tidak ia duga sebelumnya. Tapi, ketika melihat delikan mata Satria pada Eriana dan cewek itu sontak menundukkan wajah, memberikan sinyal asing di benak Intan.

Ehm ... ada apa dengan mereka berdua?

Dan sebenarnya bukan hanya itu pertanyaan yang berputar di benak Intan. Alih-alih hal lainnya pun turut mengundang tanda tanya di kepalanya.

Intan tau kalau Eriana memang sedikit diragukan kewarasannya. Tapi, ia tidak pernah mengira akan ada hari di mana Eriana membawa seorang cowok ke unit apartemen mereka dan melakukan tindakan seperti itu. Sungguh bukan sifat Eriana sama sekali.

"Tan."

Suara Eriana membuat lamunan singkat Intan tercerai-berai. Ia mengerjap sekali. Melihat pada Eriana.

"Sebenarnya aku minta kamu balik cepat malam ini karena memang ada sesuatu yang harus aku bilangin ke kamu."

Eriana melirik sekilas pada Satria. Pada saat itu, mata tajam Satria menatap Eriana tanpa kedip. Sial. Tapi, Intan menyadari sesuatu. Eriana yang ditatap setajam itu, eh kok malah dirinya yang ketakutan?

Dan gimana bisa dia ciuman dengan cowok yang menakutkan gini?

"Ehm ... kamu mau ngomongin apa?" tanya Intan dengan matanya yang kemudian melirik pada hidangan di atas meja. "Bukan ngomongin soal ikan gurame ini kan?"

Dengkusan geli meluncur begitu saja, tapi Eriana tidak menanggapi perkataan Intan yang satu itu. Melainkan terus melanjutkan perkataannya.

"Ini Satria."

Sambil mengatakan itu, Eriana meraih tangan Satria yang kebetulan berada di atas meja. Menggenggamnya dalam gestur yang membuat Intan merinding dari bulu kuduk sampai bulu betis.

"I-iya," ujar Intan. "Aku tau dia Satria. Kan kami udah kenalan tadi."

Eriana membuang napas panjang. Untuk gosip-gosip artis, Intan memang tidak ada duanya. Tapi, kalau untuk urusan gosip orang konglomerat yang jarang diekspos sepertinya ia tidak bisa diharapkan.

"Dia ini Satria Ardiman Djokoaminoto."

Sedikit kerutan muncul di dahi Intan. Sepertinya ia tidak asing dengan nama itu. Tapi, ia tidak yakin.

"Dia ini bos aku di kantor."

Intan melotot. Merasa wajar bila ia tidak asing dengan nama itu. Terlebih lagi karena Eriana pun lantas menegaskannya.

"Dia CEO Aksa Bhumi."

Penegasan Eriana membuat Intan memutas otak. Ia tidak bertindak keterlaluan pada cowok penting itu kan? Bukannya apa. Tapi, Intan tidak ingin menyinggung perasaan orang kaya.

Nggak. Aku nggak ada ngomong yang aneh kayaknya. Cuma ngira dia debt collector aja. Iya kan?

Intan mencoba untuk menenangkan diri. Tapi, usahanya terasa percuma. Karena di detik berikutnya apa yang Eriana katakan membuat ia sontak membeku jiwa raga.

"Dan dia juga adalah suami aku."

Tak hanya mengatakan itu dengan kata-kata, Eriana pun seolah ingin menyakinkan Intan dengan perbuatannya. Ia menggenggam tangan Satria. Dan sang suami pun membalasnya. Saling menggenggam. Seperti tidak peduli bahwa akan ada Intan yang sontak megap-megap.

"Y-yang gila sebenarnya ..."

Intan horor menatap Eriana dan Satria bergantian.

"... aku atau kamu, Ri?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top