7. Yah, Apa Mau Dikata
Keadaan kala itu benar-benar kacau balau. Setidaknya kekacauan itu terjadi pada Satria, Eriana, dan yang paling parah ada Jefri. Kondisi cowok itu benar-benar memprihatinkan. Dengan kemeja yang berantakan, wajah lebam, dan darah membeku di sudut bibir, ia tampak geram menahan amarah.
Jefri menunjuk pada Satria yang berdiri seraya berkacak pinggang.
"Aku nggak akan tinggal diam. Aku bakal melaporkan ini ke polisi."
Kala itu jas hitam yang Satria kenakan sudah lepas. Dasi di lehernya sudah mengendur. Dan kedua lengan kemejanya sudah naik hingga ke siku. Ia memutar kepala. Melihat pada Jefri dengan tajam.
"Sebelum kamu melaporkan ini ke polisi, aku duluan yang melaporkan kamu," balas Satria. "Untuk tindakan tidak menyenangkan, mengganggu ketenangan, mengganggu ketertiban umum, penghasutan, dan yang paling penting adalah ..." Mata Satria melotot dengan jari yang menunjuk pada Jefri. "... pelecehan seksual."
Semua orang yang ada di sana melongo. Termasuk di dalamnya adalah Jefri. Yang beberapa detik kemudian mendengkus dengan mimik mencemooh.
"Pelecehan seksual?"
Satria yang berkacak pinggang tampak mengeraskan rahang. Dengan tatapan tajam tanpa kedip yang terarah langsung pada Jefri, ia lantas menunjuk pada satu titik. Di atas. Tepatnya di sudut ruangan.
"Bahkan tanpa saksi mata di lobi, CCTV pun pasti merekam adegan kamu memeluk Eri padahal dia nggak mau dipeluk. Dia sudah minta kamu buat lepasin dia. Dan kamu bilang itu bukan pelecehan seksual?"
Kali ini Satria terkekeh dengan irama pembunuh berdarah dingin yang akan mencabik-cabik mangsanya dengan silet tumpul.
"Bahkan kalau kamu main mata ke Eri dan dia merasa nggak suka, itu saja bisa dilaporkan!"
Jefri sebisa mungkin tidak memejamkan mata seperti mereka yang berada di sana. Karena ketika Satria berteriak, orang-orang yang ada di sana sontak saja kaget tidak karuan.
"Kalau aku perhatikan dari tadi kamu ini benar-benar ikut campur urusan aku dan Eri."
"Oh, tentu," tukas Satria. "Urusan Eri itu artinya urusan aku juga."
Mungkin perdebatan itu akan terus berlangsung andaikan pihak apartemen tidak segera menengahi mereka. Berharap permasalahan tersebut bisa berakhir dengan kata damai di antara keduanya. Tapi, tentunya itu bukan hal yang mudah. Baik Jefri ataupun Satria tampaknya sama-sama tidak ada yang ingin mengalah.
"Bapak-Bapak, lebih baik tenang. Ini sudah malam. Rasanya kurang baik kalau ribut seperti ini."
Pihak apartemen yang mencoba untuk mendamaikan mendapatkan tatapan tak suka Satria. Cowok itu mendengkus.
"Aku juga nggak mau ribut, tapi dia yang memancing keributan!" tunjuk Satria pada Jefri. "Jadi jangan harap kamu bisa kabur begitu saja. Semua masalah ini akan saya bawa ke pihak yang berwajib."
Jefri yang sedari tadi duduk, akhirnya memilih berdiri. Tak gentar menyambut tantangan Satria.
"Oh, silakan. Kita lihat saja nanti siapa yang akan diputuskan bersalah oleh pengadilan."
Satria kembali tertawa. Ia menoleh pada Eriana yang sedari tadi memilih diam saja. Jelas sekali cewek itu merasa kicep melihat kemarahan Satria yang sudah meledak dari tadi.
"Ya Tuhan, Ri. Kamu sepintar itu. Dapat beasiswa sampe lanjut S2, tapi kenapa pernah pacaran sama model begini?"
Eriana meringis. "Nggak ada mata kuliah cara mencari pacar sih."
Wajah Jefri memerah. Refleks kakinya bergerak. Tapi, sebelum langkahnya berjalan menuju Eriana berhasil, Satria menahan dadanya.
"Masih mau nyoba dekatin Eri?"
Mata Jefri yang semula tertuju pada Eriana sontak beralih pada Satria. Dalam jarak sedekat itu ia bisa melihat keseriusan yang terpancar dari mata Satria.
"Kalau kamu masih mau nyoba dekatin Eri, aku nggak bakal segan-segan melaporkan kamu saat ini juga. Dan kalau kamu pikir aku main-main dengan ancaman aku, kamu salah."
Tanpa kedip sekali pun, Satria membalas tatapan tajam Jefri. Melanjutkan perkataannya dengan penuh penekanan.
"Saat ini juga aku bakal hubungi sekretaris aku untuk mengurus masalah ini. Dan siapkan saja diri kamu untuk panggilan dari kepolisian."
"Oke. Silakan kamu hubungi sekretaris kamu sekarang."
"Oh, nantangin? Hahahaha. Lihat saja."
Ekspresi Jefri yang tampak meremehkannya jelas membuat Satria makin tersulut emosi. Ia tidak akan mundur. Benar-benar akan melaporkan Jefri pada polisi. Maka dari itu, Satria merogoh saku dalam jasnya. Mengeluarkan ponsel. Demi menghubungi sekretarisnya.
Ponsel menyala. Satria dengan cepat menekan panggilan cepat nomor empat di sana. Dan lalu, ia mendengar dering yang berbunyi.
Satria menoleh. Melihat pada Eriana yang menunjukkan ponselnya.
Astaga!
Satria mengakhiri panggilan itu dengan menahan napas. Berusah untuk tidak mengumpat ketika baru teringat bahwa sekretarisnya adalah Eriana. Dan hal itu tidak lepas dari tatapan bingung Jefri.
Jadi Eri itu sekretaris dia?
Satria berdecak sekali. "Kalau begitu biar Pak Masdar saja yang membereskan ini semua."
Tidak berpikir dua kali, Satria dengan cepat menghubungi kepala pelayannya itu. Hingga membuat Eriana bertanya-tanya di benaknya.
Sebenarnya apa aja sih job desk kepala pelayan di keluarga Satria?
Satria beranjak. Sedikit beringsut.
"Halo, Pak Masdar. Tolong segera ke apartemen Eri. Ada sedikit masalah di sini yang harus diselesaikan. Dan ah. Bawakan pakaian ganti aku."
Tidak bertele-tele di telepon, hanya butuh dua menit untuk Satria menjelaskan dengan ringkas kejadian yang menimpa dirinya. Dan ketika ia memasukkan kembali ponselnya ke tempat semula, ia berkata pada orang-orang di sana.
"Sebentar lagi orang saya akan datang ke sini."
Masdar datang sekitar dua puluh menit kemudian. Dalam balutan jas dan penampilan yang terlihat berbeda dari penampilannya sehari-hari. Walau memang penampilan Masdar biasanya pun selalu rapi dalam balutan pakaian yang serupa, tapi kali ini pria paruh baya itu menunjukkan aura yang berbeda.
"Selamat malam, Pak."
Satria membuang napas lega melihat kedatangan Masdar. Meraih langsung satu tas yang Masdara bawa seraya ia menunjuk Jefri dengan acuh tak acuh.
"Aku ingin Bapak mengurus cowok ini."
Masdar melihat Jefri yang babak belur. Hanya bisa menahan napas di dada dengan perkiraan yang melintas di benaknya.
"Aku mengandalkan Bapak."
Hanya itu yang Satria katakan. Karena sejurus kemudian, ia langsung beranjak dari sana. Dengan membawa serta Eriana tentunya. Dan Jefri yang melihat itu sempat ingin melarang. Tapi, Masdar dengan cepat menyerahkan kartu namanya.
"Perkenalkan. Saya Masdar Gunawan."
Refleks, tentu saja Jefri menyambut kartu nama tersebut. Melihatnya sejenak. Dan ketika ia mengangkat kembali wajahnya, Eriana dan Satria sudah menghilang dari pandangan.
*
Tidak mendapati tanduk di kepala Satria saat ini adalah hal yang benar-benar hebat. Tapi, itu tidak cukup untuk menenangkan Eriana. Karena ketika ia melihat Satria mondar-mandir di ruang tamu apartemennya yang terbatas, Eriana tau dirinya harus bersiap untuk setiap kemungkinan.
"Siapa yang ngomong kalau punya istri sekretaris itu enak? Siapa yang ngomong kalau punya cewek sekretaris itu enak?"
Satria masih mondar-mandir. Gerutuan mulai keluar dari mulutnya.
"Heran. Bagaimana bisa ada cowok yang mau menjalin hubungan dengan sekretarisnya sendiri? Lihat? Punya hubungan sama sekretaris sendiri itu nggak ada bagus-bagusnya."
Eriana diam saja. Duduk tanpa bicara dengan kedua tangan yang mendarat rapi di atas paha. Ia tau Satria masih kesal saat itu.
"Mau ngurus apa-apa harusnya sekretaris yang ngurusin. Tapi, ini?"
Satria mendadak berhenti mondar-mandir. Menatap tajam pada Eriana.
"Bagaimana bisa aku nyuruh-nyuruh sekretaris aku kalau kenyataannya sekretaris aku adalah istri aku sendiri?!" geram Satria. "Masa aku nyuruh-nyuruh istri aku sendiri?!"
Satria tidak bisa membayangkan. Ada masalah, ada keluhan, atau ada kejadian lainnya, seharusnya ia tinggal menyuruh sekretarisnya untuk menyelesaikan itu semua. Tapi, bagaimana bisa ia melakukan itu kalau sekretaris itu adalah istrinya sendiri?
Maka tidak aneh rasanya kalau sekarang Satria kalut sendiri. Mengesampingkan sejenak masalahnya kala itu, Satria justru dibuat heran dengan kenyataan. Bahwa banyak orang yang menjalin hubungan dengan sekretarisnya sendiri. Dan ketika Satria mengalaminya sekarang, ia bisa menarik satu kesimpulan.
"Nggak mungkin kan aku ongkang-ongkang kaki sementara istri aku yang ngurusin semuanya?"
Apa kata dunia? Apa tidak malu tuh?
Satria berdiri di hadapan Eriana. Sekilas mengamati keadaan cewek itu dan bisa menilai bahwa sekretaris memang bukan pekerjaan yang mudah.
"Eri."
Eriana mengangkat wajahnya. "Ya?"
"Carikan aku asisten pribadi."
"Asisten pribadi?"
Satria mengangguk. "Kualifikasi seperti kamu, tapi tanpa sifat nggak waras dan mesum."
Mata Eriana melotot. Tapi, ia membiarkan Satria untuk lanjut bicara.
"Belum menikah dan tidak punya penyakit menahun."
Tampak sedikit manyun karena Satria menyinggung dua sifat langkanya itu, Eriana mengangguk.
"Iya. Bakal aku cariin," ujar Eriana. "Mau cewek atau cowok?"
"Memangnya kalau dulu Teguh Santoso nggak kena DBD, kamu tetap bakal jadi sekretaris aku?"
"Nggak."
Eriana tau jawabannya. Memang dari dulu Satria lebih menyukai cowok sebagai sekretarisnya. Tapi, sayangnya kala itu sekretaris terpilih Satria justru langsung masuk rumah sakit di awal-awal pekerjaannya. Satria yang tidak punya pilihan lain, dengan berat hati terpaksa menarik Eriana yang merupakan kandidat nomor dua sebagai sekretarisnya.
"Oke," angguk Eriana kemudian. "Ntar aku bakal carikan kamu asisten pribadi. Biar kamu lebih tenang."
"Lebih tenang? Jelas-jelas aku nyari asisten pribadi biar kamu nggak kerja seberat sekarang."
Manyun di wajah Eriana perlahan menghilang. Tergantikan senyum. Dan ketika Satria yang merasa kakinya pegal memilih untuk duduk, Eriana pun menghampirinya.
Tangan Eriana mendarat di dada Satria. Mengusapnya perlahan dalam irama yang membuat Satria mengerutkan dahi. Menatap jari-jari lentik itu dengan tatapan menyelidik.
"Kamu haus, Sat?"
Satria sedikit menarik tubuhnya. Demi bisa melihat Eriana dan mendapati mata sang istri yang berkedip-kedip manja padanya. Satria mendehem.
"Kamu baru kepikiran sekarang? Aku udah kehausan dari tadi."
Eriana tersenyum. "Aku ambilin minum bentar."
Bangkit dan langsung beranjak ke dapur, Eriana dengan cepat datang kembali dengan segelas air putih yang sejuk. Ia memberikannya pada Satria.
Tidak butuh waktu lama bagi Satria untuk menandaskan air tersebut. Dalam hitungan detik yang singkat, gelas penuh itu langsung kosong seketika.
Satria membuang napas lega. Emosinya mulai mereda. Pada saat itu, ia pun memutar pandangan. Melihat keadaan apartemen Eriana yang benar-benar tidak bersahabat dengan badannya yang besar tinggi. Satria merasa gerah.
"Kira-kira Intan kapan baliknya?"
"Nggak tentu. Kadang jam sembilan. Kadang juga tengah malam. Kadang bahkan nggak balik."
"Kamu serius?" tanya Satria dengan wajah antisipasi.
"Serius," angguk Eriana. "Tapi, tenang aja. Tadi aku udah nanya sama dia. Hari ini dia pasti balik kok."
"Untunglah kalau begitu."
"Jadi ..."
Suara Eriana terdengar penuh irama. Satria yang sedari tadi sibuk mengamati keadaan apartemen kecil itu sontak menoleh.
"... kamu mau makan sesuatu? Mau pesan apa?"
Eriana menyingkirkan pertanyaan sok ala-ala drama. Menawarkan diri untuk masak sesuatu? Astaga. Eriana tidak ingin melihat Satria kejang-kejang dan masuk rumah sakit karena masakannya.
Berat menerimanya. Tapi, beginilah takdir Tuhan. Ketika orang tuanya memiliki rumah makan, eh Eriana malah tidak bisa diandalkan untuk urusan masak memasak.
"Terserah kamu aja."
Jawaban itu membuat Eriana langsung melakukan pemesanan makanan dengan layanan antar pesan di ponselnya. Sengaja memesan menu beragam dan lumayan banyak mengingat Intan akan pulang pula.
"Selagi nunggu," ujar Eriana yang melihat kegerahan Satria. Dari tadi ia terlihat mengibas-ngibas kemeja yang sudah lengket di tubuhnya. "Gimana kalau kamu mandi dulu? Biar lebih segar."
Pilihan yang tepat. Satria langsung bangkit. Mengikuti Eriana yang mengajaknya ke kamar mandi. Dan Satria melongo.
Eriana terkekeh melihat ekspresi Satria. "Memang sempit dan apa adanya, Sat. Tapi, airnya jernih dan menyegarkan kok."
Satria tidak memberikan komentar. Hanya menatap Eriana dengan gusar dan menyambar handuk yang ia tawarkan.
Ketika pintu kamar mandi menutup, Eriana pun bergegas. Mengganti sejenak pakaian kerja di tubuhnya dengan stelan santai khas rumahan. Pada saat itu pesanannya pun tiba.
"Saking lamanya Satria mandi," ujar Eriana sambil membawa pesanannya ke dapur. "Pesanan aku udah sampe dan dia masih belum selesai mandi."
Eriana dengan cekatan mengeluarkan semua pesanannya dari kantung plastik. Menyajikannya di piring dan menatanya di meja makan.
"Karena di sini nggak ada fish knife, kita pake sendok multifungsi saja ya?"
Eriana terkekeh. Menaruh sendok di piring ikan gurame bakar. Lalu beranjak untuk menyiapkan piring makan ketika mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.
Satria keluar dengan kepala yang menunduk. Sepertinya khawatir akan terbentur ketika melewati ambang pintu kamar mandi. Dengan pakaian santai yang membalut tubuhnya, ia tampak mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Sontak saja piring makan terlupakan oleh Eriana. Berdiri tak jauh dari meja makan, Eriana menatap Satria dengan menggigit bibir bawahnya.
"Makanannya sudah sampai?"
Satria melihat pada meja makan yang sudah dipenuhi oleh beragam menu. Melangkah mendekat demi melihat apa saja yang Eriana beli, Satria justru mendapati Eriana yang bergeming di tempatnya berdiri.
"Kamu kenapa?"
Bertanya dengan acuh tak acuh, Satria tak siap dengan jawaban yang Eriana berikan.
"Kamu cakep banget, Sat."
Tangan Satria yang semula masih bergerak mengeringkan rambutnya, berhenti seketika. Ia menatap Eriana dan matanya menyipit.
"Baru sadar aku cakep?"
Eriana menggeleng. Menghampiri Satria, Eriana yakin kalau piring makan masih bisa menunggu antrean selanjutnya.
"Aku sudah sadar dari lama sih."
Berhenti melangkah tepat di hadapan Satria, Eriana mengangkat wajahnya. Demi bisa melihat Satria dalam jarak yang lebih dekat. Menyadari bahwa kesegaran yang Satria peroleh dari mandi membuat ketampanan sang suami terlihat lebih mempesona.
"Aku memang beruntung banget jadi istri kamu."
Satria mendeham. Perasaannya mendadak berubah tidak enak. Maka dari itu ia mengalihkan matanya. Melihat ke arah lain seraya kembali mengeringkan rambut.
"Nggak usah macam-macam, Ri," lirih Satria dengan suara yang perlahan serak. "Kemaren aku habis mandi, kamu macam-macam. Sekarang aku juga baru habis mandi, eh kamu macam-macam lagi."
Eriana menahan tawanya.
"Kamu memang sengaja mau nyuruh aku mandi dua kali semalam?"
"Nggak, Sat, nggak," geleng Eriana. "Aku bukannya mau macam-macam atau sengaja nyuruh kamu mandi dua kali semalam. Bukan. Tapi, sebenarnya aku ada sesuatu yang mau aku kasih tau ke kamu."
"Apa?"
Mengulum senyumnya, Eriana menarik leher Satria. Mengirimkan isyarat pada cowok itu untuk sedikit menunduk. Eriana menuju telinga Satria. Bicara dengan nada berbisik di sana. Bersamaan dengan hangat napas yang Satria rasakan, kata-kata Eriana terdengar amat merdu di telinganya.
"Bulanan aku udah selesai."
Seeet!
Satria langsung berpaling. Melihat Eriana yang angguk-angguk kepala dengan senyum tanpa malu-malu.
"Bener?"
Eriana kembali mengangguk.
"Kata kamu sepuluh hari."
"Kan siklus haid nggak tetap, Sat. Kadang lebih cepat, tapi bisa lebih lambat," jelas Eriana. "Dan kali ini ..."
Tangan Eriana yang lain naik. Dengan ujung jari telunjuknya yang mendarat di dada Satria. Bergerak abstrak di sana dengan mata genit yang menggerling manja.
"... lebih cepat."
Jakun Satria sontak naik turun. Matanya yang tadi jernih karena habis keramas sontak berubah seketika. Persis seperti mata predator yang mendadak melihat mangsa melintas di depannya, seperti itulah Satria saat ini.
"Kalau kamu bohong, awas aja, Ri"
Eriana terkekeh. Tangan Satria sudah melingkar di pinggangnya. Dengan sangat enteng ketika mengayunkan tubuh sang istri. Membuat Eriana buru-buru mengalungkan tangan di leher Satria.
"Aku nggak mungkin bohong untuk urusan ini."
Tawa Eriana berderai. Satria membawa Eriana dalam gendongannya. Dengan satu kaki yang bergerak menarik satu kursi di meja makan, ia lantas duduk di sana. Dan Eriana mendarat di pangkuannya.
"Jadi gimana?" tanya Eriana geli. Geli karena lucu dan geli karena tangan Satria yang mengusap perutnya. "Macam-macam atau semacam?"
Bahkan dalam keadaan seperti itu, mata Satria masih terlihat tajam ketika menatap Eriana. Tapi, tentu saja dengan kesan yang berbeda. Kesan yang mendorong Eriana menangkup wajah Satria.
"Gimana kalau semacam dulu? Terus ... baru deh macam-macam."
Dada Satria berdesir. Bayangan bulan madu yang sempat tertunda melintas di benaknya. Membuat ia sempat berpikir. Apa mungkin jadwal bulan madunya dipercepat? Mengingat Eriana juga sudah selesai masa menstruasinya?
Satria akan mempertimbangkan hal itu. Tapi, nanti. Karena saat ini otaknya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Lantaran tangan Eriana di pipinya memberikan isyarat yang tidak akan salah diartikan oleh Satria.
Eriana menunduk. Menyentuh bibir Satria dengan bibirnya. Menyatukan bibir mereka berdua dalam satu ciuman yang menggebu.
Satria merengkuh Eriana. Menarik pinggangnya agar lebih menempel padanya. Lebih erat. Hingga ia kemudian lebih leluasa untuk menjelajahi tubuh Eriana dengan tangannya.
Sentuhan yang Satria lakukan menyulut Eriana. Mendorongnya untuk memperdalam ciumannya. Dengan tangan yang lantas berpindah. Meraih helaian rambut Satria yang masih terasa lembab.
Eriana meremas rambut Satria. Membuka bibir Satria. Mengisap lidah Satria. Dan mengerang. Lalu satu teriakan pecah di udara.
"Eri! Kamu ngapain anak orang?!"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top