6. Apakah Benar Jodoh Adalah Cerminan Diri?

Eriana bergidik seketika saat melihar ekspresi wajah Satria. Bahkan Mrs. Roberts yang berhasil membuat Eriana ketar-ketir pun belum ada seujung kuku Satria kalau cowok itu marah. Memang, untuk urusan marah memarahi, Eriana harus mengakui bahwa Satria tidak ada tandingannya di alam semesta ini.

"Sat."

Takut-takut memanggil nama suaminya itu, Eriana sontak meneguk ludah saat melihat mata Satria dengan tajam melirik padanya.

Mampuslah aku. Beneran dipanggilin lagi Mrs. Roberts ini mah.

Eriana memberikan tepukan pelan yang kaku di tangan Satria. Bermaksud untuk menenangkannya. Ia berusaha tersenyum dan kembali lanjut bersuara.

"D-dia ini temen lama aku."

Untuk yang Eriana katakan barusan, ada dua respon yang berbeda dari kedua cowok itu. Jelas.

Satria yang ingat sekali bahwa Jefri itu adalah mantan pacar Eriana sontak memelototkan mata. Senyum mengembang dengan ekspresi dingin khas pembunuh berantai di film psikopat, ia bertanya dengan penuh irama pada Eriana.

"Ah! Teman lama, Ri?"

Paru-paru Eriana sepertinya langsung kisut mendadak. Ia megap-megap sekarang. Seperti tidak bisa bernapas.

Karena dalam pertanyaan Satria, Eriana bisa menangkap beragam ancaman yang suaminya siratkan. Membuat Eriana sontak berpaling kesal pada Jefri. Tepat pula ketika Jefri menanyakan hal yang serupa pada cewek itu.

"T-teman lama, Ri?"

Berbeda dengan intonasi, irama, dan ekspresi Satria, Jefri memberikan kesan yang berbanding terbalik. Ia terlihat mengerutkan dahi. Menatap Eriana tak percaya.

"Kamu ngomong kita teman lama?"

Eriana mengerjap. Kepalanya meneleng perlahan ke satu sisi. "Atau ... teman sangat lama?"

Jefri benar-benar syok.

"Aku mau ngomong sama kamu, Ri," ujar Jefri kemudian. Matanya melihat pada tangan Satria yang menggenggam tangan Eriana. "Berdua saja."

Oh, tentu saja tidak semudah itu. Di sini ada seorang suami yang merasa kobaran emosi di dadanya semakin menjadi-jadi.

"Kalau mau ngomong sama Eri ..."

Suara Satria terdengar berat. Eriana menoleh.

"... ngomong aja langsung di sini."

Jefri mengabaikan Satria. Alih-alih merespon perkataan Satria, ia kembali bicara pada Eriana.

"Aku mohon, Ri. Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama kamu."

Untuk perkataan yang satu itu, Eriana mendapati genggaman Satria menguat. Nyaris membuat ia meringis.

"Sat."

Mata Satria membesar. "Nggak," tegasnya. "Dia sudah nggak ada urusan apa-apa lagi sama kamu. Yang ada urusan sama kamu itu aku."

Astaga. Eriana meneguk ludah. Mendengar ketegasan dalam kata-kata Satria membuat cewek itu melihat ke kepala suaminya. Mungkin dalam waktu dekat akan ada tanduk yang muncul di sana.

"Maaf."

Jefri berkata pada Satria. Dengan ekspresi santai yang sukses membuat Eriana berdecak salut di dalam hati.

"Ini urusan pribadi aku dan Eri," lanjut Jefri sambil melihat lagi pada genggaman Satria. "Kalau nggak keberatan, aku mau bicara sama Eri dulu."

"Aku keberatan."

Tanpa tedeng aling-aling, Satria langsung mengutarakan keberatannya. Hal yang sudah ditebak oleh Eriana, tapi hal yang justru membuat Jefri terperangah. Dan melihat itu, Eriana tentu bisa memperkirakan apa yang sekiranya bakal terjadi dalam waktu dekat.

"Keberatan?"

Astaga. Eriana segera menahan Satria. Tangannya naik. Mendarat di dada cowok itu. Mengusapnya beberapa kali. Berusaha untuk menenangkan tanpa memperkirakan ada sepasang mata yang melihat tindakannya itu.

"Sat," lirih Eriana panik. "Kamu jangan marah-marah di sini."

Eriana melihat ke sekitar. Resepsionis di lobi. Juga beberapa orang penghuni apartemen lainnya yang terlihat mulai menaruh minat pada mereka bertiga.

"Gimana aku nggak marah, Ri? Jelas-jelas dia mau ngomong sama kamu. Aku suruh ngomong di sini, eh dia maunya ngomong berdua sama kamu."

Satria membuang napas kasar. Beralih pada Jefri yang tertegun melihat tangan Eriana di dada Satria.

"Kamu mau ngomong apa sama Eri?"

Jefri tersentak. Mengerjap sekali, ia melihat pada Eriana. Cewek itu turut mendesaknya.

"Kamu mau ngomong apa?"

"Bilang aja sekarang," lanjut Satria yang makin lama makin membara. "Di sini. Kalau nggak, ya sudah. Aku dan Eri ada urusan lain."

Menatap Jefri tajam, Satria menyambar tangan Eriana di dadanya. Ia beranjak. Langsung memutar tubuh dengan menarik Eriana. Ingin langsung pergi dari sana. Tapi, suara Jefri membuat Satria sontak berhenti seketika.

"Ini urusan pribadi aku dan Eri. Nggak ada urusannya sama sekali dengan kamu."

Satria menahan napas di dada. Mengulang perkataan Jefri dengan amat lirih dan penuh penekanan hingga hanya Eriana yang bisa mendengarnya.

"Nggak ada urusannya sama sekali dengan aku."

Eriana membeku. Lihat. Di kepala Satria sepertinya sudah muncul asap tipis. Ia tidak bisa mengambil risiko. Makin lama keadaan kala itu makin memanas.

"Aku benar-benar harus ngomong sama kamu, Ri. Aku sudah berusaha selama ini buat ketemu kamu. Dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."

Mengabaikan Jefri yang masih bicara di belakangnya, Satria melihat pada Eriana.

"Maksud dia apa?" tanya Satria. "Berusaha buat ketemu kamu selama ini?"

Penekanan di dua kata terakhir itu membuat Eriana yakin bahwa kesabaran Satria sudah terancam melebihi batasnya. Eriana berani bertaruh. Suaminya itu benar-benar akan meledak sebentar lagi.

"Sat, sabar," lirih Eriana berusaha untuk tetap tenang. "G-gimana kalau kamu tunggu bentar di sini?"

Bola mata Satria membesar. "Aku nunggu?"

"Bentar aja," pinta Eriana seraya melihat ke belakang.

Jefri bergeming di tempatnya. Dan dengan cepat Eriana menyimpulkan. Bahwa kapan pun Jefri pasti bisa mencari dirinya. Lebih baik diselesaikan saat itu juga.

"Eri."

Tangan Satria meraih dagu Eriana. Memutar wajahnya agar cewek itu menatap padanya.

"Suami kamu di sini. Yang itu mantan kamu."

Mampuslah aku.

"I-iya, Sat. Aku tau. Kamu suami aku dan itu mantan aku. Tapi----"

"Aku nggak suka kata tapi, Ri."

"Namun----"

Pelototan mata Satria membuat Eriana kicep seketika. Ia sontak menundukkan wajah.

"Aku cuma bakal ngomong bentar sama dia," ujar Eriana hati-hati. "Cuma buat jelasin keadaan sekarang. Daripada dia nyari aku lagi kan?"

Satria menarik napas. "Kalau dia ada otak, harusnya dia tau keadaan kamu sekarang bagaimana."

"Memang. Tapi, masalahnya dia itu nggak ada otak, Sat. Makanya aku juga bingung kenapa aku dulu mau pacaran sama cowok nggak ada otak?"

Eriana geleng-geleng kepala dengan kebingungan yang benar-benar nyata adanya.

"Seandainya aja aku ketemu sama kamu lebih cepat," lanjut Eriana dengan nada penyesalan. "Pasti aku nggak pernah bakal pacaran sama dia."

Satria memerhatikan ekspresi wajah Eriana. Terlihat jelas sih seperti ia yang sedang menyesali nasib.

Kalau aku tau ada cowok yang otak dan bokongnya sempurna kayak Satria, ogah banget aku nurunin standar buat Jefri.

Eriana mengangkat wajahnya kembali. Menatap mata Satria.

"Sebentar saja. Biar semuanya benar-benar selesai hari ini juga."

Berat sebenarnya. Tapi, yang Eriana katakan memang ada benarnya. Lebih baik semuanya dituntaskan saat itu juga. Agar tidak ada hal serupa di kemudian hari.

Pada akhirnya Satria melepaskan tangan Eriana. Ia membuang muka dengan mimik suntuk.

"Sebentar saja. Nggak lebih dari sepuluh menit."

Eriana mengangguk. "Oke. Nggak lebih dari sepuluh menit."

"Dimulai dari sekarang," lanjut Satria. "Mulai."

Eh?

Satria pikir ini lomba? Tapi, ia benar-benar melihat pada arloji mahal di pergelangan tangannya itu. Astaga!

Eriana buru-buru memanfaatkan waktunya yang terbatas. Menghampiri Jefri yang serta merta mencoba untuk meraih tangannya. Tapi, Eriana segera menepisnya. Dan Eriana beruntung melakukannya. Karena di tempatnya berdiri, Satria jelas sekali memerhatikan mereka berdua.

"Kamu mau ngomong apa, Jef?" tanya Eriana cepat. "Buruan. Aku cuma punya waktu sepuluh menit."

Jefri tidak peduli dengan waktu sepuluh menit itu. Juga ia abaikan Satria yang terang-terangan melihat tidak suka padanya. Bahkan ketika Eriana mencoba mengelak, Jefri kembali berusaha meraih tangan Eriana. Membawanya untuk sedikit menyingkir dari sana.

Satria menahan napas. Kakinya sudah ingin bergerak. Tapi, Eriana memintanya untuk menunggu. Maka dengan berat hati itulah yang ia lakukan.

Aku cuma nunggu sepuluh menit.

Waktu yang terbatas. Maka dari itu Eriana tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ia miliki. Dalam sepuluh menit, ia harus menuntaskan urusannya dengan Jefri.

"Aku nyari kamu selama ini, Ri," ujar Jefri. "Akhirnya aku bisa ketemu sama kamu lagi."

Satu kerutan nyaris muncul di dahinya andai Eriana tidak teringat pantangan menjaga ekspresi yang sudah ia pelajari. Terlebih lagi Aldi kerap mengingatkannya bahwa kebiasaan itu bisa menimbulkan keriput sebelum waktunya.

"Jadi ... kenapa kamu nyari aku?" tanya Eriana dengan tenang. "Aku pikir di antara kita sudah nggak ada urusan apa-apa lagi."

Jefri menatap Eriana dengan lekat. Ada yang berbeda dari cara Eriana bicara. Pun dengan pembawaannya terasa asing di mata Jefri.

"Aku mau minta maaf."

Mengabaikan keanehan yang ia rasakan, pada akhirnya Jefri mengutarakan niatannya. Hal yang mendorong dirinya untuk mencari Eriana belakangan ini.

"Aku maafkan."

Hanya itu? Keanehan yang Jefri rasakan semakin menjadi-jadi. Bukankah orang biasanya akan bertanya mengapa minta maaf? Ada masalah apa? Minta maaf untuk apa?

Namun, Eriana tidak menanyakannya? Alih-alih langsung mengiyakannya.

"Kalau begitu," ujar Eriana membuat Jefri mengerjap. "Aku permisi, Jef."

Melirik jam tangan dan menyadari bahwa masih ada enam menit yang tersisa, Eriana dengan senang memutar tubuh. Berpikir bahwa dirinya selamat dalam batas sepuluh menit yang Satria berikan. Tapi, tangan Jefri yang menahannya sedetik kemudian membuat Eriana tertegun dengan mata melotot.

"Jef."

Jefria menatap Eriana dengan sorot yang berbeda. Terlihat ada permohonan di sana.

"Aku minta maaf karena udah mutusin kamu."

Eriana tersenyum tipis. Melepaskan tangan Jefri. "Kamu nggak mutusin aku. Tapi, kamu ninggalin aku. Ingat?" tanyanya tanpa menunggu jawaban Jefri. "Hubungan kita berakhir tanpa ada kata putus. Tapi, kita berakhir karena foto kamu dengan cewek lain yang kamu posting di hari aku baru mendarat di Inggris."

Jefri tidak bisa berkilah. Memang itulah yang terjadi.

"Karena itulah aku minta maaf, Ri," kata Jefri sedikit gagap. "Berapa bulan ini aku sadar aku salah sama kamu. Dan aku pikir kita masih ada kesempatan buat memperbaiki semuanya."

Jawaban untuk semua yang Jefri katakan sudah pasti adalah penolakan. Gelengan Eriana membuat Jefri terdiam.

"Nggak bakal ada kesempatan apa-apa, Jef. Kamu lihat kan cowok yang bareng aku?"

Eriana melirik sekilas pada Satria. Cowok itu terlihat menahan gusar dengan mata yang menatap jam tangannya tanpa kedip. Dengan mulut yang komat-kamit. Entah sedang membaca doa menahan amarah atau tengah menghitung berapa detik lagi waktu yang dimiliki Eriana.

"Dia siapa?"

"Satria," jawab Eriana. "Cowok yang sangat berarti buat aku sekarang."

Jefri diam sejenak. Lalu ia menggeleng.

"Nggak mungkin."

"Nggak mungkin?" Mata Eriana membesar. "Menurut kamu nggak mungkin gitu kalau Satria mau sama aku?"

Bukan itu yang Jefri pikirkan. Alih-alih sebaliknya.

"Nggak mungkin kamu pacaran sama cowok lain, Ri. Aku tau kamu gimana. Nggak bakal semudah itu kamu pacaran sama cowok lain setelah putus dari aku."

Tangan Eriana naik dan mendarat di kepalanya. Perkataan Jefri membuat semua pelajaran yang sudah terekam di otak dan badannya lenyap seketika.

"Yang kamu bilang memang benar, Jef. Aku nggak semudah itu buat pacaran lagi setelah kejadian kita dulu. Tapi, masalahnya aku dan Satria bukan sekadar pacaran lagi."

"T-tunangan?"

Jefri melihat pada jari Eriana. Tapi, tidak ada cincin di sana.

"Kamu jangan nyoba buat bohongin aku, Ri."

"Jef, aku nggak pernah mau bohongin kamu. Please, kamu bisa becermin kan? Yang suka bohong itu kamu. Bukan aku. Kamu yang bohongin aku. Katanya pacar aku, tapi malah jadian sama cewek lain."

Tanpa ada tamparan, nyatanya perkataan Eriana sukses membuat wajah Jefri memerah. Tapi, itu belum cukup untuk Eriana. Karena ketika semua pelajaran etika dan tata kramanya menghilang dari benaknya, yang Eriana ingat sekarang adalah sakit hati yang dulu pernah ia rasakan.

"Sumpah, Jef. Kamu itu benar-benar nggak ada hati. Heran. Menurut yang aku tau, manusia nggak bisa hidup tanpa hati. Tapi, kamu kok bisa ya?"

Jefri membuka mulut. Ingin bicara, tapi tangan Eriana naik satu. Menunjuk pada Jefri dalam peringatan.

"Jadi aku kasih tau kamu. Hubungan kita benar-benar sudah berakhir. Telat buat kamu nyesal sekarang. Karena aku udah dikasih Tuhan cowok lain yang lebih segala-galanya timbang kamu. Kecuali aku kecelakaan dan gegar otak, aku nggak bakal balik sama kamu."

Eriana melihat jam tangannya. Masih ada dua menit yang tersisa. Ia memutuskan untuk segera mengakhiri pembicaraan itu. Karena jujur saja. Membicarakan masa lalu itu membuat emosi dulu bangkit kembali.

Bayangkan saja. Ketika Eriana sedang berjuang untuk hidupnya, Jefri justru mengakhiri hubungan mereka tanpa ada perasaan sama sekali.

Eriana mencoba untuk bertahan. Terus melangkah. Dalam kemarahan dan kesedihan yang terpaksa ia singkirkan demi cita-citanya.

Dan sekarang, mendapati sumber penderitaannya dulu muncul kembali, tentu saja semuanya terbongkar. Kemarahan dan kesedihan itu layaknya mayat hidup yang bangkit kembali dari kematian. Keluar dari kubur demi memperlihatkan apa yang terpendam selama ini.

"Aku nggak bodoh buat balik ke cowok kayak kamu, Jef. Karena di sana ada cowok yang walau nganggap aku gila, tapi dia nggak pernah bohongin aku. Kalau dia nggak suka, dia bilang nggak suka. Kalau dia marah, dia bilang marah. Kalau dia nunggu, dia bilang nunggu."

Eriana membuang napas dengan kasar. Waktunya sudah habis walau sebenarnya apa yang ia katakan belum menuntaskan semua kemarahan dan kesedihan yang ia rasakan dulu.

Namun, sudahlah. Eriana tidak ingin memperpanjang semuanya. Ia hanya ingin memberikan penjelasan pada Jefri.

"Jadi aku mohon. Sama seperti dulu di mana kamu menghilang tiba-tiba dengan pacar baru kamu itu, sekarang lebih baik kamu juga pergi dari kehidupan aku, Jef."

Jefri tertegun. Untuk setiap kata-kata yang Eriana ucapkan, ia hanya bisa menatap tak percaya. Apakah ini yang ia dapatkan untuk usahanya mencari Eriana?

Sementara itu, di tempatnya menunggu, Satria berusaha untuk tidak melihat pada Jefri dan Eriana. Khawatir akal sehatnya menghilang dan melanggar perkataannya sendiri. Dan karena itulah Satria menyibukkan diri dengan menghitung mundur waktu Eriana yang tersisa.

"Aku mohon, Jef. Nggak usah muncul lagi."

Itulah hal terakhir yang Eriana katakan. Sebelum pada akhirnya ia benar-benar beranjak. Melangkah dan mendapati Satria yang melihat padanya.

Waktu Eriana telah habis. Dan ia akan kembali pada Satria seperti yang ia janjikan.

Namun, satu sambaran yang merenggut tangannya membuat Eriana tersentak kaget. Tubuhnya tertarik ke arah yang berlawanan dengan arah kakinya melangkah. Refleks berbalik dan mendarat di satu pelukan.

"Jefri!"

Eriana berusaha mendorong Jefri. Tapi, cowok itu tidak melepaskannya. Alih-alih, Jefri justru memohon.

"Aku mohon, Ri. Maafin aku."

Eriana menggeleng. "Aku yang mohon, Jef. Lepasin aku."

Karena Eriana bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Yaitu keributan.

Dan tebakan Eriana tidak meleset sama sekali. Karena hanya dalam hitungan beberapa detik yang singkat, teriakan marah Satria menggelegar di udara. Berikut dengan terlepasnya Eriana dari pelukan Jefri.

Satria menarik Eriana ke belakang tubuhnya. Ia maju. Meraih kerah kemeja Jefri dan tanpa peringatan sama sekali melayangkan tinjunya ke hidung cowok itu.

"Buuuk!"

Eriana melotot. Orang-orang yang ada di sekitaran lobi, kaget. Tapi, Satria mengabaikannya.

"Eri sudah bilang kan? Lepasin dia?!"

Tinju Satria kembali melayang. Dan untuk serangan tanpa jeda itu, Jefri tidak bisa mengambil kesempatan untuk balas menyerang.

Dua kali sudah tinju Satria mendarat di wajah Jefri. Tapi, itu belum cukup. Tangan Satria kembali terangkat. Bersiap untuk melayangkan tinju yang ketiga. Hanya saja seseorang menahan tangannya.

Satria menoleh. Melihat Eriana dengan napas menggebu menahan tinjunya.

"Eri?"

Satria menggeram. Dalam hati ia sontak bersumpah.

Kalau kamu sampai membela dia, awas saja! Awas aja!

Namun, sumpah Satria tidak ada arti. Karena ketika Eriana menahan tinju Satria, itu bukan karena ia ingin membela Jefri. Pun bukan karena ia ingin menghentikan tindakan Satria. Bukan sama sekali.

Karena sepertinya kemarahan dan kesedihan yang terpendam selama ini bisa mendapatkan kesempatan untuk pembalasannya. Kesempatan yang tidak akan Eriana sia-siakan.

"Sat, tinju dia yang kuat."

Satria tertegun. Jefri terdiam. Keduanya sama-sama melihat Eriana dengan tatapan bodoh. Apa Eriana salah bicara?

Oh, tentu saja tidak. Eriana menatap tajam pada Jefri dengan sakit hati akan masa lalu yang terpancar di matanya. Yang membuat ia geram. Tapi, ia tau ia tidak bisa meluapkannya. Hingga sekarang kesempatan itu datang dalam bentuk Satria.

"Dia udah nyakitin aku dulu. Dia juga udah hampir buat kita ribut. Dan dia juga berani-beraninya meluk aku di depan kamu, Sat," ujar Eriana menggebu-gebu. "Dia benar-benar nggak mandang kamu, Sat. Pokoknya tinju dia yang kuat!"

Mata Satria membesar. Seolah ada tim sorak yang memberikan semangat untuk dirinya yang tengah bertanding.

"Tinju dia yang kuat?"

Eriana mengangguk. Melepaskan tangan Satria dan berkata. "Yang kuat, Sat!"

Di mana lagi ada seorang istri yang justru menyemangati suaminya untuk meninju orang? Sepertinya Satria baru bertemu dengan istri seperti itu sekarang. Tapi, masalahnya emosi Satria memang sudah berantakan sejak tadi. Maka ketika Eriana memberikan semangat, sorakan, dan yel-yel, apalagi yang terbersit di kepala Satria?

Tidak ada. Selain kembali melayangkan tinjunya pada Jefri untuk yang kesekian kalinya. Dengan teriakan Eriana yang mengiringinya.

"Ayo, Sat! Ayo! Ayo!"

Lantas ketika orang-orang di sana berlarian demi melerai Satria dan Jefri, teriakan yang lain pun terdengar.

"Pak, hentikan!"

"Jangan buat kekacauan di sini, Pak."

"Bapak jangan main hakim sendiri, Pak."

Dan untuk itu, Eriana lantas berseru sambil menarik lengan blazernya.

"Tenang, Sat. Kita main hakim berdua!"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top