57. Bukan Sekantor Tapi Menikah

"Bentar, Ri. Biar aku dulu."

Eriana terpaksa menunggu hingga Satria keluar lebih dahulu dari mobil. Ia lalu mengulurkan tangan dan Eriana menyambutnya. Satria pun tak lupa melindungi kepala Eriana dengan satu tangannya yang bebas.

"Makasih," ujar Eriana. "Tapi, kamu nggak takut kalau ada yang lihat kita kayak begini?"

Satria melihat sekeliling. "Ini masih sangat pagi. Nggak ada karyawan yang datang serajin itu."

"Ah. Benar juga sih."

Walau demikian, bukan berarti Eriana dan Satria berlama-lama di parkiran. Mereka segera beranjak.

Satria membuka pintu masuk. Menahannya seraya memperingatkan.

"Hati-hati, Ri."

"Iya, Sat, iya."

Membalas perkataan Satria dengan mengulum senyum kecil, Eriana geli sendiri. Satria terkesan berlebihan dan itu membuatnya merasa lucu. Eriana tergelitik untuk menggoda. Namun, satu pemandangan yang masuk ke retinanya membuat niat itu lenyap seketika.

Eriana berhenti melangkah. Syok, tapi ia sungguh tak mengira bahwa ada orang yang berdiri di seberang sana.

"Teguh."

Lidah kelu Eriana nyaris tidak bisa bersuara. Jantungnya terasa berhenti berdetak dan tubuhnya terasa dingin. Ia buru-buru menarik tangannya yang menggantung di udara. Terpaksa, Eriana harus menyingkirkan ide jahilnya untuk menepuk bokong Satria.

"Galih."

Persis seperti Eriana, Satria yang baru menutup pintu masuk, kaget pula. Namun, ia dengan cepat menguasai diri.

"Selamat pagi, Pak. Selamat pagi, Bu."

Satria menunggu dengan tatapan tanpa kedip. Namun, tak ada lagi yang dikatakan oleh kedua bawahannya itu. Tak ada pertanyaan. Pun tak ada kesiap kaget. Alih-alih ucapan sopan lainnya yang berasal dari Galih.

"Silakan, Pak."

Mereka menaiki lift bersama-sama. Keadaan kala itu hening. Tak ada yang bersuara hingga Satria berkata pada Teguh dan Galih.

"Kalian langsung temui saya. Saya ingin tau keadaan kantor kemaren."

"Siap, Pak."

Setidaknya butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk Satria menunggu kedatangan Teguh dan Galih di ruangannya. Mereka membawa beberapa map dan melaporkan yang terjadi di kantor selama Satria tidak ada.

Satria mendengarkan saksama walau dengan sedikit perasaan tak sabar. Jadi tak aneh bila ia buru-buru menuntaskan semua.

"Oke," angguk Satria. "Saya mengerti."

Teguh dan Galih diam. Perkataan Satria memberikan isyarat tersendiri untuk mereka. Satria merasa cukup dengan laporan yang mereka berikan, tapi bukan berarti semua selesai.

Satria sedikit mengubah posisi duduk. Kedua tangan bertemu di atas meja dan ia menatap bergantian pada kedua cowok itu.

"Ada yang ingin saya katakan ke kalian berdua."

Tubuh Teguh dan Galih membeku. Keduanya menegang kompak tatkala perkataan Satria diiringi oleh tatapan serius tak terbantahkan. Entah sadar atau tidak, tapi mereka refleks berdoa di dalam hati.

"Saya dan Eri sudah menikah."

Teguh dan Galih sama-sama bengong sementara Satria menunggu. Sengaja tak meneruskan perkataannya, Satria memutuskan untuk melihat respon mereka terlebih dahulu.

Sayangnya, tak ada respon apa pun yang Satria dapatkan. Selain hanya bengong.

"Kalian nggak mau mengatakan sesuatu?"

Pertanyaan itu membuat Teguh mengerjap dan Galih tersentak. Seolah mereka baru saja tersadarkan dari lamunan panjang.

"Saya bilang," ujar Satria mengulang perkataannya. "Saya dan Eri sudah menikah."

Teguh tampak kewalahan menarik udara. "M-menikah jadi suami istri, Pak?"

"Kalau nggak jadi suami istri, terus jadi apa? Jadi debitur dan kreditur?"

Sentakan Satria membuat Teguh memejamkan mata. Ia nyaris berjingkat dari duduk seolah ucapan Satria menyentaknya dengan kekuatan tenaga dalam.

"M-maaf, Pak."

Satria membuang napas kasar. Kali ini ia beralih pada Galih. "Kamu nggak mau mengatakan sesuatu?"

"N-nggak, Pak," jawab Galih pelan.

Agaknya Galih lebih memilih jalan aman untuk menyelamatkan nyawa. Ketimbang ia mengatakan hal aneh-aneh dan berakibat fatal, lebih baik ia iya-iya saja.

Lagi pula sebenarnya Galih tidak terlalu terkejut. Ia memang sudah menduga ada sesuatu tak biasa di antara Eriana dan Satria. Namun, tentu saja ia tak mengira bahwa 'sesuatu tak biasa' itu adalah pernikahan.

"Saya tau ada beberapa gosip yang beredar di kantor."

Nah! Itulah maksud pemikiran Galih.

"Ada satu dua orang yang mengatakan hal tidak-tidak mengenai Eri, tapi itu semua nggak benar. Saya dan Eri sudah lama menikah. Dan itu yang menjadi satu-satunya alasan mengapa kalian bekerja di sini."

Tak merasa perlu menutupi, Satria menceritakan semua. Asal muasal mengapa Teguh dipanggil kembali dan Galih bisa mendapatkan posisi sebagai asisten pribadi.

"Ya Tuhan," desis Teguh seraya menutup mulut. "K-kalau Bapak dan Ibu nggak menikah, itu artinya saya masih jadi pengangguran?"

Enteng sekali Satria mengangguk. "Tentu saja."

Tak terkira lagi senangnya perasaan Teguh. Matanya langsung berbinar-binar demi membenarkan perkataan orang-orang.

Pernikahan itu adalah berkah. Dan aku kecipratan berkahnya.

Teguh tak bisa mengendalikan luapan perasaan. Ia berkata.

"Makasih banyak, Pak. Makasih karena sudah menikah dengan Bu Eri."

Satria mengerutkan dahi. "Apa-apaan. Saya nikah sama Eri bukan biar kamu bisa kerja di sini."

Teguh tahu, tapi tetap saja ia tak mampu menahan haru. Matanya terasa menghangat dan mungkin saja ia akan menangis andai tak ingat ia sedang berada di mana.

"Lalu apa yang harus kami lakukan, Pak?"

Pertanyaan itu berasal dari Galih. Tak sulit baginya untuk menebak bahwa Satria pasti memiliki tujuan sehingga menceritakan rahasia itu pada mereka.

Satria tersenyum tipis. "Saya suka pertanyaan itu," pujinya. "Yang harus kalian lakukan adalah menjaga Eri sebaik mungkin. Kalian pasti ingat bukan kalau Eri kemaren sempat pingsan?"

Teguh dan Galih tak menjawab. Terlebih lagi karena Satria pun lanjut bicara dengan membabi buta.

"Eri kelelahan. Dia kecapekan. Nggak seharusnya dia kerja berat ketika ada dua cowok seperti kalian."

Degh!

Teguh dan Galih kompak tak berani bernapas. Doa yang sempat terjeda kembali menggema di dalam hati.

"Eri saat ini sedang hamil. Jadi ..."

Satu informasi tambahan yang membuat Teguh dan Galih menemukan semua sumber malapetaka mereka akhir-akhir ini. Pantas saja Satria jadi sering marah-marah. Pun kerap memberikan perintah tak masuk akal.

Ternyata ini toh sumbernya.

"... kalian harus menciptakan suasana yang tenang. Kalian juga harus membantu Eri. Kalau sampai saya lihat Eri kecapekan lagi, kalian tentu tau akibatnya kan?"

"T-tentu, Pak."

"K-kami pasti akan melakukan yang terbaik."

"Bu Eri nggak akan kecapekan."

"Bapak nggak perlu khawatir."

Satria tersenyum lebar. Sekarang perasaannya lega.

"Bagus."

Alhasil, tak aneh rasanya bila Teguh dan Galih mulai melakukan perintah Satria tepat setelah keluar dari ruang kerja sang bos. Mereka langsung menghampiri Eriana dan memastikan keadaannya.

"Bagaimana keadaan Ibu? Sehat?"

"Baik-baik saja, Guh. Ehm saya sehat. Kemaren cuma sedikit lelah."

"Kalau begitu, Ibu jangan bekerja terlalu keras. Ada saya dan Teguh yang bisa menggantikan pekerjaan Ibu."

"Ah, makasih. Kalian baik sekali."

Ingatan itu berputar-putar di benak Eriana. Membuatnya melongo.

Ironis memang. Eriana berdoa di dalam hati agar Teguh dan Galih tidak kejang-kejang, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Adalah ia yang nyaris pingsan saat itu.

Eriana menatap Satria. Sang suami terlihat santai seraya meraih gelas minum. Tampak biasa-biasa saja.

*

Seharusnya Eriana curiga. Seharusnya ia merasa aneh dari hari itu. Namun, sungguh ia tak mengira kalau keganjilan sikap Teguh dan Galih adalah karena Satria. Semula ia pikir itu lantaran makanan kafetaria kantor yang bermasalah.

"Astaga, Sat. Aku benar-benar nggak ngira."

Eriana menunggu Satria menutup pintu kamar. Ia berdiri di tengah ruangan sementara Satria berjalan seraya melepas jas dan melonggarkan dasi.

"Kenapa kamu nggak ngomong sama aku?"

Satria tampak tak yakin. "Kamu nggak nanya."

"Astaga."

Bola mata Eriana berputar dramatis. Jawaban enteng itu membuatnya geleng-geleng.

"Pantas saja mereka jadi pada jaga sikap sama aku," ujar Eriana mengingat beberapa hal belakangan. "Ternyata itu karena mereka tau soal kita."

Satria menghampiri Eriana. Kedua tangannya langsung mendarat di pinggang sang istri. Menarik tatapan Eriana untuk tertuju padanya. Setengah mendongak, ia mendapati Satria menatapnya.

"Aku nggak bisa ambil resiko, Ri. Itu pun untungnya aku masih agak tenang. Karena kalau nggak, mungkin aku sudah buat pengumuman buat seisi kantor."

"Sat."

"Kamu tau kan?" tanya Satria tanpa mengharapkan jawaban Eriana. "Keadaan psikis ibu hamil harus dijaga, tapi mereka justru membicarakan kamu di belakang. Bagaimana kalau kamu stres dan tertekan?"

Eriana yakin dirinya mengetahui informasi tersebut. Tanpa kekerasan fisik, nyatanya tekanan mental memiliki keampuhan dalam mengganggu kehamilan. Tak jarang beberapa kandungan gugur lantaran stres.

"Kamu benar."

Menyetujui perkataan dan bisa menerima alasan Satria, lama-lama Eriana merasa senang pula. Mungkin sedikit terlambat, tapi hal tersebut menyadarkannya akan sesuatu.

"Makasih."

Satria menatap Eriana. "Makasih?"

Bukan hanya ucapan terima kasih, alih-alih Eriana pun memeluk Satria. Ia merebahkan wajah di dada bidang itu dan merengkuhnya dengan mata terpejam.

"Aku nggak tau kalau kamu benar-benar mikir keadaan aku."

Satria tertegun. Sejenak memang. Lantaran lima detik kemudian tangannya pun terangkat dan balas merengkuh Eriana. Ia mengusap punggungnya lembut tanpa mengatakan apa-apa.

Pun Eriana tak butuh kata apa pun lagi dari Satria. Dari semua tindakan dan sikap Satria, ia tahu dengan pasti bagaimana perasaannya.

Eriana merasa begitu dicintai. Satria benar-benar menjaganya. Memastikan semua upaya demi melindunginya.

"Aku benar-benar cinta kamu, Sat."

Mungkin kebahagiaan itu benar-benar membuncah. Namun, tak ada sedikit pun yang keliru dari pengungkapan perasaan yang Eriana utarakan.

Satria kembali mengusap. "Kalau kamu cinta aku, itu artinya kamu harus jaga diri dan kandungan kamu baik-baik."

"Tentu saja," ujar Eriana tersenyum. "Kamu tau kan? Perasaan senang bisa memberikan energi positif, apalagi untuk ibu hamil."

Samar, Satria mengangguk. Pergerakannya terasa di puncak kepala Eriana.

"Aku pikir-pikir ..."

Eriana menarik udara dalam-dalam. Aroma maskulin Satria yang bercampur keringat memberikan kedamaian untuknya.

"... sekarang aku jadi semangat buat masuk kelas kehamilan dan parenting."

Usapan tangan Satria berhenti. Ia menunduk walau jelas tak bisa melihat wajah Eriana.

"Rasa-rasanya aku nggak sabar buat belajar lagi."

"Kamu serius?"

Ada sedikit nada sangsi itu membuat Eriana menarik diri. Tak melepaskan pelukan, ia hanya butuh jarak secukupnya demi bisa menatap Satria dengan tersenyum lebar.

"Kan belajarnya bareng kamu," lanjut Eriana dengan mata berbinar-binar. "Seumur hidup ... aku belum pernah sekelas sama cowok cakep. Apalagi belajar private sama cowok cakep. Nggak pernah."

Mata Satria menyipit. "Di Inggris nggak ada mahasiswa cakep?"

"Nggak secakep kamu."

Bahkan manusia tanpa hati pun pasti akan meleleh mendengar ucapan itu, apalagi Satria. Lihat saja. Wajahnya jadi kaku salah tingkah.

"Juga ..."

Tangan Eriana bergerak. Turun dan pindah pada bagian yang membuat Satria menahan napas di dada.

"... nggak ada yang punya bokong seseksi kamu."

Tentu saja. Bagi Eriana itu adalah hal utama. Kesukaannya yang semakin ia sukai tatkala hari terus berganti.

Eriana berkilah bahwa itu adalah keinginan bayi. Namun, Satria tidak percaya sama sekali. Ia yakin itu adalah alibi mesum sang istri.

Namun, tak apa. Lantaran pernikahan telah mengajarkan banyak hal untuk Satria. Salah satunya adalah pelajaran saling memaklumi.

Satria memaklumi kesukaan Eriana. Pun Eriana memaklumi kesukaan Satria. Mereka sama memaklumi kesukaan masing-masing selagi keduanya sama-sama suka.

Eh?

Intinya adalah kelas kehamilan dan parenting tidak semengerikan itu. Tidak terlalu menakutkan seperti yang sempat Eriana duga. Dan itu tentu saja penyebabnya karena ada Satria.

Eriana sadar bahwa tak ada yang sulit dan mengerikan bila ada suami di sisinya. Persis seperti yang terjadi hari itu ketika Masdar menghampiri mereka dan berkata.

"Tuan. Nyonya. Kelas sudah siap."

Di sela-sela akhir pekan, Eriana dan Satria menuju satu ruang yang sudah dipersiapkan. Tepat di jam sembilan pagi, mereka masuk dan ada Rena Wulandari yang menyambut.

"Tuan dan Nyonya," sapa Rena ramah. "Bisa kita mulai kelas pertama?"

Kompak, sepasang suami istri itu menjawab dengan satu kata yang sama.

"Ya."

*Tamat*

Akhirnya cerita ini tamat juga. Hahaha. Jujur, aku bahagia sekali.

Aku tau ada beberapa di antara kalian yang ga terima cerita ini tamat, tapi mau gimana lagi? Cerita Eri-Satria memang cukup sampai di sini.

Besar harapan aku semoga cerita ini menghibur dan kalian suka. Pun lebih besar lagi harapan aku bila kalian bisa sabar menunggu tahun 2024. Hahaha.

Jadi rencananya Eri-Satria bakal hadir lagi untuk season 3, tapi di tahun 2024. Pokoknya di 2024, season 3 dari semua seri 'Tapi Menikah' bakal aku tulis. Untuk itu marilah kita sama-sama menunggu kedatangan Eshika-Tama, Vanessa-Ryan, dan Eriana-Satria.

Satu pesan aku: Tuhan bersama dengan hambanya yang sabar.

Hahaha.

Sampai juga di cerita lainnya. Ssst! Aku pasti selalu punya cerita lain yang ga kalah seru. Entah itu menegangkan atau lucu, aku ada semua.

Bye!

(*・ω・*)b♪

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top