56. Nah Loh!

Rasa-rasanya Eriana tidak pernah bangun dengan keadaan sesegar ini. Bahkan dulu ketika ia berhasil melunasi tagihan—banyak—pinjaman, rasa segarnya tidak bisa dibandingkan dengan sekarang. Enteng dan amat ringan. Nyaris membuatnya berpikir bahwa ia tengah tidur di tumpukan awan-awan, bukan di pelukan Satria.

Eriana membuka mata dan hal pertama yang ia lihat adalah wajah lelap Satria. Terlihat sangat tampan sehingga ia bertanya di benak.

Apa Satria memang secakep ini ya?

Saking cakepnya sampai-sampai membuat Eriana enggan untuk turun dari tempat tidur. Rasanya ia ingin terus seperti itu dengan Satria. Sayang, ia ingat bahwa itu adalah hari terakhirnya bekerja.

Eriana bersiap. Demikian pula dengan Satria. Mereka menikmati sarapan dan Eriana tak heran bila menunya berbeda. Penuh dengan sayur dan buah tanpa bumbu menyengat.

"Nanti kamu nggak usah beresin meja kerja kamu."

Suara Satria terdengar tiba-tiba tatkala Eriana baru saja menandaskan segelas jus aneka buah. Sekelumit warna oranye tertinggal di bibirnya dan Satria mengambil serbet makan. Sayang, tangannya tak sampai untuk mengelap noda di sana. Pada akhirnya Eriana mengambil alih serbet tersebut dan mengelapnya sendiri.

"Kamu suruh saja Teguh yang beres-beres," lanjut Satria. "Pokoknya kamu jangan sampai kecapekan mentang-mentang ini hari terakhir."

Eriana menyisihkan serbet makan dan mengangguk. "Tenang saja. Aku juga nggak mau capek kok."

Ucapan enteng Eriana membuat Satria membuang napas panjang. Ia menjeda sarapan dan justru melihat sang istri yang tampak santai menikmati sepotong alpukat.

Eriana memang mengatakan demikian, tapi Satria sebagai suaminya tentu saja paham. Sang istri adalah tipe cewek pekerja keras yang seringkali tidak menyadari bahwa dirinya terkadang bekerja di luar batas.

Satria tidak menyalahkan Eriana. Kehidupan berat yang sempat ia jalani tentu saja memiliki dampak tak kasat mata untuk sikap dan sifatnya.

Namun, itu dulu. Ketika Eriana sudah menjadi istrinya, apa pun akan Satria lakukan.

Persis seperti pagi itu. Tatkala mereka sudah tiba di kantor, Satria berkata pada Teguh tanpa tedeng aling-aling.

"Hari ini adalah hari terakhir Eri kerja, jadi kamu bereskan meja beliau."

Teguh bengong sedetik, lalu ia mengangguk. "Baik, Pak."

Sementara Eriana? Tentu saja ia kaget. Bola matanya membesar, tak percaya Satria akan memberi perintah demikian pada Teguh.

"P-Pak—"

"Kalau kamu merasa kewalahan," lanjut Satria memotong ucapan Eriana. "Kamu minta tolong sama Galih."

Kali ini Galih yang tersentak. Namun, tentu saja ia tak menolak. Melainkan turut mengangguk patuh.

"Baik, Pak," ujar Galih. "Saya akan membantu Teguh."

Satria mengangguk sekilas sebelum beranjak masuk ke ruang kerjanya. Meninggalkan Eriana yang tampak salah tingkah pada Teguh dan Galih.

"M-maaf," ujar Eriana terbata dengan perasaan tak enak. "Kalian nggak usah beresin meja saya. Bapak—"

"Nggak apa-apa, Bu. Masalah beresin meja kerja kan bukan urusan yang sulit. Ibu serahkan saja pada saya dan Galih."

Eriana menggeleng lemah mendengar perkataan Teguh. Perasaan tak enaknya semakin menjadi-jadi.

"Kalian punya banyak kerjaan yang lebih penting timbang beresin meja kerja saya."

Kali ini adalah Galih yang lantas bersuara. Ia menampik perkataan Eriana dengan ekspresi tenang.

"Kerjaan lain bisa nunggu, Bu. Tenang saja. Saya dan Teguh nggak butuh waktu lama buat beresin meja kerja Ibu."

Wah! Eriana tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa bengong tatkala Teguh dan Galih segera bergerak. Mereka tak buang-buang waktu dan mulai mengepak beberapa barang Eriana.

Ini nggak bisa dibiarkan. Satria benar-benar deh.

Eriana mengatupkan mulut rapat-rapat. Pandangannya beralih ke pintu ruangan Satria. Tanpa berpikir dua kali dan tak memedulikan tas kerja yang masih ia sandang, ia memutuskan masuk ke sana.

"Sat."

Suara Eriana terdengar sedetik setelah pintu menutup di belakang punggung. Ia menghampiri Satria yang kala itu sudah mulai bekerja.

"Eri?"

Eriana duduk. Wajahnya tampak tertekuk dengan ekspresi sedikit tak terima.

"Kamu apa-apaan sih? Sepagi ini udah suruh-suruh Teguh dan Galih saja."

Satria paham. Alhasil ia meninggalkan sejenak pekerjaannya dan bersandar di kursi. Ia berdecak samar seraya geleng-geleng.

"Kan pas sarapan tadi aku udah bilang buat suruh Teguh saja yang beresin meja kerja kamu. Kok sekarang kamu protes sih?"

Protes Eriana terjeda. Ia ingat pembicaraan itu, tapi tetap saja ia merasa ini sedikit berlebihan.

"Iya, tapi kan aku pikir maksudnya Teguh itu cuma bantuin aku. Bukannya malah dia dan Galih yang benar-benar kerjain semuanya."

Pundak Satria naik sekilas. "Di mata aku, itu sama saja."

Eriana tercengang. Satria pun lanjut bicara.

"Mereka nggak protes dan keberatan kan?"

"Memang nggak."

"Jadi semua aman-aman saja."

Bola mata Eriana berputar dramatis. "Mereka pasti nggak akan protes dan keberatan secara terang-terangan. Mereka pasti nggak mau diterkam sama kamu."

"Ah," lirih Satria dengan penuh irama. "Baguslah mereka tau kalau aku suka nerkam orang."

Eriana sontak meneguk ludah. Wajah Satria tampak sedikit merah. Mau tak mau membuat ia salah tingkah.

"Aku rasa kamu nggak seharusnya suruh mereka gitu, Sat."

Mata Satria melirik. Eriana langsung menahan napas di dada. Namun, bagaimana lagi? Ia benar-benar merasa tak enak dengan kedua cowok itu. Belakangan ini Teguh dan Galih sudah banyak membantunya. Itu pun belum ditambah dengan hal-hal aneh yang membuat Eriana semakin tak nyaman.

Dari kejadian Teguh dan Galih dimarah gara-gara Eriana. Teguh yang disuruh mengganti semua perabotan kantor. Pun Galih yang harus mengambil alih semua tugas Eriana saat ia tak masuk tempo hari.

Ah! Belum termasuk dengan beberapa kesempatan di mana Teguh dan Galih yang terus mencoba untuk membantu Eriana. Membawa cangkir teh, mengambil kertas jatuh, dan bahkan sampai memesan makanan sementara Eriana jelas-jelas turut berada di kafetaria.

Teguh dan Galih pun tak segan-segan untuk membuka dan menutup pintu. Memastikan gelas minum Eriana selalu tersedia. Bahkan bila ia berniat untuk mengambil camilan di pantri, mereka berdua yang langsung bergegas.

Jadi perasaan tak enak Eriana bukan tanpa sebab. Melainkan justru karena banyak sebab.

"Mereka itu karyawan kamu," lirih Eriana. "Bukan karyawan aku."

Mata Satria membesar dalam penekanan. "Nggak ada bedanya sama sekali. Apalagi Galih. Nanti dia juga yang bakal bantu-bantu kamu buat urus yayasan."

"Ah."

Eriana melirih singkat. Apa yang dikatakan Satria benar adanya. Namun, tunggu.

"Sat. Apa itu artinya aku bakal tetap ketemu sama Galih?"

Satria tak menjawab pertanyaan Eriana. Alih-alih hanya menatapnya.

"Ehm mungkin bakal tetap ketemu sama Teguh juga?"

Satria sedikit mengerutkan dahi dengan ekspresi santai. "Bisa jadi. Galih pasti bakal sering ke rumah. Mungkin Teguh juga. Apalagi nanti kalau kita ada acara keluarga. Jadi ... ya tentu saja kamu bakal ketemu mereka."

Rasa tak enak Eriana karena Teguh dan Galih saat ini sedang membereskan barang-barangnya sontak menghilang. Tergantikan oleh kebingungan alamiah tanpa dibuat-buat sama sekali.

"Kalau aku tetap bakal ketemu mereka ..."

Suara Eriana terdengar beda. Cenderung pelan dan tak yakin.

"... apa nggak sebaiknya kalau kita kasih tau mereka tentang hubungan kita sekarang?"

"Kamu mau gitu?" tanya Satria tanpa menunggu jawaban Eriana. "Nggak jadi masalah."

Ucapan Satria yang enteng membuat Eriana masam.

"Aku nggak mau mereka kaget. Keluarga aku saja hampir pingsan pas tau kita mau nikah. Apalagi mereka? Aku nggak mau lihat Teguh dan Galih kejang-kejang lihat aku di rumah kamu."

Satria angguk-angguk. "Kamu bisa ngomong ke mereka. Suka-suka kamu saja."

Lagi. Ucapan Satria membuat Eriana meringis.

"Apa kita ajak mereka makan malam?"

Nah! Sekarang ekspresi santai dan tenang Satria langsung menghilang. Pun tubuhnya seketika menegap kembali.

"Ajak mereka makan malam?"

"Iya," angguk Eriana penuh semangat. "Semacam acara perpisahan karena aku berhenti. Kayak orang-orang loh, Sat. Sekalian kita ngomong bareng soal itu."

Kali ini wajah Satria yang tampak masam. "Dari awal kamu memang mau makan malam bareng mereka kan? Aku ingat. Dulu mereka pernah ajak kamu buat dinner kan pas pulang kantor?"

Eriana mendengkus geli. Ia bahkan hampir melupakan itu. Ajaibnya, Satria justru masih ingat.

"Cuma makan malam biasa. Sekalian biar kita bisa kasih tau mereka tentang kita."

Satria ingin menolak ide makan malam itu, tapi Eriana sudah keburu bangkit dari duduk. Ia menghampiri Satria dan memberikan kecupan di pipi tanpa basa-basi sama sekali.

"Nanti aku suruh Teguh reservasi."

Satria tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya mengangguk samar seraya melihat kepergian Eriana.

Bukannya cemburu. Tentu saja. Tingkat percaya diri Satria yang melambung tinggi tak mengenal kata cemburu. Namun, bukan berarti ia tak merasa gelisah bila melihat Eriana tertawa hahahihi dengan cowok lain. Jangankan itu. Perkara Mas Bimo, Massimo, dan Jefri Marsimo saja sudah membuat darahnya mengelegak.

Hanya gelisah. Seperti tak nyaman saja.

"Sudahlah," lirih Satria seraya memutuskan untuk kembali bekerja. "Sekali-kali buat Eri senang."

*

Keluar dari ruangan Satria dengan suka cita, Eriana langsung menghampiri Teguh yang kala itu tengah memasukkan beberapa bingkai foto di kardus. Potret yang memuat kenangan indah Eriana bersama keluarga tatkala wisuda sarjana dan kala ia memamerkan toga masternya.

"Teguh."

Teguh tersentak. Ia bergidik sementara Eriana tersenyum lebar padanya.

"Y-ya, Bu?" tanya Teguh seraya bangkit. "Ada apa? Ibu mau minum teh atau apa?"

Eriana masih tersenyum. "Nggak. Saya baru dari ruang Bapak, terus Bapak ..."

Ya ampun. Pak Satria ngasih tugas apa lagi?

"... minta kamu kamu reservasi resto malam nanti."

Refleks, Teguh membuang napas panjang. Pun tanpa sadar turut mengusap dada, seolah tengah menenangkan debar di dalam sana.

Astaga. Aku pikir Pak Satria bakal suruh apa lagi. Ternyata cuma reservasi resto toh.

Teguh menaruh sejenak kardus di meja. "Baik, Bu. Nanti saya reservasi. Untuk dua orang?"

"Ehm," deham Eriana dengan mengulum geli. "Bukan untuk dua orang, tapi empat orang."

Teguh yang sudah bersiap mengambil tablet demi melakukan reservasi, mengangkat wajah. Ia menatap Eriana sejenak, seolah butuh waktu untuk mencerna maksudnya.

"E-empat orang, Bu?"

"Iya," angguk Eriana. "Pak Satria mau ajak kita makan malam bareng."

Langsung saja bola mata Teguh membesar. Antara kaget dan takjub, wajahnya seketika berseri-seri.

"Baik, Bu. Segera saya reservasi."

Bukan hanya lega karena tidak mendapat tugas dadakan lain dari Satria, sekarang Teguh pun merasa penuh suka cita lantaran ajakan sang bos. Setidaknya hari itu tidak terlalu melelahkan untuknya. Paling tidak, setimpal dengan makan malam yang tengah menunggu.

Adalah Ramiz Dining yang menjadi persinggahan mereka kala hari menjelang pukul enam. Satria, Eriana, Teguh, dan Galih mengisi satu meja yang di satu ruang naratetama. Sesuai dengan kebiasaan Satria tentunya, ia tak ingin suasana ramai ketika tengah menikmati makan.

Pelayan datang dan menyajikan beragam menu. Memastikan bahwa tidak ada yang keliru, setelahnya mereka pun pergi.

Kala itu Eriana melirik pada Satria. Melalui sorot matanya, ia seakan meminta izin. Menurut Eriana, waktu yang tepat untuk mengatakannya adalah sebelum makan.

Gimana kalau mereka syok dan terus muntah-muntah? Kan bisa gawat.

Eriana tidak ingin mengambil risiko memalukan dan merepotkan itu. Ia akan mengatakan semua pada Teguh dan Galih sekarang. Untuk itu, Satria hanya memberi isyarat enteng.

Suka-suka kamu saja.

Eriana tersenyum. Izin Satria sudah didapat dan sekarang adalah waktunya.

"Ehm."

Dehaman Eriana membuat pergerakan tangan Teguh dan Galih kompak berhenti. Teguh yang sudah bersiap mengiris potongan daging sapi, menaruh kembali pisau dan garpunya. Galih yang ingin menggulung helaian mi, meletakkan pula sendok dan garpunya. Keduanya sama-sama melihat pada Eriana yang tersenyum.

"Sebelum kita makan malam," ujar Eriana. "Sebenarnya ada yang mau saya dan Pak Satria bilang."

Bola mata Teguh dan Galih bergerak bersamaan. Mereka melihat pada Satria dan lalu pindah lagi pada Eriana.

Galih memberanikan diri untuk bertanya. "Soal apa, Bu?"

Eriana kembali melihat pada Satria. Cowok itu terlihat santai dan tenang, terkesan biasa-biasa saja. Namun, Eriana yakin Teguh dan Galih tidak akan sesantai itu bila mengetahui apa yang mereka sembunyikan selama ini.

"Ini soal saya dan Pak Satria."

Menjeda ucapannya sejenak, Eriana melihat bergantian pada Teguh dan Galih. Mereka membeku dan tak bereaksi apa-apa.

K-kayaknya gejala syok mereka mulai terlihat ya?

Eriana menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menabahkan hati untuk setiap reaksi yang bisa diberikan Teguh dan Galih.

Kejang-kejang dan muntah busa adalah hal wajar. Mereka pasti nggak bakal nyangka.

Eriana menguatkan hati. Terlepas dari posisi Teguh dan Galih, sejujurnya ia memang ingin mengatakan kenyataan itu secara langsung. Baginya, mereka bukan hanya sekadar rekan kerja. Mereka sudah banyak membantu dan Eriana pasti merasa berdosa bila mereka mengetahui hal tersebut dari orang lain.

"Mungkin kalian nggak bakal percaya. Mungkin kalian bakal kaget," kata Eriana seraya meraih tangan Satria yang kebetulan berada di atas meja. "Tapi, saya dan Pak Satria sudah menikah."

Hening. Teguh dan Galih masih membeku. Pun masih tak bereaksi apa-apa.

Tak ada suara. Tak ada yang bicara. Yang terdengar hanyalah lantunan musik lembut yang menemani acara makan malam mereka.

Eriana menunggu. Namun, ia tak bisa menunggu lebih lama dengan atmosfer yang tidak mengenakkan itu.

A-apa mereka bakal langsung pingsan? Atau apa? Kok mereka pada bengong?

Eriana melihat Satria. Cowok itu hanya mengangkat bahu sekilas.

"Ehm ... kalian mungkin nggak percaya, tapi saya dan Pak Satria memang benar-benar sudah menikah."

Kembali menekankan hal sama untuk kedua kali, Eriana sempat berpikir untuk menunjukkan foto pernikahan mereka. Namun, agaknya itu tak perlu. Lantaran sedetik kemudian adalah Eriana yang justru melongo. Itu tepat ketika Teguh berkata.

"Kami tau, Bu."

Eriana bengong. Ia butuh sepuluh detik untuk mencerna perkataan Teguh. Matanya mengerjap dan ia bertanya dengan bingung.

"A-apa? Kalian tau?"

"Iya, Bu. Kami tau," jawab Galih seraya melihat sekilas pada Satria sebelum beralih pada Eriana lagi. "Kami tau kalau Ibu adalah istri Pak Satria."

Tunggu. Mungkin bukan Teguh dan Galih yang kaget, melainkan Eriana.

Astaga. Sejak kapan mereka tau?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top