55. Bahasa Untuk Cinta
Mungkin di lain kesempatan Satria akan memberikan diagnosa yang kerap ia layangkan tatkala sikap atau ucapan Eriana terkesan beda dari biasanya. Yaitu, sistem kerja otak sang istri sedang terganggu.
Ironis, tapi Satria tidak pernah merasa tenang ketika sikap atau ucapan Eriana tak seperti biasa. Bersikap terkendali atau mengatakan sesuatu yang logis bila tidak berkaitan dengan pekerjaan sungguh bukan tipikal Eriana sama sekali.
Satria tidak bermaksud merendahkan Eriana. Ia tidak bermaksud memandang remeh Eriana. Namun, demikianlah adanya.
Di mata Satria, Eriana selamanya akan menjadi seorang cewek yang berbeda. Tak sama seperti cewek kebanyakan dan kerap mengejutkannya.
Aneh? Satria tidak akan menampik bahwa ia pernah menuding Eriana seperti itu. Dari awal mereka berinteraksi sebagai bos dan sekretaris. Pun seiring waktu berjalan, Satria yakin pada satu hal.
Seharusnya profesor bahasa di Indonesia mencari kata yang lebih dari sekadar 'aneh'.
Eriana memang aneh. Ia adalah bentuk nyata dari perwujudan tak terduga akan seorang wanita. Ia cerdas dan saking pintarnya selalu memiliki rute pemikiran lain dari yang lain.
Satria kerap tak bisa meraba apa yang dipikirkan Eriana. Terkadang ia tak paham apa yang ada di benaknya. Menyedihkan, tapi menggelikan. Nyatanya Satria ingin membuat jurnal ilmiah yang berjudul: Yakin Susah Mengerti Wanita? Anda Pasti Belum Bertemu Eriana.
Bila ingin memberikan sedikit kesan dramatis, Satria bahkan tidak berani membayangkan akan jadi seperti apa pernikahan mereka. Ikatan yang dimulai dari insiden dan kesalahpahaman itu memberikan bayangan suram pada Satria akan masa depan.
Namun, di sinilah sekarang Satria berada. Di dalam kamar bersama Eriana. Saling merengkuh di atas tempat tidur. Diselimuti cahaya lembut lampu tidur dan satu ucapan penuh perasaan menyapa dirinya.
"Cukup cintai kami."
Satria mengerjap sekali, menatap Eriana dan menunggu dalam hening. Ia sengaja tak mengatakan apa-apa ketika sekelumit sinyal hadir dan memberi peringatan.
Layaknya seorang dokter yang sudah hapal akan gejala pasien langganan, Satria pun demikian. Ia tak butuh waktu lama dan gejala langsung didapat. Yaitu, Eriana sudah menunjukkan gejala tak normal.
Eriana bersikap aneh, itu normal. Pun sebaliknya. Eriana bersikap tidak aneh, itu tidak normal. Persis seperti sekarang.
Keanehan Eriana seolah memutuskan untuk bersembunyi. Memilih untuk menarik diri tatkala hatinya dipenuhi oleh beragam ketulusan.
Tidak muluk. Itu adalah keinginan paling remeh yang diminta seorang istri pada suaminya. Eriana tahu hal tersebut dengan jelas, tapi tak masalah bila ia tetap mengatakannya.
Pun bagi Satria, untuk apa Eriana meminta hal tersebut? Sebagai seorang suami, ia jelas tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tak akan lupa janji apa yang ia ucapkan tatkala meminta kesediaan Rozi untuk melepas Eriana demi menjadi istrinya.
Satria sudah berjanji di depan Tuhan, orang tua, dan keluarga. Ia sudah mengambil Eriana dan tanggung jawab membahagiakannya sekarang pindah di pundaknya.
Tawa. Air mata. Senyum. Pun lara. Semua yang Eriana rasakan akan Satria pertanggungjawabkan. Bukan hanya karena itu tugas seorang suami. Melainkan karena memang itulah yang seharusnya ia lakukan.
Seharusnya Eriana tak perlu meminta hal tersebut. Ia tak perlu meminta apa-apa ketika semua yang Satria miliki adalah untuknya. Juga milik sang buah hati di dalam sana.
Jadi jangan heran bila Satria tidak membalas permintaan Eriana. Alih-alih ia justru menarik tengkuk Eriana untuk menunjukkan kesediaannya dalam bentuk satu kecupan di bibir.
Eriana memejamkan mata. Sekilas memang. Ia kembali membuka mata tepat ketika dirasanya kecupan Satria telah menghilang.
Tatapan bertemu tatapan. Eriana tersenyum dalam jawaban tanpa kata-kata yang ia dapatkan.
Rasanya sungguh tak terlukis. Terlalu agung sehingga seniman ternama pun akan gagap tatkala tak ada warna yang bisa membiaskannya.
Itu merah. Pun biru. Mereka lalu bertemu dan melebur menjadi satu. Menerbitkan pendar dalam warna ungu.
Tatapan menghilang. Sorot lembut lenyap. Semua tergantikan gelap yang menyilaukan.
Kala itu indra penglihatan seolah tak berguna. Bahkan ketika mata terpejam, keduanya sama bisa melihat. Ada Satria di dalam pelukan Eriana. Pun ada Eriana di dalam rengkuhan Satria. Mereka saling memerangkap dan memuja dalam ciuman dalam yang membuat keduanya tenggelam.
Tidak menggebu. Pun tak terburu-buru. Layaknya itu adalah ciuman pertama yang mereka dapatkan, baik Eriana maupun Satria sama-sama menciptakan irama mendayu.
Persis seperti tetes embun yang bergelayut di ujung daun dan akhirnya jatuh. Tak ubah semilir angin sore yang bertiup dan menerbangkan butiran debu. Bak rintik hujan yang membasahi pegunungan dan mengalir meninggalkan hulu.
Alamiah dan apa adanya. Eriana dan Satria sama-sama jujur untuk tiap debar yang memeriahkan dada dan memekakkan telinga.
Eriana luruh. Ciuman yang memerangkap membuat dirinya pelan-pelan terisap. Ia kian mendekat. Tanpa segan atau ragu, ia mendarat di atas tubuh Satria.
Kedua tangan Eriana terulur. Bertahan dalam kesan mau tak mau di atas pundak Satria. Gestur sederhana yang mengisyaratkan pemasrahan.
Satria menggeram rendah. Getarannya merambat dan menggetarkan sekujur tubuh Eriana. Ia jelas merasakannya. Dari kulit yang bertemu kulit. Pun pada kedua tangannya yang memegang lekuk pinggang itu.
Kepala Satria sedikit meneleng. Samar mengubah posisi tatkala ciuman mendayu berhasil menerbitkan candu.
Satria haus. Ia butuh melegakan dahaga dengan percik madu. Tetes manis yang tersembunyi di sudut bibir Eriana. Sekelumit rasa yang dengan senang hati ia cicipi melalui sentuhan ujung lidah.
Jemari Eriana di pundak Satria bergerak. Ia mencengkeram tatkala gelenyar membuat tubuhnya tersentak.
Desahan menggema di tenggorokan Eriana. Dadanya bergemuruh oleh debar jantung yang tak berkesudahan. Sahut-menyahut hingga ia menggeliat di atas tubuh Satria.
Tangan Satria bergerak. Sedikit, ia mengangkat tubuh Eriana. Mendaratkannya dengan sempurna di atas tubuhnya. Membiarkan sang istri untuk benar-benar di atasnya.
Satria mengelus. Tanpa memutus usapan lidah yang terus membuai bibir Eriana, ia mengusap pinggangnya. Perlahan turun dan berakhir pada remasan di bokongnya.
Hanya remasan sekilas. Tak ada remasan kedua. Tergantikan oleh usapan yang kembali membelai turun.
Satria bergerak. Perlahan bangkit dari tidur dan duduk tanpa menjeda cumbuannya sedikit pun. Alih-alih ia semakin menggoda dan meraya.
Menyingkirkan rambut Eriana yang terurai di satu sisi, Satria menarik lembut tengkuk sang istri. Demi memperdalam ciuman dan ia bisa mendapatkan keleluasaan tatkala memagut bibir ranumnya.
Eriana mengingatkan diri untuk tetap bernapas. Namun, tubuhnya seolah tak bisa diajak bekerja sama. Saraf dan tiap sensor di tubuhnya kacau dalam buaian yang Satria berikan.
Pelan dan penuh irama. Demikianlah Satria melumat bibir Eriana. Ia mencium dan mengecup dalam ketukan-ketukan nada yang tak pernah Eriana dapatkan sebelumnya.
Ciuman itu menghadirkan simfoni indah yang melenakan. Tanpa ada nafsu yang menggebu. Pun tanpa ada gairah yang bergelora.
Hanya ada percikan-percikan syahdu yang membuat hati Eriana penuh. Meluap. Membuat sesak.
Mereka sama hanyut. Terbawa arus dan saling melumat dengan penuh perasaan. Terus memagut tanpa ada keinginan untuk berhenti. Melainkan kian menjadi-jadi.
Tangan Satria di tubuh Eriana. Meraba ke segala arah. Mengikuti tiap lekuk yang ada. Menikmati tiap percikan yang tercipta.
Erangan feminin Eriana bergema. Ciuman Satria meninggalkan bibirnya dan berpindah di pipi.
Eriana memejamkan mata. Bibirnya terbuka dalam keinginan menarik udara tatkala Satria meninggalkan jejak basah di garis wajahnya.
Lembab dan hangat. Hanya itu yang sempat Eriana rasakan tatkala jari besar Satria kembali meraba. Meninggalkan punggungnya dan tanpa basa-basi menuju tali gaun tidur yang ia kenakan.
Eriana menggeliat sensual. Tubuhnya bergerak demi membantu Satria meloloskan tali gaun tidur dari lengan.
Pakaian berbahan satin itu jatuh. Teronggok tak berdaya di sekitaran perut Eriana. Tanpa malu-malu memamerkan sepasang payudara yang menegang di bawah usapan tangan Satria.
Eriana menahan napas. Remasan Satria terasa sedikit tak nyaman. Ia menahan tangan Satria dan lantas berbisik.
"Jangan kuat-kuat, Sat."
Satria kembali teringat akan artikel yang sempat ia baca. Kehamilan bisa saja membuat wanita menjadi lebih sensitif dan peka. Pun bila berkenaan dengan fisik, tubuhnya bisa saja merespon lebih dari biasanya.
Alhasil Satria menarik remasannya. Ia menggeram dan wajahnya mengeras. Sulit sebenarnya karena itu adalah salah satu kesukaannya. Namun, ia akan mencoba untuk mencukupkan diri hanya dengan memainkan putingnya saja.
Di pangkuan Satria, Eriana menekuk jari-jari kaki. Usapan berulang kali yang Satria beri di putingnya membuat tubuhnya gemetar. Mulanya sedikit. Namun, lama-kelamaan terasa begitu menggigit.
Napas Eriana perlahan berubah. Sedikit lebih menderu dan ia mencoba untuk merapatkan kedua kaki tatkala ada geli yang terasa menggelitik.
Satria bermain-main di leher Eriana. Ia menjilat dan mengisap. Dengan amat sengaja meninggalkan jejak merah di sana.
Turun kembali. Satria memuaskan indra penciumannya dengan aroma lembut di sekitar tulang selangka Eriana. Perpaduan antara wangi bunga dan vanila.
Harumnya menyentak dada Satria. Berdentum. Menggelegar layaknya ada petir yang menyambar.
Usapan Satria di puting Eriana berhenti. Matanya yang sedari tadi memejam, terbuka perlahan. Ditatapnya sepasang keindahan itu dengan sorot gelap.
Satria meneguk ludah. Jakunnya naik turun tak karuan. Ia menahan napas dan sedikit ragu pada dirinya sendiri.
Keras dan kuat. Satria adalah pecinta yang demikian. Namun, ia tak bisa mengambil risiko. Ia harus lebih lembut dan pengertian.
Satria menyapa payudara Eriana dengan satu kecupan. Layaknya ucapan jumpa kembali yang ia usahakan semanis mungkin.
Eriana mengangkat kepala. Desahan melantun dan ia meremas rambut Satria. Bukti nyata yang tak akan keliru diartikan oleh sang suami. Bahwa ia suka cara Satria menyapa.
Kecupan kembali mendarat. Lantas tergantikan oleh cecapan. Satria menggoda puting Eriana dengan bibirnya dan kemudian mengulum.
Tak ada remasan kuat. Tak ada isapan membabi buta. Satria mengingatkan diri untuk berlaku lembut.
Hanya ada kuluman dan lumatan yang penuh perasaan. Satria mencecap. Ia menyesap. Semua rasa yang ada, ia hisap.
Tubuh Eriana bergejolak. Dadanya maju dalam isyarat menyerahkan diri sepenuhnya. Ia seakan tawanan perang yang tak berkutik. Tak bisa memberontak. Pun tak ingin memberontak. Melainkan ia pasrah dalam tiap hukuman yang akan didapat.
Eriana beringsut. Tangan Satria di punggungnya. Jari Satria mengusap putingnya. Mulut Satria memagut payudaranya. Semua itu membuatnya mendekat dan kian merapat.
Kedua kaki Eriana membuka. Merengkuh Satria dan ia bisa merasakan dengan jelas perubahan yang telah terjadi.
Ada sesuatu di bawah sana. Satu bagian di diri Satria. Terasa mendesak dan menggoda.
Tangan Eriana turun. Menyusuri dada dan perut Satria dalam rabaan. Berhenti pada satu persinggahan yang ia inginkan.
Satria menggeram rendah. Ia menarik Eriana tatkala satu usapan menyapa kejantanannya.
Terhalang dasar celana, memang. Namun, tak menyurutkan Satria untuk merasakan tiap sentuhannya.
Eriana membelai. Pun mengusap. Memberikan gelagat sama persis dengan yang Satria tunjukkan.
Satria menangkap isyarat Eriana dan memberi jawaban. Ia bertindak cepat. Dengan kesediaan Eriana, ia singkirkan semua penghalang yang ada di tubuh mereka.
Eriana perlahan turun. Satria menyambut. Ia menahan pinggang Eriana dan mengarahkan kejantanannya.
Desahan Eriana melantun. Menggema dan menggetarkan. Ia memejamkan mata. Menggigit bibir bawah. Terjatuh dalam lubang rasa.
Satria mengisi Eriana. Menerbitkan penuh yang membuat candu. Menciptakan gelenyar yang menghadirkan getar.
Satu sentuhan membelai pipi Eriana. Ia membuka mata dan mendapati Satria merapikan sejenak rambutnya.
Satria menatap. Ia mencium. Lalu Eriana pun bergerak.
Lembut mengalun. Layaknya ombak di lautan tenang. Bergolak dalam irama yang menghanyutkan.
Eriana merebahkan kepala. Mendarat di pundak Satria dan lengan kekar itu merengkuhnya.
Rasanya damai. Sejuk. Segala macam kesan yang tak pernah Eriana jumpai, hadir.
Satria seakan menjanjikan perlindungan tanpa batas. Ia memerangkap dengan penuh penjagaan. Memeluk dan memastikan bahwa semua baik-baik saja.
Egois ditekan. Keinginan ditahan. Tak ada yang Satria ingat dan harapkan selain menghadirkan percintaan yang aman.
Layaknya Eriana adalah sebongkah salju yang mudah mencair, Satria biarkan semuanya mengalir. Seolah Eriana adalah sekuntum bunga di senja yang teduh, Satria tak akan menggebu. Ia biarkan Eriana menciptakan irama dan nadanya sendiri.
Eriana menggerakkan pinggul dalam tempo teratur. Ia maju. Ia mundur. Dengan geliat sensual yang melenakan.
Tak terburu-buru. Eriana ingin meresapi masa itu. Bukan hanya ingin menikmati percintaan, alih-alih memasrahkan diri pada semua rasanya.
Jantung Eriana berdegup. Detaknya kian meningkat. Keringat memercik dan Satria mengusapnya.
Jari-jari Satria mengikis tiap peluh yang muncul di sepanjang punggung Eriana. Mengeringkannya tanpa sadar bahwa ia pun telah basah oleh peluh serupa.
Di dada. Di tangan. Di sekujur tubuhnya telah dihiasi oleh titik-titik keringat beraroma cinta.
Kian basah. Kian melekat. Liat mengikat kulit dan kulit.
Erat. Tak terpisah. Menghadirkan geliat yang tak bisa ditampik begitu saja.
Hilang sudah ketenangan yang Eriana rasakan sedari tadi. Detik demi detik yang terus berganti, napasnya berubah.
Debar kian bertalu. Desakan hadir dan merayu. Menggoda, menggadaikan logika yang semakin layu.
Keinginan primitif mengambil alih. Menekan kewarasan dan membakar gairah.
Eriana merengkuh leher Satria. Sang suami membalas dengan memeluk tubuhnya. Mereka saling memerangkap. Sama berpegang dan bertahan.
"Sat."
Eriana menggigit bibir bawah. Namun, tak urung rengekan itu pecah. Mengirimkan pesan yang tak akan keliru Satria artikan.
Pergerakan Eriana meningkat. Pinggulnya memacu. Berirama maju dan mundur dalam intonasi yang kian melaju.
Tidak. Eriana tidak bisa bertahan lagi.
Rengekan semakin menjadi-jadi. Rengkuhan semakin menguat. Pun Eriana meronta di dalam pelukan Satria.
Tangan Satria bergerak. Balas memeluk Eriana dengan sama erat. Ia menggeram. Tatkala Eriana mulai kehilangan arah maka ialah yang mengambil alih semua.
Satria mendorong. Ia mendesak dalam niat memenuhi keinginan Eriana.
"Sat."
Eriana merengek. Rontaannya kian menjadi-jadi. Ia tak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah. Ia biarkan semua mengalir apa adanya dan akhirnya ia pecah.
Rengekan tertahan Eriana menggema di tenggorokan. Mata terpejam rapat dan ia memeluk Satria kuat-kuat. Bersamaan dengan satu dorongan yang ia lakukan dan Satria tenggelam.
Satria menahan napas. Pun menahan pergerakan ketika Eriana berputar-putar dalam badai kenikmatan.
Rasanya pening. Rasanya gamang. Eriana nyaris tak bisa membedakan maya dan nyata. Semua sungguh sempurna.
Eriana butuh waktu sejenak. Ia harus menenangkan diri ketimbang menuruti keinginan untuk kembali memacu.
Satu kecupan mendarat di kepala Eriana. Ia mengerjap dan membuka mata. Mendapati lagi-lagi Satria merapikan rambutnya yang berantakan.
Hati Eriana tersentuh. Ia tahu bahwa Satria mencintainya, tapi bersikap lembut bukan sifatnya. Di beberapa kesempatan, Satria memang terkesan kasar. Namun, bukan berarti ia tak menyadari bentuk perhatiannya. Dan ini jelas adalah salah satu perwujudan dari rasa peduli itu.
Satria merebahkan Eriana pelan-pelan. Tanpa memutus keintiman yang tercipta, ia biarkan Eriana berbaring.
Tatapan bertemu tatapan. Tak ada yang bersuara bahkan ketika Eriana kembali tenang. Mereka tak berucap, tapi entah mengapa mereka seperti tengah berbincang.
Membicarakan beberapa kesepakatan yang harus mereka setujui bersama. Mengenai Eriana yang meminta agar Satria tak perlu berlebihan. Dirinya akan baik-baik saja.
Pun keinginan Satria agar Eriana memakluminya. Ia tak sabaran dan tak ingin mengambil risiko. Ia akan melakukan apa pun demi memastikan kesehatan Eriana dan buah hati mereka.
Persis seperti ini. Eriana tak mendapati Satria yang biasanya. Yang mencumbu dirinya dengan membabi buta. Yang merayu dirinya dengan menggebu.
Satria menggaulinya dengan lebih lembut. Menggoda dengan ritme yang lemah, tapi nyatanya ampuh membuat jantungnya tak keruan.
Bola mata Eriana berputar. Lantas ia memejam. Ia memeluk Satria dan mendesah.
Satria bergerak dengan penuh kehati-hatian. Ia tak ingin menyakiti dan seluruh sarafnya bersedia untuk setiap sinyal tak nyaman yang mungkin saja akan diberikan Eriana.
Pinggang Satria mundur. Kejantanannya keluar dan sedetik kemudian ia menghunjam.
Eriana terlonjak. Ia mengerang dan mengangkat kedua kaki. Melingkari pinggang Satria, merengkuhnya.
Darah Satria berdesir. Rasanya mengalir deras dalam sensasi panas gairah. Ia menarik napas, berusaha untuk bertahan dan pemasrahan Eriana adalah bumerang untuknya.
Satria tersulut. Sisi primitifnya bangun. Naluri liarnya berharap dipuaskan.
Namun, ini adalah Eriana. Ketika ia menyuruh semua orang untuk menjaganya maka Satria sadar bahwa dirinyalah yang harus melindunginya sebaik mungkin.
Satria sedikit beringsut. Samar mengubah posisi ketika ia kembali melabuhkan ciuman di kepala Eriana.
Hidung Satria bermain. Menyelinap di antara helai rambut Eriana dan dihirupnya aroma lembut di sana.
Paru-paru Satria penuh akan wangi Eriana. Menghadirkan dorongan sehingga ia membuka mulut dan melahap daun telinganya.
Eriana menggeliat. Tubuhnya merespon cumbuan Satria dengan amat alamiah. Ia sensual dan membalas dengan apa adanya.
"Sat."
Lirih menggoda Eriana menyenangkan indra pendengaran Satria. Balas kecupan Eriana memuaskan indra perasa Satria. Pun setiap manis tetes keringat yang tercecap, melegakan dahaga Satria.
Satria menggeram. Kaku tubuhnya dan ketegangan yang kian menjadi-jadi berhasil menenangkan egonya.
Entah bagaimana ceritanya, tapi di sinilah Satria. Percintaan lembut itu memberikan kesan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Itu layaknya fajar di pagi hari. Tak langsung muncul menerangi, melainkan datang detik demi detik. Seakan memberi peringatan untuk terik yang akan segera menghampiri. Persis dengan apa yang Satria rasakan.
Gelombang gairah itu berombak. Menenggelamkan dan menganyutkan. Berayun dalam irama syahdu yang menggulung kewarasan.
Satria menarik kejantanannya. Menghunjam tanpa kesan kasar dan kuat, tapi terasa begitu dalam.
Eriana pikir tubuhnya akan terbelah dan meluap dalam ledakan bahagia. Ia jelas bisa merasakan. Bahwa itu bukan sekadar percintaan demi memenuhi kebutuhan biologis semata.
Ada cinta. Ada janji. Pun ada banyak hal yang hanya bisa dirasakan Eriana.
Demikian pula Satria. Tatkala irama mendayu berhasil menggulung kewarasan, ia tak pernah mengira apa yang akan ia dapatkan.
Itu lebih dari yang Satria harapkan. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan. Ia menegang. Kian menegang. Benar-benar tegang hingga tubuhnya ingin meledak.
Erianalah yang lagi-lagi pecah berantakan. Berkat satu hunjaman yang tepat menyentuh titik sensitifnya, ia mengerang kuat. Ia peluk Satria. Kakinya menahan pinggang Satria. Ia biarkan kenikmatan itu menghantam dan ia pun memerangkap Satria.
Wajah Satria mengeras. Keringat membasahi wajah dan bercucuran. Sempat mengenai matanya sebelum benar-benar jatuh.
Satria berusaha menarik udara. Namun, sekali ia bernapas maka ia tak bisa menahan diri.
Kejantanan Satria keluar. Ia memejamkan mata. Meresapi kesan liat dan hangat yang menjerat dirinya di dalam sana.
Satria menghunjam. Kembali menarik dan mendorong. Berulang kali hingga nyanyian lembut itu ditutup oleh satu geraman.
Bukti cinta itu tertumpah ruah. Memenuhi kekosongan Eriana dan memberikan kehangatan serupa.
Satria membeku. Pelepasan itu membuatnya tak mampu bergerak sedikit pun. Ia bertahan di atas tubuh Eriana, bertopang pada satu siku untuk tidak membebaninya.
Ada sesak. Seolah paru-paru tak terjamah udara.
Di sana penuh. Oleh beragam rasa yang membuat Satria bisu.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa keintiman itu memberi bekas yang tak terkira?
Dalam bentuk aneka warna. Dalam ragam banyak rasa. Dalam bahagia yang hanya bisa dijanjikan surga.
Lidah Satria kelu. Satu-satunya yang bisa ia ucapkan adalah.
"Eri."
*
bersambung ....
Makasih untuk yang masih sabar nunggu lanjutan cerita ini. Semoga besok bisa update juga. Soalnya cerita ini bakal tamat dalam 2 bab lagi. Hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top