54. Bukan Hal Muluk
"Soal Pak Satria dan Bu Eri. Ehm ... mereka ada affair kan?"
Udara seakan tertahan di dada Eriana. Tak pernah mengira bahwa dirinya akan mendengar hal semacam itu, tak ayal tubuhnya bergeming.
Kaki Eriana berhenti melangkah. Ia tak bersuara seolah mati rasa walau semua indranya justru dalam keadaan penuh siaga.
I-itu siapa?
Eriana tak merasa familiar dengan suara yang melayangkan pertanyaan itu. Berbeda jelas dengan suara yang sedetik kemudian menjawab. Ia tak akan salah menebak bahwa itu adalah Galih orangnya.
"Nggak ada kok. Nggak ada affair apa-apa."
"Ah, yang bener? Kami nggak percaya tuh kalau mereka berdua nggak ada affair apa-apa."
Ada suara asing lainnya. Eriana pun lantas menajamkan pendengaran. Ia beringsut pelan-pelan, mendekat dan bersembunyi di balik dinding.
Ya ampun, Tuhan. Jangan sampai Mrs. Roberts tau kalau aku nguping. Aku bisa kena hukum berjalan sambil bawa nampan.
Eriana bergidik ngeri. Namun, fokusnya tidak pecah ketika mendengar suara Teguh.
"Dibilangin loh. Pak Satria dan Bu Eri memang nggak ada affair apa-apa. Kami berani sumpah."
Eriana melongo. Ekspresi wajahnya tampak heran.
Wah! Teguh berani bersumpah demi aku dan Satria?
Eriana terpaksa menutup mulutnya. Mencegah agar seruan takjub itu tidak meluncur dan membuat kaget semua orang yang tengah membicarakan dirinya.
"Ck. Udah deh. Kalian berdua nggak usah bohong. Jujur saja."
"Iya, sama kita-kita juga loh."
"Tenang, nggak akan kami kasih tau ke siapa pun."
Mata Eriana mengerjap. Ada satu tarikan napas yang ia tau sekali kebiasaan siapa. Yaitu Galih yang biasa melakukan hal tersebut ketika lelah menghadapi Teguh.
"Untuk apa kami bohong? Nggak ada untungnya. Lagipula memang nggak ada affair apa-apa. Pak Satria dan Bu Eri itu orang yang sangat profesional."
Ibu jari Eriana mengacung. Tampak senang dengan perkataan Galih.
Kan? Aku itu memang profesional. Lihat saja. Nggak ada tuh aku ngapa-ngapain Satria di kantor. Paling cuma toel dikit-dikit aja.
Tak ingin, tapi Eriana tak mampu menahan imajinasinya untuk berkembang. Di mana ia masuk ke ruang kerja Satria, mengunci pintu, dan mendekati pria itu seraya melepas satu persatu kancing di kemejanya.
Satria tentu saja kaget. Ia bangkit berdiri dan dengan serta merta menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Eri, jangan. Aku mohon jangan. Tunggu sampai di rumah saja."
Eriana semakin kuat mendekap mulutnya. Kali ini benar-benar khawatir kalau tawanya akan meledak.
"Nggak mungkin. Mereka berdua beda banget. Kelihatan kok dari perilaku mereka sehari-hari."
Suara Teguh kembali terdengar. "Kelihatan gimana? Kan yang dekat dengan beliau berdua itu kami. Bukan kalian."
"Buktinya waktu malam itu. Kebetulan aku juga lembur dan aku lihat Pak Satria gendong Bu Eri yang pingsan."
"Terus kalau Bu Eri pingsan harusnya dibiarkan saja? Atau Pak Satria biarkan Bu Eri buat jalan sendiri? Orang pingsan loh. Gimana sih?"
"Bukan gitu, Guh. Kan bisa kamu atau Galih yang gendong. Kenapa harus Pak Satria?"
"Karena aku ada riwayat demam berdarah makanya aku nggak boleh kerja berat-berat."
Dahi Eriana mengerut. Mempertanyakan sejak kapan orang yang pernah menderita demam berdarah tidak boleh kerja berat-berat. Lagipula ....
Aku kan nggak berat. Cuma rada montok aja.
"Ck. Terus gimana dengan kamu, Lih? Kenapa bukan kamu yang gendong Bu Eri? Ehm malam itu kan kamu bareng sama Pak Satria."
Suara Galih menarik napas terdengar lagi. Bahkan Eriana bisa membayangkannya.
"Aku yang gendong Bu Eri dan Pak Satria yang ikuti aku? Begitu?"
"Ehm nggak begitu. Kan bisa saja kamu dan Teguh."
"Aku lemah begini loh. Nggak bisa lari-larian."
"Bohong banget. Kami sering lihat kamu lari pagi-pagi di lobi."
"Ah, itu kan karena aku mau ghibah. Makanya ada tenaga. Eh?"
Eriana hampir tertawa lagi. Sungguh, ia tak mengira kalau menguping bisa menjadi hal yang menggelikan seperti ini.
"Intinya adalah Pak Satria dan Bu Eri nggak ada affair apa-apa. Kalau kami bohong, Galih bakal susah jodoh."
"Kenapa malah aku yang jadi tumbalnya?"
Eriana tak tahu. Mengapa bisa Satria memilih dua orang itu? Namun, kalau dipikir-pikir pilihan Satria memang sudah bermasalah sejak memutuskan dirinya menjadi sekretaris. Eh, yang sekarang malah kebablasan jadi istri.
"Sudah. Aku nggak mau bahas soal ini lagi. Mau kalian nanya dengan cara apa, jawabannya tetap sama. Mereka nggak ada affair apa-apa."
Suara tegas Galih terdengar dan membuat Eriana manggut-manggut bangga.
"Udah, Guh. Kita balik. Bu Eri pasti nunggu laporan kita."
Bola mata Eriana membesar. Ia langsung berlari dengan jinjit-jinjit persis maling yang hampir ketahuan. Menuju ke lift dan mengambil posisi layaknya baru sampai di sana.
"Ehm."
Eriana mendeham. Baru dua langkah ia berjalan, matanya melihat pada Teguh dan Galih di ujung lorong. Ia tersenyum.
"Wah! Kebetulan kita bertemu di sini."
Tidak seperti Eriana yang tersenyum lebar, Teguh dan Galih justru sebaliknya. Langkah mereka berhenti dengan wajah kaku. Saling lirik dan terlihat kikuk ketika mendapati keberadaan Eriana.
"I-Ibu."
Senyum masih bertahan di wajah Eriana. Bahkan ketika ada serombongan karyawan lainnya yang datang, ia tetap tersenyum.
"I-Ibu."
Eriana tersenyum kian lebar. "Sudah lama selesai rapatnya?"
"Ehm baru saja, Bu."
Mereka terlihat canggung dan salah tingkah. Alhasil tak aneh bila mereka langsung mengucapkan permisi. Segera beranjak dari sana layaknya ada hantu yang sedang gentayangan di lorong itu.
"Ayo," ajak Eriana sedetik kemudian seraya memutar badan. "Saya mau lihat hasil rapatnya."
Tatkala Eriana berjalan, Teguh dan Galih kembali bertukar pandang. Tanpa suara, tapi sorot mata mereka jelas memiliki cara komunikasi tersendiri.
Menurut kamu Bu Eri dengar nggak?
Ya ampun. Semoga aja nggak deh. Aku nggak mau mampus.
*
Eriana terpingkal. Tawanya semakin pecah ketika Satria justru melongo.
"Kamu nggak bakal bisa bayangin aku, Sat. Rasa mau ketawa guling-guling aku tuh pas dengar mereka ngomongin kita."
Satria tercengang. "I-ini kamu baru saja habis cerita kalau kamu dighibahi sama tim desain kan? Iya kan?"
"Hahaha."
Tawa Eriana pecah lagi ketika mencoba mengangguk demi menjawab pertanyaan tersebut. Dengan posisinya yang duduk bersila di depan Satria, perlahan ia beringsut mendekati sang suami.
"Sampe sekarang aku masih nggak tau. Memang ada ya hubungan antara habis kena demam berdarah dan nggak boleh kerja berat? Teguh loh bukan habis sesar."
"B-bentar, Ri."
Sepertinya ada ketidakcocokan antara cerita yang Eriana katakan dan sikapnya. Sesuatu yang membuat Satria tak habis pikir dan perlu waktu sejenak untuk mencerna baik-baik.
Tangan Satria naik. Memberikan isyarat pada Eriana untuk berhenti tertawa.
"A-apa, Sat?" tanya Eriana dengan napas tersengal.
Satria melihat Eriana. Kedua pipinya tampak merona lantaran tertawa dari tadi. Bahkan matanya pun sudah terlihat basah. Mungkin sebentar lagi Eriana benar-benar akan tertawa sampai menangis.
"Aku kayaknya butuh klarifikasi dulu."
"Klarifikasi apa?"
"Pertama," ujar Satria. "Tim desain pada ngomongi kamu?"
Eriana mengangguk. "Mereka nanya soal kita sama Teguh dan Galih. Ya ... sama mereka dijawab nggak ada."
"Oke. Selanjutnya ... kamu ketawa? Untuk kejadian itu, kamu malah ketawa?"
Geli di wajah Eriana terjeda. Mengerjap, sorot matanya yang polos menatap Satria.
"Terus aku harus gimana? Nangis gitu?"
Satria makin tercengang. Ia nyaris tak bisa berkata apa-apa.
"Wah!" kesiap Satria tak percaya. "Biasanya orang-orang bakal marah kalau diomongi di belakang, Ri."
"Ehm."
Eriana mengatupkan mulut. Mendeham dan manggut-manggut, tampak berpikir.
"Secara harfiah ... mereka di depan aku. Mereka bukan ngomongi di belakang aku. Yang ada justru sebenarnya aku yang nguping mereka."
Apa yang dikatakan oleh Eriana memang benar. Namun, itu tetap saja salah.
"Eri."
"Dan aku pikir nggak ada dari omongan mereka yang buat aku harus marah," lanjut Eriana seraya memutar bola mata, kembali berpikir. Setelah yakin, ia kembali mengangguk. "Bener sih. Memangnya kenapa aku harus marah?"
Satria menjawab pertanyaan itu dengan amat lugas. "Karena mereka membicarakan kamu yang nggak-nggak. Bukannya itu jatuhnya fitnah? Untuk itu kamu nggak marah?"
"Ehm ..."
Kembali mendeham dengan penuh irama, Eriana menggeleng.
"... nggak. Aku nggak marah."
Bagaimana bisa? Dua kata itu seolah menggema di benak Satria.
Kok bisa Eri nggak marah? Dia sedang dighibahi dan dia nggak marah?
"Lagipula ... aku termasuk suka dengan ghibahan mereka."
Bukan hanya tidak marah. Kenyatannya Eriana malah suka karena menjadi topik pembiaraan?
"Jujur aja sih, Sat. Selama ini aku nggak pernah jadi bahan ghibah. Makanya sih aku rasa senang juga karena akhirnya aku dighibahin orang."
Wajah Satria seketika berubah. "Kamu senang?"
Tanpa ragu sedikit pun, Eriana mengangguk.
"Kamu lihat kehidupan aku gimana kan?" tanya Eriana tersenyum tanpa menunggu jawaban Satria. "Aku harus belajar dan bantu orang tua sampai nggak tau bentuk atau rupa. Aku nggak bisa ikut-ikutan dandan kayak temen-temen sekolah yang udah kenal lipgloss. Karena apa? Karena yang aku punya cuma minyak goreng hasil dari beli bakwan harga lima ratus rupiah."
Satria mengerjap. "Hubungannya?"
"Hubungannya adalah karena itulah mengapa aku nggak pernah kena gosip dekat sama kakak kelas, senior, atau brondong. Karena apa? Karena ... nggak mungkin banget," jawab Eriana mengulum geli. "Jadi kamu bisa bayangin perasaan aku ketika akhirnya ada orang yang gosipin aku? Dan booom! Cowok itu adalah kamu, Sat."
Demi mengekspresikan perasaannya, Eriana merentangkan kedua tangan. Ia tatap Satria lekat dengan sorot penuh takjub, lalu geleng-geleng kepala.
"Udahlah CEO, turunan ningrat, cakep tiada tara, pintar, dan punya bokong seksi."
Satria melongo di poin terakhir. Hal yang tak akan pernah Eriana lupakan.
"Gimana aku nggak senang?"
"Ckckck."
Tak pernah sebelumnya Eriana melihat Satria berdecak sepanjang itu. Salah satu sikap yang seharusnya mereka hindari menurut kelas etika, tapi justru Satria lakukan tanpa merasa berdosa sama sekali.
"Udahlah," lirih Satria seraya beringsut merebahkan kepala di atas bantal. "Aku cuma berharap agar anak kita ntar nggak mewarisi cara berpikir kamu, Ri. Aku khawatir bakal jadi gila."
Tergelak, Eriana menyusul Satria. Menempatkan diri tepat di pelukan cowok itu dan berkata lirih.
"Kalaupun dia ntar mewarisi cara berpikir aku, rasanya nggak apa-apa juga. Dengan begitu aku yakin dia bakal punya banyak cara untuk melihat dunia."
Satria tertegun. Ingin membantah, tapi rasanya sulit.
"Mungkin kamu ada benarnya."
Benak Satria membayangkan bila anak mereka lahir dan benar-benar mewarisi sifat Eriana. Ehm ....
Tidak. Satria bergidik. Ia buru-buru menggeleng.
"Nggak, Ri. Kayaknya lebih aman kalau dia mewarisi sifat aku saja. Demi kesejahteraan kita bersama."
Eriana kembali tertawa. "Tenang, Sat. Semua juga bakal baik-baik saja kok kalau dia mewarisi sifat aku."
"Baik-baik saja, mungkin. Tapi, sejujurnya aku kadang masih belum mengerti cara otak kamu bekerja. Apalagi kalau anak kita nanti mewarisi sifat kamu. Apa menurut kamu, aku nggak bakal kesulitan?'
Perkataan terus terang Satria membuat Eriana bangkit. Bertahan di dada sang suami, ia berusaha menatap mata Satria di keremangan kamar.
Eriana menarik napas. Lantas membuangnya perlahan dengan penuh irama hingga mengantarkan kehangatan yang membelai wajah Satria. Menerbitkan satu percikan yang membuat sang suami tertegun.
Tersenyum, Eriana tak memutus tatapan mereka. Demi menerbitkan kesiagaan Satria.
Oh, bukan. Itu bukan senyum mesum atau menggoda. Namun, senyum pemakluman yang justru membuat Satria waspada.
"Sejujurnya aku juga berharap lebih baik dia mewarisi sifat kamu, tapi kalaupun kenyataannya berbeda maka aku punya satu saran buat kamu."
Mata Satria menyipit. "Saran apa?"
"Nggak perlu memaksa diri buat mengerti dia," jawab Eriana. "Cukup seperti ini saja. Seperti sikap kamu ke aku sekarang. Ini sudah cukup."
Eriana menangkup rahang Satria. Ia mengangguk sekali, yakin untuk ucapan pamungkas yang akan ia katakan pada sang suami.
"Cukup cintai kami."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top