53. Aroma-Aromanya ....
"Gila! Sumpeh lo? Beneran hamil? Bukan gending gara-gara kebanyakan minum air kelapa muda?"
Eriana mencibir, tapi tidak kaget sama sekali dengan respon Intan. Ia sudah menebak bahwa sahabatnya itu pasti akan kaget. Syok. Tak percaya. Bahkan mungkin mengira dunia akan kiamat tak lama lagi.
"Ya beneran hamil. Bukan gending gara-gara kebanyakan minum air kelapa muda," ujar Eriana dengan penuh percaya diri. Kedua tangan naik dan memeluk perut. "Yang ada malah air kelapa muda Satria yang udah siap bertunas di dalam sini."
Intan meringis. Tampak ngeri dengan pengandaian Eriana.
"Nyebut, Ri. Kasihan anak kamu kalau udah terkena polusi pendengaran sejak masih di dalam kandungan."
Eriana terkekeh. "Nggak apa-apa. Anggap saja latihan sedari dini buat dia. Jangan sampe dia kaget pas udah lahir ntar."
Intan hanya bisa melongo. Entah mengapa, tapi imajinasinya bisa membayangkan. Bayi Eriana lahir dan ia sontak menangis tersedu-sedu. Bukan seperti bayi pada umumnya, melainkan ia menangis melihat kekejaman dunia yang memberinya ibu seperti Eriana.
"Untung bapaknya Satria," ujar Intan meneguk ludah. "Untung lahirnya di keluarga ningrat. Aku nggak kebayang aja kalau itu anak punya emak kayak kamu, eh ... terus hidup melarat."
Kekehan Eriana berubah menjadi gelak. Tidak bisa tidak, ia pun langsung membayangkan hal tersebut.
"Pasti dia nyesel lahir."
Bukannya tersinggung dengan perkataan Intan, Eriana justru menambahnya dengan teramat enteng. Intan hanya geleng-geleng kepala melihatnya hingga tanpa sadar tatapannya membentur makan siang Eriana.
"Kalau aku pikir-pikir ..."
Suara Intan membuat Eriana melirik. Di tangannya, sendok terangkat. Membawa satu sesapan kuah soto yang segera ia nikmati.
"... kok aku nggak kepikiran ya? Padahal akhir-akhir ini kamu suka banget makan soto. Kamu mulai ngidam?"
Eriana menggedikkan bahu sekilas. Samar, desahan nikmat meluncur dari bibirnya. "Nggak tau juga sih. Mungkin aja aku mulai ngidam, tapi yang pastinya memang aku lagi suka makan soto akhir-akhir ini. Segar aja."
"Kayaknya kamu memang ngidam," simpul Intan dengan wajah kecewa. "Bukan seperti yang aku harapkan."
Eriana menambahkan perasan jeruk nipis di sotonya. Mencicipinya sekilas hanya untuk memeras kembali irisan jeruk nipis terakhir yang ia miliki.
"Memangnya apa harapan kamu?"
Kala itu Intan yang masih menunggu makan siangnya untuk diantar, sempat bertanya-tanya. Apakah pihak restoran baru akan menyembelih ayam sehingga ayam rica-ricanya lama diantar?
Lihat saja. Intan sudah keroncongan. Apalagi di hadapannya ada Eriana yang sedang menikmati makan siangnya dengan mode ibu hamil yang semangat makan. Mendesah, memejamkan mata, dan menjilat bibir.
Intan jadi ragu. Apa benar kelas etika Eriana kemarin lulus?
"Harapan aku," jawab Intan seraya menarik napas sekilas. "Kamu itu ngidamnya kayak menantu konglomerat lainnya."
Dahi Eriana mengerut dan itu membuat Intan berdecak samar.
"Yang ngidam makan pizza asli resep turun-temurun chef Itali sambil lihat Menara Pisa. Terus kepengen minum air dari lelehan es di Antartika. Atau paling nggak ngidam yang lagi tren sekarang loh."
"Apa?"
"Ngidam beli perhiasan atau tas atau apalah gitu. Emas, permata, atau berlian," jawab Intan menggebu. "Kamu nggak lihat? Banyak artis yang ngidamnya gitu. Dan kamu? Menantu konglo darah biru, eh ngidamnya malah soto?"
Nyaris saja Eriana tersedak ketika tak mampu menahan tawa. Ia buru-buru menarik sehelai tisu. Buru-buru mengelap tetesan kuah di sudut bibir.
Pada saat itu, pelayan datang dan membuat Intan mengucapkan syukur di dalam hati. Akhirnya makan siang yang ia pesan tiba pula.
"Makasih, Mbak."
Pelayan membalas ucapan itu dan berlalu. Meninggalkan kedua sahabat itu untuk menikmati sajian seraya terus berbincang-bincang.
"Naluri kamu benar-benar belum ter-setting jadi naluri menantu konglo," decak Intan seraya geleng-geleng kepala.
Eriana memutuskan untuk menjeda makan siangnya dulu. Ia tidak ingin tersedak ketika mendengar perkataan menggelikan Intan.
"Pertama, anak aku belum tau perhiasan. Jadi rasanya wajar kalau dia nggak ngidam perhiasan."
Kali ini Intan yang mengerutkan dahi. Dalih Eriana terdengar masuk akal.
"Logis sih."
Eriana tersenyum lebar. "Kedua, perhiasan itu kayak bukan style aku. Dan lagipula Satria sudah banyak belikan aku perhiasan."
Tunggu. Sepertinya Intan menangkap sinyal aneh. Apa itu berasal dari ayam rica-ricanya?
"Tanpa aku minta aja, Satria sudah kasih aku setumpuk perhiasan yang bahkan belum aku pakai semuanya," lanjut Eriana. "Aku nggak butuh alasan ngidam buat minta perhiasan sama Satria. Jangankan perhiasan, bahkan dia langsung ganti semua sepatu aku pas tau aku hamil. Dia perhatian banget sama aku."
Intan meneguk ludah. Perutnya terasa mual-mual. Bukan karena ayam rica-rica. Melainkan karena senyum malu-malu, pipi merah, dan kedipan mata Eriana.
"Insyaf, Ri. Kamu itu udah mau jadi orang tua."
Walau demikian agaknya Intan memang harus sependapat lagi dengan Eriana. Pekerjaannya yang berkecimpung di dunia gosip dan gaya selebritas membuat dirinya hapal seputar hal-hal berkaitan dengan kemewahan. Salah satunya adalah anting mungil yang menghiasi daun telinga Eriana.
Dikenal dengan nama Air Mata Dewi, anting berpotongan sederhana dengan setitik berlian berukuran kecil itu memiliki harga yang tak main-main. Edisi terbatas dan maha karya perancang perhiasan ternama merupakan dua hal yang menjadikannya sebagai perhiasan yang diperebutkan. Dan Eriana menjadi pemiliknya tanpa bersusah payah sama sekali.
Ehm ... aku bahkan ragu dia tau apa yang saat ini sedang dia pake.
Membuang napas, Intan pada akhirnya mengangguk dengan ekspresi malas. Menampilkan pemakluman yang begitu alamiah.
"Setelah aku pikir-pikir memang lebih baik kamu ngidam soto ayam sih," ujar Intan kembali melanjutkan makan siangnya. Menyendok sepotong daging dan menikmatinya. "Timbang kamu ngidam yang lain."
Eriana menaruh sendok di pinggir mangkuk. Ketika Intan serius menikmati makan siangnya, ia justru memikirkan hal lain.
"Makanya itu, Tan. Soalnya akhir-akhir ini kayaknya aku memang kepengen sesuatu deh. Ehm ... ngidam yang lain."
Acuh tak acuh, Intan bertanya. "Ngidam apa?"
"Kawin lagi."
Intan berjanji tidak akan makan ayam lagi kalau sedang bersama Eriana. Sialan! Dia tersedak!
*
Mata Satria membesar ketika mendadak saja bibir Eriana mendarat di pipinya dalam bentuk kecupan sekilas. Ia refleks menangkup pipinya dan mendelik melihat pada sang istri.
Pintu memang tertutup. Namun, percayalah! Satria benar-benar tidak suka sensasi menakutkan yang selalu muncul ketika Eriana melakukan sesuatu padanya.
Ya Tuhan. Satria pikir dirinya tak beda seperti kelinci lugu yang harus berjaga-jaga dari intaian singa betina.
"Kamu bisa jaga sikap dikit nggak, Ri?" tanya Satria dengan penuh penekanan. "Aku benar-benar nggak mau tertangkap basah lagi di kantor."
Sebagian orang menganggap adrenalin yang terpacu memberikan gairah tersendiri. Namun, percayalah bahwa Satria tidak sependapat. Harkat dan martabat yang dipertaruhkan tidak sebanding dengan kenikmatan lima menitnya!
Mengulum senyum, Eriana mencolek dagu Satria. Membuat cowok itu kembali mendelik sementara Eriana semakin geli.
"Teguh dan Galih kan lagi di bawah. Mereka lagi ikut rapat sama tim desain. Jadi kamu nggak usah khawatir."
Kembali mendapati colekan di dagu untuk yang kedua kali, akhirnya Satria bangkit. Geram dan melotot, ia malah mendapati Eriana yang terkikik.
"Sabar, Sat. Gitu saja udah emosian."
"Gimana aku nggak emosi? Kamu ini dari tadi goda-goda terus."
"Ya gimana nggak aku godain. Kemaren dokter udah bilang kita nggak apa-apa kalau mau remas-remasan," balas Eriana tak ingin kalah. "Eh malah kamu yang nggak mau."
Mata Satria terpejam dramatis. Ia berkacak pinggang dan bayangan konsultasi mereka melintas.
"Jadi nggak apa-apa kan, Dok, kalau kami ehem-ehem?"
"O-oh, tentu saja. Kandungan Ibu sehat dan kuat. Ibu pun demikian. Jadi nggak apa-apa. Hanya saja Ibu dan Bapak harus diskusikan dulu mana posisi yang pas sehingga Ibu nyaman."
"Ah, tenang, Dok. Semua posisi buat saya nyaman kok."
Bahkan hanya dengan mengingatnya saja, Satria merasa wajahnya panas dan tebal lagi. Apalagi saat itu? Ketika mereka konsultasi dan dokter menatap bengong pada Eriana.
Tak perlu ditebak, Satria bisa memperkirakan apa yang ada di benak sang dokter. Kurang lebih begini.
'Biasanya suami kan yang mati-matian memastikan keadaan istrinya sehat-sehat saja agar nggak mempengaruhi keintiman mereka selama masa hamil? T-tapi, kok yang kali ini beda?'
Dunia memang terbalik. Entah Satria harus mensyukurinya atau sebaliknya. Namun, yang pasti adalah ketiadaan kunjungan sepuluh hari yang biasa dilakukan Mas Bimo lumayan membuat ia senang.
"Aku bukannya nggak mau, tapi ini masih hari kerja. Aku cuma nggak mau kalau kamu mendadak pingsan lagi. Memangnya kamu pikir enak gendong kamu dari lantai 16 sampai ke lobi?"
Eriana mengulum gelinya. Angguk-angguk kepala dan bisa membayangkan.
"Salah sendiri sukanya yang montok-montok. Kan ini buah karya kamu juga yang buat aku mekar ke depan ngembang ke belakang."
Bola mata Satria membesar lagi. Eriana buru-buru bicara.
"Oh iya. Kayaknya aku harus turun bentar deh. Aku mau lihat rapat di bawah. Harusnya sih udah selesai."
Mata Satria kembali mengecil. Sedikit menyipit dalam memberikan ancaman yang tak berarti apa-apa bagi Eriana.
"Hati-hati. Kalau kamu sampai pingsan lagi, aku nggak bakal gendong kamu. Aku biarkan saja kamu gelindingan di tangga."
Kali ini tawa Eriana benar-benar pecah. Ia terpingkal dan matanya langsung basah berair.
"Iya iya. Aku hati-hati," kata Eriana seraya beranjak menuju pintu. Ia keluar, tapi belum benar-benar pergi. "Dadah, Sat."
Eriana memberi lambaian dan ciuman jarak jauh yang membuat Satria melotot lagi. Alhasil ia buru-buru menutup pintu sebelum Satria makin melotot dan matanya melompat keluar.
Masih menahan geli, Eriana memeluk perut tatkala naik lift. Turun sebanyak dua lantai dan ia masih geleng-geleng kepala lantaran sikap Satria.
Eriana keluar dari lift. Berjalan menyusuri lorong dengan langkah ringan. Bersiap untuk berbelok ketika telinganya mendengar suara.
"Jujur saja deh. Kalian pasti tau kan?"
Langkah kaki Eriana terhenti seketika. Tak tahu mengapa, tapi dorongan berhenti itu mendadak saja muncul dan tak bisa ia tepis.
"T-tau apa?"
"Soal Pak Satria dan Bu Eri. Ehm ... mereka ada affair kan?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top