52. Dering Sirine Bertalu-talu
"Wah!"
Kesiap takjub yang meluncur dari bibir Satria membuat Eriana melongo. Bingung? Tentu saja. Memangnya ada sesuatu di ucapannya yang bisa menarik ketakjuban Satria.
"Apa ini yang orang bilang kalau anak adalah berkah?"
Eriana mengerutkan dahi. Mata mengerjap sekali, lantas bertanya dengan tak yakin.
"M-maksud kamu?"
Satria tersenyum penuh arti. Melihat pada perut Eriana dan barulah pada matanya.
"Akhirnya kamu sadar kalau kamu aneh."
Dooong!
Wajah Eriana seketika berubah. "Kamu ini kok malah main-main di saat aku lagi serius?"
"Hah? Aku? Main-main?" tanya Satria seraya berdecak. "Kapan aku pernah main-main?"
"Ehm bener juga sih."
Tak ingin, tapi perkataan Satria membuat Eriana mengusap tengkuk. Agaknya ia kembali sadar diri. Bila ada orang yang kerap serius maka orang itu pastilah Satria. Sebaliknya, bila ada orang yang kerap main-main maka orang itu pastilah dirinya.
Tunggu!
Eriana nyaris lupa akan tujuannya semula. Ia berdecak dan tampak geram.
"Sat, bukan itu yang penting," kata Eriana lagi dengan serius. "Teguh dan Galih pada aneh seharian ini."
Samar, dahi Satria mengernyit. "Aneh?"
Eriana mengangguk. "Iya. Jadi begini ...."
Cerita itu mengalir dengan begitu lancar dari bibir Eriana. Penuh semangat dan tak terlupa akan sedikit pun, ia menguraikan kejadian yang aneh menurutnya. Dari Teguh yang membawakan tehnya, Galih yang berlari demi mengambir berkasnya yang terjadi, dan sampai interogasi seputar soto ayam.
"Tuh kan, Sat," lirih Eriana horor hingga tanpa sadar membuatnya meremas lengan sang suami. "Aku aja sampe merinding kalau ingat."
Satria menarik napas dalam-dalam. Memasang ekspresi penuh pemakluman, ia berkata.
"Aku yakin itu cuma perasaan kamu aja. Soalnya bukan apa, tapi perasaan kamu itu memang suka keliru merespon keadaan."
Eriana tak mengerti. "Maksud kamu?"
"Ehm," deham Satria memutar otak. "Aku yakin orang-orang sering ngomong istilahnya ... salah perasaan."
"Hah?"
Satria mengangguk, merasa yakin. "Iya. Salah perasaan. Itu semacam keadaan di mana seseorang merasakan sesuatu padahal sebenarnya tidak ada. Semacam halusinasi? Mungkin."
Penjelasan Satria membuat wajah Eriana tertekuk. "Aku bukannya salah perasaan. Lagi pula ... kapan aku pernah salah perasaan? Ih! Amit-amit."
Satria yakin waktu delapan jam ditambah lembur tidak akan cukup untuk mengurai gejala salah perasaan yang kerap ditunjukkan Eriana selama ini. Buang-buang waktu.
"Sudahlah, Ri. Kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Lagian aku pikir wajar mereka bersikap begitu sama kamu."
Melepaskan tangannya dari Satria, Eriana bersedekap. Ia melirik sekilas. "Maksud kamu?"
"Bukannya kapan hari aku ada marahin mereka?" tanya Satria.
Ingatan Eriana langsung tertarik ke belakang dan tak butuh waktu lama untuk lirihannya mengalun. Ia manggut-manggut.
"Benar kan?"
Kalau Eriana ingat-ingat lagi, rasanya masuk akal sih. Kemungkinannya adalah Teguh dan Galih bersikap seperti itu karena teguran Satria tempo hari.
"Apalagi karena kamu pingsan," ujar Satria lagi. "Aku yakin mereka jadi merasa bersalah."
Eriana menggigit bibir bawah. Penjelasan Satria terdengar logis. Namun, bukannya membuat ia tenang. Alih-alih sebaliknya, menimbulkan kecemasan lainnya.
"N-ngomong-ngomong soal aku pingsan," lirih Eriana. "Menurut kamu, mereka bakal mikir aneh nggak soal kita?"
Tidak menjawab, nyatanya Satria mendengkus menanggapi pertanyaan itu. Ia geleng-geleng kepala. Memegang kedua lengan atas Eriana.
"Ri, bisa kamu berhenti ngomong kata 'aneh'? Perasaan aku dari tadi cuma itu yang kamu omongi."
Eriana membuka mulut. Siap untuk bicara, tapi Satria buru-buru kembali berkata.
"Kamu nggak usah mikir Teguh dan Galih. Kayak mereka keren banget sampai-sampai kamu mikiri mereka seharian ini."
Bola mata Eriana membesar. "Bukan gitu, Sat. Aku cuma khawatir mereka mikir ke mana-mana."
"Itu urusan mereka," tukas Satria langsung. "Yang penting itu urusan kita, oke?"
Eriana membuang napas panjang. Menyerah, ia tahu bahwa ia tak bisa mendesak Satria. Apalagi karena sang suami tampak tenang-tenang saja.
"Oke," jawab Eriana lesu.
"Bagus," angguk Satria lega. Ia menarik diri tanpa melepaskan Eriana. "Nanti kita pulang jam tiga. Kamu siap-siap lebih cepat."
"Loh? Kok cepat?"
Pertanyaan itu membuat Satria mengerutkan dahi. Layaknya Eriana baru saja melayangkan pertanyaan paling aneh sedunia.
"Kan kita mau konsultasi ke dokter."
Eriana menganga. Baru teringat akan hal tersebut.
"Atau nggak usah?" tanya Satria cepat. "Ya sudah kalau nggak usah. Aku sih nggak apa-apa. Biar kita puasa selama sembilan bulan ini?"
Eriana bergidik. Merinding, ia sampai mencibir pada Satria.
"Ih, ancamannya gitu amat sih. Aku sih nggak apa-apa aku sih nggak apa-apa. Nggak mikir istrinya yang apa-apa apa?" gerutu Eriana cemberut.
Menahan diri, Satria sebisa mungkin untuk tidak tergelak. "Jadi gimana? Mau konsul atau nggak?"
"Ya mau dong, Sat," jawab Eriana buru-buru, seolah khawatir Satria akan mengubah pikirannya. "Pokoknya kita ntar harus konsul."
Tuntas mengatakan itu, Eriana tak lupa mengedipkan satu mata. Dengan tersenyum dan tiba-tiba saja tangannya bergerak. Memeluk Satria dan berniat untuk merebahkan sejenak wajahnya di dada sang suami.
Tidak bermaksud aneh-aneh, Eriana hanya ingin bermanja sejenak. "Kata orang, konsul selama masa kehamilan itu penting loh. Apalagi konsultasi masalah yang satu ini."
Bola mata Satria berputar sekilas. Tentu saja ia paham ke mana arah pikiran Eriana. Sama pahamnya dengan kebiasaannya yang tak akan pernah puas dengan sekadar bermanja biasa.
"Eri," geram Satria. "Tangan kamu ke mana?"
Eriana mengulum senyum, menggeleng. "Nggak ke mana-mana."
Oh, Satria jelas bisa merasakannya. Jari-jari itu menjalar. Merayap pelan-pelan. Menuju satu tempat yang—
Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuat Eriana dan Satria kaget berbarengan. Kompak, mereka sama-sama melepaskan diri. Saling merapikan pakaian dan Eriana buru-buru berkata ketika Satria mendelik padanya.
"Aku bukain sekalian balik ke meja."
Rasa-rasanya ingin sekali Satria menjitak Eriana. Lihat saja! Ia bahkan tanpa merasa bersalah sedikit pun tersenyum geli saat Satria harus buru-buru menarik udara.
Dasar!
*
Senangnya hati Eriana sungguh tak terkira. Pulang menuju rumah setelah konsultasi dan dokter yakin bahwa keadaannya baik-baik saja. Sangat sehat dan tak ada hal yang mengkhawatirkan sedikit pun.
"Tuh kan," ujar Eriana seraya bergelayut manja pada Satria. "Bener yang aku bilang kan? Aku itu kuat dan sehat."
Mobil masih melaju di jalanan. Kala itu jalanan sedikit macet sehingga membuat Satria kerap melemparkan pandangan ke luar sana. Seolah sedang mengira-ngira. Apakah mereka akan telat sampai di rumah?
"Iya iya. Kamu memang sehat dan kuat."
Eriana mengulum senyum. Merasa aman karena tak akan ada mata yang melihat kelakukannya, ia pun beringsut lagi. Semakin menempel pada Satria.
"Kamu lihatin apa sih, Sat, di luar sana? Padahal istri kamu yang cantik jelita tiada tara ada di sini loh," ujar Eriana seraya meraih wajah Satria. Menariknya dan tersenyum tepat di depan matanya.
Satria membuang napas. Tangannya naik dan dengan cekatan menahan dahi Eriana ketika cewek itu mulai menunjukkan tanda-tanda tak warasnya.
"Aku lagi lihat jalan. Kayaknya macet."
Eriana mengusap dahinya seraya bertanya lagi. "Terus kalau macet?"
"Kalau macet artinya kita bakal telat sampai ke rumah," jawab Satria logis. "Kamu nggak lapar?"
Tentu saja Eriana paham maksud perkataan Satria. Alhasil ia terkekeh samar.
"Sat, aku hamil bukan berarti aku jadi mudah kelaparan loh. Kamu nggak usah mikir kejauhan deh."
Bagi Satria, itu tidak kejauhan sama sekali. "Aku cuma antisipasi untuk setiap kemungkinan yang bisa saja terjadi."
Memang tipikal Satria. Jadi Eriana tidak merasa heran sama sekali.
"Bener, tapi kamu tenang saja. Sekarang aku belum merasa lapar kok."
Saat itu hampir jam setengah tujuh malam. Waktu yang benar-benar rentan. Agaknya itu yang membuat Satria kembali menarik napas dalam-dalam.
"Kalau kita memang sampai nanti bakal terlambat, kayaknya lebih baik kita mampir saja. Itu lebih aman ketimbang kamu nahan lapar sampe ke rumah."
Apa yang dikatakan Satria sedari tadi memang terdengar sangat berlebihan bagi Eriana. Namun, kalau ia pikir-pikir lagi memang demikianlah Satria. Ehm ... Satria dan keluarganya, lebih tepatnya.
Sebelum mereka menikah saja Satria sudah menunjukkan gejala-gejala tak biasa yang sering membuat Eriana geleng-geleng kepala. Apalagi setelah menikah? Apalagi ketika ia diketahui tengah berbadan dua?
Alhasil, seperti biasanya Eriana akan menerima dengan senang hati. Ia tidak akan mendebat keputusan Satria. Lagi pula berhenti di tengah perjalanan dan makan di restoran tidak akan lebih aneh dengan keinginan Satria menyediakan eskalator di rumah.
"Oke," angguk Eriana. "Terserah kamu. Aku ikut-ikut aja."
Satria membuang napas lega mendapati persetujuan Eriana.
"Walau sebenarnya sih kalau boleh jujur, aku itu orangnya termasuk kuat nahan lapar," kata Eriana seraya melirik Satria penuh arti. "Yang aku nggak kuat itu satu."
Satria bisa menangkap keanehan dari lirikan Eriana. Mungkin karena itulah mengapa ia lantas menggeleng. Memberikan isyarat agar Eriana tidak meneruskan perkataannya. Namun, tentu saja Eriana tidak menurutinya. Alih-alih ia justru beringsut, mencari tempat di telinga Satria dan berbisik.
"Kamu."
*
bersambung ....
Karena melihat dua bab belakangan ini sepi komen, jadi sepertinya cerita Eri-Satria akan aku tamatkan dalam minggu ini. Makasih untuk yang masih setia baca :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top