51. Wabah Keanehan Menyerang

"Astaga, Lih. Badan aku panas dingin."

Teguh meraba sekujur tubuh. Bergidik dan gemetaran seperti akan memasuki ruang sidang terbuka demi mempertahankan disertasi di depan khalayak ramai.

"Bahkan pas aku kena demam berdarah dulu itu," ujar Teguh horor. "Aku nggak sampe kayak gini."

Galih geleng-geleng kepala. "Mungkin kali ini kamu bukan cuma kena demam berdarah, tapi juga tipes."

"Ih! Kamu ini kalau ngomong kadang nggak ada perasaan," gerutu Teguh seraya mencibir. "Kena demam berdarah saja aku udah nyaris mati, apalagi kalau ditambah bonus tipes?"

Teguh tidak ingin membayangkannya. Alih-alih ia mendeham. Fokusnya kembali lagi pada hal yang lebih penting ketimbang demam berdarah dan tipes. Apalagi kalau bukan soal bos dan sekretaris pertamanya?

"Jadi Pak Satria beneran masuk hari ini kan?"

Menarik napas sejenak, Galih mengangguk. Ia melihat jam tangan dan mendapati bahwa kala itu masih pukul tujuh pagi.

"Sepertinya sebentar lagi beliau sampai," jawab Galih. "Kita harus siap-siap."

Teguh meneguk ludah. "Sebenarnya aku bingung, Lih."

"Bingung kenapa?"

"Ehm kita harus bersikap gimana ya?" tanya Teguh dengan mimik bingung. "Kita harus bersikap biasa-biasa saja? Pura-pura tutup mata, tutup telinga, dan tutup mulut?"

Tidak menjawab, Galih justru balik bertanya. "Menurut kamu? Apa kamu mau nanya sama Pak Satria mengenai keadaan Bu Eri?"

"Ah, benar juga ya."

Hening sejenak. Baik Teguh maupun Galih sama-sama diam seraya menunggu kedatangan Satria. Bertempat di pelataran kantor dan mereka kompak memandang portal keamanan gedung. Menantikan mobil yang biasa membawa Satria masuk.

Itu adalah pengalaman pertama untuk Teguh dan Galih. Selama ini mereka tidak melakukan hal tersebut lantaran ada Eriana. Sang sekretaris pertama itu mengatakan bahwa selama masih ada dirinya maka ia yang akan menjemput dan mengantar kepergian Satria. Walau pada kenyataannya tidak demikian.

Bola mata Teguh dan Galih membesar. Mereka melihat mobil Satria masuk. Keduanya pun kompak memperbaiki postur tubuh.

Berdiri tegap. Berpakaian rapi. Teguh dan Galih sama-sama siap menyambut kedatangan Satria. Galih akan membuka pintu mobil sementara Teguh akan membawa tas kerja Satria. Mereka sudah melakukan kesepakatan sekitar lima belas menit yang lalu.

Mobil melaju. Semakin dekat. Kian mendekat. Teguh dan Galih makin bersiap. Lalu ....

Mobil terus melaju. Tidak berhenti di pelataran kantor. Alih-alih terus menuju ke jalur parkiran gedung.

"Loh?"

Teguh dan Galih melongo. Keduanya berpaling dan saling menatap satu sama lain.

"Pak Satria nggak berhenti di sini?" tanya Teguh samar. "Pak Satria turun di parkiran?"

Galuh menggedikkan bahu sekilas. "Sepertinya."

Tak membuang waktu, Teguh dan Galih pun meninggalkan pelataran. Masuk dan berencana untuk menemui Satria di pintu masuk dari parkiran khusus.

Derap langkah terdengar. Membuat Teguh menahan napas sementara Galih mengerutkan dahi. Samar, tapi ia mendengar ketukan yang lain.

Teguh maju. Bersiap untuk menarik daun pintu, tapi nyatanya pintu telah terbuka lebih dahulu.

Refleks, Teguh mundur. Sedikit kaget, tapi sejurus kemudian ia justru melongo saat mendapati Satria yang membuka pintu itu. Dan lebih kaget lagi ketika ia berkata.

"Hati-hati, Ri."

"Iya, Sat, iya."

Eriana masuk, tapi sontak berhenti di langkah ketiga. Bertepatan dengan Satria yang menutup pintu dan matanya melihat pada dua sosok cowok di depan mereka.

"T-Teguh," lirih Eriana, lalu berpaling. "G-Galih."

Bukan hanya Eriana yang gelagapan. Alih-alih Satria pula walau ia tampak lebih tenang dan cepat mengendalikan ekspresi wajah.

"Selamat pagi, Pak. Selamat pagi, Bu."

Nyaris seperti paduan suara yang mendapat aba-aba dari dirigen, Teguh dan Galih menyapa Satria berikut Eriana. Setelahnya Teguh beranjak dan Satria menyerahkan tas kerjanya dengan kaku pada cowok itu.

Galih berkata. "Silakan, Pak."

Satria melangkah. Menyempatkan diri untuk berpaling pada Eriana yang juga turut beranjak, ia mengirimkan isyarat. Sayangnya, hanya dibalas oleh kerutan dahi.

Mereka berempat naik lift. Selama perjalanan itu, keadaan hening. Tak ada bicara. Menghadirkan aura yang membuat Satria merasa tidak enak.

"Teguh. Galih."

"Ya, Pak?"

Lagi-lagi kekompakan mereka membuat Satria kaku. Ia mendeham, menarik napas, dan berkata.

"Kalian langsung temui saja. Saya ingin tau keadaan kantor kemaren."

"Siap, Pak."

Pintu lift membuka. Mereka keluar dan melangkah bersamaan. Teguh mengantar Satria hingga ke ruang kerja sementara Eriana dan Galih menuju meja masing-masing.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Teguh dan Galih ke ruangan Satria dengan beberapa map yang mereka bawa. Meninggalkan Eriana seorang diri dengan perasaan tak enak. Ia mengusap tengkuk.

Tadi ... mereka sempat dengar yang Satria bilang nggak? Atau yang aku bilang?

Berusaha untuk menyingkirkan dua pertanyaan itu dari benaknya, Eriana justru tak mampu menampik fakta di mana Satria yang membuka pintu dan menyilakan dirinya. Alih-alih sebaliknya.

Apalagi karena kemaren Satria juga nggak masuk pas aku nggak masuk. Ehm mereka pasti mikir yang aneh kan?

Pintu ruangan Satria terbuka. Teguh dan Galih keluar. Saat melintasi mejanya, kedua cowok itu tampak mengangguk sekilas. Pun tersenyum.

Itu memang sikap sopan pada umumnya. Namun, Eriana ragu kalau Teguh dan Galih seperti itu padanya selama ini.

"Bagaimana keadaan Ibu? Sehat?"

Apalagi pertanyaan bernada perhatian itu, sungguh membuat Eriana merasa aneh. Namun, ia tetap menjawab.

"Baik-baik saja, Guh. Ehm saya sehat. Kemaren cuma sedikit lelah."

"Kalau begitu," timpal Galih. "Ibu jangan bekerja terlalu keras. Ada saya dan Teguh yang bisa menggantikan pekerjaan Ibu."

Eriana tersenyum kaku. "Ah, makasih. Kalian baik sekali."

Eriana menganggap sikap Teguh dan Galih ada hubungannya dengan ikatan senioritas. Pada umumnya junior akan mengkhawatirkan keadaan seniornya kan? Itu adalah kepedulian yang wajar.

Namun, tidak. Pikiran positif Eriana tidak berguna. Ketika Teguh membawakan tehnya dan Galih berlari dari mejanya demi mengambil berkas yang jatuh, Eriana tidak bisa menyingkirkan kemungkinan itu.

Apa sih menu kafetaria yang mereka makan? Kenapa bisa kompak gini anehnya?

Eriana jadi takut untuk makan siang di kafetaria padahal soto ayamnya sudah membuat ia rindu. Lihat! Air liurnya terbit dan perutnya sontak bergemuruh.

Tapi, gimana ya kalau aku ikut-ikutan jadi aneh juga?

Eriana menyerah pada keinginannya. Siang itu, ia turun bersama dengan Teguh dan Galih. Setelah terlebih dahulu berpamitan pada Satria tentunya.

Satria sempat melarang, tapi berbekal kata-kata keinginan dedek bayi maka Eriana mendapatkan izinya. Ia bisa makan di kafetaria kantor sementara Satria akan menyambangi Andika.

"Ibu mau makan apa?" tanya Teguh. "Biar saya yang pesankan."

Eriana mengerjap. "Oh, nggak usah," tolaknya. "Biar saya pesan sendiri."

"Ibu lebih baik tunggu di sini, Bu," timpal Galih kemudian. "Meja dan kursinya sudah saya bersihkan. Mudah-mudahan nggak ada virus atau kuman."

"Ya?" longo Eriana.

"Jadi ..."

Di saat Eriana masih terbengong dengan perkataan Galih, Teguh sudah bertanya lagi.

"... Ibu mau makan apa?"

Eriana mendeham. "Soto ayam."

Teguh merogoh saku. Mengeluarkan satu buku catatan berukuran kecil berikut pena.

"Soto ayam," ulang Teguh sambil mencatat menu tersebut. "Apa ada permintaan khusus, Bu? Kuahnya sepanas apa? Di derajat berapa? Pakai bawang goreng? Perasan jeruk nipis atau mau jeruk mandarin?"

"Hah?" longo Eriana lagi. "Sejak kapan makan soto ayam pake perasan jeruk mandarin?"

Teguh memejamkan mata sekilas sementara Galih refleks menepuk tengkuk cowok itu. Lantas ia mengambil alih pertanyaan Teguh.

"Pakai toge, Bu? Atau Ibu ingin pakai sayuran yang lain? Mungkin sawi hijau?"

Eriana mengernyit. "Saya mau makan soto, Guh. Bukan mau makan bakso atau mi ayam."

"Ah, Ibu benar."

Eriana berdecak. Melihat kedua cowok itu dengan sorot yang semakin bingung, ia berpikir.

Kelamaan ngomong sama mereka, jangan-jangan buat aku jadi aneh juga.

Merinding, Eriana tidak ingin mengambil risiko itu. Ia sadar diri. Tanpa tertular dari pengaruh luar saja otaknya sudah tak tertolong, apalagi kalau mendapat pengaruh buruk lainnya?

Kasihan anak aku kalau dapat ibu yang makin nggak waras.

Eriana beranjak dengan kedua tangan yang mengibasi Teguh dan Galih. Menyuruhnya untuk menyingkir.

"Biar saya pesan sendiri," ujar Eriana. "Saya bisa keburu pingsan lagi kalau nungguin kalian nanya segala macam."

Teguh dan Galih kaget. Refleks mengadang jalan Eriana. Tangan keduanya naik, tapi terlihat ragu-ragu ketika ingin menahan Eriana.

"I-Ibu duduk saja," ujar Galih. "Biar kami pesankan sekarang."

Teguh mengangguk. "Soto ayam. Minumnya?"

"Ehm," deham Eriana melihat bergantian pada cowok itu. "Air putih aja."

"Baik, Bu. Kami laksanakan," angguk Teguh lagi.

"Jadi sekarang Ibu silakan duduk yang tenang. Soto ayam dan air putih akan segera datang."

Duduk yang tenang? Percayalah. Eriana tidak bisa tenang sama sekali dengan sikap aneh Teguh dan Galih.

Semangkuk soto ayam tersaji di hadapan Eriana. Asapnya mengepul samar dan menguarkan aroma segar yang menggiurkan.

Eriana meneguk ludah. Sendok sudah terangkat di depan mulut. Siap untuk ia nikmati, tapi Eriana justru membeku. Itu adalah ketika ia menyadari Teguh dan Galih sama-sama melihat padanya.

"K-kalian kenapa nggak makan juga?" tanya Eriana terbata. "K-kenapa malah lihati saya?"

Mata Teguh menyipit. "Gimana rasanya, Bu? Apa ada yang kurang?"

Sudahlah! Eriana tidak bisa bertahan lagi. Alhasil setelah makan siang itu, ia segera menemui Satria.

Eriana menutup pintu ruang kerja Satria. Masuk dengan tergopoh-gopoh hingga membuat Satria langsung berdiri.

"Eri," lirih Satria khawatir. Ia beranjak dan menyambut Eriana. "Kamu kenapa?"

Eriana memegang tangan Satria. Wajah menengadah dan memperlihatkan kepanikan yang teramat nyata pada sang suami.

"Gawat, Sat," ujar Eriana panik. "Gawat."

Kepanikan Eriana langsung berpindah pada Satria. Ia pucat dan menatap perut Eriana. Khawatir bila ada sesuatu yang terjadi.

"Apanya yang gawat?"

Eriana meneguk ludah. "Buruan kamu sidak kafetaria kantor, Sat. Aku pikir makanan mereka ada yang bermasalah."

"Makanan di kafetaria bermasalah?"

Eriana mengangguk. Horor, ia menjawab.

"Kamu tau? Teguh dan Galih aneh banget. Aku khawatir."

Kekhawatiran Satria terjeda. Ia mengerjap. "A-aneh?"

"Iya. Mereka berdua aneh dan aku beneran khawatir."

Mimik Eriana menampilkan keseriusan tak terkira. Ia menatap Satria dan tampak putus asa.

"Aku nggak tega kalau lihat kamu dapat sekretaris dan aspri aneh," lanjut Eriana tak berdaya. "Cukup istri kamu aja yang aneh, sekretaris dan aspri kamu jangan."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top