5. Sepertinya Perlu Kelas Kesabaran Nih!

"Nggak usah kaget gitu, Ri. Santai aja."

Mendapati reaksi Eriana yang terkesiap membuat Satria melirik sambil mengerutkan dahi. Bagi Satria, itu adalah hal yang berlebihan. Lagipula yang dikatakan oleh Satria adalah hal yang wajar kan?

"B-bukan gitu, Sat. Tapi ...."

"Tapi apa lagi sih, Ri? Aku tau. Mungkin kamu nggak enak sama Intan. Tapi, mau gimana lagi? Kamu kan harus balik ke rumah."

"Katanya Sabtu."

"Setelah aku pikir-pikir aku nggak bisa nunggu sampe Sabtu. Besok kamu harus balik ke rumah. Aku nggak mau tau deh," ujar Satria dengan ekspresi tak terbantahkan. "Entah itu Mas Bimo, entah itu Mas Dewo, entah itu Mas Koki kek, usir dia. Sekarang waktunya untuk kamu perhatiin aku."

Tawa Eriana pecah. Wajah geram Satria berhasil menghadirkan geli di perutnya. Lihat? Satria benar-benar sedang kesal saat ini.

"Jangan salahkan aku kalau mendadak nyuruh kamu pulang besok. Salahkan diri kamu sendiri."

Masih dengan tawa yang berderai, Eriana menunjuk hidungnya. "Salah aku?"

"Iya. Salah kamu yang buka baju di depan aku pas kita vc malam tadi."

Eriana kembali tertawa. "Ternyata gara-gara itu toh."

Satria hanya bisa melirik Eriana dengan tajam ketika sang istri menganggap enteng masalah itu. Ck. Eriana tidak tau saja. Bahwa tontonan 18+ beberapa menit itu sudah sukses membuat Satria merana.

Ingat? Mereka pengantin baru loh. Baru saja menikah beberapa hari. Gelora masih menggebu-gebu. Jadi hal lumrah bila Satria tersiksa. Terlebih lagi karena saat ini Eriana pun masih mendapatkan siklus bulanannya.

"Kamu bener-bener ya, Ri. Kamu bahkan nggak merasa berdosa sedikit pun."

"Kenapa harus merasa berdosa?" tanya Eriana sok polos. "Toh aku buka baju di depan suami sendiri. Bukan di depan suami orang. Eh! Depan Mas Bimo juga ding!"

Wajah Satria memerah. "Eri."

Eriana terkikik. Lalu buru-buru beranjak dari sana sebelum Satria mencabik-cabik dirinya. Ia mengambil tempat semula. Berdiri di depan Satria dan dipisahkan meja kerja. Buru-buru mengambil sikap sopan.

"Tadi Pak Andika kembali menghubungi, Pak. Beliau mengajak Bapak untuk makan siang setelah ajakannya Bapak tolak kemarin."

Satria menarik napas. "Batalkan saja."

"Lagi, Pak?"

"Iya," angguk Satria. "Dan kalau Andika ngubungi kamu lagi, nggak usah dihiraukan. Abaikan aja. Kalau perlu reject teleponnya."

Sedikit kerutan muncul di dahi Eriana. Dan sejurus kemudian Satria kembali bicara seraya menunjukkan ponselnya. Ada daftar panggilan di sana. Dengan nama Andika berada di urutan paling atas. Baru menghubungi Satria di jam tujuh lewat delapan belas menit tadi.

"Kalau dia mau makan siang bareng aku, dia bisa ngomong langsung ke aku."

Eriana paham. Ia mengangguk berulang kali.

"Tapi, kenapa dia ngubungi kamu? Sok mau buat janji makan siang sama aku lewat kamu?" tanya Satria tanpa menunggu jawaban Eriana. "Itu karena dia cuma mau ngusilin aku."

Eriana mendeham. Mengerti dengan baik.

"Jadi kamu paham kan? Kalian ada Andika ngubungi kamu, reject."

Eriana mengangguk. "Baik, Pak. Akan saya reject," ujarnya. "Kalau begitu saya permisi, Pak."

"Silakan."

Keluar dari ruang kerja Satria, Eriana mengulum senyum geli. Merasa lucu ketika baru menyadari bahwa yang dikatakan oleh Satria memang benar. Tapi, sayangnya Eriana tidak menyadarinya.

Bener juga ya? Kok aku nggak kepikiran sih? Harusnya kan Andika langsung ngubungi Satria. Ngapain juga lewat aku?

Kembali ke meja sekretarisnya, Eriana memulai pekerjaannya pagi itu. Dengan sikap anggun pastinya. Punggung tegap dan wajah terangkat. Seperti delapan jarinya memiliki mata sendiri, ia bahkan tidak perlu menunduk ketika mengetik.

Wah! Ternyata pelajaran Mrs. Roberts emang berguna ya. Ngetik sebanyak ini nggak buat pinggang aku encok.

Ada derap langkah terdengar ketika jam nyaris menunjukkan angka dua belas. Eriana meninggalkan pekerjaannya sejenak bertepatan dengan satu sapaan terdengar di telinganya.

"Siang."

Mengerjap sekali, Eriana tersenyum. Ia bangkit dari duduknya dan menyambut jabat tangan cowok itu.

"Selamat siang, Pak Andika."

Itu adalah Andika. Teman Satria yang menurut Satria selalu punya alasan untuk mengajaknya makan siang bersama. Teman Satria sejak lama yang berkat dirinya datang ke rumah Satria tempo hari, pasangan pengantin baru itu sempat bertengkar kecil.

Ehm ... beneran kecil loh. Karena yang besar itu adalah tawa Satria dan Eriana setelah salah paham itu berakhir.

"Kayaknya kemaren aku lupa ngucapin selamat sama kamu."

Tak langsung menuju ke ruang kerja Satria seperti dugaan Eriana, ternyata Andika memilih untuk duduk di sana sejenak. Mau tak mau membuat Eriana turut duduk pula.

"Selamat untuk apa, Pak?"

"Untuk pernikahan kamu dan Satria."

Sekelumit senyum timbul di wajah Eriana. Tampak tersipu. "Makasih, Pak."

"Kamu sih kemaren itu langsung kabur aja. Padahal aku mau ngobrol sama kamu dan Satria."

Eriana belum terbiasa dengan situasi itu. Ia tentu menyadari bahwa Andika adalah teman Satria. Tapi, untuk bersikap santai dengannya tentu saja membutuhkan waktu.

"Ah! Benar."

Andika tampak menggaruk pelipisnya sekilas. Sedikit kerutan muncul di dahinya.

"Tadi saya ada ngubungi kamu lagi kayaknya. Mau nanya kapan Satria ada waktu kosong. Tapi, kayaknya nggak kamu angkat."

Eriana tersenyum. "Memang sengaja nggak saya angkat, Pak," ujarnya santai. Dan ketika Andika terlihat bingung, ia pun menjelaskan. "Soalnya Pak Satria nyuruh saya untuk me-reject semua panggilan dari Bapak."

Andika melongo. Sekilas berdecak dan ia bangkit dari duduknya.

"Oke. Kalau gitu aku langsung ke dalam."

Eriana bangkit pula. Mengangguk dengan sopan sebagaimana harusnya sekretaris bersikap.

"Silakan, Pak."

Benar-benar beranjak dari sana dan menuju ke ruangan Satria, Andika yang syok dengan penjelasan Eriana tak bisa menahan gerutuannya.

"Dasar Satria. Bisa-bisanya dia nyuruh istrinya buat nge-reject panggilan aku."

Masuk ke ruangan Satria tanpa mengetuk terlebih dahulu, Andika tidak akan terkejut mendapati rutukan temannya itu. Tampak wajahnya menyiratkan kaget. Tapi, ketika mendapati siapa yang datang, maka ia pun geleng-geleng kepala.

"Yang benar aja kamu nyuruh Eri nge-reject panggilan aku, Sat. Sama temen sendiri juga."

Satria membuang napas panjang tanpa bermaksud untuk meladeni perkataan Andika yang satu itu. Terpaksa menunda sejenak pekerjaannya, Satria menyesap teh yang telah tersaji untuk mereka berdua. Begitu pula dengan Andika. Yang setelah menumpahkan gerutuannya langsung turut menikmati minuman bewarna merah kecoklatan itu.

"Ehm ... teh buatan istri kamu enak."

Mata Satria menyipit. "Iya pasti enak. Kalau nggak enak, aku suruh dia ikut kelas tata boga."

"Hahahaha."

Andika tertawa. Tapi, Satria sebaliknya.

"Kayaknya lagi ada yang sensi nih," komentar Andika setelah meneliti ekspresi temannya itu. Terlihat murung. "Ada apa? Ada masalah di kantor?"

Satria meneguk air tehnya lagi. Hingga menyisakan setengah cangkir saja. Pada saat ia menaruh cangkir di tatakannya, ia melirik ke pintu. Dan Andika dengan cepat menyimpulkan.

"Aaah! Gara-gara Eri. Dia belum balik ke rumah?"

"Belum!" tukas Satria. "Dia masih di apartemen sampai Mas Bimo pergi ke luar negeri lagi."

"Mas Bimo? Siapa itu?"

Satria sama sekali tidak berniat untuk menjelaskannya. Lebih dari itu ia pun tidak ingin mengingat soal Mas Bimo lagi. Tapi, anehnya justru ia sendiri yang spontan menyebut nama itu.

"Mas Bimo Mas Bimo Mas Bimo."

Mata Satria melirik tajam pada Andika sementara cowok itu terlihat tengah berpikir. Mata Andika melihat ke beberapa arah secara abstrak. Lalu ia terkesiap.

"Beneran Mas Bimo atau Massimo?"

Kali ini, Satria yang justru bertanya pada Andika.

"Massimo? Siapa itu?"

Andika tergelak. "Kamu nggak tau?"

"Memangnya dia siapa?" tanya Satria dengan bingung. Ia mencoba mengingat, apa ada koleganya yang bernama Massimo? Tapi, ia tidak yakin. "Dari mana? Aku pernah ketemu sama dia?"

Tawa Andika semakin menjadi-jadi. Terpingkal sampai perutnya terasa sakit.

"Bukan dari mana-mana dan kamu nggak pernah ketemu sama dia," jawab Andika geli. "Ehm ... kayaknya yang ketemu sama dia kebanyakan cewek deh. Kenyataannya dia memang lebih terkenal di kalangan cewek sih."

"Oh, aku pikir dia CEO baru dari mana. Ternyata bukan."

Wajah polos Satria sukses membuat tawa Andika yang sempat mereda kembali menjadi-jadi. Ia kembali terpingkal.

"Astaga, Sat! Kamu kayaknya perlu refreshing sekali-kali. Biar aku kasih tau kamu ya. Massimo belakangan ini lagi digandrungi cewek-cewek. Soalnya kapan hari Marsya ada ngajak aku nonton filmnya."

"Ah, aktor!"

Andika mengangguk. "Bener banget. Dan bukan sembarang aktor. Well ... itu karena ...."

Bola mata Andika berputar ketika ia tidak menemukan cara yang paling tepat untuk menjelaskan pada Satria kecuali dengan mengeluarkan ponselnya. Menyasar pada pencarian Google. Dan lantas menunjukkan beberapa foto di sana ketika ia mengetik kata kunci 365 Days.

"Hah?!"

Satria melotot saat melihat berbagai foto yang ditunjukkan oleh Andika. Tidak percaya, ia bahkan sampai mengambil alih ponsel Andika. Melihat dari jarak yang lebih dekat. Demi memastikan bahwa nama tokoh di film itu adalah Massimo alias Don Massimo Torricelli.

"Jangan bilang kalau Eri membandingkan aku dengan Mas Bimo atau Massimo ini."

Andika makin tebrahak-bahak. Melihat wajah Satria memerah membuat ia benar-benar merasa geli. Ia mengambil kembali ponselnya.

"Nggak usah cemburu gitu, Sat. Cuma tokoh fiksi," ujar Andika seraya mengantongi ponselnya kembali. "Karena gimanapun juga Massimo turut berjasa. Caca bakal dapat adek dalam enam bulan lagi itu dikit banyak karena dia."

"Sialan!"

Satria menggerutu. Melampiaskan kekesalannya dengan menandaskan air tehnya dalam satu tegukan besar. Tajam, ia kembali melirik ke pintu.

"Awas aja, Ri. Kamu sampai beneran mikirin cowok gitu timbang aku, bakal aku panggil lagi Mrs. Roberts."

*

Eriana bergidik. Meraba bulu kuduknya yang mendadak meremang. Horor, ia melihat ke sekeliling.

"Ini ada hantu atau apa sih? Kok aku merinding gini?"

Saat itu hari sudah jam tujuh malam. Jam kerja memang sudah berakhir sejak tiga jam yang lalu. Tapi, beberapa pekerjaan penting membuat Eriana masih bertahan. Terutama karena ia dan Satria yang sepakat untuk menemui Intan bersama memutuskan untuk pulang malam saja. Agar tidak ada mata yang melihat mereka.

Tidak ingin mengambil risiko bertemu dengan makhluk halus, Eriana pun langsung menuntaskan pekerjaannya. Memadamkan komputer dan dengan terburu-buru pergi ke ruangan Satria.

"Sat."

Sudah di luar jam kerja dan tidak ada orang di sekitar mereka, Eriana pun tanpa canggung memanggil Satria tanpa embel-embel 'bapak' yang mengikutinya. Satria mengangkat wajah.

"Kita pulang sekarang yuk," pinta Eriana sambil meraba tekuknya. "Aku merasa agak beda. Dari tadi bawaannya merinding terus."

Eriana mengangkat tangannya. Menarik sedikit lengan blazernya. Menunjukkan pada Satria.

"Lihat? Berdiri semua, Sat."

Satria melirik sekilas. Tapi, tidak mengomentarinya. Alih-alih langsung memadamkan komputernya.

"Ayo kita pulang."

Tunggu. Melupakan tubuhnya yang meremang dari tadi, Eriana menatap lekat pada Satria. Kepalanya meneleng ke satu sisi.

Satria kenapa?

Tidak bermaksud berlebihan, tapi Eriana merasakan ada yang berbeda. Maka ketika mobil yang membawa mereka berdua sudah melaju di jalanan, ia diam-diam melirik pada Satria yang duduk di sampingnya.

Satria tampak diam. Tidak bicara apa-apa. Dengan wajah terlihat keras dan pandangan lurus ke depan.

Satria liatin apa sih? Orang jelas banget di depan ini ada sekat.

Bertanya-tanya dalam hati dan menyadari ia tidak mendapatkan jawaban apa pun, pada akhirnya membuat Eriana menggamit tangan Satria. Cowok itu nyaris bergeming. Hanya matanya saja yang tampak melirik sekilas. Bertanya dengan nada ketus.

"Apa?"

Eriana mengerucutkan bibir. "Kamu kenapa? Kok kayaknya lagi suntuk gitu."

"Nggak ada apa-apa."

Bohong! Tentu saja Eriana bisa merasakannya. Dengan nada seketus itu mana mungkin tidak ada apa-apa pada Satria.

"Ehm ... baguslah kalau nggak ada apa-apa."

Eriana menunggu. Untuk perkataannya itu ia mendapati Satria yang kembali melirik padanya. Tapi, ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Ntar mudah-mudahan aja Intan balik cepet. Tadi sih dia ngomongnya bakal balik jam delapan. Tapi, ya itu. Kadang jadwal dia memang nggak tentu."

Eriana menunggu lagi. Melihat ekspresi Satria yang tidak berubah.

"Biar kamu ngomong ke dia soal kita dan aku bisa balik ke rumah. Soalnya aku udah kangen rumah dan kamu."

Satria melirik lagi. Tapi, kali ini ia tidak diam.

"Oh, kamu kangen rumah dan aku juga?" tanya Satria ketus. "Nggak kangen sama Mas Bimo atau Massimo itu?"

"Eh?"

Mata Eriana mengerjap berulang kali.

"Siapa Massimo?"

Pertanyaan itu dilayangkan Eriana dengan wajah bingung. Satria yang melihatnya sontak menyipitkan mata.

"Kamu nggak kenal Massimo?"

Polos, Eriana menggeleng. "Massimo nggak kenal."

Mata Satria membesar. Terlihat berbinar. Merasa senang.

"Tapi, kalau Mas Bimo kenal."

Bentar. Binar di mata Satria menghilang seketika. Cepat, senangnya menghilang dan tergantikan kesuntukkan lagi.

"Eh! Nggak, Sat," ralat Eriana cepat. Jelas merasa panik. "Maksudnya bukan berarti aku kenal Mas Bimo. Cuma kan kita sama-sama tau Mas Bimo itu siapa."

Aduh! Eriana jadi bingung sendiri dengan pembahasan Mas Bimo dan Massimo. Terlebih lagi karena sejurus kemudian Satria tampak manyun. Memutuskan untuk melihat ke luar ketimbang melihat padanya.

Eriana membuang napas panjang. Benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi dan menghindari salah bicara lagi, Eriana memutuskan untuk diam saja. Hingga pada akhirnya mereka tiba di apartemen Eriana.

Eriana dan Satria turun dari mobil. Berjalan di sebelah Satria, Eriana mengangkat wajah. Mencoba peruntungannya kali ini. Siapa tau saja Satria sudah agak membaik.

"Selagi nunggu Intan, ntar kamu mau makan apa?"

Satria menatap lurus ke depan. "Apa aja."

"Ehm ... oke."

Itu sudah menjadi sinyal untuk Eriana. Sepertinya suasana hati Satria masih belum bagus. Menebak, Eriana pikir Satria tengah capek. Mungkin setelah istirahat ia akan kembali seperti semula.

Maka dengan pikiran positif itu Eriana pun mengajak Satria untuk memasuki gedung apartemennya. Melangkah menuju ke lift, Eriana tidak mengira bahwa akan ada satu suara yang memanggil dirinya. Sesuatu yang sontak membuat langkahnya dan Satria berhenti kompak.

"Eri!"

Baik Eriana maupun Satria sama-sama memutar tubuh. Melihat pada seorang cowok yang berjalan menghampiri mereka.

"Eri, ya Tuhan."

Satria menoleh. Melihat pada Eriana yang sontak membesar matanya saat melihat cowok di hadapannya. Satria tidak mengenal cowok itu, tapi sepertinya Eriana kenal. Terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Hanya saja ketika Satria ingin bertanya mengenai siapa cowok itu pada Eriana, ia mendapati sesuatu yang membuat matanya melotot.

Cowok itu meraih tangan Eriana. Memegang dan meremas jari-jari tangannya. Dan ketika Eriana mencoba untuk menarik tangannya lepas, cowok itu berkata.

"Akhirnya kita ketemu lagi."

Terdengar biasa saja, tapi Satria merasa panas seketika. Tanpa berpikir dua kali, ia dengan cepat melepaskan tangan Eriana dari genggaman cowok itu.

Eriana melihat Satria dengan salah tingkah. "Sat."

"Siapa dia?"

Eriana melirik sekilas pada cowok itu sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Satria. Dengan suara lirih dan kebingungan yang tercetak nyata di wajahnya.

"J-Jefri," jawab Eriana. "Jefri Marsimo."

Tepat setelah jawaban itu mendarat di telinga Satria, ia langsung memejamkan mata. Menarik napas dalam-dalam demi menenangkan diri. Karena ingatannya dengan cepat berputar di benaknya. Ia tau siapa Jefri. Lantaran Eriana sempat menceritakan masa lalunya tepat semalam sebelum mereka menikah.

Tentu saja. Itu adalah Jefri yang merupakan mantan kekasih Eriana. Dan Satria harus berpikir apa ketika ada mantan kekasih yang datang dan berkata 'akhirnya kita ketemu lagi'?

Satria mencoba untuk tenang. Tapi, sikap Jefri yang langsung meraih tangan Eriana tepat di depan matanya sukses membuat Satria merasa kebakaran.

Kemaren Mas Bimo, tadi Massimo, dan sekarang Jefri Marsimo? Ya Tuhan. Eri! Kamu bener-bener harus segera balik ke rumah!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top