49. Ah, Malunya Kemaluan

Seumur hidup, Eriana tidak pernah menganggap warna hitam itu bagus. Erat berhubungan dengan dukacita, kemalangan, dan nasib buruk, hitam memberikan kesan suram di mata Eriana. Namun, semua berubah. Semenjak ia mengenal Satria, semua berubah. Lantaran ia menyadari sesuatu.

Bukan suram, tapi masa depan aku begitu cerah kalau ketemu kolor itam Satria.

Eriana meneguk ludah. Mengerjap sekali, ia memaksa diri sekuat mungkin untuk tidak terus-terusan melihat tonjolan di balik itu. Ia mengangkat wajah dan menatap Satria dengan sesak napas.

"N-nggak telanjang sekalian, Sat?" tanya Eriana gagap. "A-atau kamu suruh aku yang telanjangin?"

Kedua tangan berkacak di pinggang, Satria mengangkat wajah seraya memejamkan mata. Membuang napas dan ia merasa geram sendiri.

Astaga. Aku ngapain?

Agaknya Satria menyesali tindakan membabibutanya yang tak berpikir dua kali. Geram sih geram, tapi kalau sampai lepas baju dan celana di depan Eriana ... itu jelas adalah tindakan paling salah langkah sepanjang masa.

Lihat saja. Sorot Eriana memandang Satria tampak berbeda. Persis seperti predator yang siap untuk menerkam buruannya.

"Eri."

Tatkala Satria menyebut nama sang istri, ia meringis. Merutuki diri sendiri di dalam hati untuk suaranya yang terdengar parau.

Satria mendeham. Masih berkacak pinggang dengan hanya mengenakan celana dalam, ia lanjut bicara.

"Aku bakal turuti kemauan kamu."

Masih curi-curi pandang ke tonjolan Satria, Eriana mengerjap bodoh saat mendengar perkataan sang suami. Kembali berusaha fokus, ia menatap Satria dengan dahi mengerut.

"K-kemauan aku?" tanya Eriana bingung. Ia sedikit beringsut, mendekati Satria. Tangannya terulur. "Kemauan aku yang mana?"

Satria mendelik. Menepis tangan Eriana.

"Tangannya nggak usah gerak-gerak dulu," ujar Satria memberi peringatan. "Aku belum selesai bicara."

Eriana meneguk ludah. Kembali melirik ke bawah.

Kasihan. Kamu pasti sempit ya di dalam kolor Satria?

Eriana bertekad akan membebaskan tawanan di dalam sana sesegera mungkin. Ia akan menjadi pahlawan demi kesejahteraan dan kenikmatan bersama.

Eh?

"K-kamu mau bicara apa lagi? Ehm ... nggak bisa gitu kayak iklan di tv? Talk less do more."

Satria menggeleng. "Kita bukan maling dan kamu nggak pernah talk less, Ri. Aku bisa pastikan itu."

Senyum malu-malu memualkan timbul di wajah Eriana. Tangannya mengepal ala kadarnya dan bergerak memberikan pukulan ingin tak ingin pada Satria.

"Mau gimana lagi? Kan menurut penelitian, cewek ngomong lebih banyak timbang cowok. Katanya sekitar 20 ribu kata sementara cowok cuma tujuh ribu kata."

"Serius? Kita bahas soal penelitian?" tanya Satria. "Oke, tapi yang pasti aku nggak tau kalau ah, oh, dan segala macam itu termasuk kata."

Eriana terbahak. "Itu kata loh. Bukan huruf. Walau aku ragu sih ada di KBBI atau nggak."

Satria memilih untuk tidak mendebat hal itu. Ada hal lebih penting dan mendesak yang harus ia tuntaskan saat itu pula.

"Kita cukupkan soal ah, oh, dan teman-temannya sampai di sini. Kita nggak perlu sampai buka KBBI."

Eriana makin terbahak.

"Kita balik ke inti permasalahan."

"Ah," lirih Eriana, refleks menunjuk. "Inti yang itu?"

Satria menggertakkan rahang. Upaya untuk menahan kedua tangannya agar tidak mendadak menangkup kemaluan.

Untuk apa ditutupi? Toh luar dalam depan belakang udah dilihat Eri semua. Bahkan lebih dari sekadar dilihat.

Eh?

Satria yakin bahwa suhu yang tinggi tidak bagus untuk konsentrasi. Pikirannya mudah sekali pergi ke mana-mana.

"Bukan inti yang ini," ujar Satria seraya menunjuk sekilas pada kemaluannya. Lalu beralih menunjuk Eriana. "Tapi, inti yang itu."

Eriana melongo. Menunjuk punya dirinya.

"Yang ini?"

Satria baru sadar kalau penunjukannya terlalu ke bawah. Alhasil ia mengangkat tangannya sedikit. Menuju pada kepala Eriana.

"Yang itu."

Eriana memegang kepalanya. "Kenapa?"

"Aku pikir otak kamu benar-benar keterlaluan erornya, Ri."

"Eror?" tanya Eriana bingung.

"Ya Tuhan. Aku tau kamu mesumnya nggak ketulungan," keluh Satria putus asa. "Tapi, sekarang ini kamu lagi hamil. Kita belum ada konsul dengan dokter dan kamu mau delapan jam?"

"Mesum? Hamil? Dokter? Delapan jam?"

Mengulang empat kata itu, dahi Eriana semakin mengerut. Sungguh! Ia tidak mendapati benang merahnya.

"Apa hubungannya, Sat, antara kemesuman aku dengan delapan jam?" tanya Eriana tak mengerti. "Bukannya delapan jam itu nggak mesum? Melainkan kewajiban?"

Satria kian syok. Tak sanggup bicara apa-apa.

"Lagian selama ini aku nggak pernah kan dilaporin mesum di kantor?' tanya Eriana lagi. Namun, sesuatu melintas di benaknya dan membuat ia cengar-cengir. "Ya ... kecuali pas kita dipergok Mama waktu itu sih."

Namun, tunggu dulu. Walau yang dikatakan oleh Eriana memang benar-soal kejadian memalukan yang dilihat oleh Mega, Satria justru merasa janggal akan sesuatu.

"K-kamu nggak maksud buat ngajak aku mesum di kantor lagi kan?"

Bola mata Eriana membesar. "Dengan keberadaan Teguh dan Galih? Ih!" Ia bergidik. "Sorry, Sat. Sepertinya aku masih agak waras. Lagian aku bujuk kamu dari tadi bukan karena aku mau ngajak kamu mesum di kantor. Tapi, aku benar-benar mau kerja lagi. Cuma sampe dua minggu aku habis."

"Eh? Dua minggu kamu habis?"

Kebingungan Eriana pindah ke Satria. Ia menggaruk tengkuk. Dua kalimat itu sukses membuat Satria bertanya dengan nada lirih. Terkesan tak yakin.

"Kamu mau kerja lagi?"

Eriana mengangguk. "Iya, aku tau aku lagi hamil. Aku tau sebentar lagi aku juga bakal keluar. Tapi, nggak ada salahnya kan kalau aku tuntaskan dua minggu ini?"

Satria mendeham tak yakin. "Ehm."

"Aku janji, Sat. Aku nggak bakal lembur," lanjut Eriana cepat. "Aku cuma bakal kerja selama delapan jam."

Kembali, perkataan Eriana membuat sesuatu di benak Satria tersentil. Ia mengerjap. Makin tak yakin.

"L-lembur? D-delapan jam?"

Eriana mengangguk. "Iya. Bahkan kalau kamu suruh aku tetap pake infus selama kerja biar aku tetap kuat, aku bakal turuti. Pokoknya aku turuti semua perkataan kamu."

Lagi! Satria mengernyit untuk hal kesekian yang Eriana ucapkan.

"I-infus selama kerja? B-biar kamu tetap kuat?"

"Iya," angguk Eriana penuh semangat. "Walau selang infus bakal melilit ke mana-mana dan tiang infusnya berisik, aku juga nggak peduli."

Sebentar. Satria meneguk ludah ketika memaksa diri untuk kembali bersuara.

"M-melilit? B-berisik?"

Ya Tuhan. Entah mengapa, tapi mengulang kata-kata Eriana dari tadi membuat Satria menjadi susah napas.

"Aku tau mungkin kelihatan nggak etis gitu sih. Masa kerja sambil diinfus, tapi kalau itu memang kemauan kamu ... ya apa boleh buat."

Satria gelagapan. Berjuang sekuat tenaga untuk tetap berdiri di hadapan Eriana.

"K-kerja sambil diinfus?"

"Yang penting," lanjut Eriana tersenyum. "Aku bisa meyakinkan kamu kalau sanggup, Sat. Walau kita belum ke dokter dan konsul, tapi aku yakin kok aku baik-baik saja."

"O-oh."

"Aku memang pingsan, tapi itu cuma karena akhir-akhir ini lembur. Jadi kalau kerja cuma delapan jam normalnya kita, aku yakin aku baik-baik saja."

"D-delapan jam memang waktu normalnya kita," ulang Satria susah payah.

Tak bisa mengabaikannya, Satria pikir ia akan tercekik ketika mengulang satu kalimat itu. Bagaimana bisa tadi ia meragukan normalnya delapan jam sementara sekarang ia sepakat?

"Iya," angguk Eriana. "Makanya aku pikir kamu bisa kasih aku pengecualian."

Sekarang Satria benar-benar tercekik. "P-pengecualian?"

Eriana menatap Satria dengan penuh pengharapan. Itu adalah kesempatannya yang terakhir. Eriana tidak ingin meninggalkan pekerjaan ketika belum tuntas. Ia tidak bisa membiarkan ada rasa gelisah yang mengejar-ngejarnya.

"Selama dua minggu ini saja, Sat. Aku mohon. Aku bakal jaga diri baik-baik. Infus, vitamin, dan apa pun bakal aku terima. Cukup selama dua minggu ini."

Bukan tentang dua minggu itu yang membuat Satria jadi merasa tak bernyawa lagi. Melainkan hal lainnya.

"Kita bakal pergi kerja setiap pagi. Kita masuk bareng."

Astaga!

"Terus ..."

Satria menggeleng samar saat Eriana melanjutkan perkataannya. Dalam hati, ia berdoa.

Jangan lanjutkan, Ri. Jangan. Itu meruntuhkan harga diri aku.

"... pas jam empat sore ..."

Satria kian tersiksa. Namun, ia tidak bisa menghentikan Eriana saat menuntaskan perkataannya.

"... kita keluar bareng-bareng."

Bruuuk!

Itu adalah suara harga diri Satria yang ambruk seketika. Memalukan sekali dan Satria langsung menunduk.

Lemas tak berdaya, Satria menarik kembali celana piyamanya. Mengenakannya dengan baik. Dalam hati ia merutuk.

A-apa kemesuman bisa menular?

Ya Tuhan! Rasa-rasanya Satria ingin melenyapkan diri dari sana. Sungguh! Ia malu pada dirinya sendiri!

Sementara Eriana? Tentu saja ia syok saat Satria mengenakan kembali celananya.

"Loh?" kesiap Eriana tak terima. "Kok celananya dipake lagi sih?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top