47. Masuk Keluar Bareng-Bareng

Eriana tidak pernah menduga bahwa ia akan bertemu keluarganya dalam waktu dekat. Sempat berencana untuk pergi ke Bogor ketika pekerjaan sedikit longgar, nyatanya sore itu justru keluarganya yang datang. Berkat satu berita dan sekarang Eriana mendapati kedua orang tua beserta empat orang adiknya berkumpul.

"Wah!"

Rumah yang biasanya cenderung sepi berubah dalam sekejap mata. Tak mengira akan mendapat kunjungan, tentu saja perasaan Eriana menjadi bahagia.

"Ibu."

Memastikan kakinya untuk berjalan dalam langkah pelan, Eriana mengingatkan diri agar tidak berlari. Ia tidak ingin kalau tiba-tiba ia terjatuh dan Satria berpikir untuk menyediakan tandu atau kursi roda untuknya.

Nanik Suharti menerima pelukan sambutan dari putri sulungnya. Merengkuh tubuh Eriana dengan kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Begitu pula dengan sang ayah—Syahrozi. Wajahnya yang terlihat makin menua tampak memancarkan haru yang terperi.

Setelahnya ada Satria yang tak akan abai pada kedua mertuanya. Bersalaman dengan sopan, ia tak lupa bertanya.

"Bagaimana kabar Ibu dan Bapak? Sehat?"

Nanik dan Rozi mengangguk.

"Sehat, Sat."

Sedikit berpaling, Satria lalu mendapati uluran tangan adik-adik Eriana. Berjumlah empat orang yang semuanya menyapa Satria dengan sopan. Hingga akhirnya mereka menuju pada Eriana.

"Teteh beneran hamil, Teh?"

"Nggak bohong?"

"Waktu kami dengar berita Teteh hamil, Bagas nggak percaya."

"Aku nggak pernah mikir kalau Teteh bakal hamil."

Bukan hanya Eriana, alih-alih Dinda Utari, Faida Hana Swastika, dan Tiara Anjani pun kompak melihat pada Arka Bagaskara. Satu-satunya saudara cowok yang mereka miliki itu tampak kikuk ketika berkata.

"Serius."

Eriana mendelik sekilas. "Dasar."

Ingin rasanya Eriana membalas ucapan Bagas, tapi apa daya. Saat itu ada Mega. Otomatis semua pelajaran dari Mrs. Roberts keluar dengan sendirinya. Ia sontak menukar delikan dengan senyum penuh arti.

"Ya begitulah," kata Eriana. "Namanya rezeki dari Tuhan. Bahkan yang nggak pernah dipikir manusia pun bisa saja terjadi."

Terkesan bijak, tapi keempat adik Eriana merasa yang sebaliknya. Mereka saling pandang dan Tiara merinding.

"Kayaknya yang Aa' bilang memang benar," bisik Tiara. "Masa Teh Eri bisa hamil ya?"

Bagas berpaling. "Benar kan? Kasihan anaknya nanti."

Jangan bilang kalau Eriana tidak mendengar percakapan lirih itu. Nyatanya Eriana hampir saja akan menjitak dahi kedua adiknya itu andai Mega tidak menyela.

"Gimana perjalanan tadi? Pasti capek gara-gara macet kan?"

Tentu saja. Itu adalah hal mutlak yang pasti terjadi. Mendapati lintas Bogor-Jakarta yang lancar adalah satu mukjizat.

"Lumayan," ujar Nanik. "Tapi, sebenarnya sudah tergolong lancarlah."

Mega tersenyum. "Pak Santoso sudah siapin makanan di dalam. Gimana kalau kita ngobrol dulu sambil ngemil? Sekalian nunggu makan malam?"

Tawaran itu disambut sukacita oleh keluarga Eriana. Mereka berkumpul di ruang keluarga. Satu meja panjang telah disiapkan di sana. Aneka camilan dan minuman tersaji. Membuat setiap mata yang memandang akan tergoda karenanya.

"Papa Satria lagi ada urusan. Mudah-mudahan malam nanti bisa datang dan makan bersama," ujar Mega. "Sekalian kan kita sudah lama nggak kumpul?"

Rozi mengangguk. Ia mengusap kedua tangan, berusaha untuk bersikap santai.

Sejujurnya keluarga Satria memang ramah. Namun, perbedaan yang sangat jauh itu mau tak mau tetap membuat keluarga Eriana kerap merasa tak enak. Mungkin menjurus pada rendah diri.

"Nggak apa-apa. Kalau ada pekerjaan, lebih baik dituntaskan. Kami nggak apa-apa," ujar Rozi. "Sudah disambut seperti ini saja, kami sudah senang."

Mega mengerutkan dahi. "Tentu saja harus disambut. Namanya juga keluarga Eri, artinya keluarga kami."

Selama menikmati aneka camilan dan minuman yang tersaji, mereka bertukar cerita dan terikat obrolan ringan yang menarik. Mega pun tak lupa memberi tahu bahwa Eriana akan berhenti bekerja sebentar lagi.

"Sebenarnya memang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari dan seharusnya Eri berhenti kerja dua minggu lagi. Tapi, kepalang kan? Eri sudah hamil dan lebih baik dia banyak istirahat di rumah."

Nanik dan Rozi mengangguk. Jelas paham maksud Mega.

"Namanya juga kehamilan pertama," sambung Mega. "Lebih baik antisipasi dari hal-hal yang nggak diinginkan."

Nanik membuang napas. "Aku percaya saja. Mbak pasti sudah memikirkan yang terbaik untuk Eri."

"Iya. Aku cuma khawatir fisik Eri lagi lemah. Kemarin dia sempat pingsan."

Informasi yang satu itu membuat Nanik dan Rozi kaget. Begitu pula dengan keempat orang adik Eriana yang sedari tadi sibuk menikmati camilan.

"Yang benar Teh Eri pingsan?" tanya Hana horor. "Biasanya nggak makan dua hari saja Teh Eri kuat kok."

Dinda tercengang. "Berarti Teh Eri benaran hamil."

"Ckckck. Aku pikir hamilnya bohongan," ujar Bagas berdecak.

Menandaskan es buahnya, Tiara tampak meringis. "Nggak mungkin bohongan, A'. Teteh mah beneran hamil."

Ketiga orang saudari Eriana melihat pada Bagas. Agaknya cowok itu masih sulit menerima kenyataan bahwa Eriana tengah hamil.

"Teh Eri itu nggak ada wajah seorang ibu."

Dinda, Hana, dan Tiara kompak membuang napas. Bola mata berputar dan decakan samar keluar. Mereka memutuskan untuk beranjak dari Bagas.

"Lebih baik kita makan aja. Jujur, aku tadi belum sempat makan."

Dinda dan Tiara membenarkan perkataan Hana. Lantaran terburu-buru agar tidak terjebak macat di jalan, mereka yang biasanya makan di saat warung sepi dari mahasiswa, akhirnya tak sempat mengisi perut.

Sementara percakapan hangat terus mengalir dengan santai, Eriana yang mendengar perkataan Mega sontak menarik napas dalam-dalam. Ia dan Satria belum membahas soal itu. Bahwa dirinya akan segera keluar dari kantor.

Berpaling dan melihat Satria yang tengah berbincang pada Rozi, Eriana mengingatkan diri. Bahwa ia akan bicara pada Satria malam nanti.

Ada sesuatu di dada Eriana yang terasa tidak pas. Seperti tutup stoples yang tidak terpasang dengan benar.

Alhasil itulah yang Eriana lakukan. Saat malam telah melewati angka sembilan dan mereka bersiap untuk tidur, ia merangkak di tempat tidur. Menuju pada Satria dan cowok itu mengerutkan dahi.

"Kamu mau ngapain?"

Eriana berhenti merangkak. Tepat di dekat Satria yang sudah berbaring dan sorot sang suami tampak penuh antisipasi.

"Sat," lirih Eriana dengan suara rendah dan penuh irama. Ia bicara tepat di depan wajah Satria. "Ada yang mau aku omongin."

Mata Satria terpejam dramatis. Embusan napas Eriana yang membelai kulitnya membuat bulu kuduk Satria meremang seketika.

Satria mendeham. "Ngomong apa?"

"Kamu ..."

Suara Eriana kembali terdengar dengan mendayu-dayu. Seiring dengan kepala Eriana yang semakin turun. Satria terpaksa menarik diri hingga bantal benar-benar melesak.

"... mau buat aku keluar?"

Satria melongo. Mata mengerjap.

"K-keluar?"

Eriana mengangguk. "Sementara kamu masuk, terus aku keluar?"

T-tunggu. Satria tidak mengerti.

"Maksudnya?"

"Iya gitu, Sat. Kamu masuk tuh kan," ulang Eriana. "Terus aku keluar."

Satria mengerutkan dahi. Menarik napas, ia berusaha untuk bisa mengerti maksud Eriana. Namun, kata-kata Eriana membuat Satria tidak bisa berpikiran positif.

"Aku masuk," ulang Satria. "Terus kamu keluar?"

Eriana mengangguk. "Terus aku kepikiran," lanjutnya. "Kapan kamu bakal keluar juga?"

Ya ampun. Satria buru-buru melihat pada pengatur suhu di kamar mereka. Berusaha untuk mengetahui berapa suhu kamarnya saat itu, nyatanya lampu tidur yang redup tidak memberi pertolongan sedikit pun.

"Ini nggak adil kan, Sat?"

Melayangkan pertanyaan dengan tiba-tiba, Eriana lantas menyambar kerah piyama Satria. Mau tak mau membuat cowok itu kembali menatap Eriana. Dan lantas Satria menyadarinya. Bahwa saat itu Eriana melihatnya dengan sorot penuh harap.

"Masa aku keluar, tapi kamu nggak keluar? Bukannya sebagai suami istri, itu artinya kita harus keluar bareng-bareng?"

Jakun Satria naik turun. Berusaha untuk tetap bernapas, tapi Satria merasa tubuhnya seketika panas dingin. Dan itu tentunya bukan tanpa alasan.

Astaga! Dengan posisi merangkak itu, Eriana sukses mempertontonkan dua payudaranya yang polos di balik gaun tidur yang ia kenakan.

Dan sekarang? Dia bahas soal keluar bareng-bareng? Ya ampun! Apa ini efek infus?

Eriana menundukkan wajah. Mengikis jarak hingga hidung mereka nyaris bertemu.

"Benar kan yang aku bilang?"

Satria mengerjap. Sekilas melihat pada payudara Eriana, tapi lalu menatap matanya pula.

"E-Eri."

Menarik napas, Satria berharap suaranya tidak terdengar memalukan. Lebih dari itu, ia berharap bisa menyadarkan Eriana.

"Kamu lagi hamil, Ri," ujar Satria susah payah. "A-aku pikir lebih baik kamu tahan dulu."

"Kamu nyuruh aku nahan?" tanya Eriana tak percaya. "Kamu egois, Sat."

Satria melongo. Tertohok oleh tudingan kekanakan itu.

"A-aku egois? Astaga, Ri. Aku bukannya egois, tapi kita belum konsul sama dokter."

Bola mata Eriana berputar malas sekali. "Aku tau, Sat. Kita memang harus konsul sama dokter. Tapi, aku yang tau keadaan diri aku sendiri. Aku sehat, Sat. Aku kuat."

Glek!

Satria meneguk ludah. "A-apa?"

"Aku sehat. Aku kuat," ulang Eriana. "Aku tau aku lagi hamil. Tapi, aku yakin kalau tubuh aku masih sanggup untuk tetap ready selama delapan jam."

"What?!"

Sontak saja Satria bangkit dari tidurnya. Mendorong Eriana dan membuat keduanya terduduk di tempat tidur.

Satria memegang tangan Eriana erat. Mata melotot dan syok.

"Delapan jam?"

Eriana mengerjap. Tapi, ia mengangguk.

"I-iya," jawab Eriana. "Itu normalnya kita selama ini kan?"

Tak mendapatkan jawaban, Eriana mendapati bagaimana wajah Satria yang memucat. Persis seperti mayat yang baru saja kehilangan nyawa. Bahkan Eriana sempat berpikir Satria pun demikian lantaran cowok itu yang juga tidak bergerak sedikit pun.

Satria tak bisa berbicara apa-apa. Untuk sesaat, mulutnya menganga tanpa mampu mengatakan sepatah kata pun. Bahkan ketika ia sudah mampu, yang ia katakan adalah.

"Sebenarnya apa sih kandungan di dalam cairan infus?"

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top