45. Sinyal Waspada

Satria tidak tahu apa saja yang dikatakan Mega pada Eriana. Namun, ada satu hal yang ia ketahui. Keluar dari ruang kerjanya, mata Eriana tampak sembab. Ia meremas tisu, tapi menyempatkan diri untuk berkata pada Mega.

"Terima kasih, Ma."

Mega mengangguk. Beralih pada Satria, ia berpesan.

"Kehamilan pertama bisa menjadi hal yang berat. Pastikan kamu buat perhatikan keadaan Eri."

Satria mengangguk. Tanpa perlu Mega katakan, ia pun akan melakukan itu.

"Mama mau keliling dulu. Mau memeriksa pekerjaan di rumah ini. Sebelum keluarga Eri sampai, semuanya harus beres."

Tuntas mengatakan itu, Mega beranjak. Pergi dan meninggalkan pasangan suami istri berdua saja.

Untuk beberapa saat, baik Satria ataupun Eriana tidak ada yang bicara. Mereka kompak melihat ke seberang sana. Pada Mega yang terus melangkah hingga pada akhirnya wanita paruh baya itu menghilang dari pandangan keduanya.

"Tadi ..."

Suara Satria terdengar sedetik kemudian. Seraya membuang napas dan meraih tangan Eriana, ia bertanya.

"... kalian bicara apa saja?"

Melihat sejenak pada Satria yang lagi-lagi memegang tangannya, barulah Eriana menjawab pertanyaan itu.

"Ehm," deham Eriana dengan penuh irama untuk beberapa saat. "Nggak ada ngomong apa-apa sih."

Mata Satria menyipit. "Nggak mungkin sama sekali kamu dan Mama nggak ngomong apa-apa. Selama dua puluh menit? Tanpa ngomong apa pun?"

Tawa berderai dari bibir Eriana. Mata terpejam dan kepalanya terangkat. Samar, ia lantas bersandar pada Satria.

"Memang sebenarnya ada sih yang Mama bilang," ujar Eriana di sela-sela tawanya. "Kamu mau tau apa?"

Tentu saja. Kalau tidak, rasanya mustahil Satria menanyakannya.

"Apa?"

Eriana menghentikan tawa dan menukarnya dengan senyum geli. Dengan mata yang menatap Satria, ia berkata dengan nada lirih.

"Mama bilang ..."

Satria menunggu. Ia membalas tatapan Eriana dengan sorot serius.

"... selama pisah anak nanti ..."

Tubuh Satria menegang. Ia meneguk ludah, khawatir.

"... kita bisa pikirkan untuk buat anak kedua."

Ketegangan Satria menghilang. Langsung tergantikan longoan bodoh sementara Eriana tertawa.

Eriana mendarat di dada Satria sementara sang suami masih bergeming. Untuk tawa yang kembali berdera tanpa henti, Satria hanya bisa mendengkus tak percaya.

"Nggak mungkin," kata Satria. "Mustahil sekali kalau Mama sampai ngomong begitu."

Eriana berusaha menahan tawa. Ia menutup mulut. Namun, tawanya tetap menyembur parah.

"Kok nggak percaya sih?" tanya Eriana menggoda. "Kamu tau? Sesama suami istri itu harus percaya. Saling mempercayai satu sama lain."

"Aku lebih percaya kalau mendadak NASA menemukan profile persebaran alien di Tanah Abang ketimbang percaya kalau Mama sampai ngomong seperti itu."

Eriana mengulum bibir. "Memang nggak mungkin banget sih ya?"

Lalu Eriana terkikik lagi dan Satria hanya geleng-geleng kepala. Walau tak ayal ia menyadari sesuatu.

"Kalau kamu nggak mau ngomong soal pembicaraan kamu dan Mama," ujar Satria seraya mengusap pipi Eriana. "Ya nggak jadi masalah. Seenggaknya kamu udah ceria lagi."

Rasa panas hadir dan membuat pipir Eriana merona. Ia sempat berpikir. Mungkin itu berkaitan dengan kehamilannya.

Akhir-akhir ini Eriana pikir Satria lebih tampan. Ia pun tidak bisa menahan desakan untuk melihat bokong Satria, bahkan ketika di tempat umum. Dan sekarang, bagaimana bisa perkataan Satria membuat perasaannya berbunga-bunga?

Apa ini ada kaitannya dengan infus pagi tadi? Ah! Benar. Aku diinfus. Pantasan pikiran aku agak sedikit nggak beres.

Dehaman Satria membuyarkan lamunan Eriana. Matanya yang sempat kehilangan fokus selama beberapa saat, jernih kembali.

"Tadi aku sempat ngobrol sedikit dengan Dokter Entang. Beliau sudah menyiapkan beberapa vitamin buat kamu. Sekarang apa kamu mau ke kamar? Istirahat dulu?"

Eriana menggeleng. "Aku lagi bosan lihat ruang tertutup, Sat. Gimana kalau kamu temani aku duduk di teras bentar. Nanti kalau keluarga kita sudah kumpul, aku yakin aku nggak bisa benar-benar istirahat."

Alasan yang cukup masuk akal. Eriana pasti akan sibuk menyambut semua ucapan selamat.

Satria mengangguk. "Kamu mau camilan? Biar aku suruh Lina bawain."

"Kalau ada camilan ...," lirih Eriana dengan mata menggoda. "... apa kamu bakal suapin aku?"

Wajah Satria berubah. "Suapin?"

"Aku hamil, Sat. Kata Mama, apa pun yang aku butuhkan harus dipenuhi," goda Eriana.

Sama sekali tidak serius. Eriana hanya ingin melihat sesuatu. Kalau anak yang ia kandung 'sepenting' itu maka dirinya juga akan menjadi lebih penting lagi. Benar kan?

Satria meringis tertahan. Tampak keberatan dengan ide tersebut.

"Apa itu bisa mempengaruhi emosi kamu? Kalau nggak aku penuhi?"

Mata menggoda Eriana menghilang. Tergantikan mata penuh ancaman.

"Aku bisa saja sedih. Dan kamu tau kan?" tanya Eriana tanpa menunggu jawaban Satria. Ia memasang wajah sok sedih. "Emosi ibu hamil harus selalu dijaga. Itu mempengaruhi perkembangan janin."

Percayalah. Seumur hidup, Satria tidak pernah menyuap seseorang. Ehm mungkin ada sekali atau dua kali. Dulu ketika ia masih kecil dan Mega tengah sakit. Selain itu, rasanya tak pernah.

Satria tidak bisa membayangkan. Ia bersikap manis dan menyuap Eriana. Sang istri mungkin saja akan bersandar padanya. Atau berbaring di pahanya.

Ya Tuhan.

Perut Satria mual-mual. Bersikap romantis dan manis memang tidak pernah cocok dengan karakternya.

Namun, berat bila harus jujur. Eriana memang harus menjadi prioritasnya.

"Baiklah."

Mata Eriana memejam. Tangannya mengepal riang. Dan satu kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Yes."

Maka jangan heran bila menjelang sore itu ada kikik tawa yang berusaha ditahan oleh si empunya. Bukan berasal dari Eriana atau Satria. Alih-alih berasal dari para pekerja di rumah Satria.

"Disuap loh. Disuap beneran."

"Kalian pernah kebayang? Tuan yang begitu suapin Nyonya?"

"Ah! Jangan diterusin. Aku malu dengarnya."

Lina yang mendengar hanya bisa membuang napas panjang. Percuma saja ia berusaha menghentikan bisik-bisik itu. Nyatanya semua orang memang tengah diselimuti euforia kebahagiaan.

*

Sepertinya kehamilan memang membawa berkah. Setidaknya itulah yang Eriana rasakan saat ini. Jangankan hamil, orang-orang saja sudah memastikan untuk melayaninya sepenuh hati. Apalagi sekarang?

Eriana bersin sedikit saja Masdar akan tergopoh-gopoh. Memeriksa perabotan di sekitar dan memanggil asisten rumah tangga untuk membersihkan debu.

Eriana batuk sedikit saja. Masdar akan langsung melesat. Membawa segelas air dan memberikannya pada sang Nyonya.

Pokoknya apa pun yang terjadi pada Eriana benar-benar menjadi perhatian semua orang. Berlebihan memang, tapi Eriana hanya bisa terkekeh. Menanggapi itu dengan geli dan lucu.

Namun, ada sesuatu yang membuat geli Eriana menghilang. Itu adalah ketika ia merasakan sesuatu yang asing.

Eriana bosan di kamar. Ia turun dan bermaksud untuk duduk di depan seraya menunggu kedatangan keluarganya.

Masdar berdiri di belakang Eriana. Tidak beranjak demi memastikan bahwa dirinya ada di setiap Eriana membutuhkan bantuan.

"Kalau aku perhatian," ujar Eriana sembari memandang sekitar. "Kayaknya perabotan rumah pada beda ya, Pak?"

Dahi Eriana mengerut. Ia melihat dari satu perabotan ke perabotan lain. Lalu menunjuk satu lemari pajangan.

"Kayaknya kemaren bukan lemari kayak gini deh," ucap Eriana ragu. "Apa gara-gara diinfus aku jadi kayak lupa ingatan ya?"

Namun, Eriana tak yakin. Lantaran selama ini infus tidak mempengaruhi ingatannya.

Kayaknya infus cuma berpengaruh sama kemesuman aku deh.

Masdar mendeham. "Kemaren Tuan menyuruh saya untuk mengganti semua perabotan di rumah, Nyonya."

Tangan Eriana turun. Ia berpaling dengan horor. Melihat pada Masdar.

"Diganti? Semuanya?"

"Iya, Nyonya," angguk Masdar.

"Loh?"

Eriana mengerutkan dahi. Kenyataan itu membuat ia bingung.

"Satria nggak ada bahas soal mengganti perabotan rumah sama aku. Bukannya aku ya yang harus mengurus rumah?" tanya Eriana tak yakin.

Masdar paham kebingungan Eriana. Selayaknya itu memang adalah tugas Eriana sebagai nyonya rumah. Masdar pun menyadari itu dari kali pertama mendapat perintah Satria.

"Saya juga sempat berpikir seperti itu, Nyonya. Dan saya rasa itu ada hubungannya dengan kehamilan Nyonya."

Refleks, Eriana memeluk perut. "K-kehamilan aku?"

"Tuan meminta saya untuk mengganti semua perabotan yang bersiku. Pokoknya jangan sampai ada perabotan yang bersiku."

Eriana tercengang. Sedikit merasa de javu.

J-jadi dia nggak cuma nyuruh Teguh ganti perabotan di kantor? Dia juga nyuruh Pak Masdar?

"Selain itu ...."

Eriana menarik napas. "Selain itu?"

"Tuan juga menyuruh Lina untuk menukar semua sepatu hak, Nyonya."

Eriana mengerjap. "S-sepatu hak aku ditukar semua?"

"Iya," angguk Masdar. "Wanita hamil nggak dianjurkan menggunakan sepatu berhak, Nyonya."

Perkataan Masdar memang benar, tapi bukan itu yang Eriana pikirkan saat ini. Melainkan hal lainnya.

Alhasil Eriana pun langsung beranjak dari sana. Niatnya yang ingin menyambut kedatangan keluarga, hilang. Tergantikan oleh semangat untuk menuju ke kamar.

"Eh? N-Nyonya!" seru Masdar panik. "Jangan lari-lari, Nyonya."

Eriana mengabaikan peringatan itu. Ia tetap berlari dan akhirnya tiba di kamar dengan napas terengah-engah.

Menuju ke ruang ganti, Eriana langsung menyasar pada lemari sepatu. Dan ia tercengang. Apa yang dikatakan oleh Masdar memang benar.

Tak ada lagi sepatu hak tinggi. Yang ada hanyalah sepatu hak cone dan yang setipe. Intinya berhak tidak lebih dari tiga sentimeter. Haknya pun kokoh dan tebal.

"Wah!"

Eriana amat tercengang. Ia menutup mulut dan syok.

"Satria benar-benar ...."

Eriana tidak mampu meneruskan perkataannya. Ia takjub walau tak urung juga merasa amat terguncang.

"D-di kantor dia nyuruh Teguh ganti perabotan dalam sehari. Dan lebih parahnya, dia juga nyuruh hal yang sama ke Pak Masdar."

Eriana nyaris tidak bisa bernapas. Ia membayangkan Masdar yang sudah berumur harus melaksanakan perintah sang suami.

Rumah mereka tidak berukuran kecil. Bahkan Eriana tidak tahu ada berapa kamar yang ada di sana. Dan untuk itu semua, Masdar harus mengganti semuanya dalam sehari?

Eriana buru-buru memegang dinding. Sepertinya gejala kehamilan datang lagi dalam bentuk pandangan yang goyah.

Menenangkan diri, Eriana berusaha untuk tetap berpikir jernih. Ia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan duduk.

"Oke," ujar Eriana pada dirinya sendiri. "Seenggaknya aku dapat beberapa kesimpulan. Yang pertama, Satria udah tau aku hamil."

Memejamkan mata dengan dramatis, akhirnya Eriana paham juga mengapa Satria sampai memarahi Teguh dan Galih malam itu. Apalagi ketika Satria menyuruhnya untuk duduk dan pulang cuti saja.

"Ah," lirih Eriana sambil memegang kepala. Seolah kepalanya akan copot dan menggelinding di lantai. "Pasti dia merasa heran juga karena Mas Bimo nggak datang-datang lagi. Ehm iya sih. Kami lancar jaya terus buat remas-remasan tanpa ada kehadiran Mas Bimo."

Tunggu. Eriana berusaha untuk menyingkirkan Mas Bimo dari pikirannya. Lantaran ada satu hal lagi yang menarik perhatiannya.

"K-kayaknya aku harus jaga sikap. Kalau Satria bisa nyuruh orang buat ganti perabotan dalam sehari, lalu apa yang nggak bisa dia lakukan?"

Eriana memang sempat ingin bersikap jahil pada Satria. Cuma iseng untuk melihat sejauh mana Satria akan meladeninya. Namun, ia segera menepis ide itu.

"Nggak. Aku nggak boleh ngapa-ngapain. Astaga! Mama mertua aja udah nyuruh Pak Masdar buat ratain polisi tidur sementara anaknya sudah menukar semua perabotan rumah dalam sehari? Ya Tuhan! Apalagi yang nggak bisa mereka lakukan?"

Eriana tidak ingin membayangkannya. Ia sudah merinding dan ia memutuskan harus menemui Satria. Tadi setelah mereka bercengkerama singkat, Satria berbicara dengan Mega.

"Bu Herna, ada lihat suami saya?"

Bertanya pada seorang asisten rumah tangga yang kebetulan melintas, Eriana mendapatkan jawabannya dengan cepat.

"Tuan ada di bawah, Nyonya. Sedang bicara dengan Pak Masdar."

Eriana mengucapkan terima kasih. Ia langsung beranjak dan berniat segera menemui suaminya. Namun, pembicaraan Satria dan Masdar membuat ia syok.

"Lift yang ada di sana jarang dipakai. Saya nggak tau siapa yang desain rumah ini sampai-sampai lift itu jadi nggak berguna. Eri sama aja dipaksa jalan dua kali kalau harus pakai lift itu."

Ya Tuhan. Di lantai dua, Eriana melihat pemandangan itu dengan keringat dingin.

"Maaf, Tuan. Akan segera saya urus."

"Saya nggak mau tau. Pindahkan lift itu. Bapak lihat kan? Eri bisa saja harus buru-buru ke kamar. Kalau dia lari di tangga dan jatuh, bagaimana? Siapa yang mau tanggung jawab?"

Eriana mengerjap. Berusaha bernapas ketika tenggorokannya terasa tercekik. Jelas ia sadar apa awal masalah saat itu.

"Kalau perlu buat eskalator di siini."

Masdar gelagapan. Sebutir keringat mengalir di wajahnya. "E-eskalator, Tuan?"

"Iya," tukas Satria gusar. "Pokoknya apa pun. Biar Eri nggak perlu lari-larian lagi."

Kali ini kaki Eriana terasa lemas. Tak ingin berlebihan, tapi ia mendadak merasa bersalah pada Masdar.

Dari mengganti perabotan dalam sehari, meratakan polisi tidur, dan sekarang disuruh membuat eskalator? Ya Tuhan, Sat. Kenapa kamu nggak nyuruh Pak Masdar buat membangun seribu candi dalam semalam aja?

Eriana benar-benar ngeri. Ia buru-buru menutup mulut. Jangan sampai perkataannya benar-benar terlontar. Siapa yang bisa menebak? Jangan-jangan Satria benar-benar akan menyuruh Masdar melakukan itu.

"Umph!"

Menutup mulut, Eriana merasa aneh. Perutnya terasa bergejolak.

"Umph!"

Suara itu jelas menarik perhatian Satria. Mata Satria seketika melotot. Melihat Eriana yang meremas railing tangga dan bertahan menutup mulutnya.

"Eri!"

Tak perlu ditanya. Satria langsung melesat dan meraih tubuh Eriana. Begitu pula dengan Masdar.

"Eri?"

Satria memastikan Eriana aman di rengkuhannya.

"Kamu nggak apa-apa?"

Lagi-lagi pandangan Eriana sedikit bergoyang. Mungkin karena mual yang semakin mengguncang perutnya. Ia meringis. Mencoba bertahan dan berjuang untuk bicara.

"Nggak, Sat," ujar Eriana menggeleng. "Aku nggak mau seribu candi."

Satria melongo. "Hah? Seribu candi?"

"Iya. Aku nggak butuh seribu candi."

Satria berdecak. Tetap merengkuh Eriana, mau tak mau ia mengumpat juga di dalam hati.

Apa infusnya masih bekerja ya?

*

bersambung ....

Btw, kalian pasti tau ya ada golongan orang kaya yang biasa dan ada orang kaya yang darah biru kayak keturunan pahlawan atau raja terdahulu gitu?

Nah! Satria itu aku gambarkan sebagai turunan keluarga kaya yang kedua. Yang ga cuma kaya, tapi masih memegang tradisi-tradisi gitu.

Niat pertama, aku mau nulis ala novel yang CEO-CEO gitu loh. Yang ke mana-mana pake jet, sekali mau langsung ada, dan pokoknya superior banget. 

Sebenarnya Satria juga gitu kan? Cuma kok vibes-nya beda ya? Bukannya buat keren, tapi kok malah buat lawak?  Apalagi semenjak Satria ketemu Eri, bukan cuma status ningrat yang kayak merosot. Pesona CEO Satria pun kerasa ambruk.

Ada kalanya, aku benar-benar malu nulis cerita ini. Tapi, bagaimana bisa malah kalian sesuka itu?

Jadi intinya, cerita ini bakal tamat pertengahan bulan. Jangan nanya season tiga. Karena bakal aku tulis di tahun 2024.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top