44. Beda Mata Beda Pandangan
Eriana tak kuasa. Tatkala Mega mengajaknya untuk berbicara berdua saja di ruang kerjanya, ia tak bisa menolak. Ia hanya bisa menatap Satria tanpa daya. Membuat cowok itu bertanya-tanya di dalam benak.
Dia bakal baik-baik saja kan?
Satria tidak akan menampik. Kehidupan keluarganya mungkin terkesan keras untuk beberapa aspek. Seperti yang pernah Andika singgung, sebagian orang akan menganggap keluarganya menakutkan.
"Sat."
Melirih dengan penuh irama, Eriana mengangkat satu tangan. Terulur pada Satria. Seolah mengharapkan sang suami akan meraih tangannya dan menahan kepergiannya. Tepat ketika Mega benar-benar merengkuh pinggangnya.
Astaga!
Orang yang tidak mengetahui atau melihat kejadian dari awal bisa saja salah menduga. Mengira kalau Eriana sedang dimarahi oleh Mega dan akan mengalami penyiksaan ala-ala FTV ikan tenggelam.
Tinggal tunggu petir menggelegar, hujan lebat, dan kemudian Eriana akan keluar dari rumah besar itu seraya memeluk tas. Menangis tersedu-sedu.
Namun, suara pintu yang menutup membuat khayalan menggelikan itu lenyap seketika. Tergantikan kenyataan di mana Eriana dan Mega sekarang tengah duduk berdua.
Y-ya Tuhan. Tolong lindungi hamba.
Entah sadar atau tidak, Eriana memeluk perut. Mungkin itu adalah refleks semata. Namun, berbeda di mata Mega.
"Apa kamu baik-baik saja, Ri?" tanya Mega. "Perut kamu sakit?"
Eriana gelagapan. Buru-buru menggeleng.
"N-nggak, Ma, nggak," jawab Eriana cepat. Khawatir kalau kali ini Mega menyuruh Masdar melakukan hal lainnya. "Nggak ada apa-apa sama perut aku."
Mega melirih. "Baguslah kalau begitu."
Kelegaan langsung mengisi dada Eriana. Walau tak berlangsung lama. Ia tahu itu. Persis ketika melihat Mega membuang napas panjang.
"Mama pikir ini adalah waktu yang tepat untuk kita bicara mengenai beberapa hal. Orang bilang, lebih cepat lebih baik."
Eriana mengangguk samar. "Soal apa, Ma?"
"Soal banyak hal mengenai kehamilan kamu dan anak kalian," ujar Mega. "Mama yakin Satria sudah pernah menyinggungnya."
"Iya. Satria memang sudah ngomong beberapa hal."
"Seperti?"
"Ehm seperti kabar kalau dia juga ikut kelas kehamilan dan parenting," ujar Eriana tak mampu menahan senyum geli. "Aku pikir cuma aku yang bakal masuk kelas lagi, Ma."
"Satria belum pernah masuk kelas kehamilan dan parenting. Jadi tentu saja dia harus masuk juga. Kalian harus banyak belajar untuk mempersiapkan diri menjadi orang tua."
Eriana mengangguk. Patuh mendengarkan perkataan ibu mertua.
"Lalu apalagi yang Satria bilang?" tanya Mega dengan tatapan menyelidik. "Apa dia sudah membahas soal tradisi pisah anak?"
Senyum geli di wajah Eriana menghilang seketika. Memberikan sinyal tersendiri untuk Mega.
"Sepertinya sudah."
Bukan hanya senyum geli Eriana yang menghilang, alih-alih tenaganya pun demikian. Eriana mendadak merasa lesu hingga wajahnya tertunduk. Begitu pula dengan pundaknya yang jatuh seolah tak berdaya.
"Apa aku harus menjalani tradisi itu, Ma?"
Tatkala pertanyaan itu meluncur dari bibir Eriana, bola mata Mega membesar. Eriana pun tersadar untuk apa yang baru saja ia ucapkan. Namun, sudah terlanjur. Ia tidak bisa meralat perkataan itu.
"M-maksudnya ... tujuh tahun itu masih terlalu kecil, Ma. Bahkan kalaupun harus pisah di umur sepuluh tahun pun rasanya pasti tetap sulit."
Eriana menyerah. Ia tidak bisa meralat perkataannya. Alhasil ia memutuskan untuk mengatakan saja semuanya secara terbuka.
Siapa tau aja Mama jadi berubah pikiran.
Memang rasanya mustahil. Namun, Eriana akan mencoba. Mungkin saja Mega akan merasa iba padanya. Lantaran Eriana pun bisa merasakan bagaimana sorot mata sang ibu mertua yang tampak berubah tatkala melihatnya.
Untuk beberapa saat lamanya, Mega hanya menatap Eriana dalam diam. Tak mengatakan apa-apa, tapi seolah ada banyak emosi yang berkecamuk di sana.
"Rasanya pasti menyedihkan kalau harus pisah dengan anak kan?"
Tiba-tiba dan tanpa Eriana duga, Mega melayangkan pertanyaan sarat emosi. Eriana tertegun. Lalu ia menganguk.
Mungkin itu adalah naluri alamiah seorang ibu yang otomatis bangkit tatkala Eriana mengetahui dirinya hamil. Sifat protektif dan rasa memiliki dengan cepat hadir. Sama seperti wanita pada umumnya, ia langsung merasa perlu untuk melindungi sang buah hati.
"Aku pikir," lirih Eriana seraya kembali memeluk perut. "Aku nggak bisa menjalani tradisi yang satu itu, Ma."
Eriana meneguk ludah. Imajinasinya selama ini memang tidak perlu diragukan lagi kehebatannya. Bahkan ia pernah membayangkan Satria yang menyusun rencana untuk mengajaknya menginap di hotel. Lantas sekarang?
Benar Eriana bermain-main. Menampilkan seorang bocah tampan yang aktif. Mengenakan seragam Sekolah Dasar merah putih. Mengenakan dasi dan topi. Bersiap untuk ke sekolah setelah sarapan bersama.
Eriana akan memberikan pipi agar sang buah hati memberikan ciuman tanda pamit. Lalu ia akan menunggu dengan perasaan tak sabar hingga putranya pulang sekolah.
Untuk kemungkinan tersebut, haruskah Eriana mengalah pada satu tradisi? Rasanya tidak.
"Mama tau. Di antara banyaknya tradisi di keluarga ini, memang itu adalah tradisi yang paling berat untuk kita jalani. Tapi, Eri. Apa kamu tau sesuatu?" tanya Mega tanpa menunggu jawaban Eriana. "Bahwa anak yang kamu kandung bukan milik kamu seutuhnya."
Sempat mengira kalau Mega akan merasa iba dan kasihan padanya, Eriana justru tertohok pertanyaan Mega. Layaknya satu anak panah, apa yang Mega tanyakan benar-benar menancap di jantungnya.
Mega tersenyum. "Anak itu memang adalah anak kamu. Lebih tepatnya anak kamu dan Satria, tapi bukan hanya kalian yang memilikinya. Sekurang-kurangnya, anak kamu nanti adalah milik keluarga ini."
"M-milik keluarga ini?"
"Tentu saja," ujar Mega. "Itulah kenyataannya. Sama seperti Satria yang menjadi milik keluarga ini, anak kalian pun demikian."
Dada Eriana bergemuruh. Terasa panas untuk emosi yang mendadak saja tersentil. Bagaimana bisa anak yang ia kandung menjadi milik keluarga itu?
"Dia akan lahir dan menjadi putra kalian, itu benar. Itu adalah kenyataan yang tak bisa dibantah, tapi ada kenyataan lain yang juga tidak bisa ditolak. Bahwa putra kalian akan menjadi milik dan memiliki keluarga ini."
Mega menatap Eriana. Ia tidak terkejut bila Eriana syok dengan kenyataan tersebut. Dunia Eriana hidup selama ini berbeda jauh dengan mereka. Namun, tak ada yang bisa Eriana lakukan setelah ia menikah dengan Satria selain menerima semuanya. Terlepas ia mau atau tidak.
"Tentunya menjadi milik dan memiliki keluarga ini bukan hal lumrah yang bisa didapatkan semua orang. Dan untuk itu, kamu harus menerimanya."
Sedikit memberi jeda, Mega memerhatikan wajah Eriana. Sekilas tampak pucat, tapi ia terlihat baik-baik saja.
"Bahwa putra kalian bukan sekadar putra biasa. Putra kalian adalah penerus keluarga dan dia bertanggungjawab untuk banyak hal, Ri," ujar Mega kemudian. "Sama seperti Satria, dia akan menjadi tumpuan banyak orang. Orang-orang akan bergantung padanya dan itu bukal hal yang mudah."
Eriana meneguk ludah bersama dengan getir yang hadir di pangkal tenggorokannya. Agaknya ia melupakan sesuatu. Bahwa yang ia kandung sekarang bukanlah bayi biasa.
Benar yang dikatakan Mega. Ada banyak orang yang nantinya bergantung pada bayi yang ia kandung. Sama persis dengan apa yang Satria hadapi saat ini.
"Dan untuk kehidupan yang keras itu, kamu nggak bisa memanjakannya."
Eriana mengerjap. "M-memanjakan? Aku hanya ingin merawatnya, Ma. Sama seperti yang wanita lain lakukan."
"Katakan pada Mama. Apa saja yang wanita lain lakukan?"
"Menyiapkan makan, menemaninya main, mengajarnya, dan ..." Eriana kembali meneguk ludah. "... banyak lagi yang lain."
Mega mengangguk. "Benar. Dan untuk itu ada tujuh tahun yang kamu miliki."
Ego Eriana berontak dalam satu sanggahan.
Mana cukup?
"Lagipula kamu tidak akan lama berpisah dengannya," lanjut Mega. "Hanya tiga tahun."
"Tapi, ada banyak hal yang bisa terjadi dalam tiga tahun, Ma. Aku akan kehilangan masa-masa penting selama tiga tahun itu," bantah Eriana lagi.
"Dan sebagai gantinya, putra kamu akan mengenal bagaimana hidup dengan keterbatasan. Dia tau rasanya harus bersikap sopan pada orang lain. Dia akan paham bahwa tidak semua keinginannya akan terpenuhi. Dia pun belajar mengerti bahwa ada banyak orang yang tidak seberuntung dirinya."
Eriana terdiam. Bila ia menilik dari argumen Mega, ia bisa menarik kesimpulan. Bahwa tradisi itu tidak bisa ditentang.
"Itu adalah hal yang paling penting yang harus dia miliki."
Berusaha untuk menenangkan diri, nyatanya Eriana merasa panas di mata. Ia menghirup udara dalam-dalam, membiarkan wajahnya kian tertunduk, dan diam saja ketika Mega kembali bersuara.
"Satria yang kamu lihat itu, Ri," lirih Mega pelan. "Adalah bentuk keihlasan dan kasih sayang Mama."
Eriana mengerjap. Tak berniat, tapi napas seketika tertahan di dada.
"Bagaimana Satria di mata kamu? Berwibawa? Bertanggungjawab? Pintar? Cerdas? Kamu tentu nggak berpikir kalau semua itu bisa tiba-tiba menjadi karakter dia kan?"
Samar, tapi Eriana mengangkat wajahnya. Tepat ketika ia mendengar decakan geli Mega. Wanita paruh baya itu mendengkus lucu.
"Kalau semua anak bisa memiliki karakter yang bagus dengan sendirinya, pastilah semua orang tua akan sangat bahagia. Nggak akan ada orang tua yang stres mencoba mendisiplinkan anaknya. Nggak akan ada orang tua yang menangis karena anaknya."
Sedikit logika bangkit di benak Eriana. Berat, tapi mau tak mau ia membenarkan perkataan Mega. Tidak mungkin bukan seorang anak bisa menjadi sosok yang mengagumkan tanpa ada didikan dari orang tuanya?
"Putra kamu akan bertanggungjawab untuk banyak hal. Pada kalian sebagai orang tua yang paling utama. Dan Mama yakin, menangis ketika mendidiknya adalah hal yang tepat dibandingkan menangis ketika semua sudah terlambat."
Imajinasi itu kembali bekerja di kepala Eriana. Menampilkan sesosok cowok yang ugal-ugalan. Bertindak kasar, egois, keras kepala, dan tak segan-segan membentak siapa pun. Termasuk pada mereka selaku orang tua.
Oh, tak hanya itu. Imbas dari tindakannya yang tak benar maka adalah ribuan orang yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Perusahaan goyah dan pemecatan harus dilakukan.
Eriana meremang. Tanpa sadar ia menatap Mega dengan ekspresi kaku.
"A-aku yakin aku bakal benar-benar menangis, Ma. Di keluarga aku nggak ada tradisi begini dan kami selalu bersama," ujar Eriana.
Mega mengangguk. "Wajar kalau orang tua menangis saat berpisah dengan anaknya. Tapi, kamu harus menjalaninya."
Itu pasti akan menjadi perjalanan yang berat. Berpisah dari anak dan menekan keinginan untuk terus berhubungan. Ada rindu dan khawatir yang akan membuat ia menderita sepanjang hari.
Namun, pandangan Eriana sedikit terbuka. Menyadari dengan jelas bahwa yang dikatakan oleh Mega memang benar. Bahwa anak yang ia kandung akan menjadi harapan banyak orang. Menjadi tumpuan selanjutnya.
"Bagaimana?" tanya Mega kemudian seraya mengamati sikap Eriana. "Apa kamu bisa menerimanya sekarang?"
Eriana tahu ia tak ada pilihan lain. Ia tetap harus menerima kenyataan itu apa pun yang terjadi. Ia mengangguk walau tak ayal sebutir air matanya jatuh.
Ini pasti gara-gara aku hamil. Aku mendadak mellow gini.
Mega bangkit. Ia menarik dua helai tisu. Duduk di sebelah Eriana dan memberikan tisu itu pada sang menantu.
Eriana menerima tisu dan mengelap air matanya. Berusaha menekan gemuruh di dada yang semakin berontak.
"Sekarang ..."
Eriana mengangkat wajah. Berpaling dan melihat wajah Mega.
"... Mama ingin bertanya. Setelah semua pembicaraan kita dan kamu sadar kamu tetap harus berpisah dengan anak kamu," ujar Mega lembut. "Apa yang terbersit di benak kamu?"
Eriana menarik udara dalam-dalam. Ia menguatkan diri. Mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Alih-alih justru terisak.
"Yang terbersit di benak aku? Ehm kayaknya cuma kesedihan, Ma."
Dahi Mega mengerut. Namun, Eriana terkekeh sekilas. Ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja walau Mega tahu yang sebenarnya.
"Aku bakal kehilangan tiga tahun yang berharga. Aku harus melepas dia di usia yang masih muda. Sejujurnya aku nggak tau harus melakukan apa. Cuma ...."
Ucapan Eriana menggantung. Mega menunggu dengan sorot penasaran. Hingga kemudian senyum perih itu muncul di wajah Eriana.
"Karena kebersamaan kami yang terbatas, aku punya rencana," ujar Eriana seraya menarik napas dalam-dalam. "Aku akan ngajak dia main setiap hari. Aku akan ngajari dia setiap hari. Aku akan jalan-jalan sama dia. Mungkin aku harus belajar masak juga? Biar dia bisa makan masakan aku."
Eriana mengerjap. Tisu di tangannya naik dan berfungsi sebagaimana mestinya. Mengusap sebulir air mata yang kembali terjatuh di pipi.
"Waktu yang kami punya rasanya sedikit. Jadi ... aku nggak mau menyia-nyiakannya. Aku akan membacakannya dongeng, mengajak dia menyusun puzzle, dan melakukan banyak hal."
Eriana kembali menunduk. Menahan napas dan nyeri di dada. Kedua tangannya bergerak. Meremas tisu sekuat tenaga.
Pada saat itu, Mega pun turun meraih tangan Eriana. Turut memberikan remasan pula. Lalu ia berbisik di telinga Eriana.
"Itu salah satu alasan lainnya mengapa tradisi ini tetap ada."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top