43. Naik Turun Perasaan
"Apa kata Pak Satria?"
Ingin sedikit menahan diri, tapi apa daya. Tatkala Teguh menarik turun ponsel dari telinganya, Galih serta merta bertanya. Rasa penasaran terlihat jelas di kedua matanya.
"Pak Satria nggak masuk," jawab Teguh. "Beliau nyuruh aku batalin semua jadwal hari ini."
Galih tercengang. Demikian pula dengan Teguh. Mereka saling menatap dan beberapa saat kemudian mereka kompak membuang napas panjang.
"Wah!" kesiap Teguh. "A-aku nggak nyangka kalau Pak Satria dan Bu Eri."
Galih berkacak pinggang. Diam tanpa mengatakan apa pun. Namun, agaknya ia memikirkan hal yang serupa dengan apa yang dipikirkan oleh Teguh.
"Lih!"
Teguh menyambar siku Galih. Mau tak mau membuat cowok itu beralih pada Teguh dan bertanya.
"Apa keluarga Pak Satria tau kalau Pak Satria dan Bu Eri ...."
Tidak meneruskan pertanyaannya, Teguh mengangkat kedua tangan. Memberikan gerakan-gerakan abstrak yang membuat Galih berdecak.
"Mana aku tau," tukas Galih.
Teguh bergidik. "Ya ampun. Pantas saja Bu Eri yakin banget kalau kita nggak bakal jadi simpanan Pak Satria," ujarnya seraya mengusap tengkuk. "Ternyata yang jadi simpanan—"
"Hush!"
Galih melotot. Teguh buru-buru menutup mulut dan mereka kompak melihat sekeliling. Walau itu adalah lantai khusus bagi mereka dan Satria, tapi bukan berarti karyawan lain tidak sering datang ke sana.
"Kamu hati-hati kalau ngomong," desis Galih memperingati. "Kalau ada yang dengar, bisa gawat!"
Masih menutup mulut, Teguh mengangguk berulang kali. Sementara Galih terlihat membuang napas. Ia beranjak.
"Eh, Lih," cegah Teguh. "Mau ke mana?"
Galih berdecak dan melihat Teguh dengan sorot aneh. Sama anehnya dengan pikirannya ketika menjawab pertanyaan Teguh.
"Ya mau ke mejalah. Mau kerja. Memangnya mau ke mana lagi?"
Teguh cengar-cengir. "Iya ya? Hehehe."
*
Hening untuk beberapa saat. Pada akhirnya Satria memutuskan untuk kembali bersuara. Ia merasa tidak nyaman kalau mendadak Eriana menjadi pendiam. Apalagi pendiam di saat hari pertama berita kehamilannya tersebar.
"Kita pikirkan soal itu nanti," ujar Satria lirih. "Itu masih lama, Ri. Masih delapan tahun lagi. Jadi—"
"Delapan tahun itu cepat, Sat."
Memotong perkataan Satria dengan cepat, Eriana berhasil membungkam mulut sang suami. Satria mengangguk. Tidak bisa membantah perkataan Eriana.
"Kamu benar. Delapan tahun itu waktu yang cepat. Tapi, apa boleh buat? Itu salah satu hal yang harus kita jalani bersama."
Di pelukan Satria, Eriana mengerjap. Ia menyadari sesuatu. Sesaat yang lalu kata 'bersama' membuat ia tenang. Namun, ada yang salah saat ini.
"Aku nggak tau aku sanggup jalani yang satu itu, Sat," ujar Eriana seraya menarik diri.
Membiarkan pelukan itu terurai, Satria bisa melihat mendung di wajah Eriana. Ia sudah menebaknya. Namun, ia tidak mengira akan menghadapi hal tersebut secepat ini.
"Apa kita nggak bisa minta kelonggaran sama Mama, Sat? Tujuh tahun itu masih kecil banget loh. Dia bahkan baru masuk SD. Gimana bisa dia dirawat oleh orang lain saat baru kelas satu?" tanya Eriana bertubi-tubi.
Satria meraih tangan Eriana. Menggenggamnya demi satu tujuan. Yaitu, meredam gejolak emosi sang istri.
"Ada beberapa hal yang nggak bisa diubah. Aku yakin kamu tau itu, Ri," kata Satria. "Dia bakal baik-baik saja. Kamu nggak perlu khawatir. Dia bakal dijaga dengan sebaik mungkin."
Wajah Eriana tertekuk. "Nggak ada yang bisa menjaga seorang anak dengan baik, selain orang tuanya. Selain ibunya."
Mata Satria memejam seiring dengan tarikan napasnya. Di saat ia kembali menatap Eriana, maka ia berkata.
"Sudahlah. Kamu sekarang belum fit seratus persen. Dan itu sudah jadi hukum alam. Orang yang nggak fit, emosinya nggak stabil. Apalagi karena kamu juga sedang hamil."
Eriana sontak melototkan mata. Satria menguatkan genggamannya. Buru-buru meralat.
"Aku bukannya ngomong kamu lagi emosian, tapi jelas kamu nggak bisa mikir logis saat ini. Jadi lebih baik—"
"Sat! Itu apa?"
Tak hanya memotong ucapan Satria dengan pertanyaannya, Eriana bahkan menarik tangannya lepas dari genggaman Satria. Ia mendorong tubuh Satria. Agar cowok itu melihat pada yang menjadi fokus matanya.
"I-itu papan bunga," ujar Eriana gagap. "Papan bunga ucapan selamat buat apa?"
Ternyata mobil yang dikendarai oleh Yanto sudah melewati gerbang rumah Satria. Dan saat ini mereka tengah melewati taman depan yang lumayan luas. Setidaknya mereka butuh waktu sekitar lima menit untuk tiba tepat di pelataran rumah.
Eriana tentu saja tidak heran dengan jauhnya jarak antara gerbang rumah dengan rumah itu sendiri. Tentu tidak. Alih-alih heran ketika melihat papan bunga yang berdiri di sepanjang jalan menuju ke rumah mereka.
Mulut Eriana menganga. Ia buru-buru menutupnya dengan rasa syok yang semakin menjadi-jadi. Membaca salah satu tulisan yang ada di papan buang itu.
"Selamat Berbahagia Eriana Dyah Pitaloka dan Satria Ardiman Djokoaminoto?"
Eriana meneguk ludah. Refleks, ia memegang perutnya yang masih ramping.
"J-jangan bilang itu ucapan selamat untuk kehamilan aku, Sat."
Satria meringis. Ia nyaris melupakan yang satu itu. Tak perlu bertanya. Pasti keluarga terdekat yang mengetahui berita kehamilan Eriana sudah melakukan semua upaya terbaik untuk mengungkapkan sukacita mereka.
"Sepertinya."
Eriana tidak bisa berkata-kata. Matanya tidak berkedip ketika melihat tak ada celah sedikit pun yang tertinggal sepanjang jalan itu. Semua papan bunga sambung menyambung persis seperti kepulauan Indonesia.
"Wah!" kesiap Eriana tak percaya. "Bahkan saat aku lulus cumlaude pun aku nggak pernah dapat papan bunga kayak gini, Sat."
Ringisan Satria makin tak tertahankan. "Kamu suka?" tanyanya tak yakin.
Gantian Eriana yang meremas tangan Satria. Matanya membesar melihat Satria.
"Tentu saja. Gimana aku nggak suka? Aku nggak pernah ngira kalau sebanyak ini orang yang nunggu-nunggu berita kehamilan aku."
"Nggak pernah ngira?" tanya Satria berdecak. "Kamu nikah dengan aku, Ri. Nggak ada yang lebih diharapkan oleh keluarga aku selain berita kehamilan kamu."
Ketakjuban Eriana akan sambutan yang tak pernah ia duga, terjeda. Ia mengerjap. Melihat pada Satria.
"Jadi sudah sewajarnya kalau mereka bakal nunggu berita kehamilan kamu. Bahkan mungkin lebih dari itu."
"Ah. Kamu benar sih."
Mobil berhenti bergerak. Pintu langsung terbuka. Satria membantu Eriana untuk turun dan memastikan istrinya baik-baik saja.
Eriana tertegun. Sekali lihat, ia bisa merasakan ada yang berbeda dari rumahnya. Ia melihat sekeliling. Tampak beberapa perabotan yang bertukar. Dari mebel hingga tirai.
"Selamat datang, Nyonya."
Masdar yang tiba lebih dulu menyambut Eriana. Namun, sapaan itu membuat Eriana mengerutkan dahi.
"Seolah-olah aku baru pergi dari tempat jauh saja."
Masdar tersenyum. Tidak membalas kata-kata Eriana, melainkan ia menarik diri. Mempersilakan Eriana dan Satria.
"Mama dan Papa sudah sampai?" tanya Satria.
"Tuan Besar harus ke kantor, Tuan. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak. Sementara Nyonya Besar ada di ruang keluarga."
Informasi itu mengantarkan Eriana dan Satria ke ruang keluarga. Menemui Mega yang sudah menunggunya.
"Baik-baik saja selama perjalanan tadi?" tanya Mega.
Tak langsung menjawab, Eriana justru balik bertanya di dalam hati.
Aku cuma dari rumah sakit loh ya. Tapi, kenapa orang-orang ini bertanya seolah-olah aku baru balik piknik dari Pluto?
Menyingkirkan pemikiran itu, Eriana tersenyum. Ia mengangguk.
"Baik-baik saja, Ma. Cuma agak kaget pas ada polisi tidur aja."
Percayalah. Eriana hanya bermaksud bercanda. Demi mencairkan suasana dengan ibu mertua. Namun, sepertinya bukan itu yang ditangkap oleh Mega.
Ekspresi Mega berubah. "Polisi tidur? Di mana? Biar Pak Masdar suruh orang buat ratakan."
"Eh?"
"Sebelum ada sesuatu yang buruk terjadi sama kandungan kamu," ujar Mega. "Bilang sama Pak Masdar di—"
"Nggak, Ma, nggak," potong Eriana cepat. "A-aku cuma main-main."
Mata Mega menyipit. "Kamu nggak perlu merasa nggak enak, Ri. Sudah sewajarnya keadaan kamu jadi prioritas."
Eriana mengerjap.
"Pak Masdar!"
Eriana gelagapan. Ia buru-buru meraih tangan Satria. Matanya kedip-kedip memberikan isyarat. Namun, Satria hanya mengernyitkan dahi.
"Ya, Nyonya?" tanya Masdar sopan.
"Coba Bapak periksa jalanan di sekeliling ini. Ratakan dulu polisi tidur. Paling nggak untuk sembilan bulan ini."
Masdar mengangguk. "Baik, Nyonya."
"Y-ya Tuhan," kesiap Eriana tak berdaya. "M-Ma, seharusnya nggak usah sampai segitunya."
Sorot mata Mega berubah. Ia melihat Eriana dengan kesan aneh dan bingung. Namun, ia tetap santai saja ketika bertanya.
"Kalau sampai ada yang buruk terjadi sama kamu dan kandungan kamu, siapa yang mau tanggung jawab? Dan siapa yang akan merasa kehilangan?"
Eriana terdiam. Yang dikatakan Mega memang ada benarnya, tapi mungkin itu sedikit berlebihan.
"Sudahlah, Ri," ujar Satria membuyarkan lamunan. "Kamu nggak usah merasa nggak enak atau apa. Apa pun yang kamu nggak suka dan apa pun yang kamu suka, semuanya harus diomong."
Mega mengangguk. Sepenuhnya setuju dengan perkataan putranya.
"Kalaupun kamu masih ragu mendengarkan perkataan Mama, seenggaknya kamu bisa percaya dengan omongan suami kamu kan?"
Eriana jadi serba salah. "B-bukannya aku ragu dengan perkataan Mama, tapi ... aku cuma masih agak kaget. Semua ini benar-benar buat aku syok, Ma."
Membuang napas panjang, Eriana tidak berbohong ketika mengatakan itu. Perubahan dalam semalam yang terjadi padanya saat ini benar-benar mengguncang akal sehatnya.
Aku pingsan. Pas bangun, eh ada satu RT yang udah nungguin aku di rumah sakit. Pas aku lagi sedih gara-gara tradisi pisah anak, eh aku malah dibuat senang gara-gara papan bunga. Dan sekarang? Mama mertua malah mau ratain polisi tidur? Gimana aku nggak syok?
"Baiklah kalau begitu."
Mega kembali mengangguk. Ia mengerti posisi Eriana. Terlepas dari berita kehamilan yang baru diketahui, ia pun tidak akan lupa asal usul Eriana. Tentulah semuanya menjadi dua kali lipat mengejutkan untuknya.
"Mungkin kita bisa bicara berdua, Ri. Bagaimana?"
Eriana terdiam sejenak dengan mata yang melihat pada Mega. "Bicara berdua, Ma?"
"Iya. Mama pikir kita harus menyatukan pandangan kita. Demi kebaikan kamu dan semuanya."
Mendengarkan itu, Eriana lantas berpaling. Ia melihat pada Satria dan merasakan genggaman sang suami yang menguat.
Kalau aku pikir-pikir, kayaknya Satria jadi suka megang tangan aku.
Satria mengangguk. Seakan menenangkan Eriana. Namun, tak urung juga ia mengeluh di dalam hati.
Dia megang tangan aku karena khawatir sama keadaan aku atau ngasih kode buat ntar malam sih?
Bukannya apa. Namun, Eriana tak akan lupa. Dari belakang dan memegang tangannya, itu jelas adalah posisi favorit Satria.
Astaga!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top