42. Kebahagiaan dan Yang Menyertainya

Halo! Sebelumnya, aku minta maaf karena bulan Oktober ga bisa optimal. Semoga bulan November ini aku ada peningkatan. Hahahaha.

Btw. Ini jadwal aku selama November 2022.

1. Farrel! "Setiap hari"

2. [Masih] Sekantor Tapi Menikah "Setiap hari"

Kedua cerita itu bakal update di Wattpad setiap pkl 18.00 WIB. Dan ada satu cerita yang aku update di KaryaKarsa:

1. 365 Days

Untuk di KaryaKarsa, bakal berbayar dari bab 11 ke atas.

Jadi silakan ya. Mau kalian baca yang gratis atau yang berbayar, terserah. Ga ada paksaan sama sekali :*

*

Tentunya kehebohan bukan hanya terjadi di rumah sakit. Di rumah, ketika Masdar dan Lina disibukkan untuk mengurus semua keperluan Eriana, maka semua penghuni pun turut merasakan kehebohan yang serupa.

"Hamil!"

"Nyonya hamil!"

"Serius? H-hamil?"

"Serius. Bentar lagi dokter Entang bakal datang. Aku disuruh siapin kamar untuk dokter."

"Ya Tuhan. Syukurlah."

Berita menyebar dengan cepat. Membawa suka cita yang dengan cepat berpindah dari satu pekerja ke pekerja lainnya. Hingga bukan hal yang aneh bila dalam hitungan waktu yang singkat, semua orang mengetahui kabar bahagia tersebut.

"Tuh kan! Pantas Nyonya minta soto ayam terus. Mana pakai jeruk yang banyak lagi. Itu pasti bawaan bayi"

Tak ingin kalah, Anita memberikan bumbu untuk kabar bahagia itu. Dengan penuh semangat menceritakan keanehan-keanehan yang sudah ia rasakan belakangan ini.

"Benar," imbuh Kinan. "Dan kalian lihat kan? Nyonya belakangan ini kelihatan capek dan lesu. Ternyata sudah hamil."

Beberapa asisten rumah tangga dengan semangat berkumpul. Mendengarkan dan turut berceloteh dengan penuh semangat.

"Ah! Pasti Tuan senang sekali. Nggak butuh waktu lama, Nyonya langsung hamil."

"Benar-benar. Pasti Nyonya makin disayang."

"Ya pasti dong. Kalian tau? Bahkan Tuan belum pulang dari kemaren. Tuan di rumah sakit terus."

"Benar dong. Nggak mau ninggalin Nyonya pokoknya. Ya ampun. So sweet-nya."

Pembicaraan penuh sukacita yang diselingi oleh kikik dan tawa bahagia itu pasti akan berlangsung dalam waktu lama. Andaikan Lina tidak datang dan dehamannya menggema.

Mereka sontak menghentikan pembicaraan. Buru-buru menutup mulut dengan ekspresi geli di wajah.

Lina memandang mereka satu persatu. Mungkin karena posisi Lina sebagai pelayan pribadi Eriana sehingga yang lain cenderung menaruh sopan padanya. Apalagi Masdar pun kerap meminta bantuan Lina.

Tak peduli mereka masih muda atau bahkan sudah paruh baya, dehaman Lina sukses membuat percakapan ceria tersebut terjeda. Sekuat tenaga, mereka berusaha untuk menjaga sikap ketika ada Lina di sana.

"Jangan gosipin Nyonya dan Tuan," kata Lina seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Ini bukan gosipin," celetuk seorang asisten rumah tangga yang bernama Imah. Ia bertugas untuk membersihkan rumah. "Tapi, ini namanya sedang merasakan kebahagiaan bersama."

"Benar itu, Mbak."

"Kan bukan cuma Tuan dan Nyonya yang senang. Kami juga senang."

Keriuhan tak mampu Lina cegah. Kalau mereka sudah kompak seperti itu, Lina hanya bisa membuang napas panjang dan memutar bola mata sekilas.

"Iya iya iya," ujar Lina. "Tapi, jangan lupa siapkan kamar juga untuk keluarga Nyonya. Hari ini kita akan kedatangan keluarga Nyonya dari Bogor."

Imah bangkit. Ia yang sudah berusia 48 tahun langsung mengajak dua orang temannya untuk beranjak dari sana.

"Anita," panggil Lina. "Kamu sudah cek semua persediaan dapur kan?"

Anita mengangguk. "Sudah, Mbak. Tenang aja. Jeruk untuk soto dijamin ready untuk sebulan."

Lina mesem-mesem sementara Anita dan yang lainnya terkikik geli. Pada akhirnya ia berusaha untuk melihat dari sudut pandang yang lain. Sepertinya itu adalah cara untuk mereka merayakan kebahagiaan tersebut. Lantaran jelas, berita bahagia itu bukan hanya milik Satria, Eriana, dan keluarganya.

Termasuk di dalamnya adalah Lina. Apalagi karena Lina telah menemani Eriana sebelum ia dan Satria menikah. Jadi tentu saja Lina lebih tau dari siapa pun mengenai yang terjadi di antara keduanya.

"Ehm."

Mendeham dengan penuh irama, Lina meninggalkan dapur. Demi memantau semua pekerjaan rumah lantaran ia yang ditugaskan Masdar selama kepala pelayan itu pergi ke rumah sakit. Dan selagi memastikan semuanya selesai tanpa cela, ia teringat sesuatu.

Lina melihat testpack yang telah ia beli kemarin. Ia tersenyum geli. Belum sempat dipakai, memang. Namun, hasilnya sudah tersiar ke mana-mana.

*

Ketika akhirnya Eriana pulang dari rumah sakit, ia membuang napas lega berulang kali. Memang semuanya belum berakhir, tapi setidaknya ada sedikit jeda dan kesempatan bagi Eriana untuk merengek pada Satria.

"Sat."

Satria tidak heran bila akhirnya Eriana benar-benar merengek. Maka dari itulah mengapa ia langsung menaikkan sekat ketika mobil baru melaju meninggalkan rumah sakit. Eriana tentu terguncang dan ia memakluminya.

Pergi dengan mobil yang berbeda menuju ke kediaman mereka, Satria paham sekali bahwa waktu yang tak seberapa di perjalanan itu adalah hal yang berharga. Tidak ada ibunya, ayahnya, ataupun keluarganya yang bisa membuat Eriana terus waspada.

"Ada berapa kelas yang harus aku ikuti?" tanya Eriana merengek seraya memeluk Satria. "Ibu hamil bukannya harus banyak istirahat ya, Sat?"

Satria membuang napas panjang. Ia menunduk dan berdecak samar dengan satu pemikiran di benaknya.

Pantas saja sikap Eri akhir-akhir sedikit berbeda. Dulu, dia biasa-biasa saja mau dihadapkan berapa kelas pun. Sekarang? Baru dua kelas dan dia sudah mengeluh?

Menurut Satria, itu adalah pengaruh hormon kehamilan. Ia mengetahuinya berkat satu artikel yang ia baca semalam. Ketika menunggu Eriana tidur.

"Memang," ujar Satria mengangguk. "Ibu hamil memang harus banyak istirahat. Dan itulah yang harus kamu lakukan."

Rengekan Eriana terjeda. Tergantikan senyum manja nan lebar yang menghiasi wajahnya.

"Jadi kamu harus keluar dari kantor."

Kali ini senyum Eriana yang terjeda. Perkataan Satria bukanlah yang ia harapkan.

"Jadi kamu bisa punya waktu yang banyak untuk istirahat," lanjut Satria. "Sehingga nggak bakal mengganggu jadwal kelas kamu."

Tuntas mengatakan itu, Satria mendapati Eriana yang langsung menarik diri. Melepaskan pelukan dan memasang cemberut.

"Kok malah kerjaan aku yang harus dikorbankan?" tanya Eriana tak terima. "Kelas itu, Sat. Masa aku harus masuk kelas pas lagi hamil sih?"

Satria mengernyitkan dahi. "Bukannya ibu hamil memang ada kelas ya? Aku baca malam tadi. Ada kelas kehamilan di klinik atau rumah sakit. Biasanya mereka senam dan belajar cara merawat anak. Bahkan cara menarik napas saat melahirkan pun diajarkan."

Bola mata Eriana berputar malas. Sebagai cewek, tentu saja ia tahu akan hal itu. Namun, ia juga tahu dengan jelas bahwa kelas orang lain dengan kelas untuk dirinya akan berbeda.

"Kelas kehamilan orang normal paling cuma berapa pertemuan, Sat," ujar Eriana menahan ringisan. "Sementara aku? Pasti berbulan-bulan kan?"

Satria hanya bisa membuang napas panjang. Ia tidak bisa membantah.

"Benar kan?" tanya Eriana manyun.

Kembali, Satria tidak menjawab. Alih-alih ia meraih tangan Eriana. Memangnya dengan lembut.

"Nanti kamu tanya sendiri sama Mama dan Pak Masdar untuk lebih lengkapnya."

Eriana menahan rasa suntuk yang mendadak memenuhi dada. Ia diam dan ekspresi wajahnya terlihat tidak baik.

"Eri."

Memanggil dengan lembut, sekilas Satria melihat pada perut Eriana yang masih ramping. Sekadar untuk mengingat fakta bahwa di sana ada buah hati mereka.

Satria memang bisa dikatakan bukan orang penyabar. Namun, ia akan mencoba mulai dari sekarang. Setidaknya jangan berbicara dengan intonasi tinggi pada Eriana. Lagi-lagi, menurut artikel yang Satria baca, janin bisa mendengarkan suara di sekelilingnya.

"Aku yakin Mama melakukan ini untuk kebaikan kita semua," lanjut Satria. "Dan berbicara soal kelas, sebenarnya bukan cuma kamu yang bakal masuk kelas."

Eriana yang semula melempar pandangan ke luar sana, tertegun. Informasi yang satu itu menarik perhatiannya. Ia berpaling dan melihat pada Satria.

Sedikit ragu, maka Eriana bertanya.

"Kamu juga?"

Mata Satria memejam dramatis. Dan ia mengangguk.

"Tentu saja," jawab Satria. "Gimanapun juga ... yang bakal jadi orang tua bukan cuma kamu."

Bola mata Eriana membesar. Apalagi ketika Satria menuntaskan perkataannya.

"Kita bakal masuk kelas itu sama-sama. Kita bakal belajar sama-sama."

Kalau tadi adalah Satria yang memegang tangan Eriana maka sekarang sebaliknya. Adalah Eriana yang sontak menggenggam jemari Satria.

"Serius? Kamu serius? Kamu juga ikut kelas?" tanya Eriana penuh antusias.

Mata Satria menyipit melihat Eriana. "Kayaknya kamu senang kalau aku juga ikut kelas?"

Eriana tidak menampik tuduhan itu. Alih-alih ia menerimanya dengan senang hati. Ia tertawa.

"Serius, Sat? Kamu juga ikut kelas sama aku? Hahaha. Ya ampun. Aku pikir aku sendirian yang bakal ikut kelas."

Satria berdecak. "Sekarang kamu senang?"

Kembali tidak menampik, Eriana mengangguk. "Tentu saja aku senang. Kamu pikirkan aja, Sat. Aku udah hamil, eh disuruh ikut kelas segala macam. Sementara aku hamil ini bukan cuma andil aku. Kamu loh. Kamu yang buat aku hamil."

Wajah Satria memerah.

"Kamu pikirkan aja gimana perasaan aku. Kita buatnya sama-sama," ujar Eriana mengabaikan batuk-batuk Satria. "Eh malah aku sendirian yang harus nanggung apa-apa. Kan nggak adil."

Butuh waktu bagi Satria untuk meredakan batuknya. Ia mendeham.

"Kamu nggak perlu mikir soal keadilan," ujar Satria. "Lagipula ... semua kelas yang kamu lalui dulu, itu juga udah aku lalui lebih dulu. Jadi bisa-bisanya kamu mikir cuma kamu yang bakal masuk kelas?"

Eriana mengulum senyum. Kali ini ia kembali memeluk Satria. Bersikap manja dengan mendaratkan wajah di dadanya.

"Iya sih. Harusnya aku mikir gitu. Cuma ... biasanya kan yang ikut kelas kehamilan segala macam itu cewek aja."

"Kelas kehamilan segala macam itu bukan cuma untuk cewek. Yang bakal dampingi istri melahirkan, itu suami. Yang akan jadi ayah, itu suami. Otomatis aku juga harus belajar."

Eriana terkikik. "Benar sih. Jadi kita bakal sekelas bersama. Belajar bersama. Ehm kalau gitu kan enak."

Menunduk, Satria bisa mendapati wajah Eriana telah cerah kembali. Dan itu lagi-lagi membuat ia membenarkan kutipan di artikel yang ia baca. Yaitu, emosi ibu hamil tidak bisa diprediksi.

Astaga. Belum hamil aja emosi Eri udah nggak bisa diprediksi. Apalagi kalau hamil?

Satria menarik napas dalam-dalam. Ia akan terus mengingatkan diri bahwa Eriana sekarang sedang mengandung anaknya. Maka Eriana semakin menjadi prioritas.

"Jadi ... kelas apa aja?"

Suara Eriana membuyarkan lamunan Satria. Apalagi karena ujung jari cewek itu bergerak-gerak abstrak di dadanya.

"Kelas kehamilan dan parenting," ujar Satria. "Tapi, selain kelas itu ... kita bakal ada beberapa kegiatan lainnya."

Eriana melirih dengan penuh irama. "Syukuran, doa empat puluh hari, doa tujuh bulan, siraman, dan belah kelapa?"

"Kamu masih ingat?"

Eriana mengangguk. "Ada di kelas seni budaya."

Saat Satria mendengar perkataan Eriana yang satu itu, seketika saja tubuhnya menegang. Ia menunduk dan benar saja. Wajah Eriana telah berubah lagi. Bahkan pergerakan abstrak jari-jari di dadanya pun berhenti.

"Aku juga ingat tradisi yang satu itu, Sat," ujar Eriana lirih. "Tradisi pisah anak."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top