41. Anggap Saja Gejala Awal

Tidak biasanya di mana Teguh akan lirik kanan dan lirik kiri demi tebar pesona ala sekretaris di drama Korea, pagi ini ia justru berlari sekuat tenaga. Dengan gesit menyelinap di antara karyawan dan karyawati yang akan masuk. Hingga membuat orang-orang keheranan.

"Misi misi misi!"

Mengucapkan permisi yang tak berarti sama sekali, Teguh terus berlari. Layaknya ia yang akan terlambat. Padahal nyata sekali saat itu masih terlalu pagi untuk dirinya telat.

Namun, semua itu bukan tanpa alasan. Melainkan karena Teguh ingin bertemu dengan Galih secepatnya.

Sumpah! Mengghibah di Whatsapp tidak sebanding dengan mengghibah secara tatap muka.

Teguh menaruh tas kerjanya asal-asalan. Terus berjalan menuju meja Galih. Dan cowok yang memegang posisi sebagai asisten pribadi Satria itu segera berdiri.

"Sumpeh lo?"

Astaga! Sapaan selamat pagi dari Teguh memang berbeda sekali.

Galih membuang napas panjang. Matanya sedikit menyipit.

"Apa untungnya aku bohong?"

Teguh langsung menutup mulutnya yang refleks menganga. "Berarti aku nggak salah dengar yang semalam itu."

"Salah dengar?" tanya Galih seraya mengerutkan dahi. "Apa yang kamu dengar semalam?"

Teguh menjawab dengan mimik misterius. Pun suaranya terkesan misterius pula.

"Sat."

Galih membuang napas panjang.

"Kamu dengar juga? Bu Eri jelas banget manggil 'Sat' kan?" tanya Teguh ingin meyakinkan bahwa pendengarannya tidak keliru.

Dan memang. Pendengaran Teguh tidak keliru. Lantaran Galih pun mengangguk.

"Iya. Aku juga dengar."

Lalu hening. Teguh dan Galih sama-sama terpekur dengan pikiran masing-masing. Hingga suara Teguh yang bergidik memecah kesunyian itu.

"A-aku nggak mau mikir buruk sih, tapi ...."

Teguh kembali bergidik. Kali ini malah semakin meremang hingga ia memeluk dirinya sendiri.

"K-kayaknya Bu Eri dan Pak Satria ... ada sesuatu ya? S-soalnya selama ini aku perhatikan dan merasa mereka agak beda.

Galih bergeming. Tidak mengangguk, tapi tidak pula menggeleng. Alih-alih ia justru menyimak perkataan Teguh.

"Kamu merasa nggak sih? Interaksi mereka itu agak beda?" tanya Teguh tanpa menunggu jawaban Galih. "Aura meraka tuh beda. Waktu Bu Eri perbaiki dasi Pak Satria, cara Bu Eri menghadapi kemarahan Pak Satria, dan ah! Kamu ingat nggak? Yang kapan hari pas kita dimarah berjamaah itu?"

Galih meringis. Teguh jelas menyinggung soal malam di mana mereka dimarah untuk hal yang tampak tidak masuk akal.

"Padahal Bu Eri itu kan sekretaris. Ya wajar kan kalau kerjanya berat? Bahkan Pak Satria ngomong sendiri kalau ada apa-apa biar dia yang samperin Bu Eri."

Galih masih diam. Ia layaknya yang tengah mengumpulkan semua kepingan informasi. Menyusunnya hingga menunjukkan gambar yang sesungguhnya.

"Itu jelas bukan hubungan bos dan sekretaris biasa, Lih. Aku jamin," pungkas Teguh dengan penuh keyakinan.

Membuang napas panjang, entah sadar atau tidak, nyatanya Galih mengangguk-angguk samar.

"Kamu masih ingat Pak Hadi?" tanya Galih kemudian. "Pak Hadi Bimoyanto Nugroho?"

Teguh mengangguk. "Kenapa dengan beliau?"

"Ternyata Pak Hadi masih satu keluarga dengan Pak Satria."

Manggut-manggut, Teguh bersedekap. "Pantas Pak Satria manggil beliau 'om'."

Suara Teguh menghilang. Tergantikan oleh dehaman dan ia terus manggut-manggut. Teringat akan kejadian malam itu. Lantas bergumam.

"Sepertinya Bu Eri itu bukannya ada sesuatu dengan Mas Bimo, tapi sama Mas Sat."

Galih mengerjap. "Kayaknya panggilan Mas Sat nggak cocok."

"Timbang Bang Sat– Ups!"

Teguh buru-buru menutup mulut dan celingak-celinguk. Ia menunjuk pada kamera pengawas di sudut atas ruangan.

"Itu CCTV bisa rekam suara nggak?" tanya Teguh khawatir. "Aku nggak mau dipecat untuk yang kedua kalinya, Lih."

Galih berdecak. "Kamu yang pertama itu bukan dipecat, tapi digantikan. Nah! Kalau yang sekarang bermasalah, sepertinya ini baru pemecatan pertama kamu."

Wajah Teguh seketika berubah horor. Ia tidak mengira kalau Galih akan tega mengatakan itu padanya.

"Kamu tega, Lih," ujar Teguh dengan nada tak percaya.

Galih tidak menghiraukan Teguh. Alih-alih ia berkacak pinggang.

"Tapi, terlepas dari panggilan Bu Eri ke Pak Satria ...," ujar Galih kemudian. "... aku merasa agak aneh dengan sikap Pak Satria."

Ingatan Galih tertarik akan kejadian semalam. Ia melihat dengan jelas bagaimana paniknya Satria. Bahkan sang bos seperti tidak memedulikan apa-apa lagi ketika berlari sekuat tenaga sambil menggendong sekretarisnya.

Namun, yang paling mencuri perhatian Galih ada satu hal. Dan itu membuat ia menatap Teguh dengan sorot yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Guh, menurut kamu kenapa Pak Satria mendadak suruh kamu ganti semua mebel di sini?"

"Ehm ... itu kan awalnya karena Bu Eri hampir kepen–"

Bola mata Teguh membesar. Ia buru-buru menutup mulutnya yang menganga. Horor, ia menatap pada Galih. Dan cowok itu tampak membuang napas seraya berkacak pinggang.

"Aku juga mikirnya begitu," ujar Galih. "Memangnya apa lagi yang bisa buat cowok kebakaran jenggot kalau bukan soal itu?"

*

Malu? Eriana memang tidak mengenal kata malu. Tapi, bukan berarti ia ingin terlihat malu-maluin seperti ini.

Rasanya sungguh tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Membuat wajah Eriana terasa menebal dan kaku seketika. Andaikan saja tidak ada infus yang menancap di tangannya, sudah bisa ditebak. Pasti Eriana akan lari terbirit-birit demi menyelamatkan harga dirinya yang tak seberapa.

"Jadi ..."

Suara Mega terdengar. Ia tampak serius memerhatikan dokter yang tengah memeriksa Eriana.

"... bagaimana keadaan menantu saya, Dok?"

Dokter tersenyum. "Semuanya baik-baik saja. Kelelahan dan pingsan selama kehamilan adalah hal yang wajar. Hanya perlu istirahat dan makan yang bergizi. Anemia bisa berbahaya bila tidak diantisipasi sejak awal."

Mega mengangguk paham. "Terima kasih banyak, Dok."

Setidaknya Eriana bisa sedikit bernapas lega. Berkat kehadiran dokter, suasana memalukan itu bisa terjeda. Walau tentu saja. Hanya sedikit.

Selepas kepergian dokter dari kamar naratetama itu, Eriana menarik napas dalam-dalam. Ia menyiapkan diri untuk beberapa hal. Seperti ucapan selamat, mungkin.

"Sudah aku tebak! Dari pertama aku lihat, pinggul Eri memang udah kelihatan beda. Terbukti kan? Dia beneran udah ngisi."

Eriana melirik seraya mesem-mesem. Pada Dewi yang berceloteh dengan wajah berseri-seri.

"Kalian berdua memang top!" ujar Dewi seraya mengacungkan kedua ibu jarinya. "Sangat bisa diandalkan untuk urusan melestarikan penerus keluarga."

Itu jelas bukan ucapan selamat yang Eriana harapkan. Ia manyun sementara anggota keluarga yang lain memberikan respon beragam.

Ada yang terkikik, tentu saja. Mereka sudah hapal sifat Dewi. Ada yang melotot, tentu saja. Seperti Mega yang memberikan peringatan pada adiknya. Namun, ada pula yang sontak salah tingkah. Dan itu jelas adalah Satria.

"Ehm!"

Dehaman Sigit menarik perhatian semua orang di sana. Terlebih lagi Satria dan Eriana. Sang ayah tanpa tedeng aling-aling langsung bertanya pada Satria.

"Jadi bagaimana, Sat? Kalau seperti ini lebih baik Eri segera keluar. Dia hamil dan harus banyak istirahat."

Eriana mengerjap. Ia sudah hapal sifat dan karakter ayah mertuanya. Ia tidak berharap akan mendapatkan ucapan selamat dari Sigit. Namun, bukankah pertanyaan itu sudah menunjukkan bahwa Sigit bahagia dengan berita tersebut? Bahkan mengkhawatirkan keadaannya.

"Aku pikir juga begitu, Pa," jawab Satria. "Apalagi Teguh sudah bisa diandalkan."

Mega beranjak. Ia memilih untuk duduk di dekat Eriana. Seraya meraih tangan sang menantu, ia berkata pada putranya.

"Baguslah kalau begitu. Bagaimanapun juga ini adalah kehamilan pertama Eri. Ada banyak hal yang harus diperhatikan."

Eriana sontak menahan napas. Sesuatu melintas di benaknya, tapi ia segera mengusir pemikiran itu. Berusaha untuk berpikiran positif.

Orang hamil nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Pamalik.

Berusaha untuk menenangkan diri, Eriana mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Seperti pada bunga yang dibawa oleh Ayu Trias Widyadiningrat. Adik bungsu Mega yang sifatnya jauh sekali berbeda dengan Dewi.

"Selamat, Ri. Saat tau kamu hamil, Tante langsung ke sini. Oh ya. Mas Hadi titip salam sama kamu. Nanti Mas ke sini kalau sudah pulang dari Makassar."

Eriana menyambut bunga itu dengan senyum lebar. "Iya, Tante. Salam juga buat Om Hadi."

Beralih ke keluarga dari pihak Sigit, Eriana sudah terbiasa mendapati sikap yang tidak terlalu bersahabat. Namun, ada yang berbeda saat itu.

"Om dan Tante harap kamu jaga diri baik-baik. Bagaimanapun juga kamu sekarang mengandung anak Satria. Kalau ada apa-apa, hubungi kami. Jangan sampai terlambat dan akhirnya kita semua menyesal."

Eriana melihat pada Tania Dariaswati Djokoaminoto dan Anwar Rasnodoro dengan sedikit mengerutkan dahi. Namun, tak urung juga ia berterima kasih.

"Baik, Tante."

Eriana pikir itu adalah salah satu hal bagus yang bisa ia syukuri di pagi itu. Terlepas dari rasa malu yang Eriana harapkan tidak berimbas pada kehadiran Mrs. Roberts lagi, semua berjalan dengan sangat membahagiakan.

"Mama sudah menghubungi orang tua kamu," kata Mega kemudian. "Mudah-mudahan nanti sore mereka sudah sampai."

Bola mata Eriana membesar. "Mama jemput mereka?"

Mega menggeleng. "Bukan Mama," ujarnya. "Tapi, Satria."

Jawaban itu membuat Eriana langsung berpaling pada Satria. Menatap sang suami sementara Mega kembali bicara.

"Kami pikir pasti kamu ingin secepatnya kasih tau berita bagus ini ke mereka."

Eriana tersenyum pada Satria sementara cowok itu tampak biasa-biasa saja. Eriana menebak bahwa Satria masih merasa malu dengan kejadian tadi.

Kasihan. Hihihihi.

Eriana kembali beralih pada Mega. Ia mengangguk dengan senyum yang amat lepas.

"Makasih, Ma."

Ucapan itu membuat disambut satu embusan napas Mega. Tentunya bukan hanya itu yang akan ia katakan. Seraya terus memegang tangan Eriana, ia kembali berkata.

"Siang ini kamu akan pulang ke rumah, Ri. Pak Masdar sudah menyiapkan semuanya."

"Semuanya?" tanya Eriana masih dengan tersenyum. Ia mengerjap sekali.

Mega mengangguk. "Iya, semuanya. Dari dokter, perawat, dan semua yang sekiranya kamu butuhkan, sudah siap."

Senyum Eriana terjeda. Kali ini ia bergeming melihat Mega.

"Menurut dokter tadi kamu sedikit anemia. Jadi Mama sudah minta Pak Masdar untuk segera menyusun menu harian untuk kamu."

Eriana mengerjap lagi. Sepertinya sinyal peringatan di benak Eriana mulai menyala.

"Kamu akan dirawat biar cepat sehat dan bugar."

Itu memang adalah hal yang bagus. Tapi, entah mengapa Eriana merasa sebaliknya.

"Anemia kamu harus sembuh. Kamu harus pulih seutuhnya," ujar Mega lagi. "Karena Pak Masdar pun sudah menghubungi Bu Rena Wulandari, Bu Sri Kurnia, Pak Harsa Dwi Purno, dan Pak Ario Kamadisno."

Eriana mengerjap. Berusaha untuk bernapas ketika belaian Mega di tangannya memberikan kesan yang berbeda saat ini.

Berusaha tersenyum, Eriana berharap dirinya bisa tetap kuat. Paling tidak untuk bertanya.

"M-mereka siapa, Ma?"

Mega menjawab. "Orang yang akan membimbing kamu di kelas kehamilan dan parenting."

Eriana meneguk ludah. Tak ingin, tapi suara itu menggema di benaknya.

Belum ada dua puluh empat jam berita kehamilan aku tersiar. Dan dua kelas udah dipersiapkan? Y-ya Tuhan.

Eriana berusaha untuk tetap sadar dan kuat. Ia menarik udara dalam-dalam. Tapi, entah mengapa ia merasa kepalanya pusing lagi. Dan tak ayal ia bersuara.

"Sat," ujar Eriana seraya mengulurkan tangan pada sang suami. "K-kayaknya aku mau pingsan lagi."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top