4. Bukan Yang Diharapkan
Aroma gurih nan lezat menguar di udara. Memenuhi dapur ala kadarnya yang menjadi tempat Eriana memasak pagi itu.
Ada nasi goreng di wajan. Hasil racikan kedua tangan Eriana dari jam lima pagi tadi. Dan sekarang setelah menu sarapan itu berpindah ke dua piring, Eriana celingak-celinguk.
"Intan udah siap belum sih?"
Duduk di meja makan, Eriana langsung menikmati suapan pertama nasi goreng itu. Rasa yang menyapa indra perasanya membuat Eriana geleng-geleng kepala.
Setelah berapa hari makan masakan chef tamatan luar negeri, sekarang masakan aku sendiri kerasa aneh di lidah aku.
Dahi Eriana mengernyit. Melihat butiran nasi di sendoknya.
Ini yang aku masukin tadi garam kan? Bukan urea kan? Tapi, kenapa rasanya kayak gini ya?
Eriana berdecak. Mengingat dalam benaknya bahwa hal pertama yang akan ia lakukan saat kembali ke rumahnya nanti adalah meminta sang kepala pelayan –Masdar- untuk menyiapkan nasi goreng.
Kasihan. Harkat martabat nasi goreng harus hancur gara-gara aku.
Merasa aneh dan bingung dengan rasa masakannya sendiri, Eriana tidak ada pilihan lain. Tetap melanjutkan sarapan seraya menunggu kedatangan Intan.
Semalam Eriana tidak tau Intan pulang jam berapa. Sampai jam sebelas malam dan ia terus menunggu, tapi Intan belum juga pulang. Eriana tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. Ia harus tidur agar bisa bangun pagi.
Lalu suara gaduh itu terdengar. Tepat ketika Eriana menyuap untuk yang kesekian kalinya. Dan tak lama kemudian Intan datang. Dengan tergopoh-gopoh. Satu tangannya menenteng tas sementara tas lainnya membawa satu blazer yang belum sempat ia kenakan.
"Wah! Nasi goreng!"
Intan berseru seraya duduk. Ia dengan cepat meraih sendok dan garpu.
"Dari aromanya aja udah ketahuan rasanya."
Eriana menelan nasi goreng di dalam mulutnya dengan berat. Ekspresi wajahnya menyiratkan hal yang berbanding terbalik dengan yang dikatakan Intan. Dan ketika Intan menyuap untuk yang pertama, Eriana menegang.
"Ehm."
Intan mengunyah dengan teramat pelan dan berirama. Dengan mata terpejam. Dan lalu suara kagum itu meluncur dari bibirnya.
"Wah! Kenapa bisa seenak ini?"
Eriana bengong. Mungkin saja Intan menyindirnya kan? Tapi, eh tunggu dulu. Suapan pertama Intan disusul cepat oleh suapan kedua. Lantas suapan ketiga. Dan suapan-suapan berikutnya.
Eriana melihat nasi gorengnya. Lalu berpindah pada nasi goreng Intan yang dalam waktu cepat tinggal setengah lagi.
"Eh?"
Mata Eriana mengerjap bingung. Sementara Intan makan dengan teramat lahap.
"E-enak?"
Intan mengangguk. "Kayaknya kalau kamu pensiun jadi sekretaris, bisa tuh kamu buka warung nasi goreng. Pasti bakal laris."
Eriana semakin bingung mendengar perkataan Intan. Bahkan saking bingungnya, membuat tangan Eriana naik. Nyaris menggaruk kepala. Tapi, tangannya berhenti di tengah jalan. Turun kembali. Tanpa sadar teringat akan pelajaran dari guru tata kramanya, Aldi. Sikap ketika makan.
"Tan."
Menyingkirkan soal nasi goreng dan perbedaan rasa yang lidah mereka cecap, Eriana teringat akan hal yang lebih penting. Ini adalah kesempatan untuk Eriana mengatakan yang sebenarnya pada Intan.
Intan mengangkat wajah dengan pipi menggembung. "Apa?"
"Ehm ... ada yang mau aku omongin ke kamu. Penting."
"Kebetulan!"
Wajah Intan terlihat berubah seketika. Matanya berbinar-binar penuh semangat. Dengan sendok yang menunjuk pada Eriana, Intan berkata.
"Karena kamu ngomong ada yang mau kamu omongin, aku jadi ingat kalau aku juga ada yang mau dibilangin ke kamu."
"Eh?"
Eriana mengerjap sekali. Tersadar sedetik kemudian, ia memutuskan untuk bicara lebih dulu. Tapi, Intan kembali bersuara.
"Kamu tau? Kemaren aku balik nyaris jam satu malam."
Mata Eriana melotot. "Jam satu malam?"
"Iya," angguk Intan. "Dan kamu tau? Kapan hari kan aku ada ngomong Zacky kayaknya udah punya anak. Tapi, kayaknya itu bukan anak dia deh. Aku dengar-dengar katanya Zacky dijebak gitu. Cuma ini masih spekulasi. Ada yang ngomong ini tuh cuma cara biar Zacky bisa selamat dari rumor kesekian."
Eriana mengerjap. "Z-Zacky?"
"Iya. Yang kemaren digosipin sama Joanna. Tapi, ada yang ngomong Joanna nolak Zacky karena sebenarnya cowok itu diam-diam pacaran sama Margaretta. Kamu tau kan? Itu aktris veteran yang umurnya udah 54 tahun."
Eriana mana tau soal nama-nama artis. Ia lebih mudah menghapal nama pahlawan yang menyusun teks Proklamasi ketimbang menghapal nama artis yang sering muncul di televisi. Maka tidak heran kalau Eriana hanya bengong. Tapi, ngomong-ngomong 54 tahun ....
"Hah?! 54 tahun?!"
"Kan! Kamu kaget juga kan? Ya pasti dong kamu kaget. Astaga. Zacky itu baru 29 tahun. Hampir dua kali lipat umurnya coba."
Bukan kaget lagi. Eriana sampai buru-buru meneguk airnya.
"Gila. Itu beneran mereka pacaran?"
"Belum tau sih, Ri. Ini tuh masih berita simpang siur gitu. Belum ada klarifikasi juga dari mereka."
Intan membuang napas panjang. Sendok di tangannya kembali bergerak. Menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya lagi.
"Padahal asli loh. Zacky ini cakep banget. Udah dari kecil terkenal. Tapi, makin gede kok makin gila ya? Perasaan aku hampir tiap bulan selalu ada gosip nggak enak tentang dia."
"Kok kamu kayak yang heran sih?" tanya Eriana dengan mimik acuh tak acuh. "Bukannya kebanyakan artis Indonesia memang gitu ya? Bertabur gosip nggak-nggak. Makanya sih aku milih nggak tau apa-apa soal artis Indonesia."
Intan manggut-manggut mendengar perkataan Eriana. Karena sudah berkecimpung lama dalam dunia pemberitaan selebritis tentu saja ia menyadari kebenaran perkataan Eriana.
"Eh, tapi nggak semua kayak Zacky loh," ujar Intan. Lalu wajahnya tampak berubah. Berseri-seri. "Itu contohnya Rey. Renaldi Anthony. Dari dulu nggak ada gosip apa pun. Cuma soal kedekatan dia sama Sandra sih. Tapi, gosipnya sih gosip sepintas lalu gitu."
Astaga. Siapa lagi itu yang namanya Rey?
"Kamu tau? Aku denger-denger katanya Rey dan Erina bakal ketemu satu project lagi."
"Ah! Aktris yang namanya mirip aku! Aku tau dia! Muka kami juga mirip kan cantiknya?"
Wajah Intan seketika berubah. Menuntaskan suapan terakhir nasi gorengnya, ia menyempatkan diri untuk mencibir pada Eriana.
"Aku nggak pernah lihat cewek se-pede kamu, Ri. Sumpah."
Eriana hanya cengar-cengir sementara Intan langsung menutup sendok dan garpunya di sisi piring. Ia menandaskan air dalam gelas lantas meraih barang-barangnya. Bangkit dari duduk seraya melihat jam tangan tangan dan serta merta kaget.
"Astaga. Udah jam segini."
"Udah mau pergi?"
Intan mengangguk. "Aku duluan ya. Mesti laporan ke bos. Bye!"
Intan segera berlalu setelah melambaikan tangannya. Bahkan tidak menunggu Eriana untuk membalas lambaiannya dan meninggalkan cewek itu seorang diri.
Eriana membuang napas panjang. Menyadari dengan jelas bahwa Intan memang begitu penuh semangat bila itu menyangkut soal gosip selebritis. Saking penuh semangatnya sampai tidak memberikan kesempatan Eriana untuk bisa bicara.
"Eh?"
Sendok lepas dari tangan Eriana. Mata melotot dan ia melihat titik di mana Intan sudah menghilang dari pandangannya.
"Kan aku mau ngomongin soal Satria."
*
"Apa?"
Eriana memejamkan mata. Tersentak ketika Satria melotot padanya. Sama sekali tidak heran, tapi bukan berarti Eriana sudah bersiap untuk mengantisipasi kemarahan cowok itu.
"I-Intan pulang malam tadi hampir jam satu, Sat. Eh, pas pagi aku mau ngomong soal ini malah dia yang cerita soal gosip-gosip. Aku jadi kelupaan."
Satria membuang napas kasar. Tampak melonggarkan ikatan dasi di lehernya. Wajahnya jelas sekali terlihat tidak suka.
"Kamu itu memang nggak ada niat ya buat balik ke rumah?"
Eriana manyun. "Mana mungkin. Aku jelas banget mau balik ke rumah," ujarnya dengan wajah yang sama tertekuk seperti Satria. "Tapi, mau gimana lagi?"
Menarik napas dalam-dalam, Satria mencoba untuk bersabar. Tapi, itu tentu saja bukan perkara yang mudah. Terlebih kalau Satria ingat sudah berapa lama rumahnya tidak ditinggali oleh nyonyanya. Seumur hidup, sungguh. Satria tidak pernah mengira bahwa awal pernikahannya akan dijalani seperti ini. Tentu saja menyentil egonya. Dan Eriana jelas tau itu.
"Sat."
Eriana memutari meja. Langsung menghampiri Satria. Cowok itu melirik sekilas ketika mendapati tangan Eriana mendarat di atas tangannya.
"Aku minta maaf. Aku janji. Ntar aku bakal ngomong sama Intan. Biar besok aku langsung balik ke rumah."
Satria kembali melirik. Seolah sedang menimbang. Dan sorot yang terpancar di mata Eriana membuat ia lagi-lagi menarik napas dalam.
"Kamu tau kan posisi kamu di rumah itu bukan cuma istri aku?"
Menanyakan hal itu, Satria berharap Eriana tidak akan lupa. Dan anggukan yang ia dapatkan membuat Satria merasa lega.
"Aku tau, Sat. Aku harus ngurusin rumah. Ngecek kerjaan para asisten rumah tangga. Ngeliat jadwal kunjungan keluarga. Dan banyak lagi yang lainnya," jawab Eriana dengan ringisan tertahan. Dalam hati ia berharap agar jawaban itu cukup memuaskan Satria. Ia tidak mau lagi menjalani kelas seni budaya dengan Donda atau kelas etiket dengan Maria Roberts.
"Baguslah kalau kamu masih ingat."
Tidak terkira betapa leganya Eriana kala itu. Sekarang ia bisa tersenyum dengan lebar.
"Jadi ... kamu nggak marah lagi kan?"
Tuntas Eriana menanyakan itu, mata Satria dengan cepat melirik tajam padanya. Membuat senyum Eriana menghilang seketika. Tergantikan oleh bibir yang mengerucut.
"Aku nggak marah lagi sampe kamu balik ke rumah," ujar Satria. "Kamu belum ngecek taman belakang. Belum ngecek menu harian aku. Belum ngecek kemeja dan jas terbaru aku."
Y-ya Tuhan.
Eriana menahan napas dengan kepala berputar-putar. Sekarang ia yakin. Sepertinya memang urea yang ia masukkan di nasi goreng tadi. Alih-alih garam dapur.
Memang bener kata orang. Orang ningrat itu banyak aturan yang buat orang melarat kayak aku bisa gila.
"Kenapa?"
Suara Satria membuat Eriana mengerjap sekali. Lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Nggak apa-apa, Sat. Aku cuma mau minta maaf karena udah lalai sebagai istri."
"Udah sadar kamu lalai sebagai istri?"
Eriana mengangguk. "Udah."
"Kalau udah ...," ujar Satria dengan mata menyipit. "... apa perlu Mrs. Roberts dipanggil lagi?"
"Jangan!"
Cepat sekali Eriana menjawab pertanyaan Satria. Ia geleng-geleng kepala dengan ekspresi takut.
"Kamu kan tau, Sat. Sejak aku keceplosan bawa nama Syahrini dan Reino Barack, dia kayak sensi gitu sama aku."
Sebenarnya Satria tau. Saat itu ia harus memasang sikap sebagai seorang suami yang berwibawa. Sedikit banyak untuk mendidik Eriana agar tidak lupa dengan posisi dirinya. Eriana bukan sekadar istri biasa. Ia bukan seperti istri-istri pada umumnya.
Namun, ketika Eriana menyinggung soal Syahrini dan Reino Barack, refleks saja tawa itu meledak. Ingatannya dengan serta merta berputar ke belakang. Menampilkan kejadian di mana Eriana membalas perkataan guru etiketnya itu.
"Oh, please, Mrs. Princess's married to Reino Barack."
Dan tawa Satria semakin menjadi-jadi. Sungguh ia tau bagaimana Roberts adalah guru yang benar-benar tenang dan terkendali. Selama ia diajar oleh wanita itu, Satria tidak pernah sekalipun melihat Roberts lepas kendali. Tapi, lihatlah. Hanya dalam hitungan hari, Eriana sukses membuat Roberts meminum pil darah tinggi.
"Sat, kamu malah ketawa? Kamu nggak tau pinggang aku hampir patah gara-gara Mrs. Roberts?"
Eriana manyun. Ingat dengan jelas bagaimana ia dihukum Roberts. Berjalan mondar-mandir dengan punggung tegap dan wajah terangkat. Tidak boleh menunduk. Tangan rapi di depan perut. Terlebih lagi senyum anggun harus terus tersungging di wajahnya. Dan yang paling penting, irama langkahnya benar-benar harus tepat sesuai arahan Roberts.
"Maka dari itu, buktikan ke aku kalau kamu memang nggak perlu diajar Mrs. Roberts lagi."
"Iya iya. Aku bakal balik secepatnya."
"Bukan secepatnya," ralat Satria kemudian. "Tapi, besok."
"Besok? Bukannya Sabtu?"
Satria menggeleng. "Kayaknya rumah bakal berantakan kalau nunggu sampai Sabtu. Ehm jadi kamu harus ada di rumah besok."
"Tapi, Sat---"
"Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya kamu balik besok. Aku nggak mau tau."
"Aku kan belum ngomong ke Intan soal kita."
"Ehm ... kamu benar."
Secercah harapan timbul di mata Eriana. Bagaimanapun juga ia tidak mungkin tiba-tiba pergi dari apartemen lagi. Ia harus jujur pada Intan. Dan tentunya itu bukan urusan mudah.
"Kalau gitu biar gampang ..."
Satria menatap Eriana dengan sorot yang berbeda. Terlebih lagi dengan senyum yang tersungging di wajahnya.
"... malam ntar aku ikut kamu ke apartemen. Biar aku langsung yang ngomong sama dia."
Eriana melotot. "Apa?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top