39. Firasat Tak Enak

Sepanjang perjalanan pulang, Eriana kerap kali melirik pada Satria. Dengan dahi mengerut, pandangannya turun perlahan. Mendarat pada tangan Satria yang sedari tadi terus menggenggam jemarinya.

Eriana mengerjap berulang kali. Lalu ia membuang napas seraya geleng-geleng kepala.

Kayaknya Mas Bimo memang salah alamat.

Eriana memutuskan untuk tidak memikirkansikap Satria yang terkesan berbeda seharian itu. Tapi, susah sekali.

Ketika mereka tiba di rumah, Satria langsung memanggil Masdar dan Lina. Memberikan mereka perintah dalam waktu singkat.

"Lin, bantu Nyonya bersih-bersih dan istirahat. Pastikan hati-hati. Nyonya capek."

Lina mengangguk. "Baik, Tuan."

"Kamu duluan, Ri," kata Satria pada Eriana. "Aku mau bicara dengan Pak Masdar dulu."

Eriana mengangguk patuh. Ia beranjak dan sejurus kemudian Satria menuju ke ruang kerjanya. Bersama dengan Masdar yang mengikutinya dari belakang.

Satria melepaskan jas dan duduk. Di hadapannya, Masdar berdiri dengan sopan.

"Besok aku mau semua perabotan di rumah ini diganti."

Masdar melongo. "S-semua, Tuan? Diganti?"

"Iya, diganti. Jangan sampai ada yang bersiku," kata Satria. "Itu berbahaya."

"Jangan ada yang bersiku, Tuan?"

Satria mengangguk. Sebagai contoh, ia memukul meja kerjanya sendiri. "Lihat ini. Desainnya sudah ketinggalan zaman dan terkesan kaku. Aku ingin yang lebih dinamis dan modern."

Masdar meneguk ludah. Bukan masalah perkara mengganti meja kerja Satria yang membuat keringatnya muncul. Alih-alih semua perabotan di rumah.

Y-ya Tuhan.

Besok pasti akan menjadi hari yang berat untuk Masdar. Lagipula bagaimana bisa Satria memberinya perintah mendadak begitu?

"Ah, satu lagi."

Perkataan Satria membuat Masdar menahan napas di dada. Sepertinya bukan itu satu-satunya perintah yang akan ia dapatkan.

"Bapak nanti diskusikan dengan Lina. Aku mau sepatu Eri diganti."

Dari furnitur beralih ke sepatu. Masdar berusaha tersenyum.

"Sepatu Nyonya?"

Satria mengangguk seraya menyandarkan punggung di kursi. Dahinya sedikit mengerut ketika ia memainkan jemari di bawah dagu. Ia berpikir.

"Untuk beberapa waktu, suruh Lina menyingkirkan semua sepatu hak tinggi Eri. Ganti dengan sepatu setinggi ehm ..."

Satria mendeham sejenak. Lalu tangannya terangkat. Memberikan contoh pada Masdar.

"... sekitar dua sentimeter. Dengan heels yang kokoh. Jangan yang runcing-runcing itu."

Masdar mengerjap. Setidaknya ia paham bahwa yang dimaksud oleh Satria adalah tipe block heels.

"Tentu, Tuan," angguk Masdar. "Apa ada hal yang lain?"

Satria merenung sejenak. Ia tampak tak yakin dengan pakaian. Sepertinya itu masih bisa menunggu. Setidaknya yang mendesak sudah ia atasi.

"Sepertinya cuma itu."

Masdar membuang napas lega. "Baiklah, Tuan. Besok akan segera saya laksanakan."

Wajah Satria terlihat cerah. Ia tersenyum tanpa lupa untuk berkata.

"Terima kasih."

Sementara itu, di kamarnya Eriana sedikit merasa beruntung juga. Ketika Satria berbicara dengan Masdar maka ia mendapatkan kesempatan untuk bicara berdua saja dengan Lina.

Eriana celingak-celinguk di depan pintu kamar. Memastikan tak ada orang dan lantas menutup pintu. Lina yang melihat tingkah laku Eriana tentu saja merasa bingung.

"Nyonya," lirih Lina tak yakin. "Ada apa ya?"

Eriana buru-buru menarik Lina dan mereka menuju kamar mandi. "Aku mau minta tolong sama kamu."

Lina merasa tidak enak. Eriana seharusnya tidak perlu meminta bantuannya. Melainkan memberi dirinya perintah.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Linas.

Eriana mengepalkan jemarinya. Ia tampak ragu. Tapi, sejurus kemudian ia pun menjawab.

"Besok belikan aku testpack."

Lina terdiam. Sepertinya butuh waktu untuk Lina mencerna perintah yang satu itu. Dan ekspresi wajah Lina membuat Eriana salah tingkah.

"Aku sepertinya telat," kata Eriana panik. "Aku belum dapat bulanan setelah menikah."

Oke. Eriana sedikit tidak jujur. Ia pernah mendapatkan jadwal menstruasinya. Tapi, itu tepat di awal pernikahan. Intinya adalah ia memang sudah telat nyaris dua bulan lamanya.

"J-jadi ... aku pikir mungkin saja aku hamil."

Wajah Lina seketika cerah. Ia tersenyum dengan amat lebar. Bahkan ia langsung meraih kedua tangan Eriana.

"Iya, Nyonya," angguk Lina dengan penuh semangat. "Besok saya akan membelinya."

Eriana mengerjap. Sedikit bingung dengan semangat mendadak Lina. Tapi, ia tetap mengucapkan terima kasih walau dengan ekspresi aneh.

"T-terima kasih."

Lina kembali mengangguk. "Iya, Nyonya. Dan sekarang apa Nyonya mau sesuatu? Biar saya minta Pak Santoso buat masak. Nyonya mau soto ayam? Atau rujak? Atau apa?"

"Hah?"

Eriana langsung menarik tangannya dari Lina. Ia menggeleng ngeri.

"Aku nggak mau makan rujak. Siapa yang makan rujak malam-malam begini?"

Lina tidak menyerah. "Terus Nyonya mau apa?"

"A-aku ... mau mandi."

Lina mengerjap. "M-mandi?"

"Iya. Aku mau mandi," kata Eriana kikuk. "Aku capek dan mau tidur abis mandi."

"Baik, Nyonya. Saya siapkan airnya sekarang."

Tuntas mengatakan itu, Lina langsung beranjak. Mengisi bak mandi dengan air hangat dan sabun beraroma terapi kesukaan Eriana.

"Ehm."

Eriana mendeham. Entah mengapa, tapi rambut-rambut di tengkuknya kompak berdiri. Perasaan tak enak dengan cepat hadir.

K-kenapa firasat aku nggak enak ya?

*

Teguh rasanya ingin mampus saja. Pagi-pagi ia sudah jungkir balik. Menghubungi bagian pengadaan alat-alat kantor. Kemudian langsung menuju ke toko furnitur ternama. Keliling ke sana kemari demi memastikan semua furnitur yang ia pilih tidak ada yang membentuk siku.

Ya Tuhan. Apa salah hamba? Mengapa hamba mendapatkan cobaan segini berat?

Masalahnya adalah Teguh itu berpacu dengan waktu. Ia tidak ingin membuat Satria meradang lagi. Intinya sebelum pukul dua belas siang, ia harus menyelesaikan semuanya.

"Ayo, Guh! Kamu sekretaris tahan banting. Kamu pasti bisa!"

Mengerahkan semua daya dan upaya, Teguh meneguk ludah saat orang-orang mengangkat furnitur baru itu ke ruangan Satria. Akhirnya ia bisa sedikit menarik napas lega.

"Minum dulu, Guh."

Galih menyodorkan segelas air putih pada Teguh. Yang langsung ia sambar dan isinya langsung menghilang dalam hitungan detik yang amat singkat.

"A-aku pikir aku bakal mampus, Lih," kata Teguh dengan suara samar. Tenggorokannya yang sedari tadi terasa serat perlahan mulai lega kembali. "Ya Tuhan. Masa aku mampus sebelum beneran fix jadi sekretaris Pak Satria sih?"

Galih menatap Teguh dengan penuh kasihan. Kalau ia berada di posisi Teguh, ia pasti juga akan menderita. Persis seperti Teguh saat ini.

"Kayaknya kita benar-benar harus jaga sikap di depan Pak Satria."

Teguh berhenti terengah-engah. Ia berpaling. "Kamu juga kepikiran? Pak Satria kayak lagi mode singa nggak sih?"

"Lebih dari itu," ujar Galih seraya berdecak sekali. "Dan firasat aku jadi nggak enak."

Teguh mengangguk. "Sama. Firasat aku beneran nggak enak. Lihat ini lihat."

Teguh menyingsingkan lengan jas dan kemejanya. Memperlihatkan rambut-rambut di tangannya yang berdiri.

"Dari semalam, aku bawaannya merinding terus. Kayak ada hantu yang ngikutin aku."

Galih hanya bisa membuang napas. Percakapan singkat itu harus terjeda. Lantaran Teguh pun kembali harus bergerak.

Teguh memantau orang-orang bagian kebersihan untuk menata ulang ruang kerja Satria dan juga di tempat mereka bekerja. Memastikan tidak ada yang keliru. Bahkan sehelai kertas pun akan Teguh pastikan tidak salah tempatnya.

Tepat setelah jam istirahat siang selesai, akhirnya Satria dan Eriana datang. Mereka yang menghadiri pertemuan di luar langsung terperangah melihat hasil kerja Teguh.

"B-bagaimana, Pak?" tanya Teguh tegang. Sebulir keringat mengalir di sisi wajahnya. "Apa ada yang kurang pas?"

Satria mengitari meja sekretaris terlebih dahulu. Mengangguk beberapa kali dan lantas menuju ke ruang kerjanya.

Teguh menahan napas. Ia siap untuk dimarahi karena meja rapat pengganti yang ia pilih.

Tidak banyak pilihan yang ia miliki membuat Teguh akhirnya memilih meja berbentuk bulat. Lantaran pada umumnya meja rapat memang pasti berbentuk persegi dengan siku.

"Ehm."

Satria mendeham seraya mengusap meja bundar itu. Ia mengangguk. Lalu berkata pada Teguh.

"Saya suka. Rapat di meja bundar. Mengingatkan saya akan perjuangan pahlawan zaman kemerdekaan dulu."

Teguh melongo. "R-rapat meja bundar."

Plesetan dari konferensi meja bundar. Sungguh atasan yang berjiwa nasionalisme.

"Kerja kamu bagus, Guh."

Pujian Satria membuat Teguh ingin terbang ke langit sana. Seolah semua beban di pundaknya lenyap seketika. Ia membuang napas lega. Dan di sebelahnya, Eriana tersenyum pada Teguh.

"Kamu hebat."

Mata Teguh berlinang. Ia nyaris menangis. Tapi, sebisa mungkin ia bertahan.

"Terima kasih, Bu."

Eriana bisa mengerti perasaan Teguh. Maka ia berusaha untuk menahan geli. Tapi, ketika akhirnya Teguh keluar dari ruang kerja dan meninggalkan mereka berdua, Eriana pun berkomentar.

"Kamu ini keterlaluan sih, Sat."

Satria yang masih mengitari ruangannya demi memastikan tak ada yang terlewat, berpaling. Melihat pada sang istri dengan dahi mengerut, ia bertanya.

"Aku keterlaluan karena ingin mengganti suasana di ruang kerja aku?"

Bola mata Eriana berputar malas. "Bukan masalah mengganti suasananya, tapi waktunya. Kamu nggak lihat Teguh sampe keringatan dan capek gitu? Rambut dan jasnya sama leceknya."

Mata Satria membesar. "Kamu ingatkan dia untuk segera memperbaiki penampilan dia. Jam dua ini dia harus dampingi aku buat ketemu sama Bu Ajeng."

"Ya Tuhan."

Eriana hanya bisa membuang napas panjang seraya geleng-geleng kepala. Hal itu mengingatkan dirinya untuk pengalaman yang pernah ia alami dulu. Ketika ia baru menjadi sekretaris Satria.

"Memang sih. Kamu aslinya memang menyebalkan," lirih Eriana.

Satria mengerutkan dahi. Matanya menatap Eriana. "Kamu bilang aku menyebalkan?"

"Nggak," ujar Eriana mengulum senyum. "Ehm aku balik ke meja ya?"

Eriana memutar tubuh. Bersiap untuk pergi dari sana, tapi Satria menahan tangannya. Membuat Eriana kembali berpaling pada sang suami.

"Kenapa?"

Mata Satria semakin lekat menatap Eriana. "Kamu baik-baik saja? Aku perhatikan ... kamu agak pucat."

Bukan hanya itu yang Satria lihat. Pun pada mata Eriana yang tampak sedikit membengkak.

"Kamu sakit?"

Eriana menggeleng. "Aku cuma nggak bisa tidur semalam. Jadi kayaknya aku agak lemas."

"Apa kamu cuti saja hari ini?" tawar Satria tanpa tedeng aling-aling. "Aku suruh Pak Yanto buat antar kamu pulang."

Buru-buru Eriana menarik tangannya lepas dari genggaman Satria. Ia menggeleng pasti. Menolak tawaran itu.

"Aku cuma agak ngantuk aja. Masa cuti setengah hari gara-gara ngantuk sih?"

Satria ingin mendesak Eriana untuk pulang. Tapi, cewek itu kembali berkata.

"Udah ah. Aku mau balik kerja. Ntar juga kita bakal lembur lagi. Ada banyak kerjaan yang harus selesai sebelum aku benar-benar resign."

Pekerjaan tentu saja adalah hal yang mendesak. Tapi, tidak sepenting dengan kesehatan Eriana. Cuma apa yang bisa Satria lakukan ketika Eriana akhirnya benar-benar keluar dari ruangannya?

Satria bersedekap. Melihat pada pintu dan bergumam rendah.

"Kenapa firasat aku nggak enak ya?"

Satria berusaha untuk mengabaikannya. Ia melanjutkan pekerjaannya. Terlebih lagi karena tepat di pukul lima sore, mereka mulai lembur kembali.

Menggunakan meja rapat yang baru, seharusnya perasaan Satria menjadi lebih lega. Desainnya yang bulat tidak mengizinkan satu siku pun ada di sana. Eriana tidak akan terantuk apa-apa.

Namun, tidak. Seiring waktu berjalan, perasaan Satria semakin tidak enak. Apalagi ketika ia melihat wajah Eriana yang semakin pucat.

Terserah deh. Mau dia ngamuk atau gimana. Aku suruh dia pulang sekarang.

Saat itu Satria sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Melainkan ia justru menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak mengajak Eriana lembur pula.

"Eri."

Suara Satria membuat Eriana mengangkat wajah. Ia melihat pada Satria. Tepat ketika ada sesuatu yang ingin ia diskusikan pula padanya.

Eriana bangkit dari duduknya. Ia membawa dokumen dan langsung beranjak menuju pada Satria. Tapi, tunggu.

Langkah Eriana berhenti mendadak. Tangannya yang memegang dokumen terasa gemetaran. Begitu pula dengan kedua lututnya.

Loh?

Eriana mengerjap. Ia merasa gamang ketika pandangannya terasa goyah.

I-ini kenapa?

Semakin lama pandangan Eriana semakin bergoyang-goyang. Bayangan bewarna hitam muncul perlahan. Dan pada saat itu, Eriana tak lagi mampu bertahan.

Dokumen terlepas dari tangan Eriana. Kakinya seketika lunglai. Dan hal terakhir yang bisa ia lakukan adalah memanggil lirih.

"Sat."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top