38. Semua Gara-Gara Mas Bimo!

"Menstruasi itu terjadi karena ovum nggak dibuahi sperma kan, Dik?"

Andika yang baru saja ingin menyuap ikan salmon ke dalam mulut sontak melongo. Garpu menggantung di udara dan dahi Andika berangsur mengerut.

"Serius?" tanya Andika tak percaya seraya menaruh sejenak garpunya kembali di piring. "Kamu bukannya nanya soal pergeseran tanah akibat gempa?"

Tidak menjawab pertanyaan Andika, wajah Satria membuktikan bahwa ia memang serius. Tentu saja membuat Andika tidak bisa berkata-kata.

"Well ... itu materi reproduksi SMP bukan ya? Kelas 2 atau 3?"

Satria membuang napas panjang. "Aku yakin begitu siklusnya."

"S-siklus apa?" tanya Andika bingung. "Menstruasi cewek? Ehm memang begitu. Kalau ovum nggak dibuahi sperma maka ovum akan gugur dalam bentuk darah."

Tuntas mengatakan itu, Andika tampak memperbaiki letak dasinya. Ia cengar-cengir.

"Apa sebaiknya aku jadi guru Biologi saja ya?"

Satria tidak menghiraukan perkataan Andika. Alih-alih ia memutar otak. Menggali materi lama dengan satu pertanyaan.

Berapa lama sih biasanya siklus itu? Sebulanan kan? Bukan satu semester kan?

Mempertanyakan itu di benaknya, Satria tidak siap ketika mendadak saja Andika terkesiap kaget. Membuat ia ikut-ikutan kaget dengan mata yang melotot. Begitu pula dengan Andika yang turut melotot pula padanya.

"Ya ampun!" kesiap Andika. "E-Eri ... hamil?"

Satria mendeham. Tampak salah tingkah ketika pada akhirnya Andika bisa memperkirakan apa alasan sehingga Satria mendadak bertanya mengenai materi reproduksi padanya.

"Sat?"

Satria menyerah. Ia meneguk segelas air putih terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan itu dengan tak yakin.

"Mungkin."

"Mungkin?"

"Ya ... mungkin," ulang Satria. "Karena memang belum pasti."

Sepertinya Andika harus menunda sejenak makan siangnya. Kali ini ada hal yang lebih penting ketimbang sepotong ikan salmon.

"Kok belum pasti?"

"Soalnya belum dicek."

Andika kembali melongo. "K-kamu baru prediksi dari siklus dia?"

Satria tahu. Ini benar-benar memalukan.

"Aku mau nanya sama Eri," kata Satria kemudian. Ia tampak putus asa. "Tapi, aku khawatir buat dia takut atau gimana. Soalnya waktu kami pulang ke rumah orang tua aku, dia sudah diserbu pertanyaan soal kehamilan."

Satria menarik napas dalam-dalam. Kali ini ia benar-benar tidak berniat untuk melanjutkan makan siangnya.

"Eri sering ngomong kalau keluarga pihak Papa aku lumayan merepotkan. Dan aku tau yang dia bilang memang benar. Jadi aku pikir dia butuh adaptasi sebentar dengan pernikahan kami."

Andika manggut-manggut. "Aku juga tau. Keluarga kamu memang menakutkan untuk sebagian orang."

Hening sejenak. Mereka berdua tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga Andika kembali bersuara.

"Apalagi untuk Eri. Apa saat hamil besar nanti dia harus diasingkan juga?"

Mata Satria menyipit. "Bukan diasingkan, tapi dipingit."

Satria mengerjap. Sepertinya ia keliru menggunakan kata-kata.

"Nggak boleh keluar sembarangan. Nggak boleh ketemu orang sembarangan. Nggak boleh makan sembarangan. Uuuh!" ujar Andika merinding. Ia tampak memeluk dirinya sendiri seolah ketakutan. "Aku bahkan dulu nggak percaya kalau Eri bakal lulus kualifikasi jadi mantu keluarga kamu."

Satria tidak tersinggung dengan perkataan Andika. Memang demikianlah yang terjadi di keluarganya. Dan berbicara soal anak, Satria meragukan sesuatu. Apa ia sudah mengatakan tradisi pisah anak saat berusia tujuh tahun pada Eriana?

"Sudahlah, Sat."

Suara Andika menyentak lamunan Satria. Membuat ia melihat pada sang sahabat yang memutuskan untuk melanjutkan kembali makan siangnya.

Andika mengunyah salmon dengan penuh irama. Menggunakan garpu di tangan, ia menunjuk Satria.

"Percaya saja sama istri kamu. Kamu tinggal diskusi sama dia dan kalian jalani bareng-bareng. Itu kunci rumah tangga."

Satria tertegun melihat Andika yang lanjut menikmati suapan berikutnya. Hingga sekelumit senyum geli pun muncul di wajah Andika.

"Walau sejujurnya aku nggak ngira," ujar Andika seraya menatap Satria lucu. "Ternyata kamu lumayan tokcer."

"Hah? Lumayan kamu bilang?"

Bola mata Satria berputar tak percaya. Agaknya ia sedikit tersentil dengan keraguan Andika.

"Aku rajin olahraga. Aku makan makanan yang sehat. Stamina aku kuat dan pola hidup aku teratur. No smoking. No alcohol. No drugs. Dan kamu meragukan aku?"

Andika tertawa. Entah mengapa ia memiliki kecenderungan suka melihat Satria gusar.

"Itu buktinya," lanjut Satria lagi. "Sekali ketemu aku, eh Mas Bimo nggak muncul-muncul lagi."

Tawa Andika seketika berhenti. Ia bertanya.

"Siapa Mas Bimo?"

Dan Satria tidak menjawab.

*

Coba nanti aku tanya ke Eri pelan-pelan. Karena kalau dia beneran hamil, artinya ada banyak hal yang harus dia persiapkan.

Satria sudah bertekad. Nanti setelah mereka pulang sehabis lembur, ia akan menanyakannya pada Eriana.

Yakin dengan keputusan itu, nyatanya ada satu hal yang tidak Satria antisipasi. Yaitu ketika kemungkinan Eriana hamil benar-benar seperti 99%.

Satria mengerjap. Mendadak saja ia merasa sesak napas dengan aneka rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Kalau Eri benar-benar hamil, itu artinya ....

Satria segera melihat kalender di layar komputer. Masih tersisa sekitar dua minggu lagi sebelum Eriana benar-benar keluar dari kantor.

Apa aku harus keluarkan Eri sekarang? Wanita hamil nggak boleh kerja berat-berat. Nggak boleh stres. Harus banyak istirahat.

Kemungkinan itu mempengaruhi Satria. Mungkin ia akan mempertimbangkan itu nanti. Tapi, sekarang ada ketukan di pintu yang membuat pikirannya buyar seketika.

Dan tak hanya pikirannya yang buyar. Alih-alih Satria langsung syok ketika melihat Eriana yang masuk dengan membawa setumpuk dokumen.

Astaga!

Satria bergegas. Mengambil alih dokumen itu dari tangan Eriana.

"Sini! Biar saya yang bawa."

Mengabaikan kebingungan dan keterkejutan Eriana, Satria pun beranjak. Membawa dokumen itu ke meja rapat.

"Terima kasih, Pak."

Suara Eriana membuat Satria meradang. Ia beralih pada Teguh dan berkata tajam.

"Kalau ada dokumen sebanyak ini, suruh saja Teguh yang bawa."

Dan tentunya gerutuan Satria berlanjut pula menjadi kegeraman. Walau hanya menggema di dalam hatinya saja.

Dia bawa laptop sementara istri aku dibiarkan bawa dokumen sebanyak ini. Cowok atau bukan sih?

"M-maaf, Pak."

Satria melirik tajam pada Teguh. Sekretaris keduanya itu tampak menundukkan wajah dengan ekspresi menyesal.

"Lain kali saya akan lebih sigap."

Permintaan maaf Teguh disambut oleh suara kasar ketika Satria menaruh dokumen itu dengan setengah membantingnya di meja rapat. Ia benar-benar terlihat gusar.

"Harus. Jadi sekretaris itu berarti kamu harus sigap. Masa yang begini malah disuruh Eri yang bawa?"

Tuntas perkataan itu meluncur dari bibirnya, Satria mendapati Eriana menatapnya. Tapi, ia mengabaikannya. Ia duduk dan berusaha untuk mengalihkan pikirannya ke hal lain.

"Galih, mana yang saya suruh tadi?"

Galih langsung menghampiri Satria. Bergegas demi tak ingin ikut-ikutan dimarah oleh Satria. Lantaran ia bisa dengan cepat mengambil kesimpulan.

Sepertinya Pak Satria lagi bad mood deh.

Suasana lembur kala itu tidak seperti biasanya. Walau mereka memang cenderung irit bicara lantaran takut pada Satria, tapi yang sekarang ini lebih parah lagi. Bahkan Teguh dan Galih pun seolah enggan bergerak kalau tidak mendesak. Bahkan kalau bisa mereka pun mencoba untuk tidak bernapas. Saking tidak ingin menyinggung Satria.

Namun, sepertinya percuma. Lantaran bukan hanya Teguh yang mendapat teguran. Alih-alih pun Galih juga beberapa saat kemudian. Dimulai ketika Eriana yang bertanya pada Galih.

"Galih, datanya sudah disortir?"

Galih yang tengah berkutat dengan tabel Excel di laptop, mengangguk. "Sudah, Bu."

"Oke," kata Eriana seraya bangkit dari duduknya. Berniat untuk melihatnya. "Saya cek dulu."

Eriana baru berjalan selangkah. Tapi, mendadak terdengar seruan Satria.

"Stop!"

Bukan hanya Eriana yang berhenti. Alih-alih Teguh dan Galih pun demikian pula.

Teguh yang tengah membalikkan dokumen, sontak bergeming. Dengan tangan yang memegang kertas secara vertikal dan ia tidak bergerak sama sekali. Kertas berdiri dan Teguh tidak berpikir sedikit pun untuk benar-benar membalik halaman tersebut.

Pun begitu juga dengan Galih. Jari-jarinya yang tadi bergerak di atas papan ketik laptop, berhenti bergerak. Ia pun sama tak beraninya untuk menarik tangan dari sana.

"Ehm ... kenapa, Pak?"

Dalam hati, Teguh dan Galih sama salut melihat Eriana. Yang masih berani bertanya ketika wajah Satria tampak mengeras.

Satria menunjuk kursi yang diduduki Eriana tadi. "Kembali ke kursi."

Eriana bingung. Tapi, ia melakukan apa yang diperintahkan Satria. Duduk kembali di kursinya.

Setelah memastikan Eriana duduk kembali, Satria lantas beralih pada Galih. Dengan sorot mata yang membuat Galih berpikir untuk permisi ke toilet.

"Kamu yang seharusnya bawa laptop itu dan bawa ke Eri. Bukannya nyuruh Eri yang ke tempat kamu."

Eriana melongo. Ia menggeleng. "P-Pak, Galih nggak nyuruh saya ke sana. Tapi, sa–"

"Intinya adalah dia yang harus ke tempat kamu," potong Satria cepat. "Pertama, dia itu cowok. Kedua, dia itu junior kamu. Ketiga, dia itu sehat dan segar bugar. Nggak ada alasan yang masuk akal sehingga kamu yang cewek, senior dia, dan lelah justru pergi ke tempat dia."

Eriana tidak bisa berkata apa-apa. Mulutnya bergerak-gerak. Tapi, tanpa ada suara yang bisa ia ucapkan.

"Mengerti, Galih?"

Dengan penuh irama, Satria bertanya seraya melihat pada Galih. Cowok itu buru-buru mengangguk seraya bangkit dan membawa laptop.

"Mengerti, Pak."

Galih langsung menuju tempat Eriana. Menunjukkan data yang telah disortir. Melihat itu Satria mendengkus. Tampak kesal seraya melepas jas dan melonggarkan dasinya.

"Maaf ya, Lih," bisik Eriana merasa bersalah pada Galih. "Saya nggak maksud buat Pak Satria marah sama kamu."

Galih mengangguk. "Nggak apa-apa, Bu. Yang Pak Satria katakan memang benar."

Eriana makin merasa bersalah. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Membiarkannya berlalu adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan. Berharap baik Teguh ataupun Galih sama-sama tidak ada yang tersinggung dengan sikap Satria kala itu.

Suasana kembali hening. Mereka melanjutkan pekerjaan masing-masing. Begitu pula dengan Eriana. Hingga pada satu momen, ia perlu berdiskusi pada Satria.

"Ehm, Pak."

Suara Eriana membuat Satria meninggalkan pekerjaannya. Ia mengangkat wajah. Melihat pada Eriana di seberang sana yang bangkit dari duduknya. Ia membuka sebuah dokumen dan membacanya seraya berjalan ke arah Satria.

"Sepertinya untuk tim yang kemaren di–"

"Eri!"

Seruan Satria membuat langkah Eriana refleks berhenti. Ia terlonjak kaget. Tapi, belum begitu kaget sampai ia mendapati Satria yang sudah berdiri di depannya.

"P-Pak."

Eriana mengerjap bingung pada Satria. Cowok itu tampak membuang napas panjang dengan tangan yang menutup sudut meja rapat.

"Kalau mau jalan, ya jalan dulu. Kalau mau baca, ya baca dulu," kata Satria dengan menahan geram. "Mata kamu cuma ada dua, Ri."

Eriana mengatupkan mulut. Tidak bersuara sedikit pun.

"Kalau perut kamu kepentok meja bagaimana?"

Ya ... nggak gimana-gimana, Sat.

Rasanya ingin sekali Eriana menjawab seperti itu. Tapi, ia menahan lidahnya. Alih-alih ia hanya mengangguk. Memilih untuk mundur seraya berkata lirih.

"Iya, Pak."

Satria melepaskan sudut meja itu dengan wajah mengeras. Bahkan urat-urat terlihat bertonjolan di dahinya. Sesuatu yang membuat Teguh dan Galih bersiaga.

"Kalau kamu perlu bicara sama saya," ujar Satria dengan menahan geram. Kedua tangannya naik dan mendarat dengan penuh irama di kedua lengan atas Eriana. Mendorongnya pelan dan terarah. "Biar saya yang datang."

Satria mendudukkan Eriana kembali di kursinya. Cewek itu bingung. Tapi, jelas tidak bisa bertanya apa-apa. Terlebih karena sejurus kemudian tatapan Satria kembali tertuju pada sudut meja.

Tatapan itu teramat tajam. Menjanjikan kematian. Yang membuat Teguh dan Galih merasa kasihan pada sudut meja itu.

Semua menunggu. Semua diam. Melihat pada Satria yang berkacang pinggang dan ia memandang ke sekeliling ruangannya. Pada setiap perabotan yang ada di sana. Ia geleng-geleng kepala.

Sikap Satria seolah memberikan pertanda yang tidak bagus. Bahkan Eriana pun bisa merasakan aura menakutkan telah keluar dari tubuh Satria. Aura yang telah lama tidak ia rasakan semenjak hubungannya dengan Satria berkembang menjadi hubungan antara wanita dan pria.

S-Satria kenapa ya?

Dan tentunya bukan hanya Eriana yang mempertanyakan itu. Sekarang ada Teguh dan Galih yang turut mempertanyakan hal serupa. Tentunya seraya menahan napas di dada.

"Teguh!"

Teguh tersentak. Tubuhnya seketika saja gemetaran. Ia meneguk ludah. Bersiap kalau ia akan kembali dimarah. Apa ia akan disalahkan karena sudut meja berbentuk siku-siku? Mungkin saja.

"Y-ya, Pak?"

Tangan Satria terangkat. Kemudian menunjuk ke sekeliling ruangannya. Dan ia memberi perintah.

"Kamu urus semua perabotan di ruangan saya. Paling lama besok siang semuanya sudah diganti."

"D-diganti, Pak? B-besok siang?"

Satria berjalan. Masih dengan menunjuk-nunjuk.

"Ini sudah tahun berapa? Kamu lihat ini? Meja, kursi, lemari, dan semua yang ada di sini sudah ketinggalan zaman!"

Bukan hanya Teguh, alih-alih Eriana dan Galih pun merasa bingung dengan kompak. Mengapa Satria mendadak membahas mode furnitur?

"Nggak berkelas. Nggak mengikuti tren terkini!" ujar Satria. "Ganti dengan furnitur yang nggak pake siku. Itu mode yang sudah kaku."

"N-nggak pake siku, Pak?" tanya Teguh demi meyakinkan.

"Iya. Itu nggak estetik sama sekali. Nggak ada bagus-bagusnya. Nggak ada nilai seninya."

Teguh buru-buru mencatat perintah Satria di buku catatannya. Sementara Eriana? Ia mengeryit bingung.

Satria kok jadi sensian begini ya? Kenapa mendadak suruh ganti furnitur?

"Ganti ke desain yang terlihat lebih fleksibel dan dinamis. Jangan yang monoton dan kaku seperti ini."

Teguh mengangguk. "B-baik, Pak."

"Ah!"

Satria nyaris melupakan sesuatu. Ia memutar tubuh. Melihat pada Teguh sementara tangannya menunjuk pada pintu.

"Sekalian meja, kursi, dan lemari kalian juga diganti," tambah Satria. "Mengerti?"

"Mengerti, Pak."

Mengatakan itu dengan suara rendah, tentu bukan hal sulit untuk meraba akan seberat apa pekerjaan Teguh besok. Harus memastikan semua perabotan diganti sebelum hari menyentuh pukul dua belas siang sementara sekarang sudah pukul sembilan malam.

Y-ya Tuhan.

Bahkan Eriana bisa merasakan penderitaan Teguh. Dan ia yakin. Malam ini Teguh pasti tidak akan bisa tidur nyenyak.

Eriana berpaling. Melihat pada Satria yang masih mondar-mandir melihat funitur di ruangannya. Ia menarik kesimpulan.

Bahkan pas Mas Bimo datangin aku, nggak pernah tuh aku sensian kayak dia sekarang sih.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top