37. Tuan Rumah Kewalahan
Hai! Seperti yang sering aku bilang ya: kalau aku ga update sesuai jadwal, cek sosmed aku. Kadang aku bisa telat update atau justru aku ga update. Makasih.
*
Eriana menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara ketika Intan di hadapannya menikmati makan siang dengan penuh suka cita.
"Jadi ... kapan hari kayaknya ada sedikit desas-desus. Kamu tau nggak? Katanya sih Zacky bakal nikah sama cowoknya di Perancis."
Intan menarik napas dengan penuh irama. Mata menyipit walau sorotnya entah menuju ke mana. Mungkin saja pada masa depan.
"Aku jadi beneran penasaran. Sebenarnya Zacky ini masih waras nggak ya?"
Sungguh. Eriana sudah mencoba bersabar sedari tadi. Tapi, Intan sama sekali tidak memberikan ia jeda untuk menyela. Intan terus saja menceritakan gosip-gosip terbaru dengan penuh antusias.
"Aku nggak peduli dengan kewarasan Zacky. Yang aku pedulikan sekarang adalah kewarasan aku."
Ekspresi Intan seketika berubah. Perkataan Eriana membuat ia mengerutkan dahi. Memang Eriana tidak pernah tertarik dengan gosip para artis, tapi yang kali ini terasa berbeda.
"Kamu kenapa?" tanya Intan seraya mengamati sang sahabat lekat. "Kalau aku perhatikan ... kamu agak beda hari ini."
Tangan Intan meninggalkan sendok. Terangkat dan menunjuk.
"Kenapa mata kamu bengkak? Kamu nggak abis nangis kan? Nggak abis ribut sama Satria kan?"
Eriana memejamkan mata dengan dramatis. Lirih, ia menjawab.
"Nggak. Aku nggak ribut sama Satria. Aku nggak nangis. Aku cuma nggak bisa nyenyak tidur belakangan ini."
Aneh. Tentu saja aneh.
Intan meninggalkan sejenak makan siangnya. Rasa penasaran membuat ia membombardir Eriana dengan pertanyaan.
"Terus? Kenapa bisa kamu nggak nyenyak tidur? Nggak mungkin kan AC di kamar kamu rusak? Token listrik kamu nyanyi-nyanyi? Atau kang kredit panci datang ke rumah?"
Eriana berdecak. Wajahnya tampak putus asa menanggapi pertanyaan tak masuk akal Intan.
"Bukan itu," ujar Eriana meringis. "K-kayaknya Mas Bimo udah mau dua bulan ini nggak datang-datang."
Intan melongo. "M-Mas Bimo? Ehm ... itu kang batagor atau kang mi ayam?"
Kedua tangan Eriana naik ke atas. Ingin mendarat di kepala dan meremas rambut, tapi untungnya ia cepat sadar. Bahwa yang menyisir sanggulnya adalah Lina.
Akhirnya Eriana memilih untuk meremas kedua tangannya satu sama lain. Berusaha untuk meredam geram.
"M-Mas Bimo ... nggak datang-datang, Tan," ujar Eriana lagi. "Semenjak abis nikah, dia cuma datang sekali. Abis itu dia nggak datang-datang lagi."
Kerutan Intan semakin bertambah. Nyaris tak ubahnya seperti kulit jeruk purut. Pun begitu pula dengan ekspresi bingung dan tak yakinnya. Tapi, ia memastikan.
"M-Mas Bimo ini ... bukan siklus bulanan kamu kan?"
Eriana mengerang frustrasi. "Iya. Mas Bimo udah mau dua bulan nggak datang, Tan."
"Wah!"
Intan terkesiap. Ia buru-buru bangkit dan pindah ke kursi di sebelah Eriana. Tanpa banyak basa-basi, ia langsung memeluk Eriana yang masih frustrasi.
"Selamat, Ri, selamat. Penerus keluarga konglomerat bakal lahir ke dunia," kata Intan memberi selamat. "Takhta kamu sebagai ratu nggak akan goyah."
Frustrasi Eriana semakin menjadi-jadi. Ketika Intan mengucapkan selamat dengan penuh suka cita, eh ia malah meringis seolah penuh derita.
"Loh, Ri?"
Intan melepaskan pelukannya. Bingung melihat sikap Eriana yang tak seperti istri pada umumnya.
"Kok kamu kelihatan nggak senang sih? Ehm ... itu anak Satria kan?"
"Astaga, Intan!"
Sendok melayang dan mendarat di dahi Intan. Cewek itu menahan tawa agar tidak menyembur ketika Eriana meradang melihatnya.
"Ya tentu saja anak Satria," tandas Eriana. "Masa aku membuahi diri aku sendiri sih?"
Intan tergelak. Tidak merasa aneh dengan jawaban Eriana. Pasti bukan jawaban manusia normal pada umumnya.
"Terus ... kalau ini anak Satria," ujar Intan seraya menjauhkan peralatan makanan dari jangkauan Eriana. Sekadar jaga-jaga. "Kenapa kamu kayak nggak happy?"
Pundak Eriana jatuh. Wajahnya terlihat tak berdaya.
"Aku bukannya nggak happy. Aku ya pasti happy. Ternyata selama ini cuma otak aku yang agak bermasalah. Organ reproduksi aku masih bagus. Cuma ...."
Intan menunggu. "Cuma?"
"Kami harusnya honeymoon bulan depan!" jerit Eriana.
Intan melongo. Ia menatap Eriana tak percaya. "Serius? Cuma gara-gara itu?"
"Tentu saja nggak," jawab Eriana cepat. "Kamu nggak tau, Tan. Kehamilan itu hal yang membahagiakan dan juga pasti yang merepotkan."
Mata Eriana memejam dramatis. Ada banyak kilasan yang muncul di benaknya. Hingga membuat ia meremang berulang kali.
"Aku bisa pastikan. Honeymoon kami bakal batal. Karena apa?"
Intan tidak tau jawabannya. Tapi, pastinya Eriana tau. Sangat tau malah.
"Karena akan ada kelas kehamilan, tradisi kehamilan, pantangan kehamilan, anjuran kehamilan, kontrol kehamilan, dan pastinya setumpuk aturan yang harus aku lakukan."
Intan kembali melongo. Perkataan frustrasi Eriana menyadarkannya akan satu kenyataan yang nyaris ia lewatkan. Siapa suami Eriana dan bagaimana latar belakang keluarganya.
"Aku nggak heran kalau ntar tidur aku harus diatur menghadap ke timur atau ke barat," lanjut Eriana dengan horor.
Intan menepuk-nepuk punggung Eriana lembut. "Aku nggak tau soal itu."
"Aku juga nggak tau. Tapi, itu sempat dibahas di kelas seni budaya."
Intan tidak akan pernah mengerti apa hubungannya kelas seni budaya dengan kehamilan wanita. Jadi ia memutuskan untuk tidak berkomentar walau ia yakin untuk sesuatu.
"Tapi, terlepas dari itu ... selamat, Ri. Kamu akan jadi seorang ibu sebentar lagi."
Frustrasi Eriana terjeda. Apa yang dikatakan oleh Intan memang benar. Tanpa sadar membuat ia memegang perutnya dengan satu tangan. Senyum samar timbul di wajahnya.
"Kamu benar. Dan aku penasaran, apa ya kira-kira tanggapan Satria?"
"Tanggapan dia? Ya pasti senanglah," tukas Intan geleng-geleng. "Aneh aja. Apalagi kalau kamu hamil anak cowok. Ya udah deh. Dunia ini pasti dikasih keluarga dia untuk kamu seorang."
Tentunya Satria tidak akan mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Tapi, apa yang dikatakan oleh Intan memang ada benarnya.
Eriana merenungkan perkataan Intan. Ia membuang napas dan mengangguk. "Sepertinya iya. Dia pasti bakal senang. Ehm ... kalau gitu, baiknya ntar aku beli testpack dulu deh."
"Kamu belum tes?"
"Belum. Aku baru kepikiran karena siklus aku telat udah mau dua bulan."
Menatap Eriana, Intan hanya bisa geleng-geleng kepala. "Biasanya cewek itu langsung pasang siaga kalau sebulan aja telat. Eh ini udah mau dua bulan, baru deh kamu ngeuh."
"Gimana lagi? Soalnya di kantor lagi banyak kerjaan."
"Ya ... masuk akal," ujar Intan manggut-manggut. "Walau sebenarnya aku sempat kepikiran kalau kalian bakal nunda dulu. Apalagi kamu kan belum resign."
"Harusnya. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya."
Biasanya setelah menikah setiap pasangan suami istri memang akan membicarakan hal tersebut. Menunda atau tancap saja. Karena jelas setiap pasangan memiliki prioritas dan rencana masing-masing. Keadaan satu pasangan dengan yang lainnya tentu saja tidak sama.
"Dari awal aku dan Satria belum ada bahas soal anak. Dan kalau aku pikir-pikir, kami lumayan teledor juga ya?"
Intan mengangguk. "Masa sih selama nikah kalian belum ada bahas soal ini? Belum ada diskusi sama sekali?"
"Boro-boro mau diskusi, Tan," keluh Eriana. Bola matanya berputar sekilas dengan malas. "Kami tatapan dikit aja, eh ... malah tubuh kami yang diskusi."
"E-eh?"
Eriana membuang napas panjang. Sekarang kalau ia mau merenungi hari-harinya setelah menikah maka bisa dipastikan bahwa ia dan Satria belum ada membahas soal perencanaan anak sama sekali. Bahkan rencana KB ke depan pun belum.
"Dan sekarang ... diskusi tanpa jeda yang kami lakukan sudah memberikan hasil."
Intan meneguk ludah dengan ekspresi yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia memilih diam dan kembali ke kursinya saja. Melanjutkan makan seraya berpikir di benaknya.
Ngomong-ngomong ... gimana ya nasib anak Eri ntar? Semoga saja dia legowo akan takdir Tuhan.
*
Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah waktunya untuk pulang kerja, tapi tidak demikian yang terjadi.
Lembur di kantor masih berlanjut. Dan akan kembali dilakukan di ruangan Satria. Maka tidak heran bila lima menit kemudian pintu terketuk. Membuka. Menyilakan Eriana, Teguh, dan Galih untuk masuk.
Satria bangkit dari duduknya. Berniat untuk langsung menuju pada meja rapat, tapi mendadak saja bola matanya membesar. Refleks, ia berlari menuju Eriana. Yang tampak membawa setumpuk dokumen setinggi dagu.
"Sini! Biar saya yang bawa."
Eriana mengerjap. Ingin menolak, tapi Satria sudah keburu mengambil alih dokumen-dokumen itu. Tentu saja membuat ia salah tingkah.
S-Satria apa-apaan sih?
Menahan diri untuk tidak melihat pada Teguh dan Galih, Eriana mendeham. Mencoba untuk bersikap santai dan biasa-biasa saja.
"Terima kasih, Pak."
Satria melirik Eriana dan lalu beralih pada Teguh. "Kalau ada dokumen sebanyak ini, suruh saja Teguh yang bawa."
Teguh melihat laptop yang ia bawa. Perasaannya seketika merasa tidak enak.
"M-maaf, Pak," ujar Teguh seraya menunduk. Suaranya terdengar terbata. "Lain kali saya akan lebih sigap."
Satria menaruh dokumen itu di meja rapat dengan sedikit kasar. Wajahnya terlihat gusar ketika membalas perkataan Teguh.
"Harus. Jadi sekretaris itu berarti kamu harus sigap. Masa yang begini malah disuruh Eri yang bawa?"
Teguh yang mendapat teguran, tapi Eriana yang merasa tidak enak. Hingga ia menatap Satria seolah ingin bertanya.
Kamu kenapa sih, Sat? Kok mendadak sensian sore ini?
Satria tidak menjawab rasa ingin tau Eriana. Alih-alih ia segera duduk dan berkata.
"Galih, mana yang saya suruh tadi?"
Galih yang tidak ingin ikut-ikutan dimarah, segera memberikan apa yang Satria inginkan. Sementara itu Eriana menghampiri Teguh. Ia menenangkan cowok itu.
"Biasa," bisik Eriana. "Pak Satria marah itu hal yang biasa. Ntar juga udah lupa kok."
Teguh mengangguk. "I-iya, Bu."
Eriana merasa tidak enak pada Teguh. Padahal biasanya Satria tidak pernah begitu. Bahkan andai kata Eriana membawa bom nuklir pun Satria biasanya santai-santai saja.
Ehm ... aneh.
Eriana mengusap dagu. Dengan kerutan yang memenuhi dahi, ia lantas bertanya pada dirinya sendiri.
Apa Mas Bimo justru datang ke Satria ya?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top