36. Tak Diundang Maka Tak Datang
Satria bisa merasakan bahwa ada yang berbeda pada Eriana kala itu. Ketika malam menjelang dan ia justru tampak tidak bernafsu untuk semangkuk soto ayam yang ia pinta tadi pagi. Tepat sebelum mereka pergi ke rumah orang tua Satria.
"Ri."
Memanggil Eriana, Satria mendapati sang istri mengerjap samar. Ia berpaling dan Satria menemukan ada yang aneh dengan sorot mata Eriana.
"Ya?"
"Kamu baik-baik saja?" tanya Satria. Sekilas, ia melirik pada soto ayam Eriana. "Kenapa kamu nggak makan? Apa nggak enak?"
Eriana melihat soto ayamnya. Ia buru-buru menggeleng.
"Enak kok."
Jawaban itu tak berarti apa-apa untuk Satria. Ia pun mendesak. "Terus?"
"Terus? Ehm ... aku makan kok," ujar Eriana kemudian seraya mengangguk. Ia menyuap sesendok kuah. "Aku makan."
Setelah itu Eriana memang makan seperti biasanya. Tapi, bukan berarti Satria melepaskan curiga yang ia rasa begitu saja. Terlebih lagi ketika mereka akan tidur.
Satria berpaling. Melihat Eriana yang berbaring memunggunginya.
Untuk kategori seorang istri yang kerap meraba-raba sebelum tidur dan bahkan saat tidur, memunggungi sang suami adalah hal yang teramat tak masuk akal untuk dilakukan oleh Eriana. Dan itu membuat Satria semakin bertanya-tanya.
Satria beringsut. Ia membuat pengecualian. Bila biasanya adalah Eriana yang mendekatinya maka sekarang berbeda.
Satria merengkuh tubuh Eriana dari belakang. Pada saat itu, Satria bisa merasakannya. Tubuh Eriana seketika menegang.
"Ri."
Memanggil Eriana seraya melabuhkan satu kecupan di pundaknya yang polos, Satria langsung bertanya.
"Kamu kenapa? Ada sesuatu?"
Tak terlihat oleh Satria, Eriana menahan napas seraya menggigit bibir bawahnya. Matanya mengerjap beberapa kali. Wajahnya terlihat bingung, tapi juga gelisah.
Akhirnya Eriana menggeleng.
"Nggak ada apa-apa."
Satria bisa merasakan kebohongan di jawaban itu. Dan mungkin karena itulah mengapa Satria kemudian menarik Eriana. Hingga tubuh cewek itu berbaring dan memberikan kesempatan bagi Satria untuk memaku matanya.
Di keremangan lampu tidur yang bewarna kuning lembut, Satria bisa mendapati Eriana yang berusaha menghindari tatapannya. Tentunya itu pun bukan kebiasaan Eriana.
"Apa ada sesuatu yang terjadi selama kunjungan tadi?" tanya Satria menebak. Mungkin saja saat ia ke toilet ada satu atau dua orang yang bertindak kelewatan pada Eriana.
Namun, Eriana menarik napas dalam-dalam hanya untuk menggeleng. Ia tersenyum walau terasa hambar di mata Satria.
"Nggak kok. Semua biasa-biasa saja."
Eriana tidak berbohong. Memang tidak ada sesuatu yang terjadi padanya selama di rumah orang tua Satria. Tapi, bukan berarti itu bisa menyuap rasa aneh yang semakin membesar di pikiran Satria.
"Serius?" tanya Satria lagi.
Eriana mengangguk. Kali ini senyumnya terlihat lebih tulus. "Serius."
Satria tidak bisa mendesak lebih jauh dari itu. Kalau Eriana mengatakan tidak ada apa-apa, apa lagi yang dapat ia lakukan? Jawabannya tentu saja tidak ada.
"Baiklah kalau begitu," ujar Satria seraya melihat helaian rambut Eriana yang sedikit berantakan di sisi wajah. Ia merapikannya sekilas. "Kamu istirahat. Kamu pasti lelah hari ini."
Eriana mengangguk. Ia pun bersiap untuk benar-benar menutup mata. Tapi, sayangnya Satria justru berpikir yang lain.
Wajah Satria pelan-pelan menunduk. Matanya membidik pada satu titik merah muda yang tampak lembab itu.
Eriana mengerjapkan mata ketika Satria melumat bibirnya. Sama seperti biasa. Persis seperti biasa. Yang ketika sentuhan bibir pasti tidak akan berakhir dalam hitungan detik.
Tangan Eriana seketika naik. Bertahan di dada Satria. Tapi, tidak seperti biasanya. Yang biasanya meremas maka kali ini justru menahannya. Perlahan mendorongnya.
"S-Sat."
Eriana menarik wajah. Ciuman itu putus. Menghadirkan kebingungan di wajah Satria.
"B-besok kita harus kerja," ujar Eriana terbata. "Lebih baik kita tidur."
Bukan lagi merasa aneh. Kali ini Satria sempat berpikir kalau yang ada di pelukannya bukanlah Eriana. Melainkan alien tersasar. Atau mungkin bisa saja ada makhluk halus yang berpura-pura menjadi istrinya.
B-bagaimana bisa Eri nolak ciuman aku? Memangnya sejak kapan Eri peduli dengan kerjaan?
Satria menarik napas sekilas. Tidak bermaksud memandang sebelah mata pada profesionalisme Eriana. Tapi, Eriana tidak pernah menolak dirinya. Bahkan bisa dikatakan Eriana juga menyukainya. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia berhubungan intim walau di hari kerja.
Ya walau cuma setengah jam, dia nggak pernah nolak. Bahkan kadang minta double porsi.
Hanya saja Satria tidak akan mempermalukan nama pemberian orang tuanya. Bak seorang kesatria maka ia pun mengangguk. Berbesar hati untuk penolakan Eriana layaknya pria sejati.
"Kamu benar. Sebaiknya kita tidur sekarang."
Tuntas mengatakan itu, Satria pun mengambil posisinya. Ia berbaring, tapi matanya masih membuka.
Semenit. Dua menit. Tiga menit.
Satria sudah puas menatap langit-langit kamar. Sekarang ia berpaling lagi pada Eriana dan berpikir.
D-dia nggak mau peluk aku?
*
"Ehm."
Teguh mendeham seraya pura-pura merenggangkan tubuh. Bersandiwara layaknya ia menderita encok di usia yang baru menginjak angka dua puluh tujuh tahun.
Namun, jangan terkecoh. Nyatanya itu adalah sinyal yang hanya dimengerti oleh Galih.
Terbukti. Galih segera menjeda pekerjaannya. Ia melayangkan pandangannya ke seberang. Tepat pada Teguh yang memberikan lirikan pada Eriana.
Isyarat tanpa kata dari Teguh untuk Galih. Mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tak biasa pada Eriana.
Galih mengangguk. Membenarkan dugaan Teguh. Lantaran sedari tadi ia pun sudah merasakan keanehan itu.
Tidak seperti hari-hari biasanya di mana Eriana tampak penuh semangat dan suka cita ketika bekerja. Kali ini Eriana cenderung lebih pendiam. Tidak bisa dikatakan lesu, tapi yang pasti Eriana tampak tidak bergairah.
Eriana mengetik. Sepuluh menit kemudian jemarinya berhenti bergerak. Matanya melihat pada pojok kanan bawah layar komputer. Tepatnya pada tanggal yang ada di sana.
Eriana membuang napas panjang. Ia menutup mata dan menggeleng sekali. Setelahnya barulah ia lanjut mengetik kembali.
"Ya ampun."
Mendadak saja Teguh terkesiap seraya menepuk dahinya. Ia buru-buru bangkit seraya membuka tablet di mejanya.
"Hampir saja aku lupa. Setengah jam lagi Pak Satria ada janji temu di luar."
Eriana hanya mengerjap sekali. Melirik Teguh tanpa minat. Ia tidak menegur Teguh untuk keteledoran yang nyaris ia lakukan. Bahkan lebih dari itu. Ia pun tidak mengingatkan Teguh lebih awal.
Teguh buru-buru ke ruangan Satria. Kembali lagi ke meja sekitar dua menit kemudian dan bersiap.
Tak lama kemudian, Satria keluar. Ia menghampiri Teguh.
"Sudah kamu siapkan semuanya?" tanya Satria demi memastikan Teguh tidak melupakan apa pun.
Teguh mengangguk. "Sudah, Pak. Saya juga sudah meminta Pak Yanto untuk menunggu di bawah. Kita bisa pergi sekarang."
"Baiklah."
Satria beranjak. Teguh mengikutinya. Tapi, sejurus kemudian Satria justru menghentikan langkah kakinya ketika baru saja ia berjalan dua langkah.
Teguh menunggu dengan tegang. Bertanya-tanya di dalam hati.
Apa aku lupa sesuatu?
Teguh yakin ia sudah mempersiapkan semuanya. Tapi, ternyata bukan dirinya yang menjadi alasan Satria untuk kembali memutar tubuh.
"Eri."
Mata Eriana yang sempat redup, menyala kembali. Sempat tergugu, tapi ia dengan segera bangkit dari duduknya.
"I-iya, Pak?" tanya Eriana terbata. "Ada apa?"
Satria mengerutkan dahi. Tampak tak yakin ketika bertanya. "Kamu sakit?"
"Nggak, Pak. Saya nggak sakit."
Mungkin sakit memang bukanlah kata yang tepat untuk mewakili keadaan Eriana kala itu. Tapi, Satria tidak menemukan kata yang bisa untuk menggambarkannya. Pada akhirnya ia hanya mengangguk. Dan barulah kemudian ia benar-benar pergi dari sana bersama dengan Teguh.
Galih melihat Eriana. Dalam hati, ia berkata.
Sepertinya memang ada sesuatu.
Mungkin. Mungkin memang ada sesuatu. Karena Eriana berulang kali menghela napas panjang seraya terus melihat kalender.
Eriana menggigit bibir bawah. Ia bergeming dengan satu hal yang mengganggu di benaknya.
J-jadi urutannya gimana ya? Ngomong sama Satria dulu atau beli testpack dulu?
Eriana memejamkan mata dengan dramatis. Ia tampak putus asa dengan satu rutukan.
Mas Bimo ini sekali ketemu sama Satria udah itu nggak datang-datang lagi?!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top