35. Ada Undangan Ada Kedatangan

Santoso mengernyit. Tampak ragu, tapi ia kembali bertanya pada Lina. Demi memastikan bahwa Lina tidak keliru bicara dan ia tidak keliru mendengar.

"S-soto ayam lagi? Dengan jeruk yang banyak."

Lina meringis dan mengangguk. "Iya, Pak. Nyonya minta malam ntar masak itu lagi."

"B-bagaimana bisa?" tanya Santoso tak percaya. "Selama seminggu ini Nyonya sudah minta menu soto selama empat kali."

Lina hanya bisa menggeleng. Agaknya ia bisa merasakan kebingungan yang tengah dirasakan oleh Santoso.

"Sejauh yang saya tau ... Nyonya memang sedang banyak pekerjaan di kantor. Jadi Nyonya mau makan yang seger-seger, Pak."

Santoso menarik napas panjang. Mungkin memang ada hubungannya. Tapi, ia tidak begitu yakin.

"Yang seger-seger, Mbak?"

"N-Nyonya minta rujak juga nggak?"

Ya ampun. Lina memejamkan mata saking kagetnya. Lantaran Kinan dan Anita yang tiba-tiba bergabung dan langsung melayangkan pertanyaan.

"Kalian ini," geram Lina. "Ngapain sih?"

Kinan dan Anita tampak cengar-cengir. Mereka tampak membawa baskom yang berisi ayam dan juga aneka sayuran.

"Kami kan mau buat soto ayam," jawab Anita seraya menahan kikik geli.

Kinan mengangguk. "Buat Nyonya yang lagi ngidam."

Sontak saja bola mata Lina membesar. Ia melihat ke kanan dan ke kiri berulang kali dengan wajah panik. Setelah yakin tidak ada siapa-siapa, ia memukul Kinan dan Anita bergantian.

Bukan pukulan yang menyakitkan, memang. Alih-alih pukulan geram tanda Lina geregetan.

"Kalian ini. Hobinya kok bergosip aja."

"Ini bukan gosip kosong, Mbak," ujar Kinan yakin. "Mbak perhatiin deh. Udah berapa hari ini Nyonya suka banget makan soto ayam."

Lina mendengkus. "Aku juga bisa makan bakso tiap hari. Tapi, bukan berarti aku ngidam."

"Kan beda atuh, Mbak."

Anita tersenyum geli seraya mencolek sekilas ujung hidung Lina. Membuat cewek itu memelototkan matanya.

"Mbak mah belum nikah. Kalau Nyonya kan sudah."

Bola mata Lina berputar malas. Sudahlah. Ia memilih untuk mejaga kewarasan saja. Tak ada gunanya meladeni dugaan Kinan dan Anita.

"Aku mau pergi saja dari sini. Aku masih banyak kerjaan lain," kata Lina akhirnya. Tapi, sebelumnya ia kembali mengingatkan Santoso. "Jangan lupa, Pak. Soto ayam dan jeruknya dibanyakin."

Santoso yang sedari tadi menyimak perdebatan mereka, mengangguk dengan mengulum senyum.

"Tentu."

Setelahnya Lina langsung keluar dari dapur. Tutup telinga dan mata untuk tingkah kelakuan Kinan dan Anita. Mereka berdua masih saja terkikik-kikik dengan dugaan tersebut.

Membuang napas, Lina menuju tangga. Kala itu hari baru menunjukkan pukul setengah enam pagi. Lina akan membantu Eriana bersiap mengingat pagi itu ia dan Satria akan pergi ke rumah orang tua Satria.

Pada saat itulah mendadak Lina terpikir sesuatu. Saat kakinya menapak di anak tangga satu persatu, ia mengingat.

Ini tanggal berapa ya? Nyonya sudah dapat jadwal bulanan belum ya?

Mulut Lina mengerucut dan dahinya mengerut. Tampaknya ia berusaha mengingat dengan jelas.

Apa ... sejak pulang ke rumah, Nyonya belum dapat menstruasi ya?

*

Eriana menarik napas dalam-dalam. Saat mobil yang dikendarai oleh Yanto memasuki gerbang megah itu, Eriana merasa jantungnya bertalu-talu. Keringat dingin memercik di dahinya dan ia pikir kepalanya mendadak pusing.

"Kenapa?"

Satria melirik Eriana. Sikapnya yang tampak lesu membuat cowok itu mengerutkan dahi.

"Kamu jadi benar-benar sakit sekarang?"

Eriana manyun, tapi ia menggeleng. "Aku bukannya sakit. Cuma mendadak aja aku lemes buat ketemu keluarga Papa kamu."

Satria hanya bisa membuang napas panjang. Ia melihat ke depan. Pada jalanan yang dilalui oleh mobil. Masih melintasi taman depan, setidaknya masih butuh sekitar dua menit lagi untuk mereka tiba pelataran rumah.

"Jangan bilang gara-gara yang malam tadi."

Ajaib sekali. Manyun Eriana langsung menghilang dan tergantikan oleh kuluman senyum malu-malu.

"Sat."

Eriana memanggil seraya beringsut dengan tiba-tiba. Sontak membuat Satra kaget dan matanya melotot.

"Apa?" tanya Satria horor sembari menundukkan wajah. Melihat pada tangan Eriana yang sudah bermain-main di dadanya.

Astaga.

"Yang malam tadi itu ...," ujar Eriana dengan pipi yang bersemu. "... keren banget."

Satria mengerjap. Ia hanya bisa terkesiap syok.

"Kita bentar lagi bakal bertemu dengan keluarga aku, Ri. Dan kamu malah bahas soal yang malam tadi?"

Eriana mengangguk dengan ekspresi imut. "Salah kamu sih. Tiba-tiba bahas soal itu. Ehm jadi buat aku mau lagi."

Mata Satria tidak bisa lebih melotot dari saat itu. Mungkin saja sebentar lagi bola matanya benar-benar akan keluar.

"Ntar malam gimana?"

Mobil berhenti bergerak. Satria meneguk ludah dan berkata.

"Nggak."

Tuntas mengatakan satu kata penolakan itu, Satria langsung membuka pintu mobil dan turun.

"Ck," decak Eriana geli. "Bilangnya aja nggak. Ujung-ujungnya dia duluan ntar yang mulai."

Eriana berusaha menahan gelinya agar tidak berubah menjadi kikikan. Terlebih ketika ia pun turun pula.

Satria melihat pada Eriana. Meraih tangan Eriana dan menggenggamnya. Mengajaknya untuk melewati sederetan asisten rumah tangga yang menyambut, masuk.

Ketika menjejakkan kaki di rumah orang tua Satria, Eriana bersyukur di dalam hati. Setidaknya sedikit percakapan aneh yang terjadi tadi bisa memberikan energi tambahan untuknya. Maka ia yakin bisa menyapa anggota keluarga dari pihak Sigit dengan lebih penuh semangat.

Adalah Megantara Widyadiningrat yang ternyata langsung menyambut kedatangan putra dan menantunya. Wanita paruh baya itu terlihat semringah mendapati kedatangan mereka berdua.

"Akhirnya kalian sampai juga."

Eriana langsung menghampiri Mega. Memeluknya dan menyapa dengan sopan.

"Bagaimana kabar kamu, Ri?" tanya Mega. "Mama dengar akhir-akhir ini kalian sering lembur."

Tidak heran bila Mega mengetahui hal tersebut. Setidaknya ada Masdar yang akan selalu setia memberi kabar padanya. Tapi, tentunya Masdar pun tau batasannya. Hingga sekarang Satria tidak mendapat teguran untuk kejadian sekitar dua bulan yang lalu. Bertempat di apartemen lama Eriana yang melibatkan Jefri.

"Memang lagi banyak kerjaan, Ma. Tapi, kami baik-baik saja," ujar Eriana tersenyum.

Mega menatap Eriana dan menarik napas dalam-dalam. Ia mengangguk beberapa kali sebelum beralih pada putranya.

"Bagaimana di kantor? Kapan rencananya Eri keluar?" tanya Mega pada Satria. Kala itu mereka pun beranjak. Menuju pada ruang keluarga di mana orang-orang sudah menunggu mereka.

Satria tidak heran bila Mega menanyakan hal itu. Lantaran ada banyak agenda yang harus dimulai oleh sang ibu dan Eriana.

"Kantor lancar, Ma. Kalau nggak ada halangan," ujar Satria seraya menarik napas sekilas. "Rencananya Eri akan keluar dua minggu lagi."

Mega mengangguk seraya tersenyum pada Eriana. "Sepertinya kamu bisa menemani Mama untuk penyerahan beasiswa bulan depan."

Menghentikan pembicaraan itu di ambang pintu, Mega lantas meraih tangan Eriana. Mengajaknya untuk segera masuk ke ruang keluarga tepat setelah Eriana menarik napas dalam-dalam.

Bergabung dengan keluarga besar dari pihak Sigit, Eriana mendapati beberapa orang masih melihat sebelah mata padanya. Berusaha mengabaikan, tapi terkadang sikap ketus mereka terlihat begitu terang-terangan. Untungnya perjalanan hidup sudah membuat hati Eriana lebih tebal dan lebih kuat.

Siang telah terlewati. Satria yang ingat bahwa ia sudah berjanji akan mengajak Eriana pulang lebih cepat, berniat untuk berpamitan pada anggota keluarga. Tapi, mendadak saja ada kehadiran seseorang yang tidak ia duga sama sekali.

"Tante Dewi."

Adalah Dewianti Widyadiningrat yang lantas melambai pada sang keponakan. Ia celingak-celinguk. Melayangkan pandangan ke taman di mana anggota keluarga berkumpul. Menikmati jamuan seraya bercengkerama.

"Mama kamu mana, Sat?" tanya Dewi. "Tante ada urusan sama Mama kamu."

Perasaan Satria mendadak berubah tak enak. Bukannya bermaksud berlebihan. Tapi, pengalaman hidup sudah mengajarkan Satria bahwa adik ibunya yang satu ini adalah seseorang yang harus dihindari demi ketenangan dunia.

"M-Mama–"

Bola mata Dewi membesar dan ia sontak menepuk lengan Satria. "Pasti lagi bareng Eri ya?"

Mampuslah.

"Di mana mereka?" tanya Dewi lagi. "Pas banget. Sekalian ada Eri."

Satria berusaha menahan Dewi. Ia berani bertaruh bahwa Eriana dan Dewi bukanlah perpaduan yang tepat.

Kenangan masa lalu melintas di benak Satria. Saat ia dan Eriana dituduh melakukan sesuatu di luar norma. Pada saat itu Dewi adalah kompor meledak yang turut membakar keadaan. Sedikit banyak. Oh, Satria yakin sekali kalau pernikahan dirinya adalah campur tangan Dewi.

"T-Tante, bentar."

Dewi tidak peduli. Ia mengabaikan Satria dan langsung beranjak dari sana. Kebetulan sekali ia bertemu dengan seorang asisten rumah tangga yang dengan senang hati menunjukkan tempat di mata Eriana dan Mega berada.

"Ah! Di dapur!"

Dewi langsung menuju dapur. Benar saja, mertua dan menantu itu sedang bercengkerama dengan caranya mereka sendiri.

Semula Mega hanya ingin berbincang singkat pada Eriana. Sekadar menanyakan bagaimana keadaan rumah tangga mereka. Apakah Eriana mengalami kesulitan mengurus rumah dan lain sebagainya.

Itu bukanlah perbincangan yang serius. Bahkan bisa dikatakan pembicaraan singkat. Tapi, ketika Mega dan Eriana berniat untuk kembali bergabung di taman, mendadak saja Dewi muncul.

"Loh? Dewi?" tanya Mega bingung. "Kenapa kamu datang?"

Dewi tersenyum lebar pada Eriana. Barulah ia menjawab pertanyaan Mega.

"Mbakyu, aku ditawarin lukisan langka. Makanya aku mau konsultasi sama Mbakyu. Tapi, itu bisa di-pending dulu. Lihat Eri di sini, aku jadi mau nanya sesuatu sama Eri."

Eriana mengerjap. Tampak bingung ketika Dewi menyenggol dirinya.

"A-aku, Tan? Mau nanya apa?"

Dewi mendekati Eriana. Tubuh Eriana sontak kaku, tapi ia pun tidak bisa menghindar. Terlebih karena Dewi sekarang tepat ada di depan wajahnya.

"Gimana?" tanya Dewi seraya tersenyum geli. "Remas-remasan kalian sudah membuahkan hasil belum?"

Eriana melongo. "R-remas-remasan, Tan?"

Dewi terkikik. Sementara Mega menahan napas dan memejamkan mata.

"Iya. Remas-remasan," ujar Dewi seraya memberi peraga dengan kedua tangannya. "Kayak yang waktu itu."

Astaga! Kali ini Eriana membeku jiwa raga. Sama halnya dengan Satria yang turut bergeming di ambang pintu dapur. Berniat untuk menyusul, tapi semua sudah terlambat.

Dewi melirik sekilas pada perut Eriana sebelum melemparkan gerlingan genit. Dan ia tidak segan-segan untuk memperjelas pertanyaannya.

"Kira-kira apa kami udah bisa gendong cucu dalam waktu dekat?"

Eriana berusaha untuk tetap bernapas. Terlepas dari fakta bahwa ia memang menyukai sifat dan karakter Dewi –pun demikian dengan anggota keluarga lainnya dari pihak Mega, tapi tetap saja pertanyaan yang satu ini tidak ia antisipasi.

"C-cucu?" tanya Eriana terbata.

Sepertinya bukan hanya Eriana yang syok dengan pertanyaan itu. Mega pun demikian. Yang sedari tadi ketika Eriana dan Satria datang, ia mencoba untuk bertahan. Ia ingin bertanya, tapi ia menahan lidahnya. Bahkan ketika ia berdua saja dengan Eriana, sebenarnya sudah beberapa kali Mega hampir menanyakannya. Hanya saja selalu gagal.

Dan sekarang, seperti biasanya Dewi menjadi pembeda. Tapi, untuk kali ini Mega tidak akan memarahi adiknya itu. Alih-alih ia diam. Menunggu jawaban Eriana.

"I-itu ...."

Eriana meringis. Tak yakin harus menjawab apa. Dan untunglah, Satria tanggap akan situasi. Ia masuk dan menginterupsi keadaan yang menegangkan itu.

"Ehm."

Dehaman Satria menarik perhatian semua orang. Ia berpura-pura tak tau untuk apa yang sedang terjadi. Alih-alih ia melihat jam tangan.

"Ma, sepertinya aku dan Eri mau pamitan. Kami mau pulang sekarang."

"Pulang?" tanya Mega syok. "Sekarang?"

Satria mengangguk. "Besok banyak kerjaan di kantor. Kalau kerjaan sudah agak longgar, kami pasti datang ke rumah."

Mega tentu saja ingin menahan. Pun begitu pula dengan Dewi. Apalagi karena mereka belum mendapatkan jawaban untuk pertanyaan penting itu.

Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Satria langsung mengajak Eriana untuk berpamitan. Tak butuh waktu lama, mereka pun meninggalkan kediamanan sang orang tua.

Tatkala Yanto melajukan mobil keluar dari gerbang rumah, Eriana membuang napas lega. Kedua tangannya naik dan mendekap dada. Gila! Tapi, jantungnya masih berdebar kencang.

Begitu pula dengan Satria. Sekarang ia menarik udara dalam-dalam demi mendamaikan detak di dadanya.

Terlambat saja sedikit, semua bisa kacau.

Satria tidak bisa membayangkan. Kalau pembicaraan soal cucu sudah muncul ke permukaan, tentu saja itu akan menjadi hal yang sulit untuk Eriana. Lantaran kala itu keluarga besar pihak ayahnya tengah berkumpul.

Sekarang keadaan sudah aman terkendali. Satria pun bisa merilekskan kembali tubuhnya yang sempat menegang lantaran kedatangan Dewi. Dan ia merutuk di dalam hati.

Lihat kan? Setiap ada Tante Dewi pasti ada saja yang terjadi.

Satria berjanji di dalam hati. Nanti. Suata saat nanti. Ia akan lebih teliti dan menghindari pertemuan dengan tantenya yang satu itu.

Masuk akal? Datang bukannya nanya kabar. Eh, malah nanya soal cucu.

Merutukkan hal tersebut, tiba-tiba saja Satria tertegun. Sesuatu membuat pikirannya tersita. Pada satu hal yang lantas membuat ia bertanya bingung.

Ngomong-ngomong ... Mas Bimo belum ada datang lagi ya?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top