33. Lewat, Tapi Terlewati
"Kamu lagi ada sesuatu yang dipikirin, Lih?"
Teguh bertanya pada Galih saat mereka makan siang. Ketika Teguh berpikir ada sesuatu yang menyita pikiran Galih maka saat itu pula Teguh justru sibuk memikirkan Galih. Alhasil mereka berdua menarik perhatian orang-orang dengan dahi mengerut tanpa jeda.
"Ehm nggak ada sih."
Mata Teguh menyipit. "Nggak mungkin. Aku bisa lihat kok. Belakangan ini kamu sering melamun," ujarnya membantah. "Apalagi kalau lagi ada Bu Eri."
Pergerakan rahang Galih tatkala ia tengah mengunyah sontak berhenti. Galih menatap Teguh.
"Maksud kamu?"
"Justru itu yang mau aku tanyakan," ujar Teguh dengan suara lirih. "Apa maksud kamu?"
Kali ini alis Galih nyaris bersatu. Ia diam sejenak, tapi kemudian langsung menggeleng dan memutuskan untuk melanjutkan makan saja ketimbang meladeni Teguh.
"Wah! Kamu nggak ma–"
"Teguh! Galih!"
Seruan itu memutus perkataan Teguh. Menarik perhatian keduanya dengan amat kompak. Pun sama kompaknya dengan respon mereka saat membuang napas panjang.
Rangga duduk seraya menaruh piring makan siangnya. Ia tampak semringah melihat Teguh dan Galih bergantian.
"Hari ini makan gado-gado lagi, Guh?" tanya Rangga mengomentari menu Teguh yang sama untuk dua hari berurutan. "Nggak bosan?"
Teguh menggeleng. Ia dengan segera memotong telur rebus dan mencocolnya dengan kuah kacang. Saat potongan telur itu lenyap ke dalam mulutnya, ia berkata.
"Kemaren aku nggak bisa menikmati gado-gado sebagaimana mestinya."
Saat mengatakan itu, sengaja sekali Teguh memberikan lirikan tajam pada Galih. Tapi, yang dilirik sih santai-santai saja seraya menikmati kuah tomyam.
"Ah, bener! Kemaren."
Rangga menaruh sendok dan garpunya. Tampaknya ia belum berniat untuk memulai makan siang itu.
"Ngomong-ngomong soal kemaren ..."
Itu adalah kalimat pembuka yang membuat Galih memutar bola matanya dengan malas sementara Teguh tersenyum masam. Hanya Rangga yang terlihat bersemangat walau potongan daging sapi yang ada di piringnya belum memberikan tenaga baru untuk si empunya.
"... aku penasaran waktu kamu ngomong Bu Eri itu suka tipe pengemong."
Kali ini Galih yang melirik tajam pada Teguh. Sekretaris kedua itu kicep. Agaknya bisa menebak ke mana pembicaraan itu akan menuju.
"Apa maksud kamu ..."
Rangga melihat bergantian pada Teguh dan Galih.
"... Bu Eri itu simpenan om-om?"
Lirikan tajam mata Galih seolah-olah ingin berkata pada Teguh.
Tuh kan? Apa aku bilang?
Teguh meneguk ludah. Ia bisa menebak, sesampainya di atas maka Galih pasti akan menceramahi dirinya.
Tidak. Teguh tidak ingin diceramahi. Apalagi kalau sampai disumpal dengan telur rebus lagi.
"Ehm!" deham Teguh. "Simpenan om-om? Serius kamu mikir begitu, Ga?"
Wajah antusias Rangga terjeda. Sekarang ia tampak seperti komputer yang sedang kesulitan memuat data.
"Tipe pengemong itu artinya cowok yang lembut hatinya, hangat sikapnya, dan romantis tindakannya. Kok bisa dikira om-om sih? Ck. Pikiran dari mana itu?"
Rangga mengerjap. Ia melihat pada Galih, tapi cowok itu tidak memberikan komentar apa pun. Alih-alih justru semakin semangat menikmati rasa segar kuah tomyam.
"A-aku pikir itu maksudnya–"
"Sepertinya kamu nggak berbakat buat mikir," potong Teguh. "Bisa-bisanya kamu mikir seperti itu."
"Ya gimana lagi. Kalian sih anak baru ya. Jadi wajar kalau nggak tau. Tapi, dulunya Bu Eri itu sederhana banget loh."
Kali ini Galih melirik Rangga. Cowok itu mengangguk seraya menunjuk dengan sendok yang kembali ia raih.
"Serius. Tanya aja sama siapa pun di sini. Sederhana mendekati ngenes kalau kata kami. Dan kalian tau? Menu daily Bu Eri selama di sini adalah nasih goreng sederhana yang paling sederhana."
Galih dan Teguh saling bertukar tatap. Tapi, tak ada satu pun kata yang meluncur dari bibirnya.
"Sekarang? Makan bareng kalian aja Bu Eri yang traktir. Dan kalian lihat kan?" tanya Rangga tanpa menunggu jawaban yang tidak ia butuhkan. "Penampilan Bu Eri sekarang dari atas sampe bawah semuanya branded. Bahkan jepit rambutnya aja seharganya dua puluh tiga juta."
Teguh tersedak. Beruntung ia tidak sedang memakan telur rebus.
"D-dua puluh tiga juta?" tanya Teguh syok. Bola matanya membesar ketika ia menunjuk rambutnya sendiri. "Jepit rambut yang kayak lidi tusuk sate itu?"
"Kan!"
Wajah Rangga menunjukkan kepuasaan. Ia mengangguk.
"Bener. Itu koleksi terbaru dari C&J Jewelry. Aku juga tau dari cewek-cewek sih. Makanya mereka jadi pada heran."
Teguh hanya bisa terkesiap mendengar penjelasan tersebut. Begitu pula dengan Galih yang menyimak tanpa komentar.
"Itu baru jepit. Belum baju, rok, sepatu, dan tas. Kalau ditotal mungkin sudah dapat rumah ukuran 36," ujar Rangga sambil berpikir. "Ehm atau tipe 45 ya?"
Namun, Rangga tidak terlalu memusingkan tipe rumah. Alih-alih ia melanjutkan perkataannya.
"Makanya banyak yang heran sama Bu Eri. Tapi, kalau dia ada something sama Pak Satria ... kayaknya nggak mungkin kan? Ya kalian tau sendiri Pak Satria gimana."
Teguh dan Galih tetap tidak memberikan komentar apa pun. Layaknya mereka yang memberikan waktu bagi Rangga untuk terus bicara.
"Makanya sih aku pikir Bu Eri memang punya sumber dana yang lain gitu. Apalagi dengan penampilannya yang elegan dan dia juga cantik. Kayaknya sih bakal mudah dapat–"
"Kalau memang mudah, Bu Eri nggak bakal kerja banting tulang, Ga."
Galih mengerjap dan menoleh. Melihat pada Teguh yang tiba-tiba memotong perkataan Rangga dengan tajam.
"Kamu nggak duduk di sebelah bu Eri sih ya. Jadi kamu nggak tau gimana Bu Eri itu cekatan dan gesit. Dia loh bisa ngetik tanpa lihat keyboard sambil diskusi dengan Pas Satria soal kemiringan gedung dan prakiraan cuaca selama sebulan ke depan," lanjut Teguh lagi. "Kalau dia memang seperti dugaan kamu, aku jamin. Mending dia out dan leha-leha di rumah. Gitu kan biasanya yang terjadi?"
Rangga melongo. Perkataan Teguh di luar dugaannya. Hingga wajar rasanya bila melihat cowok itu kebingungan.
"Ehm i-itu ...."
"Cewek beli jepit rambut ya wajar sih. Lagian kita kan nggak tau di luar Bu Eri kerja apa lagi? Dan kamu nggak tau kan? Kami lemburan dapat bonus dari Pak Satria. Nggak percaya? Tanya aja sama Galih."
Jujur, Galih terperangah mendengar perkataan Teguh. Nyaris membuat ia takjub. Tapi, ia buru-buru mengangguk.
"Memang sih sekarang gosip itu bukan cuma keahlian cewek. Cuma ya lihat-lihat juga sih, Ga. Gaji Bu Eri itu berapa. Bonus lemburan berapa. Dan Bu Eri udah kerja hampir delapan bulan. Jadi kayaknya masuk akal sih kalau Bu Eri sekarang bisa sedikit boros sama gajinya."
Kali ini Rangga yang tidak bisa berkomentar apa-apa. Terlebih lagi karena sejurus kemudian, Teguh berkata.
"Tiap kantor memang pasti ada bagian toxic-nya sih. Ayo, Lih! Balik aja ke atas. Aku udah makan telur rebusnya."
Mau tak mau Galih mendengkus geli. Tapi, ia mengangguk. Ia segera menyusul Teguh yang sudah keburu beranjak. Meninggalkan Rangga yang hanya bisa bengong di meja itu.
Ehm. Dua kali sudah. Dua kali ia ditinggal Teguh dan Galih ketika bergosip.
Sementara itu di dalam lift, Galih bersedekap sambil tersenyum geli. Ia menyenggol Teguh dengan sikunya. Bertanya dengan lucu.
"Kenapa kamu jadi ngegas gitu?"
Teguh membuang napas panjang seraya melihat tulisan berjalan di atas pintu lift. Menghitung berapa lantai lagi harus mereka lalui.
"Nggak ngegas sih. Cuma kasihan aja."
Tepat mengatakan itu, lift berhenti. Pintu membuka dan keduanya keluar. Berjalan berdampingan, Teguh kembali berkata.
"Maksudnya apa tiap cewek cantik selalu dipandang begitu ya? Aku nggak habis pikir aja. Dan kayaknya Bu Eri nggak kayak gitu deh."
"Aku juga mikir Bu Eri nggak kayak gitu. Tapi, kok bisa ya orang-orang mikir begitu?" imbuh Galih. "Padahal jelas banget Bu Eri nggak begitu."
Teguh mendengkus. "Tapi, kita dulu mikirnya juga begitu loh."
"Iya sih," angguk Galih. "Syukurnya kita udah kembali ke jalan yang benar."
"Hahahaha. Kamu bener. Untungnya–"
Langkah kaki Teguh berhenti tiba-tiba. Pun begitu juga dengan ucapannya. Sama pula dengan yang terjadi pada Galih.
Mereka berdua sama-sama melihat. Sama-sama refleks menunjuk satu sama lain. Tak mengatakan apa-apa, tapi mereka seperti terhubung oleh satu kesimpulan.
*
Eriana membuang napas panjang. Tubuhnya terasa letih. Efek lembur beberapa hari dan mempersiapkan diri.
"Sebenarnya aku nggak terlalu suka kalau ada acara kumpul-kumpul sama keluarga Papa kamu, Sat."
Merengek, Eriana merangkak di atas tempat tidur. Wajahnya manyun dan tanpa mengatakan apa-apa, ia langsung merebahkan tubuh di atas dada Satria.
"Eri."
Satria mengerjap bingung. Tidak siap dan heran mendapati sikap Eriana kala itu. Ia buru-buru menaruh ponsel yang sedari tadi ia lihat ke atas nakas.
"Boleh aku izin nggak datang, Sat?" ujar Eriana lemas. "Bilang aku sakit atau ada apa gitu."
Satria membuang napas panjang. "Kamu kenapa? Biasanya juga kamu santai aja kok kalau ketemu sama keluarga Papa."
Di dada Satria, Eriana mengangguk. Matanya mengerjap dan tangannya mengelus tangan Satria.
"Cuma aku lagi capek. Aku males aja kalau besok mereka bully aku lagi."
Tidak tersinggung mendengar perkataan Eriana, Satria pun menyadari keluarga sang ayah yang terkesan tidak ramah dan kerap merendahkan mereka yang tidak sederajat. Terlebih lagi pertemuan pertama yang terjadi dulu sudah memberikan kesan tersendiri untuk masing-masing pihak.
Eriana memang sukses mempertahankan diri saat jamuan sarapan kala itu. Cuma kalau harus memilih, Eriana akan lebih senang menghindari kejadian serupa.
"Tante Dewi besok ada nggak?" tanya Eriana.
"Dari sekian banyak anggota keluarga Papa, kamu malah nyari Tante Dewi?" tanya balik Satria. "Lagipula Tante Dewi itu keluarga Mama."
"Kali aja Tante Dewi ada."
Kedua tangan Satria memegang Eriana. Perlahan ia mengangkat tubuh sang istri dalam jarak yang tak seberapa. Hanya untuk melihat wajah suntuk Eriana. Tak biasanya cewek itu tampak lesu.
"Kamu benar-benar nggak mau datang besok?" tanya Satria sedikit iba. "Kalau nggak mau, ntar aku suruh Pak Masdar manggil dokter. Biar kamu istirahat aja di rumah."
Eriana bisa menangkap skenario itu. Tapi, anehnya ia justru menggeleng.
"Nggak jadi deh. Biar aja besok aku datang."
"Loh? Katanya kamu nggak mau datang," ujar Satria bingung.
"Kalau aku nggak datang, aku pasti makin diomong-omongin," kata Eriana semakin manyun. "Tapi, besok kamu jangan jauh-jauh ya?"
Tidak menjawab pertanyaan itu, Satria justru menatap lekat pada Eriana. Ia lantas membelai sisi wajah Eriana. Tampak sedikit pucat. Tidak seperti biasanya.
Satria merapikan rambut Eriana. Terlihat ia sedikit merasa bersalah.
"Akhir-akhir ini kerjaan memang sedang banyak-banyaknya sih. Wajar kalau kamu kecapekan. Besok kita datang bentar saja."
Sepertinya itu adalah jalan keluar yang tepat. Eriana mengangguk seraya tersenyum.
"Kamu memang suami yang paling ngerti istrinya," ujar Eriana semringah. "Walau nggak bisa merayu, tapi kamu perhatian banget."
Satria sedikit ragu. Kalau ia memang perhatian, seharusnya ia tidak sampai membuat Eriana kelelahan seperti itu.
"Tunggu sebentar lagi. Habis itu kamu langsung keluar dan kamu bisa di rumah saja."
Kembali, Eriana mengangguk. Membayangkan hari-harinya hanya di rumah saja berhasil membuat senyumnya semakin mekar.
Maka kali ini adalah Eriana yang membingkai wajah Satria dengan kedua tangannya. Dipandanginya wajah Satria dan ia merasa lelah seolah pergi meninggalkan dirinya.
Udah cakep. Perhatian. Eh ... suami aku lagi. Aku benar-benar beruntung.
Satria bisa merasakan ada yang tidak beres tengah terjadi di dalam otak Eriana. Lantaran sejurus kemudian sorot mata cewek itu tampak berubah. Tapi, ketika Eriana menarik wajahnya demi melabuhkan satu ciuman, apa lagi yang bisa Satria lakukan selain menyambut sentuhan itu dengan bibir terbuka?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top