31. Selalu Ada Godaan
"Aduh. Suami siapa sih cakep banget?"
Seraya merapikan jas yang telah melekat di tubuh tegap Satria, Eriana menggerling demi melayangkan godaan pagi itu. Satria yang sudah terbiasa tentu saja sudah ahli dalam mengendalikan diri.
Satria mengabaikan pertanyaan retoris tersebut. Ia mengangkat wajah demi menyamankan lilitan dasi di leher.
"Hari ini gimana jadwal aku?" tanya Satria. "Jadinya aku pergi dengan Teguh?"
Eriana mundur selangkah. Mengamati penampilan Satria dari atas bawah, ia geleng-geleng kepala. Decakan penuh kagum tak mampu ia tahan.
"Ternyata bukan cuma warna hitam," ujar Eriana sembari membuang napas panjang. "Warna silver pun cocok banget sama kamu."
Satria mengatur simpul dasinya untuk yang terakhir kali sebelum ia beralih pada istrinya. Dengan mata menyipit, ia berkata.
"Apa pun yang aku pake, itu pasti bakal cocok."
Eriana mencibir geli. Tapi, ia tidak menampik sama sekali. Alih-alih ia justru terpikir sesuatu.
"Ngomong-ngomong, Sat. Aku kepikiran sesuatu deh."
Satria beranjak dari ruangan pakaian. Kembali ke kamar dan Eriana mengikuti langkah kakinya, ia melihat jam dinding. Sudah saatnya mereka pergi.
"Soal pekerjaan?" tanya Satria acuh tak acuh. "Kalau bukan, mending kamu nggak usah mikir deh, Ri."
Terkekeh, Eriana tidak tersinggung sama sekali. Ia buru-buru memegang kedua tangan Satria, menahannya sejenak.
"Karena warna silver cocok juga untuk kamu," ujar Eriana dengan penuh irama. "Kamu nggak ada kepikiran gitu? Sekali-kali ganti menu?"
Dahi Satria mengernyit. "Ganti menu?"
Sorot yang terpancar dari mata Eriana membuat alarm peringatan Satria berdering. Dalam status siaga dua, agaknya Satria harus bersiap untuk setiap kemungkinan yang bisa terjadi.
"Jadi Satria kolor milenium."
Satria menjitak dahi Eriana. Dan ketika ia tak habis pikir dengan cara berpikir cewek itu, Eriana justru terkekeh seraya mengusap dahinya sekilas.
"Aku becanda doang ah. Lagian lebih seksi kamu pake kolor hitam."
Satria menarik napas dalam-dalam. "Eri."
Buru-buru, Eriana menutup mulutnya. Ia mendeham dan berkata.
"Aku duluan ya. Aku tunggu di bawah."
Tuntas mengatakan itu, Eriana langsung beranjak. Seolah tak ada yang terjadi, ia melenggang seraya bersenandung keluar dari kamar. Meninggalkan Satria yang bengong seraya berkacak pinggang.
"Aku memang tau kalau Eri itu mesum. Tapi, akhir-akhir ini mesum dia agak beda nggak sih?" tanya Satria pada dirinya sendiri. "Dan ini. Sejak kapan dia suka bersenandung gitu?"
Sepertinya memang akhir-akhir ini Eriana sering bersenandung. Bahkan saking seringnya, Teguh tidak lagi perlu memutar musik kitaro saat bekerja.
Ngomong-ngomong, sekretaris kedua Satria itu memiliki kebiasaan. Mendengarkan musik kitaro untuk meningkatkan fokus dalam bekerja. Tapi, belakangan ini musik kitaronya terpaksa tersisih berkat senandung Eriana.
Pernah satu hari, Teguh bersikeras untuk tetap memutar musik ikonik dari Jepang itu ketika Eriana bersenandung. Hasilnya? Bukannya Teguh fokus, yang ada malah pikirannya seperti terpantul-pantul seperti bola tenis.
Teguh menyerah. Ia mengalah. Lagipula senandung Eriana tidak buruk-buruk amat. Walau sebenarnya lagu yang Eriana senandungkan adalah lagu Indonesia Raya.
Sungguh berjiwa nasionalis sekali.
"Oke, Guh. Ini semua sudah saya rincikan. Kamu tinggal membantu Pak Satria kalau beliau sedikit lupa."
Teguh menerima buku catatan dari Eriana. Mengangguk mantap. "Baik, Bu."
"Semoga sukses."
Bertepatan dengan itu, Satria keluar dari ruangannya. Dengan membawa tas kerja yang langsung Teguh ambil alih.
"Kamu sudah siap, Guh?"
"Sudah, Pak," jawab Teguh yakin. "Bu Eri sudah membantu saya menyiapkan semuanya."
Satria mengangguk. Memberikan sentakan samar di pergelangan tangan kiri, ia melihat jam.
"Sekarang kita pergi."
Satria sudah akan beranjak dari sana. Tapi, perkataan Teguh justru menghentikan langkah pertamanya.
"Sebentar, Pak."
Bingung, Satria bertanya. "Ada apa?"
Mata Teguh melihat pada simpul dasi Satria. Ia menunjuk titik itu.
"Dasi Bapak miring," ujar Teguh seraya maju. "Mungkin bisa saya bantu rapikan."
Satria langsung mundur tiga langkah ketika melihat kedua tangan Teguh terangkat dan mengarah ke dasinya. Mata Satria seketika membesar dan tengkuknya meremang. Seperti ada embusan Kuntilanak yang mendarat di sana.
"K-kamu mau ngapain?" tanya Satria horor.
Teguh mengerjap polos. "Benarin dasi Bapak. Saya lihat di buku catatan, katanya itu salah satu tugas sekretaris, Pak. Memperhatikan dan memastikan penampilan Bapak untuk tetap rapi."
Sepertinya Satria mendadak terkena penyakit gagal paru-paru. Jawaban Teguh sukses membuat ia megap-megap. Horor, ia beralih pada Eriana.
"Ada tugas seperti itu?"
Eriana mengulum senyum. "Itu peninggalan dari Bu Marianti, Pak."
"Astaga," desis Satria ngeri. Matanya spontan memejam dramatis. "Kamu hapus bagian itu, Eri. Jangan sampai lupa, pokoknya kamu harus menghapus bagian itu."
"Baik, Pak. Akan saya hapus," ujar Eriana menahan geli. Ia mendeham sejenak dan menghampiri Satria. Dengan kedua tangan yang terangkat, ia tersenyum meminta permisi. "Boleh saya yang perbaiki, Pak?"
Wajah Satria tampak masam tatkala melihat senyum geli Eriana. Tak perlu ditanya, ia bisa menebak apa yang dipikirkan oleh cewek itu. Hingga mau tak mau di dalam hati, ia merutuk.
Kenapa setelah kepergian Bu Marianti, aku nggak pernah dapat sekretaris yang beres sih? Apalagi ini. Setelah Eri, semuanya malah tambah aneh.
Senyum Eriana membuat Satria berdecak samar. Tapi, ia tetap mengangkat wajahnya dan membiarkan Eriana melakukan tugasnya.
"Sudah, Pak. Sekarang Bapak sudah rapi dan siap untuk pergi."
Untuk ucapan Eriana, Satria hanya membalasnya dengan terima kasih yang samar. Lalu ia langsung beranjak dari sana. Dan Teguh segera mengekori Satria tanpa lupa melambaikan tangan pada Galih. Juga pada Eriana.
Eriana melihat kepergian Satria seraya tersenyum lebar. Setelah cowok itu benar-benar menghilang dari matanya, barulah ia memutar tubuh. Berniat untuk kembali ke meja kerjanya, ia mendapati Galih yang melamun.
"Lih?"
Galih mengerjap. "Y-ya, Bu?"
"Kamu melamun?" tanya Eriana seraya duduk. "Ini masih jam sembilan. Kalau mau melamun, ntar aja. Pas agak siangan."
"A-ah. Maaf, Bu," ringis Galih.
Merasa tidak enak karena terpergok sedang melamun, nyatanya tidak membuat Galih untuk langsung melanjutkan pekerjaannya. Alih-alih ia justru beralih pada hal lainnya. Yaitu, mengambil berkas keluarga Djokoaminoto.
Galih membuka dokumen yang bisa dikatakan cukup tebal itu. Mengabaikan silsilah keluarga terdahulu, ia langsung menuju pada bagan keluarga selama satu dekade terakhir.
Jari telunjuk Galih menunjuk satu nama di sini. Ia angguk-angguk kepala dan justru geleng-geleng sedetik kemudian.
Nggak salah lagi. Ini pasti.
*
"Aku masih nggak percaya, Lih. Sudah berapa hari ini sepertinya aku lebih banyak dampingin Pak Satria keluar timbang Bu Eri."
Membuka percakapan di meja kafetaria, wajah berseri-seri Teguh membuat fokus mata Galih berpindah sejenak dari ayam rica-rica yang sedang ia nikmati. Apa yang dikatakan oleh Teguh memang benar. Dan maka dari itu Galih pun tidak aneh kalau mendapati Teguh pun kerap bercerita soal pengalamannya selama mendampingi Satria.
"Aku deg-deg, tapi untungnya semua berjalan dengan lancar."
Galih bisa melihatnya. "Baguslah kalau begitu."
Respon datar Galih membuat Teguh yang semula ingin menikmati perpaduan berbagai sayuran dalam menu gado-gado, mengurungkan sejenak niatnya. Ia mengerutkan dahi. Tangan kirinya terangkat demi menunjuk Galih dengan garpu yang ia pegang.
"Akhir-akhir ini aku perhatiin kamu kayak banyak pikiran, Lih," ujar Teguh. "Kenapa? Bu Eri ngasih banyak tugas ya?"
Galih tersenyum masam, tapi ia menggeleng. "Nggak sih. Biasa saja. Cuma ..." Akhirnya ia mengangguk pula. "... memang lagi ada yang aku pikirin."
"Eh ... pasti cewek," goda Teguh dengan penuh irama.
Wajah Galih berubah seketika. "Bukan."
"Masa? Aku pikir kamu lagi mikirin itu. Siapa ya namanya? Cewek yang dari keuangan tempo hari itu."
Teguh memejamkan mata seraya berusaha berpikir sementara Galih memutuskan untuk lanjut makan saja.
"Ah!"
Akhirnya Teguh ingat. Ia tampak antusias ketika menyebut satu nama itu.
"Katherine!"
Galih sontak melotot. Teguh buru-buru menutup mulut ketika sadar pada tangga nada berapa ia mengambil suara.
"Sorry."
Teguh tampak cengar-cengir tanpa dosa ketika Galih justru berdecak sekali. Tepat ketika seorang cowok membawa makan siangnya dan pindah duduk bersamanya.
"Maaf, boleh gabung kan? Lagi rame."
Teguh dan Galih mengangguk kompak. Tidak keberatan sama sekali. Terlebih dengan perkenalan singkat yang kemudian terjadi.
"Ah. Sudah kerja hampir dua tahun di sini?" tanya Teguh manggut-manggut. "Berarti sudah lumayan lama ya?"
Cowok itu bernama Rangga Pramuda. Tergabung dalam Departemen Perencanaan dan Pengembangan, sejujurnya ia sudah mengenal nama Teguh dan Galih. Tapi, untuk berinteraksi secara personal, belum.
"Bisa dibilang begitu. Lumayan lama sampai aku tau kalau akhirnya Pak Satria dapat sekretaris cowok lagi."
Teguh dan Galih melirik dengan rasa tidak enak. Bukan karena mereka masih khawatir soal gosip waktu itu, alih-alih sebaliknya.
Baru juga berapa hari mau tobat ghibah, kok godaan udah datang lagi?
Benar kata orang. Bukan tobat yang susah. Tapi, istikamah yang lebih susah lagi.
Teguh buru-buru meraih gelas. Meneguk isinya dengan harapan bisa meredam kata-kata yang bersiap untuk menimpali perkataan Rangga.
"Kalian pasti sudah dengar kan gosipnya?" tanya Rangga lagi. "Katanya Pak Satria itu belok."
Sebongkah ayam langsung Galih suap ke mulutnya. Hingga pipinya menggembung dan ia tidak bisa bicara apa-apa. Karena jangankan bicara, bernapas pun ia nyaris tak bisa pula.
"Makanya sih aku pikir. Kasihan Bu Eri harus jadi sekretaris beliau. Kan biasanya sekretaris cantik punya kesempatan buat deketin bosnya. Sayang aja Pak Satria nggak suka cewek."
Teguh terbatuk seketika. Ia buru-buru menaruh gelas di atas meja.
"Pak Satria nggak begitu, Ga," ujar Teguh. "Apalagi Bu Eri."
Rangga mengerutkan dahi. Ia menatap Teguh dengan sanksi.
"Kamu kan baru kerja di sini. Mana tau soal gosip kantor."
Galih menelan ayamnya bulat-bulat. "Kami memang baru di sini. Tapi, kami yang paling dekat dengan beliau berdua. Hampir sepuluh jam kami bareng-bareng."
Memikirkan hal tersebut, Rangga mau tak mau setuju pula. Masuk di akal.
"Pak Satria itu nggak seperti yang orang-orang lihat," kata Teguh lagi. "Terutama Bu Eri. Beliau nggak ada kepikiran buat menggoda bos sendiri."
Rangga menyipitkan mata. Tangannya terangkat dan ia bersedekap. Sepertinya ia merasa sedikit aneh dengan pembelaan Teguh.
"Kok kamu yakin banget? Memangnya kamu kenal Bu Eri dari lama?"
Teguh membuang napas panjang. "Aku yakin banget. Kami yakin banget. Soalnya bukan apa. Pak Satria itu sama sekali bukan tipe Bu Eri."
"Eh?"
Bukan hanya Rangga, alih-alih Galih pun sontak berpaling pada Teguh. Kala itu Teguh lanjut bicara dengan wajah tak berdaya.
"Tipe Bu Eri itu bukan yang cakep. Tapi, tipe beliau itu adalah tipe pengemong."
*
bersambung ....
buat yang nggak paham, pengemong itu maksudnya kebapak-bapakan. begitulah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top