3. Nasib Suami Simpanan

Masuk ke unit apartemen yang sudah beberapa hari tidak ia tempati, Eriana masih bertanya-tanya dengan kenyataan yang baru saja ia pastikan. Bahwa ternyata seorang cowok yang sudah menjadi bagian masa lalunya kembali menghubungi. Tidak tanggung-tanggung. Ternyata selama beberapa bulan belakangan ini ialah yang sering mencari Eriana di apartemen.

"Ngapain coba dia ngubungin aku lagi? Mau ketemu aku lagi?"

Ada rasa penasaran. Tentu saja. Itu karena sudah beberapa kali Eriana mendapatkan laporan dari Joko bahwa ada cowok yang kerap mencarinya. Dan itu sudah cukup membuktikan kalau cowok itu memang benar-benar ingin bertemu dengannya kan?

Dan ketika mendapati ternyata cowok itu adalah mantan pacarnya, tentu saja Eriana jadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

Ingin tau dan diliputi rasa penasaran, tapi Eriana memutuskan untuk tidak menghubungi balik Jefri. Alasannya? Malas.

Mendapati kegelapan menyambut kepulangannya kala itu bukan hal yang mengejutkan untuk Eriana. Tentunya Intan belum pulang. Sudah biasa. Eriana bisa menebak. Mungkin sekarang sahabatnya yang bekerja di media gosip sedang bergerilya mencari berita terbaru. Dalam hati Eriana bertanya-tanya. Entah aktor mana lagi yang menjadi sasaran Intan kali ini.

Eriana menyempatkan ke dapur terlebih dahulu. Demi menaruh rawon di atas meja makan dan melegakan tenggorokannya dengan segelas air yang sejuk. Pada saat itu ponsel Eriana berdering.

Senyum mengembang di wajahnya. Tentu saja itu adalah Satria yang menghubunginya dengan sambungan panggilan video.

Eriana segera mengangkatnya. Seraya beranjak dari sana ia melihat wajah Satria yang memenuhi layar ponsel. Cowok itu tampak segar dengan rambut yang terlihat jelas masih lembab.

"Kamu udah sampe?"

Tanpa basa-basi, Satria langsung melayangkan pertanyaannya tepat setelah ia mendapati panggilan videonya diangkat oleh sang istri.

"Sudah," jawab Eriana sambil terus berjalan. "Ini aku udah di unit."

"Jadi gimana? Udah kamu bilangin sama Intan?"

Bola mata Eriana berputar dramatis dengan dengkusan geli yang tak mampu ia tahan.

"Astaga, Sat. Sabar dikit jadi cowok kenapa sih? Aku itu baru sampe loh. Dan lagipula Intan nggak ada di unit. Dia pasti lagi kerja nyari gosip."

Wajah Satria tampak tidak suka dengan hal tersebut. Bahkan saking tidak sukanya, Eriana bertaruh mendengar decakan cowok itu.

"Kamu tenang aja, Sat. Aku pasti bakal langsung ngomong soal ini ke Intan kalau dia udah balik ntar. Oke?"

Eriana meraih daun pintu kamarnya. Masuk dan membiarkan pintu menutup dengan sendirinya. Tas kerja mendarat di meja sebelum ia merebahkan tubuh di kasur.

"Oke," jawab Satria malas. "Tapi, pastikan kamu nggak lupa, Ri."

Menahan ponsel di atas wajahnya, Eriana terkekeh. "Iya, Sat, iya. Astaga. Kamu ini beneran nggak sabaran ya jadi cowok. Ehm ... sabar bentar ya, Sat. Aku nggak mau kita ntar ketahuan sama Mas Bimo."

"Mas Bimo Mas Bimo Mas Bimo. Berenti nggak ngomongin Mas Bimo?" tanya Satria dengan mata melotot.

Eriana yang melihat kekesalan Satria bukannya merasa ciut, alih-alih sebaliknya. Ia malah sontak terbahak.

"Aku bakal berenti ngomong Mas Bimo kalau kamu berenti nggak sabaran kayak gini."

Wajah tak suka Satria terlihat semakin menjadi-jadi. Sedetik terlihat ia seperti ingin mendebat perkataan Eriana. Tapi, sedetik kemudian ia hanya mendengkus kesal tanpa mengatakan apa-apa.

"Nah kan kalau kayak gini enak," ujar Eriana sambil menahan lucu. "Nggak usah marah-marah terus, Sat."

Tersenyum geli melihat wajah cemberut Satria, dulu Eriana sempat berpikir bahwa setelah menikah maka sifat suka marah-marah cowok itu akan menghilang. Ternyata tidak. Sifat Satria tidak berubah. Tapi, bukan berarti Eriana mempermasalahkannya.

Nyatanya sejak hari pertama menjadi sekretaris Satria, Eriana sudah mengetahui dengan jelas sifat Satria yang satu itu. Dan ia tidak keberatan sama sekali karena pada kenyataannya ia dengan mudah bisa menghadapinya. Bahkan saking mudahnya Eriana menghadapi sifat marah-marah Satria, yang ada justru cowok itu yang akhirnya mengalah untuk setiap situasi dan kondisi.

Selain itu Eriana pun bisa menyadari bahwa sifat marah-marah Satria itu bukanlah hal yang serius. Ehm ... bagaimana ya ngomongnya? Tapi, menurut Eriana sifat marah-marah Satria itu tergolong ke dalam kelompok marah-marah gemesin. Maka tidak heran kalau Eriana tidak takut saat Satria marah. Alih-alih rasanya geregetan mau remas-remas. Hihihihi.

"Aku nggak mungkin marah-marah kalau nggak ada penyebabnya," tukas Satria. "Aku nggak bakal marah-marah kalau kamu sudah pulang dari kemaren."

Eriana membuang napas panjang. "Padahal kamu udah mandi dan keramas, Sat. Tapi, tetap aja nggak bisa meredakan sedikit emosi kamu ya?" Ia geleng-geleng kepala. "Lain kali coba kamu mandi pake es deh. Kali aja bisa buat kamu adem."

"Bukan adem. Yang ada malah beku."

Tawa Eriana sontak berderai. Ia bangkit dan lantas menaruh ponselnya berdiri di meja rias. Satria yang menyadari itu mengerutkan dahi.

"Kamu mau ke mana?"

Berdiri di depan ponsel dengan kedua tangan yang berkacak di pinggang, Eriana menatap pantulan wajahnya di cermin. Seraya melepas jepit rambutnya, ia menjawab.

"Nggak ke mana-mana kok. Aku di sini aja."

Satria melihat sang istri yang melepas sanggulannya. Membiarkan rambut yang bewarna cokelat gelap itu jatuh terurai. Lalu disusul dengan lepasnya jam tangan dari pergelangan tangan cewek itu. Eriana menaruhnya di atas meja rias.

"Cuma mau bersih-bersih aja. Sakit juga rambut aku lama-lama disanggul."

Satria hanya melirih pelan ketika mendengar penjelasan Eriana. Merasa maklum. Hanya saja pemakluman cowok itu seketika menghilang ketika melihat apa yang Eriana lakukan selanjutnya.

Menciptakan jarak beberapa langkah dari meja rias, Eriana terlihat acuh tak acuh melepaskan blazer yang ia kenakan. Menaruhnya dengan asal di kasur dan lantas berpindah pada kancing kemejanya.

Mata Satria melotot. "Ri?"

"Ehm?"

Mendeham santai, Eriana mengeluarkan satu persatu kancing dari lubangnya. Dan tak perlu menebak, nasib kemeja itu pun berakhir sama seperti blazer tadi. Mendarat di kasur.

Tidak bermaksud menahan napas di dada, tapi itu spontan Satria lakukan tatkala di depannya Eriana berdiri tanpa baju lagi. Hanya ada bra yang menutupi payudaranya yang berisi.

"K-kamu ngapain?"

Tangan Eriana pindah. Kali ini ke belakang tubuhnya. Menyasar ritsleting rok yang ia kenakan. Berniat untuk segera melepas pakaiannya yang satu itu, pertanyaan Satria membuat ia berhenti sejenak.

"Ngapain?" tanya Eriana balik dengan wajah polos. "Ya mau buka bajulah. Kan gerah, Sat."

Ya itu memang sudah pasti Satria tau. Eriana tengah membuka pakaian. Tapi, kan bukan itu inti pertanyaan Satria.

Ritsleting turun. Eriana menunduk. Mendorong rok untuk turun melewati dua kakinya yang jenjang. Melakukannya dengan begitu santai seolah tidak ada mata yang melihat.

"Eri!" jerit Satria panik.

Di layar ponsel Satria terlihat celingak-celinguk. Demi memastikan bahwa saat itu memang hanya ada dirinya di kamar. Hal yang tidak perlu dilakukan sebenarnya. Karena sudah pasti memang hanya ada Satria seorang di sana.

Namun, bukan masalah ada orang lain di kamar atau tidak. Masalahnya adalah Satria yang tidak mengira bahwa Eriana akan melepas pakaiannya ketika mereka sedang dalam sambungan panggilan video.

Satria melotot. Meneguk ludah.

Lihat itu lihat? Ketika Eriana menunduk demi mendorong roknya untuk lepas, sepasang payudara itu terlihat jelas di mata Satria. Dan o oh! Sedetik kemudian Satria melihat Eriana hanya mengenakan pakaian dalamnya. Dengan warna merah muda dan dihiasi renda di beberapa tempat.

"Ah! Lega deh!"

Mendesah puas dengan rasa gerah yang sedikit bisa ia singkirkan, Eriana tidak sadar bahwa ketika ia merasa lega justru ada pihak lain yang merasakan sebaliknya. Tentu saja Satria. Yang mendapati dirinya gerah seketika tatkala Eriana merasa lega.

Eriana beranjak. Mengumpulkan pakaian kotornya. Berjalan seolah tanpa dosa ketika mata Satria mengikutinya ke mana-mana. Ia menatap pemandangan itu tanpa kedip sama sekali. Bahkan perkataan Eriana selanjutnya seperti tidak menjamah indra pendengaran Satria ketika bokong sang istri tampak naik turun dengan penuh irama.

"Kamu sih enak, Sat, udah mandi. Aku kan belum."

Eriana menaruh pakaian kotornya pada satu keranjang di sebelah lemari. Lalu melenggang menuju ke meja riasnya kembali. Duduk hanya untuk mengerutkan dahi.

"Kamu kenapa, Sat?"

Wajah Satria terlihat memerah dan mengeras. "Menurut kamu kenapa?"

Dahi Eriana semakin mengerut seraya bibir mengerucut. Ia berpikir. Lantas mendapati matanya Satria yang tertuju pada satu titik.

Eriana menunduk. Lalu ia terkekeh.

"Ups!"

Eriana menyilangkan kedua tangan di depan dada walau jelas itu adalah hal yang percuma.

"Sorry."

Mata Satria menyipit. "Sorry?"

"Terus? So so sorry?"

Satria mengerang. "Kamu ini beneran kelewatan, Ri. Masa kamu lepas baju pas kita lagi vc-an gini sih?"

"Hahahaha. Udah sih, Sat. Nggak apa-apa. Anggap aja ini sedikit pelipur lara selama Mas Bimo masih di Indonesia."

Mata Satria melotot. "Kamu ngomong apa? Tadi katanya nggak bakal bahas Mas Bimo lagi."

Eriana terpingkal. Hingga pundaknya bergetar dan dadanya bergejolak. Satria tertegun melihat pemandangan selanjutnya yang ia dapatkan. Itu jelas sekali bukan pelipur lara. Yang ada justru penyiksa lara.

"Hahahaha. Sorry, Sat. Aku nggak sengaja," gelak Eriana. "Tapi, aku nggak bohong. Aku beneran gerah loh."

Seolah ingin membuktikan perkataannya, Eriana mengangkat wajah. Demi menyibak beberapa helai rambut yang menempel di kulitnya. Dua tangan cewek itu naik. Membawa rambutnya untuk menyingkir sejenak dari punggung.

Apakah ada pertunjukan 18+ di sini?

Satria memejamkan mata. Mengembuskan napas perlahan dan mengingatkan diri bahwa Eriana masih dalam masa bulanannya. Ia tetap bisa melakukan apa pun pada cewek itu sekalipun Eriana ada di rumah.

"Aaah. Kayaknya hari ini emang panas banget kan?"

Mata Satria membuka. Menatap Eriana dengan sorot yang tak dapat diartikan. Tapi, anehnya ia mengangguk. Membenarkan perkataan Eriana.

"Iya. Panas banget," jawab Satria. Susah payah ia meneguk ludah demi membasahi tenggorokannya yang mendadak terasa kering. "Saking panasnya ... aku merasa kayak terbakar dari dalam."

Ehm ... sepertinya ada panas yang berbeda.

"Oke, Sat. Karena kamu tau hari ini panas banget," ujar Eriana kemudian. "Aku kayaknya mau mandi dulu deh. Ini sumpah! Aku gerah banget."

Sepertinya itu adalah pilihan tepat bagi Satria. Lebih baik Eriana pergi mandi secepatnya sebelum justru dirinya yang harus terpaksa mandi lagi.

"Kamu benar," kata Satria mengangguk. Sekarang suaranya terdengar berat. "Lebih baik kamu mandi sekarang."

"Kalau gitu sampe ketemu besok di kantor."

Eriana menggerling. Satu tangannya naik ke bibir dan ia memberikan satu ciuman di udara.

"Bye."

Satria hanya bisa melongo melihat Eriana yang lantas bangkit berdiri. Memamerkan bokongnya tepat di depan mata Satria dan ia beranjak. Melenggang mengambil handuk dan lalu melilitkan benda itu di sekeliling tubuhnya. Tepat sebelum akhirnya ia keluar dari kamar. Menuju ke kamar mandi tanpa menyadari bahwa panggilan video Satria masih aktif.

"Bisa-bisanya dia ngasih kiss bye kayak gitu?"

Satria meradang. Memutuskan langsung panggilan video dan menggeram. Itu sungguh bukan hal yang menyenangkan untuk pengantin baru yang harus dipisahkan oleh siklus menstruasi.

"Aaargh!"

Mencak-mencak, Satria lantas membaringkan tubuhnya di kasur. Kedua tangan naik ke atas perut. Mata menatap lurus ke langit-langit.

"Awas kamu, Ri. Sampai Sabtu besok kamu nggak balik ke rumah, aku seret kamu!"

Karena bayangkan bila berada di posisi Satria. Ketika dalam sambungan panggilan video harus melihat sang istri melakukan pertunjukan 18+ dan ia sadar bahwa itu hanya sebatas tontonan belaka. Betapa sengsaranya Satria.

"Sialan!" sentak Satria geram. "Kenapa aku merasa beneran jadi suami simpanan Eri?!"

Aaargh! Kapan sih Mas Bimo pergi lagi ke luar negeri?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top