28. Sambung Menyambung Menjadi Satu

"Sumpah, Lih. Aku nggak ngira kalau kamu ternyata hobi ghibah juga."

Teguh bermaksud jujur. Tapi, tentu saja di mata Galih, itu adalah ledekan. Cowok yang dianugerahi rahang tegas itu melirik tajam pada rekan kerjanya.

"Aku nggak hobi ghibah. Tapi, semenjak kerja di sini dan kebetulan temanan sama kamu," tanda Galih. "Mendadak aja aku suka ghibah."

Teguh menahan diri agar tawanya tidak menyembur. Cowok yang terlahir dengan kulit putih bersih itu tampak geli. Menatap pada rekan kerjanya itu, Teguh makin yakin bahwa Galih dan hobi mengghibah adalah dua hal yang seharusnya tidak bertemu.

Tidak bermaksud berlebihan. Tapi, forum wajah dan postur tubuh bak orang-orang Eropa yang dimilikinya membuat Galih seperti seorang cowok yang lebih memilih untuk latihan otot di pusat kebugaran ketimbang berkumpul dan berghibah.

Hal yang sebaliknya bila melihat Teguh. Cowok itu memiliki kesan tampan yang feminin. Tipe cowok yang mudah membaur dan bergaul dengan para cewek. Tentunya, tipe seperti ini biasanya memang akrab dengan ghibah dan dunia pergosipan. Biasanya loh. Lantaran cewek mana yang akan menolak ketika cowok seperti Teguh bertanya soal gosip terbaru?

Maka terlepas dari fakta bahwa mereka berdua berbeda secara harfiah, nyatanya Teguh dan Galih lebih cepat akrab dibandingkan perkiraan Eriana. Ketika cewek itu menilai Teguh yang tampak cerewet pasti akan merepotkan Galih yang terkesan lebih tenang.

Mirisnya, penyatu dua cowok itu adalah gosip. Dan itulah yang terjadi di siang itu. Ketika mereka sudah makan siang dan sisa waktu mereka manfaatkan untuk bersantai di pantry.

"Gara-gara di kafetaria kan?" tebak Teguh.

Galih mengangguk. "Kamu bayangkan saja, Guh. Baru kerja dan langsung dengar gosip aneh-aneh. Apalagi aku memang udah tau. Sekretaris sebelum Bu Eri nggak ada yang tahan lama."

"Tapi, Bu Eri kan udah ngomong. Pak Satria masih suka cewek. Lagian kalau memang Pak Satria suka cowok ..."

Mata Teguh menyipit melihat pada Galih. Sontak saja membuat asisten pribadi Satria itu mendelik. Teguh terkekeh.

"... kayaknya kamu yang masuk kriteria dia."

Galih yang bergidik langsung memilih untuk berdiri. Ia memutuskan untuk kembali ke meja kerjanya saja ketimbang meladeni perkataan Teguh.

"Lih!" seru Teguh geli. "Malah kabur."

Teguh menyusul Galih. Ketika ia masih merasa geli sementara Galih tak henti-hentinya mengusap tengkuk, Eriana datang.

"Saya nyari kalian, eh ... ternyata kalian ada di pantry."

Teguh dan Galih langsung memasang sikap sopan. Keduanya berdiri berjajar dengan rapi layaknya anak SD yang sedang menunggu penilaian guru.

"Ada apa, Bu?"

Yang bertanya adalah Galih. Dan untuk pertanyaan itu, Eriana menyodorkan mereka masing-masing satu undangan. Keduanya menerima undangan tersebut dengan dahi yang sedikit mengerut.

"Sabtu malam besok ada acara. Perayaan ulang tahun Doflaz. Mereka bisa dibilang mitra tetap kita. Jadi kalian harus ikut. Nggak boleh nggak."

Bola mata Teguh membesar, merasa senang dan juga tak percaya. Begitu pula dengan Galih walau ekspresi senangnya berbeda.

"K-kami juga diajak, Bu?" tanya Teguh masih tak percaya.

Eriana mengangguk. "Anggap aja ini latihan buat kalian," ujarnya seraya tersenyum. "Latihan buat ketemu rekan bisnis Pak Satria. Sekaligus menghapal semua nama mereka."

Teguh dan Galih tampak semringah. Terlebih lagi ketika ia melihat nama hotel tempat acara itu berlangsung. Hotel bintang lima dengan skala internasional yang tentu saja tidak sembarangan orang bisa masuk ke dalamnya.

"Dan ah! Saya sebenarnya ragu karena kalian berdua pada cakep. Tapi, kalian tau kan gimana harus berpenampilan di acara itu?"

Tentu saja mereka tau. Teguh dan Galih mengangguk kompak. Eriana pun merasa lega.

"Baguslah kalau begitu. Jadi kalian jangan sampai terlambat. Kita ketemu di sana."

*

Sabtu sore, Eriana sudah menyiapkan pakaian untuk Satria. Memilihnya dengan amat saksama sebelum ia pun mulai bersiap. Ketika Satria tampil menawan dalam stelan bewarna hitam, ia pun memilih warna yang sama.

Tiba di tempat sekitar setengah jam sebelum acara dimulai, Eriana berusaha mati-matian untuk tidak menggandeng Satria. Itu jelas adalah hal yan sulit. Mengingat betapa tampannya Satria kala itu di mata Eriana.

Eriana dan Satria berjalan memasuki hotel. Menunjukkan kartu undangan dan mereka langsung dipandu ke ruangan acara. Dan sepanjang jalan, Eriana kerap melihat Satria. Mengagumi ketampanan cowok itu seraya memperlambat sedikit tempo langkahnya. Demi menciptakan sekelumit jarak yang ia butuhkan untuk ....

Eriana meneguk ludah. Ketika tatapannya turun dan tertuju pada dua bongkahan itu, tanpa sadar ia menggigit bibir.

Wah! Aku benar-benar suka kalau lihat Satria pake celana itu. Tapi, sebenarnya aku lebih suka lagi kalau lihat Satria nggak pake celana sih.

Terpana dan takjub, Eriana tak menyadari bahwa di depan sana Satria menghentikan langkah. Cowok itu menoleh ketika merasa tak ada lagi langkah Eriana yang mengimbangi langkah kakinya.

Eriana tak ada di sampingnya. Sontak membuat Satria kebingungan.

"Eri?"

Satria memutar tubuh dan mendapati Eriana yang bergeming di tempatnya berdiri. Berjarak tak jauh dan matanya tengah tertuju pada satu arah. Yang tidak perlu Satria pertanyakan lagi, jelas ia bisa menebak apa yang ada di benak cewek itu.

Ya ampun.

Menahan geraman, Satria menghampiri Eriana. Tepat di hadapannya, Satria mendelik.

"Kamu mau di sini aja? Nggak mau masuk?"

Eriana mengerjap. Sedikit kaget, tapi ia dengan cepat menguasai diri. Berusaha agar tidak terkekeh ketika mendapati dirinya tertangkap basah.

"Harusnya aku yang nanya," ujar Eriana menggoda. "Nggak mau masuk?"

Wajah Satria berubah kaku seketika. Untuk urusan kata-kata, Eriana memang ahlinya dalam mengubah arti di Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Astaga, Tuhan.

Satria menarik napas dalam-dalam. Harusnya ia tidak kaget lagi dengan sikap Eriana, tapi tetap saja. Mengapa Eriana sangat cantik malam itu?

Sepertinya ini kali pertama Eriana mengenakan gaun bewarna hitam. Dan Satria yakin ingatannya tak salah.

Tersenyum pada Satria, Eriana seolah ingin membuktikan pemikiran sang suami. Bahwa malam itu ia memang tampil dalam pesona yang tak mampu diabaikan. Ditunjang oleh warna hitam yang membuat kulit bersihnya terlihat berkilau, riasan yang ia kenakan pun melengkapi semuanya dengan teramat sukses.

Satria harus menahan diri ketimbang berpikir untuk menyuruh Masdar mengecek landasan bandara tengah malam itu dan mengajak Eriana segera bulan madu. Ada banyak orang yang menunggu mereka di dalam ruangan itu.

"Pak Satria."

"Bu Eri."

Ada jeda yang membuat Satria membuang napas panjang. Datang di waktu yang tepat dan berasal dari dua orang bawahannya yang baru.

Teguh dan Galih menghampiri Eriana dan Satria. Membuktikan perkataannya tempo hari, kedua cowok itu datang dengan penampilan yang sempurna. Persis seperti yang Eriana harapkan.

"Wah!" kesiap Eriana takjub. "Kalian benar-benar kelihatan cakep malam ini."

Pujian itu tentu saja bermaksud bagus, tapi ada seseorang yang mengerutkan dahi. Satria melongo.

Tadi dia ngerayu aku. Sekarang dia muji cowok lain?

Satria butuh waktu untuk berpikir, sikap apa yang harus ia ambil. Tepat ketika Eriana kembali beralih pada dan tangannya terangkat dalam gestur menunjuk yang sopan.

"Mari, Pak. Sepertinya kehadiran Bapak sudah ditunggu."

Menyempatkan waktu untuk menatap Eriana dengan mata menyipit, Satria memberikan satu sentakan pada jas yang ia kenakan. Mungkin bermaksud untuk merapikannya, tapi Teguh dan Galih yang berdiri di belakang Eriana sontak meneguk ludah.

Teguh menggamit Galih, berbisik.

"K-kenapa Pak Satria mendadak bete' lagi, Lih?"

Galih menggeleng. "M-mungkin karena nggak bisa jalan sama ceweknya malam ini."

Berusaha untuk tetap berpikir positif, Teguh dan Galih langsung menyusul tepat setelah Eriana memanggil mereka dengan suara rendah. Mereka berempat masuk dan langsung berbaur dengan para undangan lainnya yang sudah tiba lebih dahulu.

Tiba di dalam, memanfaatkan waktu yang ada sebelum acara dibuka secara resmi, Satria berkeliling. Dengan ditemani oleh sekretaris satu, sekretaris dua, dan asisten pribadi, ia sukses menghadirkan intimidasi di mana-mana. Layaknya seorang raja yang sedang dikawal oleh para tangan kanannya.

Menyapa dan memperkenalkan sekretaris dan asisten barunya, tak jarang Satria hanyut dalam percakapan yang lumayan dalam. Sementara Teguh dan Galih menyimak, Eriana justru kerap bergabung dalam pembicaraan itu.

"Kebetulan Eri sendiri yang mengurus tenaga ahli untuk laboratorium Rofnus kemarin. Perizinannya pun dia yang memantau langsung. Karena memang sedikit sulit membangun lab yang penuh limbah di daerah padat penduduk."

Pria paruh baya itu bernama Ilham Brotohardjo. Ia beralih pada Eriana setelah mendengarkan perkataan Satria.

"Tempatnya di Bogor kan?" tanya Ilham demi memastikan. "Bukannya nggak mudah bangun lab baru di sana. Karena ada kampus dan sudah banyak bangunan serupa di sana?"

Eriana tersenyum. "Berkat tim desain kami, Pak. Jadi sebelum kami mengajukan perizinan, tim sudah diarahkan untuk berkonsultasi dengan tenaga ahli. Masukan dari mereka menjadi landasan tim untuk membuat desain yang sesuai dan juganya aman. Limbah akan terjaga."

"Oh."

Ilham manggut-manggut dan pembicaraan berakhir tak lama kemudian. Memberikan kesempatan bagi Satria untuk berpindah pada rekan berikutnya.

Berjabat tangan dengan sopan, Satria menatap pria paruh baya yang ada di hadapannya. Yang masih tampak segar dan penuh wibawa di usia yang sudah tidak muda lagi.

"Selamat malam, Om."

"Selamat malam, Sat. Ehm ... sepertinya kamu bawa rombongan malam ini."

Satria melirik sekilas seraya tersenyum kecil. Memberikan waktu bagi Eriana, Teguh, dan Galih untuk bersalaman dengan pria tersebut. Kala itu Eriana pun menyempatkan waktu untuk berkata pada Teguh dan Galih.

"Beliau presdir Doflaz. Nama beliau Hadi Bimoyanto Nugroho."

Saat itu juga, Teguh dan Galih sama-sama melotot.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top