26. Do More, More, And More

"Hahahahaha."

"Hahahahaha."

"Hahahahaha."

Tawa itu terus berderai. Berasal dari ruang makan. Tempat terlarang yang tak boleh dimasuki oleh siapa pun selama beberapa saat ke depan.

Itu jelas adalah tawa Eriana. Yang terdengar renyah dan amat bahagia. Mengalun berulang kali. Cukup menjadi tanda bahwa sesuatu yang menyenangkan tengah terjadi di meja makan.

"K-kira-kira ..."

Satu suara memecah keheningan di dapur. Tepatnya lagi di pojokan dapur. Tepatnya lagi di depan pintu belakang.

"... Nyonya dan Tuan lagi ngapain ya?"

Lina berpaling. Pada seorang asisten rumah tangga yang bernama Anita. Cewek yang baru berusia dua puluh dua tahun itu menatap Lina dengan penuh rasa ingin tau.

"Jangan coba-coba mikir buat ngintip," delik Lina penuh peringatan.

Anita cemberut. Ia melirik sekilas pada rekannya yang bernama Kinan. Tampak cewek itu juga memikirkan hal yang sama dengan dirinya.

"Cuma mau tau dikit, Mbak."

Lina kembali mendelik. Akhirnya Anita pun memilih untuk membungkam mulutnya. Kicep.

"Tapi, ngomong-ngomong, Mbak."

Kali ini adalah Kinan yang angkat suara. Seraya mencubit-cubit tangannya satu sama lain, ia beringsut mendekati Lina.

"Kami pernah dengar gosip. Kebetulan aku punya teman di rumah besar."

Rumah besar merujuk pada rumah orang tua Satria. Dan berbicara mengenai rumah besar, semua orang tau bahwa Lina mulanya bekerja di sana. Hanya ketika Satria menikah dan Lina adalah orang yang ia percaya untuk membantu Eriana maka akhirnya gadis itu pun turut pindah.

"Katanya ..."

Kinan melihat Lina dengan penuh rasa ingin tau. Matanya menyipit dan suaranya terkesan misterius.

"... Mbak pernah mergoki Tuan dan Nyonya lagi ciuman ya?"

Wajah Lina seketika membeku. Rasa hangat hadir dan pipinya memerah.

Anita dan Kinan membelalak. Respon alamiah Lina sudah menjawab pertanyaan itu.

"Wah!" kesiap Anita dengan suara rendah. Ia buru-buru menutup mulut ketika matanya justru membesar antusias. "Beneran, Mbak?"

Kinan memukul-mukul pahanya sendiri saking gemas. "Gimana, Mbak, gimana? Ceritain ke kami, Mbak. Gimana bisa Mbak mergoki Tuan dan Nyonya?"

Lina meneguk ludah. Ia mendeham sekilas. Lalu menggeleng.

"Nggak boleh gosipin Tuan dan Nyonya. Kalian ini."

Tentu saja Anita dan Kinan tahu aturan itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Gosip itu sudah berembus beberapa hari sebelum pernikahan Satria dan Eriana berlangsung.

Semua asisten rumah tangga penasaran. Layaknya anak kecil yang antusias dengan kisah cinta putri-putri di dunia Disney, mereka pun demikian. Amat penuh semangat ingin tahu kisah cinta putri dan pangeran di dunia nyata.

"Katanya gara-gara itu kan akhirnya Nyonya Besar mendesak mereka nikah cepat?" tanya Anita lagi. "Semua orang bilang gitu, Mbak. Katanya ... Tuan udah kebelet."

Kinan buru-buru menutup mulut. Khawatir tawanya akan meledak. Kalaupun Masdar tidak akan menghukum mereka, pastinya ada Lina yang tidak akan segan-segan mencubit.

"Kalian ini bisa-bisanya gosipin Tuan dan Nyonya begitu. Yang kalian dengar itu cuma gosip."

Anita dan Kinan mengangkat bahu sekilas. Tanda bahwa mereka tidak percaya dengan perkataan Lina. Lantaran ekspresi cewek itu justru mengatakan hal yang sebaliknya.

"Kayaknya nggak cuma gosip. Kemaren waktu Nyonya nggak ada di rumah, Tuan uring-uringan terus. Eh, pas Nyonya pulang, langsung damai lagi ini rumah," kata Kinan kemudian.

Anita mengangguk. "Aku lihat waktu Tuan nyuruh Mbak bantu Nyonya bersih-bersih waktu Nyonya baru pulang ke rumah," ujarnya seraya mendekap dada. "Itu so sweet banget."

"Menurut kamu, Kin. Kira-kira kapan kita dapat Tuan Kecil?"

"Ah, bener. Kalau lihat Tuan dan Nyonya, kayaknya bentar lagi kita dapat berita bagus."

"Bener kan? Wah! Anak itu bakal beruntung banget. Terlahir di keluarga ningrat kaya raya."

"Tapi, sebelum punya Tuan Kecil, aku penasaran. Kapan Tuan dan Nyonya mau bulan madu?"

"Aku dengar kapan hari, Pak Masdar sibuk ngubungin pihak bandara. Kayaknya mau ngecek landasan kosong selama sebulan."

"Pasti mau keliling ke mana-mana kan? Kayak di drama itu? Seluncur di salju berdua, Nit. Terus lihat bulan sama-sama. Sambil menikmati makan malam romantis."

"Ah, aku iri."

"Sama. Aku juga."

Ketika Anita dan Kinan terus berceloteh, Lina hanya bisa melongo. Hingga akhirnya ia melihat bergantian pada mereka. Kepalannya naik dan ia pun menjitak dahi keduanya sekilas.

Namun, Anita dan Kinan justru semakin merasa geli. Terlebih lagi karena suara tawa Eriana kembali terdengar sejurus kemudian.

"Hahahahaha."

Eriana mengusap matanya yang basah. Rasanya melelahkan, tapi itu sungguh menyenangkan.

"Aku nggak tau kalau kamu benar-benar melakukan pelajaran dari Mrs. Roberts," kata Satria. "Ini semua ..."

Satria menunjuk semua hal yang ada di sana. Dari meja makan, lilin, hidangan, dan juga bunga mawar. Yang semuanya kompak bermuara pada satu kata. Yaitu, romantis.

"... diajarin sama Mrs. Roberts? Seingat aku dulu, aku nggak pernah diajarin ini sama Mrs. Roberts."

Eriana kembali tergelak hingga pundaknya berguncang. Di sela-sela tawanya, ia berusaha untuk mengangguk.

"Sebenarnya ini pelajaran tambahan."

Satria diam. Menunggu Eriana memperbaiki laju napasnya sejenak demi melanjutkan perkataannya. Sementara itu matanya pun sekilas melirik. Pada jemari Eriana yang menggenggam tangannya.

"Kapan hari Mrs. Roberts ngamuk. Ya emang sih. Kapan juga dia nggak pernah ngamuk sama aku," ujar Eriana geli. "Tepatnya setelah kejadian princess itu loh, Sat."

Satria menyimak. "Terus?"

"Bisa dibilang kami agak berdebat gitu. Terus Mrs. Roberts ngomong gini."

Eriana mendeham sejenak. Berusaha mengingat apa persisnya yang Mrs. Roberts katakan padanya kala itu.

"You know? I love Indonesia. You ladies, such the great women. But, sometimes I don't understand you. Why don't you want to apologize? So childish, right? Oh, Eri. I hope you're not like that. It definitely spoils all the lesson I've given you so far. Please, thank you, and sorry, don't you agree with these three things?"

Eriana memutar bola matanya sekilas. Kurang lebih seperti itulah ingatannya.

"Aku cuma khawatir kalau aku terpaksa harus ketemu Mrs. Roberts lagi," ujar Eriana bergidik. "Cukup sekali, Sat. Aku nggak mau lagi."

Satria mendengkus geli. "Tapi, Mrs. Roberts memang ahli di bidangnya."

"Aku akui. Ya walau dia keras, susah dipuaskan, dan cerewet ..." Eriana menarik napas sekilas. "... dia memang benar-benar guru yang baik."

Tentu saja Mrs. Roberts adalah guru yang bisa diandalkan. Terkenal di kalangan orang-orang kelas atas, mereka harus berjuang untuk bisa mendapatkan pelajaran dari Mrs. Roberts.

"Dan berkat Mrs. Roberts juga akhirnya aku bisa lihat kamu senyum lagi."

Eriana tersenyum dengan kepala yang sedikit meneleng ke satu sisi. Ia menatap Satria lekat hingga membuat cowok itu jadi salah tingkah.

"Kamu pasti kesal banget kemaren itu."

Satria tidak akan menampiknya. "Menurut kamu? Aku rasa nggak ada suami yang suka melihat istrinya hahahihi sama cowok lain."

Tawa Eriana nyaris menyembur. Delikan mata Satria sukses membuat ia meredam geli yang hadir.

"Kamu cuma tau ujungnya aja, Sat. Sebenarnya ada hal lain yang buat aku ketawa nggak abis-abis seharian itu."

Mata Satria menyipit dalam sorot penuh ingin tahu. "Apa?"

Untuk beberapa saat, Eriana tidak langsung menjawab keingintahuan Satria. Alih-alih justru balas menatap sang suami dengan sorot geli. Ia butuh menguatkan diri. Jangan sampai ia kembali tertawa terbahak-bahak sebelum ceritanya nanti tuntas.

"Jadi sebenarnya ...."

Satria mendengarkan dengan saksama. Bergeming untuk setiap kata yang Eriana ucapkan. Dan seiring waktu berlalu, semakin banyak Eriana bercerita, semakin melongo Satria.

"Hahahahaha."

Eriana terbahak lagi. Kali ini benar-benar terpingkal.

"J-jadi, Sat," ujar Eriana di sela-sela tawanya. "Mereka pada takut dijadiin simpanan kamu. Kamu harusnya lihat. Galih itu mukanya udah pucat, Sat. Apalagi Teguh. Dia bilang dilema, harus melepas kesuciannya untuk kamu atau resign aja."

Satria membeku. Wajahnya seolah ingin jatuh dari tempatnya.

"Hahahahaha. Astaga. Bisa-bisanya kamu dapat sekretaris dan aspri kayak gitu, Sat."

Sama. Itulah persisnya yang Satria pikirkan. Bagaimana bisa?

"M-mereka pikir aku naksir mereka? A-aku butuh simpanan buat nyalurin ... nyalurin ..."

Satria megap-megap. Matanya mengerjap berulang kali. Syok.

"Wah!"

Satria tidak bisa menuntaskan perkataannya. Ia sontak bangkit. Berkacak pinggang, ia tidak pernah mengira bahwa itulah kenyataan yang sebenarnya.

"Puas kamu ketawa, Ri?"

Satria menatap Eriana gusar. Di antara syok dan tak percaya dengan penilaian sekretaris kedua dan asisten pribadinya, ia justru dibuat kesal setengah mati karena Eriana yang terus tertawa tanpa henti.

"Pasti kamu senang kan? Suami kamu dibilangin gitu, astaga."

Eriana buru-buru turut berdiri. Berusaha menghentikan tawa, ia meraih Satria. Tangannya mengusap dada sang suami.

"Sabar, Sat, sabar. Kata Mrs. Roberts kita harus bisa mengontrol emosi."

Satria mendelik. Eriana justru semakin geli.

"Lagian aku udah klarifikasi sama mereka kok. Karena emang sih," desah Eriana. "Dikit banyak hal itu pasti memiliki dampak ke mereka. Aku khawatir mereka yang takut justru milih resign beneran. Akhirnya aku sendiri yang susah."

Satria bisa menerka arah pikiran Eriana. Ia mengangguk.

"Jadi ..."

Melanjutkan perkataannya, Eriana tersenyum seraya terus mengusap dada Satria. Bermaksud untuk meredakan emosi cowok itu.

"... jangan marah lagi. Kamu maafin aku kan?"

Tak perlu berpikir, Satria mengangguk. "Kamu nggak salah sepenuhnya. Kadang aku memang mudah tersulut."

"Aku tau. Itu memang karakter kamu dan aku tau," ujar Eriana mengangguk. "Walau mungkin sedikit merepotkan, tapi untung aja bokong kamu seksi. Jadi aku bisa terima."

Bola mata Satria membesar. Tapi, bukan melotot atau mendelik.

"Kamu ini. Nggak lihat-lihat tempat kalau ngomong?"

Eriana mengulum senyum. Ia menjinjitkan kaki demi berbisik ke telinga Satria.

"Semuanya udah aku ungsikan ke rumah belakang. Selain Lina, Anita, dan Kinan di dapur, sekarang cuma ada kita berdua."

Penjelasan itu menjawab rasa penasaran Satria untuk keheningan yang sedari tadi ia rasakan.

"Itu juga diajari Mrs. Roberts?"

Eriana menggeleng. Kali ini sorot matanya berubah ketika menatap Satria, tampak menggoda.

"Itu naluri alamiah manusia."

Jawaban yang cerdas sekali. Hingga saking cerdasnya mampu membungkam mulut Satria. Ia tidak bisa membalas perkataan Eriana. Dan sepertinya kata-kata memang tidak diperlukan lagi.

Lantaran Satria hanya perlu menahan tangan Eriana yang sedari tadi ada di dadanya. Diikuti oleh rengkuhan yang membuat pinggang Eriana tertarik ke arahnya. Pun ditutup oleh satu panggutan yang memerangkap bibir Eriana dalam ciuman dalamnya.

Tak ada lagi kata-kata. Tak ada lagi tawa. Yang ada hanyalah keheningan yang semakin sunyi. Keheningan yang membuat pihak lain justru merasa bingung.

"Kok nggak ada ketawa lagi ya?"

Anita mengangguk. Membenarkan pertanyaan Kinan. "Iya. Kok jadi hening?"

Bola mata Kinan membesar. Begitu pula mulutnya yang sontak menganga. Ia buru-buru menutup mulut ketika kemungkinan itu melintas di benaknya.

"Jangan-jangan ...."

Anita meneguk ludah. "Tuan dan Nyonya ...."

Lina dengan segera bertindak. Ia menahan tangan Anita dan Kinan. Tepat sebelum dua orang cewek itu berniat untuk mengendap dan mengintip diam-diam.

Lina mendelik besar. "Jangan ke mana-mana."

Terpaksa, Anita dan Kinan harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk mencari gosip terbaru.

Kasihan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top