25. Talk Less Do More
"Gimana, Chef? Udah pas?"
Santoso Hardianto selaku kepala koki di kediaman Djokoaminoto menundukkan kepala seraya bersedekap. Melihat pada potongan sapi yang sekarang berada di atas teplon.
"Rare kan?"
Santoso mengamatinya sekilas. Lalu mengangguk. "Udah pas, Nyonya."
Eriana tersenyum lebar. "Oke."
Beranjak dari depan kompor, Eriana melanjutkan aktivitasnya. Dengan telaten dan penuh kehati-hatian dalam menyajikan potongan daging sapi itu di atas piring. Tanpa luput untuk memberikan garnis.
"Begini?"
Santoso mengangguk. "Iya, Nyonya."
Kedua tangan Eriana naik ke depan dada. Bertepuk dalam gerakan samar dan tanpa suara sedikit pun, wajahnya terlihat senang.
"Seumur hidup," ujar Eriana lirih seolah pada dirinya sendiri. "Baru kali ini aku masak ginian." Ia lantas berpaling pada Santoso. "Makasih, Chef."
"Sama-sama, Nyonya."
Tuntas menyiapkan semua makanan, Eriana lantas melepaskan celemek yang sudah ia kenakan selama nyaris tiga jam. Ia menyempatkan diri untuk meneguk segelas air putih terlebih dahulu, barulah kemudian ia keluar dari dapur. Di belakangnya, ada Masdar yang dengan setia mengikuti setiap langkah kakinya.
"Nyonya nggak letih? Mungkin lebih baik Nyonya istirahat sebentar."
Eriana menggeleng. Seraya terus berjalan, ia menolak ide kepala pelayan rumahnya itu.
"Masih ada banyak hal yang harus aku siapkan. Aku nggak ada waktu buat istirahat."
Masdar menyerah. Tidak mengatakan apa-apa lagi.
"Oh ya. Gimana dengan meja makan?" tanya Eriana kemudian. "Sudah ditata?"
"Sudah, Nyonya. Sesuai dengan perintah Nyonya. Penuh dengan nuansa merah."
Eriana sedikit berpaling. "Bunga mawarnya?"
"Sudah juga, Nyonya."
"Bagus!"
Penuh semangat, Eriana lalu segera menuju meja makan. Tepat ketika ia tiba di sana, beberapa orang asisten rumah tangga baru saja selesai mendekorasi. Menciptakan tampilan meja makan yang sangat elegan dan mewah.
Eriana mengitari meja makan. Melihat pada lilin yang tertata rapi di sana. Berikut dengan peralatan makan yang diatur amat apik.
"Bagaimana, Nyonya?" tanya Masdar. "Ada yang kurang?"
Kedua tangan Eriana saling bertautan di depan dada. Ia berpaling dan melihat pada Masdar. Binar-binar di matanya sudah menjawab pertanyaan tersebut.
"Ini cantik sekali. Persis dengan apa yang aku mau."
Diam-diam, Masdar membuang napas lega. "Apa lagi yang harus saya lakukan selanjutnya, Nyonya?"
Eriana berpikir dengan cepat. Sekarang sudah pukul enam sore. Waktu makan malam akan tiba sebentar lagi. Dan itu artinya ia harus segera bersiap.
"Bapak atur soal hidangan tadi."
Masdar mengangguk.
"Pastikan jangan sampe ada yang keliru."
"Baik, Nyonya."
"Dan yang paling penting," ujar Eriana dengan penuh penekanan. "Selama kami makan malam nanti, jangan sampai ada gangguan."
Masdar mencatat hal itu di benaknya. "Baik, Nyonya."
"Jangan ada aktivitas apa pun. Jangan ada yang masuk. Pokoknya kalian semua harus menjauh dari ruang makan."
Mata Eriana memejam. Lalu ia menggeleng.
"Nggak. Bukan cuma menjauh dari ruang makan. Tapi, kalian semua harus mengosongkan rumah ini."
Masdar bergeming. Sepertinya hal yang satu itu agak sulit untuk dilakukan.
"B-bagaimana kalau Nyonya dan Tuan butuh sesuatu?" tanya Masdar. "Mengantarkan hidangan? A-atau ...."
Masdar tidak meneruskan perkataannya. Tapi, tentu saja Eriana paham. Ia menggeram samar. Yang dikhawatirkan Masdar memang benar.
"Ah, benar!"
Eriana berpaling. Menuju pada Lina, asisten rumah tangga yang berperan sebagai pelayan pribadi cewek itu.
"Lin, sini."
Lina segera menghampiri Eriana. "Ya, Nyonya?"
"Kamu tetap di rumah. Dengan dua orang lainnya. Ntar kalau ada apa-apa, kamu yang atur. Dan pastikan."
Eriana menekankan kata itu dengan amat jelas. Hingga membuat Lina meneguk ludah.
"Pastikan kalau nggak saya panggil, kalian tetap di dapur. Kalau perlu kalian mentok di pintu belakang dapur," jelas Eriana. "Mengerti?"
Lina mengangguk kaku. "Mengerti, Nyonya."
"Bagus," ujar Eriana seraya tersenyum. Ia memegang Lina sekilas. "Aku mengandalkan kamu, Lin."
Masdar melihat Lina. Beralih pada Eriana.
"Terus bagaimana dengan saya, Nyonya?"
"Bapak?"
Eriana mengerutkan dahi. Sekejapan mata, ia melihat Masdar yang melirik pada Lina. Membuat cewek itu tersenyum geli.
"Bapak istirahat saja."
Agaknya Masdar merasa keberatan. "T-tapi---"
Eriana mengangkat satu tangannya. Ia tahu bahwa Masdar tentu tidak terima ketika dirinya disuruh beristirahat sementara Eriana meminta Lina untuk tetap sedia setiap saat.
"Ini urusan cewek, Pak. Berhubungan dengan romantisme masa muda."
Perkataan Eriana sukses membuat Masdar membeku. Tubuhnya terasa kaku seketika.
"Bapak pasti nggak mau kan mendadak mual-mual kalau melihat tontonan genre romantis?"
Masdar tampak salah tingkah. "I-itu---"
"Anggap aja ini waktu yang tepat untuk Bapak istirahat sebentar. Jadi silakan Bapak ajak yang lain untuk mengungsi dulu ke rumah belakang."
Rumah belakang adalah bangunan yang berukuran tidak terlalu besar. Sesuai dengan namanya, rumah itu berada di belakang. Tepat di area taman.
Dibangun dalam tujuan mempermudah bila mereka akan mengadakan pesta kebun, Eriana yakin rumah belakang memiliki kegunaan lainnya. Sebagai tempat tunggu sementara waktu, misalnya.
"Baiklah, Nyonya."
Eriana tersenyum lebar. Ia lalu meraih tangan Lina.
"Ayo kita ke atas."
Lina mengangguk. Tentu saja ia paham maksud majikannya itu. "Baik, Nyonya."
*
Jemari tangan Satria mengusap satu sama lain di depan wajah. Matanya memandang pintu ruang kerja. Tidak bisa tidak. Keanehan itu benar-benar terasa meresahkan dirinya sejak beberapa jam yang lalu.
Ini perasaan aku saja atau memang? Tapi, kenapa Eri kayak tenang ya hari ini? Nggak rame kayak biasanya.
Tidak ingin, tapi pikiran buruk itu muncul di benak Satria. Dengan cepat membuat ia mempertanyakan sesuatu.
Apa gara-gara makan siang dengan Teguh dan Galih, dia jadi berubah?
Mengingat hal tersebut, Satria pun sontak merasa gerah. Ia tidak akan lupa bagaimana kemarin Eriana lebih memilih untuk makan siang bersama dengan dua orang cowok itu ketimbang dengan dirinya. Sedikit bagusnya, makan siang itu tidak berlanjut menjadi makan malam.
"Dia nggak ada mau minta maaf?" tanya Satria tak percaya. "Bahkan dari kemaren, dia nggak ada bahas soal itu sama sekali. Dan lihat ini. Aku dari tadi nungguin dia di sini, tapi dia nggak ada inisiatif buat datangin aku?"
Hari Sabtu memang biasanya Satria gunakan untuk mengangsur beberapa pekerjaan. Tapi, kali ini jelas beda. Satria berdiam diri di ruang kerja selama nyaris enam jam lamanya karena menunggu Eriana datang.
Perut Satria bergemuruh. Menyadarkan dirinya bahwa kala itu sudah memasuki jam makan malam. Ia berdecak dan bangkit dari duduknya dengan gusar.
"Percuma aku nunggu dia."
Satria tidak ingin mengambil risiko. Perutnya harus segera diisi. Mengabaikan rasa kesal, ia keluar dari ruang kerja.
Kaki Satria berhenti bergerak ketika baru melangkah sebanyak dua kali. Ia memandang berkeliling. Agaknya kejanggalan itu masih mengikutinya.
Memang, bukan berarti rumah Satria ramai. Bisa dikatakan rumahnya tenang dan damai. Tapi, entah mengapa ada yang aneh dengan ketenangan kali ini.
Seperti tidak ada kehidupan. Seolah hanya dirinya makhluk hidup di sana.
"Pak Masdar?"
Satria memanggil sang kepala pelayan. Tapi, tidak ada sahutan yang ia dapatkan. Alih-alih hanya gema suaranya yang memantul kembali pada dirinya sendiri.
Menarik napas dalam-dalam, Satria menahan diri untuk tidak memanggil Eriana. Lagipula ia yakin bahwa sekarang Eriana sudah duduk di meja makan.
Satria menuruni tangga. Tiba di lantai satu, ia kembali memandang sekitar. Tapi, sejauh matanya memandang, ia tetap tidak melihat seorang pun asisten rumah tangga.
"Mereka ke mana? Kenapa rumah sepi sekali?"
Tidak mendapatkan jawaban untuk rasa penasarannya membuat Satria beranjak. Ia menuju ruang makan. Seperti keinginannya semula. Dan berkat itu, rasa penasaran Satria semakin menjadi-jadi.
Belum sampai di ruang makan, Satria mendapati keanehan lainnya. Lampu di lorong padam. Memberikan tampilan gelap yang sayangnya tidak kelam sama sekali. Lantaran cahaya halus yang menyeruak dari ruang makan berhasil memberikan penerangan untuknya.
"Pak Masdar ke mana? Ada lampu putus, tapi belum diganti?"
Satria heran. Untuk sekelas Masdar, harusnya lampu putus tidak akan menjadi masalah yang berarti.
Satria kembali melangkah. Mengabaikan gelap itu dan layaknya serangga yang mencari penghidupan, ia mengikuti di mana cahaya berasal.
Memasuki ruang makan, langkah kaki Satria terhenti seketika. Tepat ketika keanehan lainnya menyambut dirinya.
Meja makan itu ditata dengan tampilan yang berbeda. Penuh dengan nuansa merah dan emas, suasanya terlihat begitu elegan dan romantis. Terlebih lagi dengan sebuket bunga mawar yang ada di sana.
Itu adalah bunga yang cantik. Bunga yang wangi. Bunga yang lantas terangkat dari atas meja. Lantaran sepasang tangan berjari lentik meraihnya. Membawanya. Dan menghadirkannya tepat ke depan wajah Satria.
Satria mengerjap. Wajah Eriana seketika menggantikan tampilan bunga mawar di retina matanya.
Tersenyum, Eriana lantas berkata.
"Aku minta maaf."
Satria membuang napas panjang. Bahkan kalaupun ia marah, dengan permintaan maaf semanis itu, bagaimana bisa ia tidak luluh?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top